Dalam politik, kemasan atau kemampuan untuk mengelola citra menjadi penjelasan yang paling representatif dalam banyak pemilihan umum. Di Indonesia, Jokowi memulai blusukan sebagai metode untuk meraih banyak dukungan dari masyarakat. Meskipun tidak mempunyai pondasi partai politik atau istilahnya hanya sebagai “pegawai parpol”, Jokowi mampu mencitrakan diri sebagai sosok yang humanis, tegas, dan merakyat.
Tidak pernah kalah dalam ajang pemilihan umum dari walikota hingga presiden, membuktikan bahwa metode blusukan yang selama ini melekat dalam diri Jokowi telah berhasil memikat banyak masyarakat untuk memilihnya menjadi pemimpin. Keuntungan pemimpin dari kalangan sipil adalah keberhasilan merangkul dan berkompromi dengan lintas politik dan sosial.
Blusukan merupakan langkah strategis politikus untuk menjangkau masyarakat yang jauh dari lingkungan elit pemerintahan. Peran media juga menjadi daya jual sebuah pencitraan. Kesan pemimpin yang melayani rakyat dan meleburkan kasta elite dengan proletar. Menghilangkan trauma panjang kepemerintahan yang otoriter dan diktator. Jokowi menunjukan pesan konstitusi, bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, bukan sebaliknya.
Tidak berhenti di Jokowi, PDI Perjuangan yang dikenal pencetus kader-kader pemimpin masa depan, menerapkan metode serupa yang turut dipopulerkan oleh Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini. Keduanya berhasil bertahan selama dua periode di masing-masing daerah pilihannya (Jawa Tengah dan Surabaya).
Selain Blusukan, ada 4 strategi pencitraan yang seringkali mengabaikan etika dalam berpolitik. Pertama, pure publicity, mempopulerkan diri sendiri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Kedua, free ride publicity, publisitas dengan cara memanfaatkan akses pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Ketiga, tie-in publicity, memanfaatkan kejadian sangat luat biasa seperti tsunami, gempa bumi, atau banjir bandang. Keempat, paid publicity, cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa.
Baca Juga : Drama Politik Indonesia
Blusukan Risma
Langkah blusukan di Jakarta oleh Risma sebagai Mensos yang baru banyak mendapat sorotan dari media. Kebiasaan menjadi walikota mencoba diterapkan di kementerian sosial yang malah dikesankan sebagai drama politik untuk pilgub DKI 2022. Terlepas dari banyak polemik mengenai langkah blusukan seorang menteri sosial, harapannya Risma juga menjangkau daerah lain (selain Jakarta) sebagai proyeksi menteri Indonesia, bukan menteri DKI Jakarta.
Kasus anggaran bansos yang dikorupsi menteri sosial sebelumnya seharusnya menjadi fokus utama Risma di kemensos, meskipun citra pemimpin baru juga perlu dimunculkan sebagai bentuk kelayakan mendapatkan mandat dari presiden. Menurut McGinnis, (l970) dalam Kavanagh (l995:13), pemilih sesungguhnya akan melihat kandidat bukan berdasarkan realitas yang asli, melainkan dari sebuah proses kimiawi antara pemilih dan citra kandidat (gambaran imajiner).
Tidak ada yang salah dengan metode blusukan Risma untuk menemui tunawisma di Sudirman-Thamrin, karena berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial, dinyatakan bahwa Kemensos mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara.
Menjadi persoalan jika blusukan yang dilakukan Risma hanya settingan belaka untuk mengangkat citra tokoh yang peduli dengan kondisi sosial di Indonesia. Jika benar ada tunawisma yang tidak terdeteksi oleh dinas sosial, maka bisa berakibat pada menurunya integritas Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tapi jika sebaliknya (hanya settingan), maka akan menjatuhkan elektabilitas ketokohan Tri Rismaharini.
Sarana penunjang drama pencitraan politik paling utama adalah media massa. Peranannya telah menjadi fokus dari kompleksitas aktivitas politik sebuah negara. Demokrasi tradisional yang sebelumnya terfokus pada masifikasi, berganti pada fragmentasi. Media dan politik akan selalu beriringan dengan aspirasi demokrasi dan perjuangan untuk meraih kekuasaan politik.
Meskipun demikian, metode blusukan sampai saat ini masih dianggap efektif menaikkan suara elektoral. Bukan hanya tokoh tersebut yang diuntungkan, tapi juga peran partai yang mencetuskan kader-kader potensial. Fungsi politik adalah sebagai kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan cinta di masyarakat.
Ketika blusukan sebagai langkah pencitraan berhasil meningkatkan elektabilitas ketokohan dan partai, selanjutnya motif politiknya adalah untuk berkuasa. Karena setalah mendapatkan kekuasaan, tokoh atau partai akan bisa mengatur sedemikian rupa kebijakan dan aturan untuk membatasi oposan dan melegalkan ideologi politiknya. Mengakuisisi daerah atau negara dengan politik pragmatis untuk memperkuat posisi di pemerintahan.
Pernah dimuat di Ayo Semarang
https://www.ayosemarang.com/read/2021/02/02/71392/blusukan-metode-politik-pencitraan
0 comments: