CATEGORIES

Showing posts with label sosial. Show all posts

Permasalahan hidup membawa manusia pada penderitaan. Berbagai tekanan dan cobaan secara internal dan eksternal menciptakan emosi yang berbed...

seni mengolah emosi

Permasalahan hidup membawa manusia pada penderitaan. Berbagai tekanan dan cobaan secara internal dan eksternal menciptakan emosi yang berbeda. Belum jelas obat depresi yang dialami manusia selain meluapkan dalam sikap kedengkian, kebencian, caci maki, hingga perilaku kriminal. Meski terkesan abstrak, seni mengolah emosi perlu diajarkan agar tidak terjebak pada konflik sosial.

Dalam kajian Filsafat Barat, manusia bergelut dalam konsep nalar dan kehendak. Sementara di Filsafat Jawa menambahkan variabel perasaan atau intuisi. Rasa merupakan aspek fundamental dalam berkesenian untuk menilai keindahan suatu karya. Ekspresi rasa diejawantahkan dalam bentuk emosi agar dinilai sama oleh penikmat seni.

Seni mengolah emosi merupakan kemampuan menata pikiran dan perasaan ketika menghadapi setiap kejadian. Dalam Filsafat Stoik, setidaknya ada empat nilai utama mengolah emosi yakni kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), keadilan/kejujuran (justice), kontrol diri/keseimbangan (temperance). Manusia harus menyadari tentang dikotomi yang berada di dalam dan luar kendali mereka.

Persepsi negatif berperan menciptakan emosi negatif yang diolah oleh pikiran. Kesan manusia pada sosok atau kejadian didominasi oleh emosi yang kemudian dicarikan alasan oleh akal untuk memutuskan kesukaan atau kebencian. Meski terkadang menyadari kesalahan menyimpulkan sesuatu, balutan emosi yang dipengaruhi oleh informasi dan lingkungan yang mendukung kesan pertama, akan memantapkan pilihan manusia memandang realitas hidup.

Itulah kenapa peran kesenian diperlukan untuk mengolah emosi manusia agar tidak mudah tersinggung, kecewa, dan marah. Menurunkan sikap fanatisme yang berorientasi pada konflik. Seni punya peran menghaluskan emosi dengan memfilter informasi yang benar (bermanfaat) dan salah (berbahaya).

Kesenian mengajarkan sikap empati dengan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tidak mementingkan diri sendiri (egois) untuk kepentingannya sendiri. Lunturnya sikap empati kerap menjadi akar masalah konflik sosial. Mementingkan emosi personal tanpa analisis mendalam tentang sebuah persoalan. Manusia tidak mampu merasakan emosi yang tidak dapat dikontrolnya. Dampaknya adalah buruknya cara bersosialisasi di tengah masyarakat.

 

Baca Juga : Benturan Sosial Dunia Digital

Melihat Indonesia

Demokrasi seyogyanya mampu menciptakan iklim kondusif dengan tercapainya keadilan dan kemakmuran. Goncangan emosi banyak dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik karena tidak tercapainya keadilan. Ada jurang antara pemerintah dan rakyat bahwa negara hanya milik mereka (pemerintah dan orang kaya). Hal ini dapat dilihat dari kesenjangan ekonomi dan penentuan kebijakan yang tidak secara direk menyasar masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

Cita-cita demokrasi pancasila yang menuntut keadilan di segala aspek kehidupan belum atau tidak tercapai memaksa sebagian kelompok masyarakat menyusun gagasan ideologi baru yang mungkin bertentangan dengan pancasila. Berangan tentang sistem kenegaraan baru yang lebih ideal daripada saat ini.

Problem klasik ketidakadilan semakin kentara dengan tersebaranya informasi digital yang menambah gejolak emosi masyarakat. Mereka yang tidak dibekali seni mengolah emosi mudah tersulut dan berimplikasi pada sikap anarki. Tata kelola pemerintahan yang baik bisa mengubah persepsi masyarakat yang kadung frustasi menghadapi realitas ketidaktegasan menegakan hukum. Pemerintah juga harus menghilangkan citra motif kepentingan politik praktis dan transaksi jabatan.

Melesatnya informasi di dunia daring membuat manusia tidak sempat mengolah emosi. Lebih suka menyalurkan emosi dengan menyalahkan orang lain yang mempunyai perbedaan pandangan melihat sebuah fenomena. Menebalkan politik identitas yang berafiliasi pada politik kebencian. Banyak elemen masyarakat yang mesti bertanggung jawab menyosialisasikan seni mengolah emosi agar tidak semakin parah mencederai demokrasi.

Aneka ragam kesenian dan kebudayaan di Indonesia seharusnya menambah khasanah pengolahan emosi yang dituangkan dalam rasa. Sebelum penjajahan teknologi, Indonesia dikenal memiliki masyarakat yang mengutamakan sikap toleransi dan empati. Citra negara yang sopan dan santun bergeser menjadi citra negara paling tidak sopan se-Asia Tenggara sejak masifnya penggunaan gadget.

Faktor ketidaksopanan muncul karena ketidakmampuan mengolah emosi. Mudah dipengaruhi dan ikut-ikutan pada narasi yang belum jelas kebenarannya. Emosi lebih dulu diekspresikan sebelum menyadari informasi yang diterimanya ternyata hoaks. Manifestasi emosi diaplikasikan dalam sikap kebencian yang kadang diiringi dengan perilaku anarki hingga terorisme.

Sebagai negara multikultural, Indonesia menjadi negara yang rawan konflik. Mudah tersulut emosi akibat fanatisme kelompok (sukuisme) atau tokoh tertentu. Dari kesemuanya mencita-citakan negara yang ideal dengan tata kelola pemerintahan yang baik, tercapainya keadilan, dan terpenuhinya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Ketika kesenian daerah sendiri mulai dilupakan, perkara pengelolaan emosi akan selalu menjadi ancaman untuk negara. Dalam ketidaksadarannya emosi komunal bisa berdampak lebih parah seperti terjadinya perang antar saudara seperti yang terjadi di Timur Tengah.***

  Mayoritas orang menyebutnya primitif, sebagian meyakini ikhtiar ngalap berkah sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang. Bukan hanya men...

 

Tempat Keramat

Mayoritas orang menyebutnya primitif, sebagian meyakini ikhtiar ngalap berkah sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang. Bukan hanya menjelang pemilu, orang-orang berkepentingan kerap mendatangi “orang pintar” dan tempat keramat untuk memuluskan hajatnya. Mereka meminta doa dan memohon agar diberikan jabatan, kekayaan, dan kesuksesan hidup.

Orang pintar diasosiasikan dengan dukun atau kiai yang punya kemampuan linuwih. Mereka didatangi untuk kepentingan pengobatan, gangguan kegaiban, hingga kemudahan jodoh. Memberikan rapalan doa dan amalan (tirakat) dengan mahar tertentu. Orang pintar masih menjadi solusi sebelum berkunjung kepada dokter umum, psikiater, atau tokoh masyarakat.

Biasanya disebut sebagai solusi alternatif, namun dalam prakteknya malah terkesan sebagai solusi utama mengatasi segala masalah yang menimpa masyarakat. Tentu didasari dengan pengalaman tentang mujarabnya doa dan hanya bermodal biaya seikhlasnya. Orang pintar punya pengaruh besar dalam sandaran keyakinan masyarakat, khususnya di daerah perkampungan.

Sementara tempat keramat biasanya merujuk pada lokasi ziarah makam ulama atau tokoh Jawa yang punya ilmu keagamaan atau kegaiban. Motif ziarah sering disalahgunakan untuk kepentingan dunia hingga melupakan esensi mendoakan wali atau mengingat mati. Bahkan, rela tidur di makam beberapa hari untuk menunggu wangsit bagi pecandu togel atau judi.

Misalnya di Gunung Kemukus, Sragen yang disebut Sex Mountain oleh media internasional karena ritual perzinaan untuk terkabulnya hajat yang biasanya berkaitan dengan kekayaan. Masih banyak daerah lain yang punya syarat tertentu ketika mengunjungi tempat keramat yang diyakini punya sugesti tertentu membawa masyarakat menggapai keinginannya.

Perilaku seperti ini jelas bertentangan dengan landasan berpikir logis. Pengobatan alternatif kepada orang pintar tidak merujuk pada penelitian ilmiah dan keberhasilan seseorang mencapai sesuatu mengabaikan faktor kehendak dan usaha. Namun bukti aktivitas berkunjung ke orang pintar dan tempat keramat masih marak terjadi adalah faktor lain di luar nalar manusia; perihal keyakinan.

 

Baca Juga : Habituasi Dogma Kebudayaan

Politik Gaib

Politikus muda dan senior lebih sering memasrahkan hasil pada orang pintar dan tempat keramat daripada konsistensi berkampanye. Mereka menyadari ada kekuatan supernatural yang tidak cukup diikhtiari dengan janji manis, membeli suara, dan transaksi jabatan. Apalagi bagi politikus yang kalah secara finansial dan popularitas.

Di desa, pejabat sering menggunakan bantuan dukun atau kiai agar terlindung dari ancaman gaib (santet). Kematian beberapa kepala desa setelah menang pilkades disimpulkan sebagai serangan santet dengan asumsi pejabat menderita penyakit misterius. Memutuskan untuk maju sebagai pemimpin juga harus siap risiko kehilangan nyawa.

Meski secara medis bisa dijelaskan, namun budaya santet, pelet, dan kepet menjadi khasanah kebudayaan yang masih diyakini keberadaannya. Tak heran banyak calon pejabat yang menyiapkan diri dengan meminta bantuan kepada orang pintar dan tirakat di tempat keramat. Bahkan dalam level pimpinan nasional, banyak yang meyakini mereka melakukan tradisi serupa di tempat-tempat yang diyakini bisa melindunginya dari ancaman yang nyata dan gaib.

Kebiasaan pemimpin yang suka blusukan di tengah masyarakat dan kebencian radikal di media sosial seharusnya memudahkan pembenci untuk melukai atau bahkan membunuh dengan senapan ilegal atau senjata tajam. Namun kekecewaannya malah sering diaktualisasikan dengan perilaku teror dan bom bunuh diri yang jauh dari tujuan melukai pemimpin yang dibenci.

Seolah ada kekuatan di luar kendali manusia yang menghalau segala macam bahaya darinya. Keberadaan intelijen dan paspampres tentu tidak bisa menganalisis motif setiap orang. Apapun itu, kekuatan supernatural yang dicari atau diberikan kepada pemimpin adalah hal yang wajar dalam kebudayaan nusantara. Hal gaib masih menjadi kiblat menyandarkan permasalahan hidup.

Jelang tahun politik, kita akan melihat banyak calon politikus aktif mengunjungi orang pintar dan tempat keramat. Menggadaikan keimanan demi kekayaan dan popularitas. Jasa orang pintar juga akan semakin meningkat meski dalam perjalanannya tidak mampu memberikan kepastian keberhasilan atau kegagalan calon pejabat.

Sementara di tempat keramat, calon pejabat akan kembali aktif menjadi peziarah dadakan dan ahli tirakat. Bukan sebagai sarana bermuhasabah, namun lebih kepada keinginan terkabulnya hajat menjadi pejabat. Itulah Indonesia dengan segala keyakinan dan kebudayaannya. Orang pintar dan tempat keramat adalah alat ketika menyadari kemampuan diri tidak bakal tersampainya doa kepada Tuhan.

Dengan mengunjungi orang pintar dan tempat keramat akan melegakan perasaan calon pejabat yang sudah melakukan semua usaha jelang pemilu. Politik bukan hanya seputar strategi berkoalisi, namun juga siasat menemukan orang pintar dan tempat keramat yang tepat.***

Moralitas berkaitan dengan moral dan etika. Moral berarti kemampuan mendeteksi nilai, sementara etika adalah aktualisasi dari nilai yang dip...

Kebijaksanaan Moralitas

Moralitas berkaitan dengan moral dan etika. Moral berarti kemampuan mendeteksi nilai, sementara etika adalah aktualisasi dari nilai yang dipegang. Terbentuknya moral akibat daya serap mengamati dan memahami nilai di lingkungan sosial. Pendidikan keluarga, agama, dan budaya sekitar menjadi faktor utama moralitas seseorang.

Konsistensi menjalankan etika akan membentuk integritas. Rusaknya moralitas ketika seseorang tidak memegang nilai yang dianutnya. Pembiasaan kejahatan dan mengabaikan risiko atas tindakan yang diambil menujukan ketidakbermoralan seseorang. Hal tersebut yang berpengaruh pada rusaknya moralitas generasi saat ini.

Anak remaja yang memperkosa anak usia dini, pembuangan bayi yang baru lahir, hingga budaya korupsi menjadi simbol ketidakpatuhan seseorang terhadap nilai dan norma. Padahal secara rasional seseorang mampu memilah benar-salah dan baik-buruk bahkan tanpa embel-embel pengetahuan agama. Namun perilaku amoral tetap tumbuh dan berkembang ketika sistem sosial tidak dibentuk untuk patuh pada nilai yang disepakati.

Dari sisi pendidikan, moralitas berkaitan dengan kemampuan seseorang menerima dan memahami ilmu yang didapat. Ilmu adalah kemampuan membedakan objek, sementara kebijaksanaan yang dibungkus moralitas adalah kemampuan menyamakan objek. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin memperuncing jarak perbedaan. Butuh kebijaksanaan untuk mengontrol capaian ilmu agar tidak disalahgunakan.

Seharusnya semakin tinggi ilmu relevan dengan tingkat kebijaksanaan seseorang. Seseorang mengetahui risiko dari tindakan yang diambil untuk menentukan perilaku baik dan buruk. Kebodohan akan menciptakan sikap gegabah yang berpotensi menyimpang dari nilai yang dianut masyarakat. Konsekuensinya adalah hukum dan pengucilan di lingkungan sosial.

Kebijaksanaan bukan ilmu teraapan yang bisa diajarkan di pendidikan formal. Perlu kemampuan memahami ilmu dan pengalaman hidup. Selain itu, lingkungan dan agama juga punya andil besar membentuk manusia yang bijaksana. Bijaksana bisa diartikan perilaku berkorban demi kemanfaatan. Merduksi ego dan nafsu untuk kekayaan, popularitas, dan kekuasaan.

Namun sikap kebijaksanaan segelintir orang juga akan luntur ketika melihat yang lain melakukan praktek amoral sebagai kebiasaan. Sehingga sistem moralitas harus direvolusi dengan ancaman hukum yang sekiranya membuat jera pelaku kriminal. Lemahnya hukum berpotensi menyebarkan perilaku kejahatan di masyarakat. Dampaknya, ilmu digunakan sebagai alat mengakali hukum, bukan untuk bersikap menjadi lebih bijaksana.

 

Baca Juga : Ilmu (untuk) Pengetahuan

Nalar kebijaksanaan

Nalar kebijaksanaan (Vernunft-Weisheit) lebih dari sekedar nalar keilmuan. Kecerdasan seharusnya mengabdi pada kebaikan komunal. Manusia butuh proses komunikasi untuk melatih berpikir dan berpendapat secara jelas dan sistematis. Dengan nalar kebijaksanaan, orang belajar untuk memilah beragam informasi dan memilih pengetahuan yang ada.

Untuk mencapai level kebijaksanaan, seseorang harus banyak menerima bentuk informasi kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan kata dan kalimat. Informasi tersebut diolah menjadi pengetahuan yang bisa digunakan untuk motif kebaikan atau kejahatan. Setelah itu mencapai kebijaksanaan yang memadukan informasi dan pengetahuan untuk kebermanfaatan. Akar pengambilan keputusan tidak hanya didasarkan pada informasi dan pengetahuan, tetapi juga pada kesadaran.

Puncak dari kebijaksanaan adalah kesadaran cinta yang selaras dengan moralitas. Menguasai kecerdasaan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual untuk berkata dan berperilaku sesuai nilai yang dipegang. Sehingga ada tugas berat meningkatkan kualitas sumber daya manusia menggunakan nalar kebijaksanaan. Ketidaksadaran bertindak mengacaukan tatanan personal dan sosial. Berdampak pada konflik hingga kekerasan.

Kebijaksanaan tidak efektif diajarkan selain refleksi untuk memperbaiki diri. Memperbanyak informasi dan memperluas pengetahuan. Kebijaksaan relatif dilakukan setiap individu, namun inti kebijaksanaan adalah keputusan yang mengutamakan kebaikan bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga orang lain.

Kebijaksanaan tidak akan tercapai jika masih banyak kebodohan, kemalasan, dan pengalaman nilai yang buruk. Apalagi pemimpin atau pejabat yang membudidayakan perilaku kriminal (melanggar hukum) dan menjadi pelajaran bahwa perilaku tidak bijaksana sudah biasa. Darurat kebijaksanaan akan menular dan diteruskan oleh generasi berikutnya yang berdampak pada penghancuran bangsa.

Pengaruh lingkungan, lemahnya iman, dan keterbatasan pengetahuan menjauhkan manusia dari sikap bijaksana. Keadilan mustahil dicapai jika orientasi kebijaksanaan ditutup kepentingan. Menjadi manusia egois dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Kejahatan merajalela, kebaikan disembunyikan. Di tengah membanjirnya informasi, manusia semakin sulit memilah pengetahuan dan kehilangan kebijaksanaan.

Banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan mulai dari penataan sistem pendidikan, revolusi budaya, hingga penguatan nilai keagamaan. Kebijaksanaan moralitas merupakan pondasi kemajuan bangsa menghadapi ancaman industri teknologi.***

  Fajar Labatjo alias Fajar Sadboy menjadi populer di berbagai platform digital karena keberuntungannya menjual kesedihan. Ia diketahui seba...

 

Eksploitasi Kesedihan

Fajar Labatjo alias Fajar Sadboy menjadi populer di berbagai platform digital karena keberuntungannya menjual kesedihan. Ia diketahui sebagai remaja asal Gorontalo yang patah hati ditinggal pacarnya. Meski terkesan receh, konten kesedihan tersebut banyak diminati masyarakat Indonesia yang suka tertawa di atas kesedihan orang lain.

Selain Fajar Sadboy, musibah yang dialami artis Indra Bekti juga menjadi fenomena kesedihan yang mencoba dieksploitasi media. Upaya istrinya, Aldila Jelita yang menjual kesedihan dengan meminta sumbangan untuk pengobatan suaminya mendapat nyinyiran warganet. Setidaknya ada dua kasus kesedihan yang diperlakukan dengan sikap berbeda, meski keduanya minim mendapat empati masyarakat.

Kesedihan adalah aktivitas privasi yang seringkali dipublikasikan. Bahkan beberapa di antaranya butuh atensi untuk memerkan kesedihannya kepada orang lain. Dari kesedihan akan muncul penderitaan yang lahir dari pikiran, meski sifatnya sementara. Kita sulit menjadi pengamat yang netral melihat kesedihan orang lain karena ketidakmauan belajar dari penderitaan.

Kita harus membiasakan diri menerima kesedihan sebagai bagian dari hidup agar mudah berempati terhadap kesedihan orang lain. Bukan dengan cara mengolok-olok atau mengeksploitasi kesedihan seseorang dengan menjadikannya bahan konten. Kesedihan (duka) muncul akibat pikiran belum siap menerima perubahan besar yang tidak sesuai dengan ekspektasi (harapan).

Kesedihan bisa menimbulkan rasa kecewa, marah, dan perasaan tidak berdaya. Mereka yang tidak siap dengan kehadiran kesedihan akan mudah menyesal dan berdampak pada tindakan menyalahkan diri sendiri. Kesedihan seharusnya membutuhkan motivasi dari orang lain, bukan malah mempermalukannya di depan publik.

Semua orang memimpikan kebahagian sesuai pandangan (Rousseau, 1979) bahwa manusia punya modal berbahagia seperti halnya anak kecil sebelum diprogram oleh keluarga dan lingkungan sosialnya. Anak kecil menjalani hidup apa adanya, tanpa ada harapan dan ketakutan yang berlebihan pada hidup.

Manusia dikepung krisis penderitaan, kekecewaan, harapan, dan rasa bersalah. Muaranya adalah tindakan pelampiasan yang berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Kita jarang belajar memaafkan dan mengikhlaskan. Sementara budaya membentuk sikap individualistik yang berbahagia melihat kesedihan orang lain.


Baca Juga : Budaya Insecurity Bangsa

Trauma Sosial

Perilaku mengontenkan kesedihan orang lain cukup menarik dari sisi hiburan dan komersial. Banyak buku, film, dan lagu menjadi populer dengan tema kesedihan. Hal tersebut karena masyarakat banyak yang relate dengan emosi kesedihan. Seolah rasa sedih mendominasi perjalanan hidup manusia daripada rasa bahagia.

Kondisi mental yang akrab dengan kesedihan mendorong sikap traumatis. Ketika kesedihan dikonsumsi publik, perasaan tersebut akan menjadi duka kolektif karena belum rampungnya kesedihan diri sendiri. Kesedihan yang menghasilkan trauma menjadi distorsi yang membekukan sebuah peristiwa negatif.

Trauma adalah bekas luka dari suatu peristiwa negatif di masa lalu. Manusia tidak cukup untuk berempati dan bersimpati dalam situasi kesedihan. Terlihat hanya naluri hewani manusia melihat sesamanya menderita. Semakin parah korban mengalami luka, semakin bergairah kita mengamatinya. Secara psikologis, trauma adalah proses penghayatan subjektif-negatif atas suatu peristiwa yang objektif.

Semua bentuk trauma personal akibat kesedihan dialami secara konkret oleh individu singular, tetapi akibat dari trauma akan terasa di dalam resonansi rasa kemanusiaan. Secara sosial, kesedihan tidak lagi dipandang sebagai trauma kolektif yang membutuhkan empati dan simpati dari yang lain. Namun secara tidak disadari, manusia dihantui kesedihan kolektif yang kerap bersembunyi di balik ekspresi kebahagiaan.

Mengolok-olok kesedihan orang lain merupakan sikap ketidakmampuan manusia mengendalikan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dalam dirinya. Dalam alam bawah sadarnya, kesedihan orang lain adalah teman yang sama-sama menjalani trauma. Bekas kesedihan masa lalu akan membawa manusia pada dimensi suka mencelakakan orang lain dan bahagia melihat kesedihan yang dialami.

Dampak trauma sosial akan membawa manusia pada bentuk prasangka negatif terhadap etins, agama, dan kelompok minoritas. Kemudian faktor politik, ekonomi, dan benturan budaya melahirkan konflik dan sikap amoral di masyarakat.

Entitas sosial tidak berupaya menyembuhkan kesedihan orang lain, namun justru mengeksploitasinya. Trauma seharusnya dihilangkan (dilupakan), tetapi sebagian orang justru memaksa korban mengingat kembali masalah yang pernah dialaminya. Mengoontenkan dan mengomersilkan untung keuntungan pribadi. Anehnya, aktivitas tersebut justru dijadikan hiburan publik.

Perundungan sosial atas kesedihan orang lain menjadi potret kemanusiaan saat ini. Meski dianggap remeh, setiap orang punya tingkat kesedihan masing-masing terhadap realita yang dialaminya. Kadang membekas dan menjadi trauma. Namun kebanyakan, masyarakat tidak mempedulikan perasaan korban selain menjadi bahan komedi di ruang publik.***

  Simbol-simbol kejawaan dalam beberapa logo peringatan hari besar dan konsep kenegaraan memicu adanya isu jawanisasi terhadap Indonesia. Do...

 

Tata Tentrem Karta Raharja

Simbol-simbol kejawaan dalam beberapa logo peringatan hari besar dan konsep kenegaraan memicu adanya isu jawanisasi terhadap Indonesia. Dominasi suku dan budaya Jawa yang direpresentasikan dalam berbagai bidang industri memantik konflik nasional tentang nilai kebinekaan atau kesatuan negara. Sementara realita multikulturalisme merupakan kekuatan Indonesia dalam menghadapi tatangan peradaban.

Pengaruh kejawaan juga masuk dalam ranah politik ketika pemimpin partai dan presiden didominasi orang berasal dari suku Jawa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia merupakan orang Jawa. Kemudian diimplementasikan dalam kebijakan yang difokuskan di Pulau Jawa dan menyebabkan kesenjangan pembangunan sumber daya.

Motif politis yang berkaitan dengan hak suara dalam pilihan pemimpin membuat daerah di luar Jawa kurang mendapat atensi dari pemerintah. Meskipun Jokowi mencoba mengubah persepsi jawanisasi dengan program kebijakan pembangunan yang mulai banyak di luar Pulau Jawa, nyatanya masih banyak ketertinggalan infrastruktur dari segi teknologi dan informasi.

Iklan dan promosi Jawa bukan berarti mendukung sistem jawanisasi di Indonesia, melainkan untuk mengenalkan Jawa sebagai pandangan hidup yang menarik untuk diajarkan sebagai kebudayaan. Tidak menutup kemungkinan juga bagi suku lain di Indonesia untuk melakukan promosi serupa untuk menambah khasanah kebudayaan nusantara.

Tujuannya untuk mengimplementasikan kebudayaan domestik agar tidak gampang diintervensi kebudayaan asing. Kemajuan teknologi digital dan keterbukaan informasi berpotensi menghilangkan kebudayaan Indonesia yang mulai masuk dalam ruang industri hiburan, sistem politik, dan nilai-nilai keagamaan. Semangat mencintai kebudayaan asal akan memberikan motivasi melindungi negara dari ancaman penjajahan kebudayaan asing.


Baca Juga : Nasib Kesenian Tradisi di Tengah Pandemi

Kosmologi Jawa

Kosmologi Jawa merupakan konsep mengenai kehidupan mistis masyarakat Jawa yang dipadukan dengan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural di luar dirinya, kekuatan alam maupun Tuhan (Pitana, 2007). Alam semesta disebut jagad gedhe (makrokosmos), sedangkan jagad cilik (mikrokosmos) merupakan representasi dari manusia.

Orang Jawa melihat tidak adanya perbedaan antara sikap religius, sikap terhadap alam, dan interaksi sosial di masyarakat yang tujuannya untuk menciptakan keadaan sejahtera, tentram, selaras dengan alam dan masyarakat. Harmonisasi terhadap keberadaan manusia, alam, dan Tuhan membuat orang Jawa mudah diterima dalam konsep ideologi sosial di suku-suku lain di Indonesia.

Harapan terhadap kedamaian dan keadilan membuat orang Jawa mudah menerima perbedaan. Tidak suka konflik dan perpecahan dengan tetap mengutamakan sikap paseduluran. Di sisi lainnya, orang Jawa bisa memposisikan diri untuk selalu menerima keadaan dengan kesederhanaan dan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Ketertataan sosial dan lingkungan menjadi cita-cita masyarakat Jawa.

Sementara dalam pandangan personal, orang Jawa berpijak pada cipta, rasa, karsa, dan karya. Cipta yang berorientasi pada pikiran dan pengetahuan. Rasa berpijak pada hari dan moral. Karsa berpijak pada niat dan kehendak. Sedangkan karya hasil dari pikiran dan perilaku yang dilandaskan pada kemanfaatan personal dan sosial. Pikiran, hati, dan tekad merupakan falsafah hidup leluhur masayarakat Jawa.

 

Baca Juga : Ajaran Falsafah Serat Wedatama

Tata Tentrem Karta Raharja

Suasana tata titi tentrem kerta raharja merupakan salah satu dari banyak falsafah Jawa dalam melihat fenomena sosial dan kemasyarakatan. Tata mempunyai makna keteraturan, tentrem mempunyai arti ketenangan, kerta mempunyai arti kesejahteraan, dan raharja mempunyai arti keselamatan. Secara umum, orang Jawa mengharapkan agar manusia bisa menjalani hidup dengan tenang, tentram, dan bahagia.

Falsafah ini relevan dengan kondisi sosial Indonesia ketika ketergantungan terhadap dunia digital memicu banyak konflik. Permainan narasi informasi membawa kehidupan sosial yang jauh dari ketenangan. Politik yang konsisten menciptakan ketegangan dan ketidakaturan bermasyarakat. Belum lagi perilaku terhadap lingkungan alam yang menjadi ancaman generasi mendatang dengan berbagai polusi dan bencana alam.

Tata tentrem karta raharja merupakan falsafah luhur tentang kesediaan manusia menghormati alam yang kemudian berimplikasi pada nilai-nilai spiritualitas. Ancaman global dari sisi budaya dan politik-ekonomi perlu diantisipasi dengan menguatkan pola kebudayaan yang masih relevan dengan perkembangan zaman.

Lunturnya moralitas merupakan keprihatinan pada kesatuan kosmos dalam ajaran kemanunggalan masyarakat Jawa. Mulai menghilangnya norma sopan santun dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang membuat perilaku hukum terkesan dominan. Manusia modern dalam bayang-bayang ketidaktahuan jati diri yang kemudian hobi mereplika gaya hidup dan perilaku orang atau kebudayaan lain.

Sementara pemerintah merupakan variabel utama dalam mewujudkan cita-cita tata tentrem karta raharja. Punya otorisasi mengatur dan membatasi pola perilaku masyarakat yang menyimpang dari ajaran kebudayaan bangsa. Mengutamakan keadilan dalam bidang pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia. Sementara saat ini, ekonomi masih menjadi parameter kesuksesan negara dengan risiko penghancuran alam, konflik antar-golongan, dan hegemoni politik praktis.

Pendidikan yang seharusnya mengajarkan banyak ajaran falsafah bangsa terkikis oleh sistem modernisasi yang berfokus pada peniruan, hafalan, dan kepatuhan. Pelajar dimatikan daya cipta, rasa, karsa, dan karyanya. Sementara agama yang mengatur moralitas umat malah menjadi sarana legalisasi kekerasan, perdebatan, dan peperangan.***

  Dalam agama Islam, manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan dalam kebenaran. Sementara ego manusia kerap memaksakan k...

 

Habituasi Dogma Kebudayaan

Dalam agama Islam, manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan dalam kebenaran. Sementara ego manusia kerap memaksakan keyakinan terhadap sesuatu yang dianggap benar kepada orang lain. Budaya tersebut berpengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat yang mudah berkonflik untuk saling menyalahkan atau merendahkan yang lain.

Pembiasaan terhadap pemaksaan kehendak mengabaikan nilai moralitas. Budaya bangsa tidak lagi dibangun atas aspek kemanusiaan tentang makna kebermanfaatan selain keuntungan pada diri dan kelompok sendiri. Degradasi moralitas kemudian difasilitasi media sosial yang berpotensi pada sikap ketersinggungan dari orang lain.

Kasus sara, penyebaran hoaks, dan perundungan digital menjadi bahan utama manusia berlomba untuk mengalahkan satu sama lain. Perkawanan (persaudaraan) dikontradiksikan dengan perlawanan. Berbeda pandangan atau ideologi kelompoknya, berarti musuh. Sementara keyakinan terhadap keyakinan dilandaskan pada dogma yang dipengaruhi oleh sikap tokoh idola, lingkungan, dan referensi informasi.

Dogma tentang keyakinan akan kebenaran dipupuk dari proposisi informasi dari orang lain yang dianggap standarisasi kebenaran. Keyakinan tersebut kemudian menjadikan kebiasaan yang ketika disalahkan akan melawan. Sehingga konflik bukan didasari atas perebutan kebenaran, melainkan mempertentangkan keyakinan.

Keyakinan itu muncul dari budaya di lingkungan yang menyepakati kebenaran. Bahkan tanpa mengetahui esensi dari habituasi budaya yang diyakini. Keyakinan terhadap kebenaran yang tidak dilandasi pada argumentasi yang kuat. Selain itu, keyakinan juga ditemukan atas dasar otoritas tokoh, kelompok, atau ideologi. Ada juga keyakinan akan kebenaran yang berasal dari pengalaman diri. Pencarian kebenaran dari jalur intuisi. Terakhir pencarian kebenaran melalui jalur sains yang diteliti berdasarkan metode ilmiah.

Kasus amoral di media sosial yang melibatkan ibu negara menjadi tamparan nilai kebudayaan yang diusung bangsa. Sebelumnya, pelecehan dan penghinaan terhadap presiden, politikus, ulama, dan artis cukup berpengaruh terhadap persepsi keyakinan terhadap nilai yang dipegang. Guncangan asosial untuk berlindung di balik tirai demokrasi (kebebasan).

Selanjutnya berbagai kasus viral tentang perundungan yang melibatkan pelajar. Dilematis hukum tentang perilaku kriminal anak di bawah umur menyadarkan masalah fundamental habituasi kebudayaan sejak kecil. Dogma tentang parameter moralitas dan keyakinan yang dipengaruhi oleh lingkungan melecut mental amoral masyarakat.

Nilai-nilai luhur budaya dikikis oleh pengaruh budaya asing dan konsep liberalisme yang menghendaki kebebasan manusia tanpa hukum dan aturan yang mengikat. Dorongan informasi di media digital juga menguatkan dogma terhadap argumentasi kebenaran yang diyakini. Konflik dijadikan strategi membuktikan kebenaran yang di antaranya diaktualisasikan melalui perilaku kekerasan.

Namun banyak masyarakat yang tidak menyadari kebenaran yang sedang diyakininya. Menghibahkan permasalahan kepada orang lain tanpa sudi disalahkan atau dituduh keliru. Persaudaraan hanya terjadi di lingkup kelompok yang sesuai dengan proposisi kebenaran yang diyakini. Sementara orang atau kelompok yang berseberangan akan dimusuhi dan dilawan dengan menghalalkan berbagai cara.

Dogma tentang kebenaran mudah diciptakan ketika keresahan dan cita-cita yang dituju sama. Atas dasar persaudaraan, dogma menular lebih luas di ruang publik dan membangun kebiasaan dalam meyakini sesuatu. Dogma tersebut kemudian diaktualisasikan dengan sikap amoral di media maya maupun nyata. Membudaya dan menciptakan konflik permanen.

Manusia post-modern susah menemukan sumber kebenaran dari pengalaman selain menyandarkan pada dogma orang lain. Mudah terepngaruh dan mengikuti arus kebenaran yang lain. Padahal setiap orang punya kualitas dan parameter kebenaran sendiri. Namun seringkali malas menemukan kebenaran dan memilih meyakini kebenaran dari persepsi lain di luar dirinya.

Kebudayaan dibangun atas dasar kebiasaan masyarakat dalam meyakini sebuah nilai. Sementara media sosial berperan menciptakan kebudayaan baru menularkan dogma yang kadang tidak relevan dengan moralitas budaya sebelumnya. Implikasinya adalah menurunya nilai moral dan lunturnya norma sosial. Konflik sengaja diciptakan untuk menambah gairah masyarakat dalam menilai sesuatu.

Pemerintah yang punya peran menciptakan suasana kondusif di masyarakat malah sering terlibat dalam narasi konflik dengan perkataan, sikap, dan kebijakan yang berpotensi mengarah pada ketidakadilan. Sementara media berperan mengembangkan isu dan menyebarluaskan sebagai kesatuan dari pembangunan perubahan kebudayaan yang amoral.

Bukan hanya perkara politik, agama juga punya sumbangsih dalam pembangunan kebudayaan. Perbedaan tidak dipandang sebagai khasanah keilmuan, namun menjadi sumber konflik mencederai yang lain. Tidak menerima dan memaksakan keyakinan akan kebenaran kepada orang atau kelompok yang lain. Sehingga agama terkesan sebagai alat untuk melegalkan konflik dan kekerasan.

Sedangkan ulama yang punya peran sentral mengajarkan dogma kebaikan, beberapa di antaranya malah mengajarkan fanatisme untuk menyalahkan yang lain. Budaya purifikasi agama yang coba diterapkan memicu pertentangan ideologi yang bermuara pada permusuhan. Tidak ada lagi nasihat berlomba-lomba dalam kebaikan, selain berlomba-lomba saling mengalahkan.

Menjadi pekerjaan rumah yang besar mengikis sikap amoral masyarakat yang sudah terjadi sejak dini. Pelajar yang semestinya mendapatkan pendidikan moral malah melakukan tindakan amoral berupa perundungan dan kriminalitas. Menyalahkan media sosial sebagai sarana penyebaran informasi hanyalah dalih ketidakmampuan negara mengontrol budaya masyarakat.***

Akulturasi budaya dengan sentuhan teknologi informasi mempengaruhi perubahan sosial dan budaya suatu bangsa. Kemajuan teknologi terakumulasi...

algoritma sosial budaya

Akulturasi budaya dengan sentuhan teknologi informasi mempengaruhi perubahan sosial dan budaya suatu bangsa. Kemajuan teknologi terakumulasi dalam tren media sosial dengan aplikasi berbasis internet yang membangun dasar ideologi dan teknologi Web 2.0. Memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content setiap penggunanya.

Setiap orang dapat berpertisipasi memberi kontribusi secara terbuka dengan komentar dan membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Perubahan sosial yang mengajak masyarakat terjun ke dunia virtual berdampak pada sensitivitas konflik. Kemudahan melemparkan isu atau wacana yang berpotensi menciptakan perdebatan di ruang publik (media sosial). Dijadikan alat beriklan atau berkampanye dalam motif ekonomis maupun politis.

Perubahan sosial sebab media sosial dalam struktur masyarakat dapat mempengaruhi pola interaksi di dalam suatu yang dapat membangun karakter manusia menuju proses yang lebih baik atau malah sebaliknya. Teknologi informasi menginginkan kemudahan aktivitas manusia mulai dari metode berkomunikasi, berbelanja (transaksi daring), hingga hiburan virtual. Kebutuhan efisiensi memaksa media sosial menyajikan berbagai fitur sesuai keinginan pengguna.

Budaya bermedia sosial menyebabkan masyarakat terikat (candu) yang berimplikasi pada rendahnya interaksi sosial secara luring, aktivitas sosial (gotong royong), hingga pengambilan keputusan berdasarkan musyarawarah mufakat. Meskipun media sosial mencoba menawarkan interaksi mendekati realitas kehidupan, nyatanya kecanggihan teknologi malah dimanfaatkan beberapa oknum untuk menyebarkan hoaks, meretas, merundung, dan menciptakan konflik sosial.

Media sosial mampu membentuk karakter masyarakat menjadi semangat berkonflik pada kenyataan semu. Memperdebatkan kebenaran relatif dan fiktif. Menjadi candu yang mempengaruhi kebiasaan dan pengambilan keputusan personal. Bahkan, sikap fanatisme yang berujung pada narasi kebencian dan perpecahan. Masifnya pengaruh media sosial menyulitkan kontrol pemerintah terhadap kebebasan berekspresi pada negara yang menganut asas demokrasi.

Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Meningkat sekira 12,35% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Artinya, jumlah pengguna media sosial di Indonesia pada awal tahun 2022 setara dengan 68,9 persen dari total populasi. Fakta tersebut mengindikasikan betapa berperan media sosial untuk mempengaruhi perubahan sosial suatu negara.

 

Baca Juga : Benturan Sosial Dunia Digital

Sistem Algoritma

Media sosial juga mulai mempunyai andil menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan berita-berita. Masyarakat, khususnya generasi milenial, perlahan meninggalkan eksistensi media radio, koran, hingga televisi. Industri gadget meningkat pesat yang dipengaruhi kebutuhan masyarakat terhadap internet. Media sosial menawarkan informasi yang aktual dan faktual.

Risiko dari kecanduan gawai pada masyarakat adalah kekuatan kapitalis industri teknologi dalam memainkan peran mengatur sistem sosial dan kebudayaan masyarakat secara universal. Negara berkembang yang menggantungkan roda perekonomian dan interaksi sosial pada media sosial menjadi alat untuk mempengaruhi masyarakat agar melakukan perilaku sosial sesuai yang diinginkan.

Dalam pemograman media sosial terdapat algoritma untuk menentukan bagaimana sekelompok data berperilaku. Tujuannya membantu menjaga ketertiban dan menentukan peringkat hasil pencarian atau iklan. Di aplikasi TikTok misalnya, warganet cukup familiar dengan istilah For Your Page (FYP) sebagai indikator popularitas konten dan fitur rekomendasi dari media sosial yang bersangkutan.

Alogratima media sosial mampu menggiring opini warganet untuk bersikap fanatik terhadap kelompok atau golongan yang disetujui dan juga sebaliknya. Sehingga media sosial mempengaruhi budaya masyarakat untuk lebih gampang berkonflik secara virtual. Masyarakat sulit diberikan pilihan untuk melihat sudut pandang orang atau kelompok lain yang berbeda pilihan.

Dalam kontestasi politik, algoritma bisa memupuk kecintaan dan kebencian yang berdampak pada pembentukan politik identitas. Iming-iming kecanggihan teknologi secara tidak sadar mampu menciptakan iklim konflik yang berujung pada perpecahan. Negara yang tidak mampu mengontrol pengaruh media sosial akan berisiko menyebabkan kehancuran sistem sosial, politik, dan budaya bangsa.

Di China, tahun ini pemerintah membentuk Badan Siber China sebagai regulator mengenai pembatasan pada algoritma konten untuk melarang praktik yang mendorong kecanduan daring dan aktivitas apa pun yang membahayakan keamanan nasional atau mengganggu ketertiban sosial. Algoritma media sosial harus mematuhi nilai-nilai arus utama dan secara aktif menyebarkan energi positif. Algoritma dianggap menjadi inti dari konflik dan kontroversi politik di seluruh dunia.

Sementara di Indonesia, pemberlakuan kebijakan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menuai pro dan kontra dari warganet. Tujuannya untuk kedaulatan digital yang diaplikasikan dalam perlindungan data pengguna, kelayakan sistem teknologi, dan penegakan administrasi hukum regional. Namun fokus algoritma media sosial masih belum mendapat atensi dari pemerintah. Karakter bangsa bisa diciptakan dari intensitas penggunaan gadget dan media sosial.

Ancaman perubahan sosial yang bisa berdampak pada perilaku kriminalitas, pergaulan bebas sejak dini, hingga fanatisme kelompok yang berpotensi pada peperangan. Penggunaan media sosial seolah menjadi tanggung jawab mutlak diri sendiri atau orang tua untuk melindungi anaknya dari pengaruh negatif algoritma. Sementara tanpa pengawasan, setiap warganet akan diiming-imngi tontonan konten seksualitas, kekerasan, dan informasi palsu di media sosial.

Apalagi mayoritas pengguna media sosial adalah generasi Y (milenial) hingga generasi Z yang rentan terhadap doktrinasi dan sikap fanatisme berlebihan. Banyak orang tua mengeluhkan visualisasi media sosial yang mempertontonkan konten seksualitas dan adegan kriminalitas. Tanggung jawab semua pihak untuk konsisten membatasi kelayakan konten media sosial agar tidak merusak kepribadian bangsa yang adi luhur.

 

Baca Juga : Harmonisasi Kemanusiaan

Dampak

Perubahan berimplikasi terhadap goncangan sosial dan kebudayaan. Kehadir internet dengan segala turunan teknologinya membawa revolusi yang menghapus kebudayaan asli suatu daerah. Krisis identitas menjadi problem yang sering ditemua generasi milenial. Banjir informasi membuat masayarakat bingung dan malas berpikir. Dampak kemajuan industri teknologi informasi justru merusak tata hidup bersama.

Pembentukan kebudayaan atas dasar algoritma media sosial membuat sifat egoisme dan individualisme berkembang begitu cepat. Hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Hubungan manusia sebatas transaksional untung-rugi dan budaya berkorban atau salaing tolong-menolong hampir punah.

Eksistensialisme dengan motif popularitas dan ekonomi menjadi alasan fundamental memanfaatkan media sosial. Orang bisa saling menipu satu sama lain dan berusaha untuk selalu mempercantik diri dengan tampilan visual kemewahan dan kesuksesan. Kepalsuan virtual menjadi budaya yang menjerat kehidupan manusia modern. Media sosial menjadi wadah mengumbar badan dan menjual diri tanpa sikap kesantuan dan kesopanan dalam indikator kebudayaan Nusantara.

Pencitraan merupakan budaya baru di era teknologi digital. Citra berarti abstraksi dari realita yang dibangun atas sekumpulan informasi yang diperoleh dari sumber tertentu. Sehingga pijakan pencitraan adalah persepsi dengan bayangan realita. Sementara banyak persespsi atau anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Dampak sosial yang terjadi adalah kehilangan sikap empati dan nilai-nilai kekeluargaan. Manusia hanya menjadi artis yang memerankan orang lain agar dianggap sesuai ekspektasi yang diinginkan. Manusia kehilangan cinta yang semula fitrah dan berganti dengan kebencian yang mudah menular dan diajarkan.***

Seringkali kita mencari cinta di tempat yang salah. Suatu pengalaman yang tidak dapat dialami sepenuhnya dalam hidup seperti perasaan aman, ...

Antara Cinta dan Fanatisme

Seringkali kita mencari cinta di tempat yang salah. Suatu pengalaman yang tidak dapat dialami sepenuhnya dalam hidup seperti perasaan aman, perasaan diakui dan diterima, serta perasaan bahwa kita adalah bagian dari sesuatu. Tujuan dari cinta untuk mendapatkan kebutuhan kebahagiaan jiwa, bukan hanya tentang kebutuhan jasmani.

Dalam konsep mencintai, ada kondisi menerima dan memberi. Pemberian bukan semata diartikan dari ketulusan bentuk material, namun juga ekspresi kualitas emosional yang positif, seperti kesabaran, ketulusan, pengertian, dan pengampunan. Kegagalan memahami cinta kadang diaktualisasikan dalam perilaku kekerasan dengan dalih pendidikan dan peringatan.

Seiring perkembangan zaman, cinta mulai mengalami degradasi makna seputar dunia seksualitas. Padahal cinta ada yang melibatkan nafsu (eros), berbentuk persaudaraan dan persahabatan (philia), dan yang siap berkorban (agape). Itu merupakan pondasi paling dasar mengenai bentuk cinta empatik. Masih melibatkan rasa dan emosi.

Sementara puncak cinta adalah ajaran tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Membuka mata dan menawakan pengetahuan tentang realitas kehidupan. Tidak ada keterikatan, keromantisan, dan keintiman. Di antara pasangan punya hak menentukan tujuan dan pilihan hidup masing-masing. Hasilnya adalah kesadaran tentang pandangan keadilan sosial.

Cinta bisa tumbuh dari hubungan yang intensif. Ketika memutuskan mencintai, seseorang akan terlibat dalam sisi emosional pasangan. Tidak hanya mencintai karena peran positifnya, namun juga menerima kisah traumatisnya. Cinta tidak mengenal kalkulasi pemberian untuk mendapat untung dari pengorbanan pasangan.

Kasih universal mengajarkan tentang metode sederhana mencintai akan sebuah perbedaan. Memperluas objek cinta untuk membangun peradaban saling mencintai dan dicintai. Sebab cinta adalah fitrah, sementara kebencian diajarkan. Demokrasi menerpkan konsep dunia cinta dengan tidak yang mengharapkan orang lain untuk bertindak sesuai keinginan kita, melainkan berusaha untuk melampaui dirinya sendiri dengan mencintai orang lain yang seolah tak dapat dicintai.


Baca Juga : HAM dan Nikah Beda Agama

Fanatisme Sosial

Ketika kampanye mencintai urung diterima masyarakat, muncul masalah baru tentang kegagalan mengontrol sikap kecintaan terhadap seseorang atau sesuatu. Ketidaksadaran manajemen cinta yang mengarah pada fanatisme malah berujung perpecahan. Politik identitas adalah contoh dampak dari brutalnya fanatisme memperjuangkan tokoh atau kelompok yang dicintai.

Ekspresi mencintai diaktualisasikan secara cacat dengan serangan kebencian terhadap tokoh atau kelompok lain. Cinta menjadi nilai yang salah secara moral dan juga epistemologis, bahkan juga dapat menciptakan penderitaan. Transformasi digital mempengaruhi esensi cinta yang dibangun lewat narasi media, bukan pada kondisi hubungan saling keterikatan dan keterlibatan.

Sementara dalam agama, fanatisme atau yang sering disebut taklid menjadi alat mempertentangkan perbedaan. Menciptkan konflik untuk saling menyalahkan satu sama lain. Mereka yang terikat pada pandangan ideologi, keterlibatan dalam kelompok, dan pengaruh framing media akan melakukan segala cara untuk mengalahkan atau menghancurkan satu dengan yang lain.

Metode kecintaan yang melebihi batas pada sikap fanatisme kadang malah melegalkan kebencian, perdebatan, hingga pembunuhan (terorisme). Agama yang seharusnya mengajarkan cinta kasih secara universal dilucuti oleh sebagian kelompok yang seolah merasa berperilaku membela ajaran agama.

Kebencian mudah diajarkan dan ditularkan kepada orang lain. Sementara mengajarkan cinta butuh etos untuk sama-sama berkorban menyatukan perbedaan. Kebencian yang terlalu panjang menyebabkan perpecahan dan harus menjadi kesadaran masyarakat yang mencita-citakan kesejahteraan dan nilai-nilai keadilan. Kebencian bukan hanya menyiksa batin seseorang, namun juga kondisi sosial yang penuh penderitaan.

Mencintai adalah relasi paling suci dan agung di alam semesta. Tuhan menciptakan manusia karena cinta, semesta bergerak karena cinta, dan peradaban berkembang karena cinta. Mencintai itu perkara mudah karena cinta merupakan modal dasar yang dimiliki manusia. Namun kadang manusia tidak bisa menakar kadar cinta yang perlu diekspresikan.

Fanatisme adalah jebakan kecintaan yang membuat kesumpekan emosi, kecacatan berpikir, dan kegagalan membaca realita sosial. Dari fanatisme kadang menciptakan konflik yang berujung pada perceraian, putus tali persaudaraan, dan peperangan. Apalagi fanatisme yang sudah tidak lagi melihat kesempurnaan objek yang dicintai, melainkan melihat keburukan objek yang dianggap menyaingi atau mengalahkan objek yang dicintai.

Hasilnya adalah kebencian dan ajakan kebencian yang dikemas dalam narasi politis. Membicarakan keburukan orang atau kelompok lain menjadi budaya yang menggairahkan, sementara menceritakan kebaikan orang atau kelompok lain dianggap sesuatu yang tabu untuk dibahas. Mungkin suatu saat, dunia sudah tidak lagi mengenal cinta selain kebencian dan penindasan.***

  Akhir ini, lini masa Twitter ramai dengan perdebatan seputar komedi yang menyinggung aspek feminsime. Dimulai dari cuitan Popon Kerok (@po...

 

Ulah Komedi Feminisme

Akhir ini, lini masa Twitter ramai dengan perdebatan seputar komedi yang menyinggung aspek feminsime. Dimulai dari cuitan Popon Kerok (@poponkerok), “feminis sejatinya hanyalah sekumpulan cewek males dan ribet.” yang berdampak pada hilangnya kontrak kerja dengan salah satu brand. Popon menganggap bahwa cuitannya tentang feminisme sejatinya tidak menjadi sorotan publik apabila tidak ada serangan masif dari sebagian orang.

Belum kelar konflik Popon dengan gerakan feminisme di Indonesia, muncul sosok baru Patra Gumala (@patragumala) sebagai bentuk solidaritas sesama komika (sebutan pelaku stand up comedy). Ia menawarkan beberapa potongan video tentang feminisme, termasuk menganalogikan parkir khusus perempuan dengan parkir khusus difabel. Patra mempertanyakan esensi eksklusivitas perempuan dalam hal parkir memarkir yang tidak punya tendensi pelecehan seksual seperti pengkhususan gerbong penumpang transportasi umum.

Dua konteks cuitan mengenai feminisme yang dibungkus dengan narasi komedi membuat warganet punya perspektif yang unik dan menarik mengenai kasus tersebut. Dari pihak yang mendukung, komedi adalah soal selera yang di dalamnya ada konsekuensi atas apa yang disampaikan di atas panggung (ruang publik). Dari pihak lain mengatakan bahwa kebebasan berkespresi menjadi dalih perilaku kelompok superior mengejek kelompok inferior yang dapat menyebabkan konflik sosial.

Dalam kasus feminisme, komika memberikan opini dari sudut pandang pria yang menjadi subjek “mengolok-olok” perempuan sebagai objek. Pihak perempuan pun sebenarnya punya ruang untuk menyampaikan keresahannya kepada pihak pria. Namun faktor dominasi panggung (ruang publik) yang dimiliki pria membatasi ruang perempuan untuk melempar opini balik.

Misalpun ada kesempatan, ajang adu argumen saling merendahkan kelompok lain tidak akan pernah berakhir. Dampaknya adalah kesenjangan sosial yang mengarah pada konflik kekerasan. Sementara masih banyak yang tidak sadar bahwa internet atau media digital merupakan sarana mengekspresikan gagasan atau opini yang pasti dikonsumsi oleh publik. Sehingga risiko ketersinggungan dan ancaman nonverbal gampang dialami oleh pelaku yang dianggap menyerang pihak lainnya.

Sedangkan pencarian kebenaran atas opini yang disampaikan tidak akan pernah bertemu sebab kebenaran yang sudah bersinggungan dengan manusia akan hilang. Kebenaran yang dilihat akan menjadi perspektif dan kebenaran yang diucapkan akan menjadi opini. Sifatnya subjektif. Mendiskusikan perihal feminisme tidak akan pernah menemukan kebenaran sebab kedua belah pihak punya argumen masing-masing berdasarkan perspektif dan opini yang didapatkan.

 

Baca Juga : Budaya Insecurity Bangsa

Komedi Cerdas

Saya merupakan pengaggum stand up comedy di Indonesia. Selain menyajikan aneka ragam teknik komedi, komika juga bisa membawakan keresahan yang relate dengan kehidupan banyak orang. Meskipun bukan sebagai pelaku, saya pemerhati stand up comedy sejak tahun 2013 yang kemudian mulai dikenal di berbagai film dan acara talkshow di televisi. Perkembangan stand up cukup mendominasi industri hiburan di tanah air.

Bahkan komika mudah melebur dengan komedian senior yang awalnya terlihat ada perselisihan karena anggapan stand up comedy adalah komedi cerdas dibandingkan jenis komedi lain. Tentu argumen tersebut relevan ketika komika “diwajibkan” rajin menulis materi sebelum dibawakan di atas panggung. Kebiasaan menulis dan memahami konteks komedi bisa dijadikan parameter bahwa komika punya sisi kecerdasan menggali komedi yang absurd dan sarkastik.

Dari variabel menulis, ada nilai wawasan dan kecermatan melihat sudut pandang untuk dijadikan materi komedi. Penulis yang baik adalah mereka yang paham etika jurnalistik harus memuat unsur cover both side. Penulis harus mengabaikan sikap fanatisme kelompok dan melihat segala sesuatu secara objektif. Melakukan riset yang mendalam mengenai isu sosial yang akan dibicarakan. Jadi komika yang dianggap cerdas masih tetap relevan dengan masyarakat.

Tweet Ge Pamungkas mengutip rumus komedi dari Abdur Arsyad bahwa yang sebaiknya dilakukan komedian yakni melihat kekacauan ditambah komedi untuk menciptakan kedamaian. Bukan sebaliknya bahwa kedamaian ditambah komedi malah menciptakan kekacauan. Kasus Popon dan Patra menjadi pelajaran bagi komika lain bahwa komedi memang erat dengan ketersinggungan. Sehingga setiap materi besar kemungkinan menimbulkan konsekuensi.

Penulis komedi yang dianggap cerdas harus mampu menerapkan prinsip kebijaksanaan, bahwa segala keresahan harus dilihat dari dua perspektif. Memaksakan argumentasi secara egois sudah pasti akan menimbulkan konflik ketika dibawa ke ranah publik. Setiap orang punya keresahan, komedi seharusnya membungkus keresahan agar bisa dinikmati semua orang. Bukan malah memercik sensasi atas nama solidaritas sesama komika. Apalagi era teknologi informasi yang mulai banyak menyadari akan pentingnya kesetaraan.

Di sisi lain, kasus ini setidaknya mengangkat popularitas Popon dan Patra yang kurang begitu dikenal di layar televisi. Namun terlalu naif mengalihkan motif perang konsep feminisme dengan misi engagement komika yang kurang terkenal. Namun beragam tanggapan komika senior terhadap kasus feminisme tersebut menjadi angin segar bagi saya (penikmat stand up comedy) tentang batasan keresahan yang patut dikomedikan atau dibawakan di atas panggung.***

Wujud cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia diimplementasikan dalam sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indones...

Menuntut Kesepakatan Keadilan

Wujud cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia diimplementasikan dalam sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Aspek keadilan mencakup bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial-budaya. Nilai vital yang terkandung di dalamnya dengan mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Memberi jaminan untuk mencapai taraf kehidupan yang layak dan terhormat sesuai dengan kodrat. Menempatkan nilai demokrasi dalam bidang ekonomi dan sosial.

Isu keadilan kerap menjadi bahan kampanye berpolitik praktis merebut kekuasaan. Oposan juga memainkan narasi ketidakadilan untuk mengajak masyarakat berbondong “memusuhi” pemerintah. Setiap kebijakan selalu dikaitkan dengan konsep keadilan tanpa parameter nilai yang jelas. Sementara konsep keadilan menurut John Rawls adalah sebuah fairness, dengan kata lain prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dan kesepakatan. Kesetaraan asali yang berkaitan dengan kondisi alam dalam teori tradisional kontrak sosial.

Sehingga keadilan bukan perkara kesamaan porsi dan proporsi di hadapan hukum dan sosial. Ada kondisi ideal yang semestinya disepakati antara hak dan kewajiban setiap orang. Beberapa variabel yang mempengaruhi keadilan seperti jabatan (kekuasaan), ekonomi (kekayaan), status (tanggung jawab), dan pengaruh (popularitas). Di sisi lain, kesepakatan yang disepakati (aturan/ undang-undang dasar) dipaksa adaptif terhadap perubahan zaman.

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertalite, Solar, dan Pertamax pada tanggal 3 September 2022 dialasi pemerintah sebagai kebijakan pengaplikasian keadilan, sebab dominasi subsidi malah dinikmati rakyat mampu (menengah ke atas). Setelah itu muncul isu subtitusi kompor gas menjadi listrik dan penghapusan listrik 450 VA di tengah keriuhan demo kenaikan BBM di berbagai daerah.

Ketika rakyat menuntut keadilan sesuai amanah konstitusi, kesepakatan keadilan perlu dimusyawarahkan ulang agar tidak lagi muncul kekecewaan, perdebatan media sosial, dan anarkisme sosial. Kesepakatan keadilan harus bisa membatasi otoritarian kebijakan yang dimaksudkan untuk mencapai keadilan, namun malah menambah kesenjangan sosial.

Keadilan menjadi suatu hal yang sangat sulit untuk diwujudkan ketika bentuk keadilan tidak sejalan dengan pemahaman dan penilaian tentang keadilan itu sendiri. Apalagi Indonesia merupakan negara yang majemuk dan multikultur. Bagaimana setiap elemen punya indikator keadilan masing-masing. Sementara hukum yang menjadi alat utama menciptakan keadilan masih banyak memiliki kecacatan. Keadilan legalitas dimaknai sebagai suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tatanan hukum positif, melainkan dalam penerapannya.

Keadilan pancasila perlu disepakati kesamaan persepsi tentang keadilan yang menjadi dasar terbentuknya hukum yang ideal. Melibat rakyat bermusyawarah dan mufakat menyusun aturan atau undang-undang yang relevan terhadap perubahan zaman. Sementara wakil rakyat yang duduk di parlemen kerap membuat sensasi kebijakan yang justru memberatkan rakyat atau jauh dari keadilan. Ketika pancasila dimaknai secara fleksibel, maka anarkisme kebijakan akan sering muncul di sebuah negara yang menganut asas demokrasi.

Asas-asas keadilan dapat ditentukan dengan proses perjanjian di antara elemen masyarakat dengan mengindahkan kerjasama manusia, moralitas yang minimal, rasa keadilan, pilihan rasional, dan apa yang dinamakan primary goods (hal-hal utama yang ingin diperoleh setiap orang). Sementara konsep adil menurut Kahar Masyhur adalah meletakan sesuatu pada tempatnya, menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang, dan memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang.

Prinsip keadilan yang menyangkut distribusi dari kebebasan dasar yang sama bagi setiap orang dalam arti kesamaan. Kebebasan dasar yang utama adalah Hak Asasi Manusia yang wajib diberikan secara sama untuk setiap orang. Selanjutnya berkaitan dengan jabatan, kedudukan sosial, penghasilan dan kekayaan. Dalam hal ini terdapat asas perbedaan, bahwa kedudukan sosial tidak bisa disamaratakan akan tetapi pembagian keadilan sesuai dengan jasa atau kedudukan bagi individu orang tersebut.

Tanpa kesepakatan, keadilan akan selalu menjadi pembahasan liar di ruang publik mengenai indikator nilai yang ideal. Mayarakat akan mudah berbicara ketidakadilan dalam persepsi hukum dan ekonomi. Setiap kebijakan tidak akan pernah dilihat sebagai implementasi dari keadilan, selain sikap kediktatoran. Membiarkan mengambang konsesus keadilan akan mendorong sistem liberalisme dan kapitalisme di Indonesia.

Sementara keadilan lekat dengan pengaplikasian sistem komunisme yang masih dinilai sebagai ideologi sesat. Apalagi dilihat dari sejarah kelam Partai Komunis Indonesia yang dikontradiksikan pada konsep agama dan ketuhanan. Dari pemahaman mendasar mengenai kausalitas hukum dan keadilan, masyarakat harus memahami bahwa implementasi keadilan hukum berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. Ketika kesepakatan dicapai, menuntut keadilan berarti mengingkari penjanjian komunal yang sudah disahkan secara hukum.

Namun moralitas hukum tidak pernah melibatkan masyarakat mendialogkan konsep keadilan yang berimplikasi pada kekacauan konsep keadilan sosial. Seolah setiap orang punya hak mendapatkan bantuan atau subsidi dari pemerintah, sementara gaya hidupnya cukup mewah. Di sisi lain, banyak masyarakat pengangguran yang tidak mendapatkan bantuan hanya karena tidak punya kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Pemerintah perlu menggodok lebih matang setiap kebijakan yang harus mengutamakan asas keadilan sebagai amanah konstitusi. Menganalisis banyak faktor mengenai kepantasan hak dan kewajiban setiap warga negara. Tentu berdasarkan nilai moralitas dan kesepakatan keadilan dalam perspektif bernegara.***

Masalah sosial secara umum adalah kecepatan industri teknologi yang tidak sejalan dengan kemampuan masyarakat mengikuti perkembangan zaman. ...

benturan sosial digital

Masalah sosial secara umum adalah kecepatan industri teknologi yang tidak sejalan dengan kemampuan masyarakat mengikuti perkembangan zaman. Setiap orang dituntut bisa adaptif terhadap kemajuan teknologi yang dibangun melalui media daring. Platform digital menjadi kebutuhan didukung dengan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan sarana prasarana teknologi bagi seluruh masyarakat.

Mereka yang tertinggal (kurang mampu beradaptasi) akan tertinggal yang berdampak pada konflik sosial kultural mulai dari tingkat keluarga. Remaja terlahir dan tumbuh dengan media sosial sebagai bagian dari hidup dan kesehariannya. Menurut sebuah agensi marketing sosial, terdapat 72 juta pengguna aktif media sosial pada tahun 2015.

Orang tua yang gagal mengikuti kemajuan teknologi tidak mampu bersaing dengan anak-anaknya. Dunia digital menyajikan beragam informasi yang kadang bertentangan dengan ideologi dan nilai keluarga. Sementara internet kesulitan memfilter informasi bagi anak yang menyebabkan kecanduan, perilaku imoral, dan pelanggaran nilai-nilai agama.

Anak yang terlahir dan tumbuh di dunia digital menjadi asing dengan pendidikan dasar dari keluarga. Mereka lebih mudah terdoktrin dan teredukasi melalui media sosial. Sementara media sosial dibangun dari sistem alogaritma yang mendorong psikologi anak untuk lebih suka eksistensi, kebencian (kekerasan), hingga perundungan.

Media jurnalistik juga tidak lagi punya kekuatan mengontrol dan mengubah budaya bangsa ketika harus terjun mengikuti pasar (selera) konten masyarakat. Kritikan media jurnalistik yang hanya bermodalkan sumber konten dari media sosial tidak dapat dielakan. Produksi informasi yang tidak punya nilai edukasi semakin membanjiri konsumsi media sosial.

Media sosial juga membawa dampak perasaan curiga (ketidakpercayaan) terhadap sebuah informasi. Fanatisme dibangun untuk menciptakan konflik identitas yang dibawa dalam arena panggung pilitik dan mimbar agama. Anak-anak dan remaja tidak lagi menganut nilai dari orang tua ketika media sosial dianggap sebagai kebenaran informasi.


Baca Juga : Sistem Pendidikan Robot

Literasi Digital

Literasi diartikan sebagai kemampuan memahami, menganalisis, menilai, mengatur, mengevaluasi informasi dengan menggunakan teknologi digital (Maulana, 2015:3). Literasi yang buruk dapat mengakibatkan gangguan pada psikologis remaja. Hal ini disebabkan oleh emosi anak dan remaja yang masih belum stabil. Distribusi informasi begitu cepat tanpa kontrol etika berinternet.

Literasi tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan membaca, memahami, dan mengeapresiasi berbagai bentuk komunikasi secara kritis. Namun gerakan atau program literasi digital tidak bisa mengatasi problem sosial masyarakat. Sebaran berita hoaks dan narasi kebencian masih didominasi oleh remaja dan anak-anak.

Kemajuan teknologi dalam mengimplemantasikan program literasi digital tidak diimbangi dengan komunikasi dan pemahaman mengenai aspek penerimaan informasi. Kecepatan distribusi informasi dianggap yang utama daripada ketelitian memahami kevalidan informasi. Semua informasi diterima tanpa pertimbangan risiko akan benturan konflik di masyarakat.

Literasi digital harus dilihat dari sudut pandang negatif agar remaja tidak terjebak pada sikap melawan nilai dan norma di masyarakat. Dampak negatif literasi digital bisa dijadikan batasan bahwa perkembangan teknologi perlu dipahami secara seksama terhadap pertumbuhan psikologi anak terhadap orang tua.

Dunia digital merupakan panggung baru bagi semua orang. Orang tua yang sebelumnya dihargai sebab keunggulannya dalam segi pengalaman dan pengetahuan terdistorsi melalui perkembangan teknologi informasi. Mereka yang bertahan adalah yang mudah beradaptasi terhadap perkembangan teknologi. Anak dan remaja tentu punya daya serap pengetahuan seputar teknologi lebih baik daripada orang tua yang sebagian masih menerapkan konsep hidup yang konservatif.

Ada masalah besar mengenai kesenjangan sosial orang tua dan anak yang menjadikan benturan sosial di dalam keluarga dan masyarakat. Intensitas bermedia sosial melalaikan nilai-nilai yang dibangun oleh keluarga. Informasi seputar etika, agama, budaya, dan politik lebih dominan diserap melalui media sosial. Komunikasi internal keluarga juga terbatas seiring laju perkembangan teknologi yang menjalar ke berbagai sendi kehdidupan.

Bahkan sektor pendidikan yang seharusnya menjadi benteng anak-anak dan remaja memfilter derasnya arus informasi malah dijadikan metode pembelajaran daring. Sekolah hanya dijadikan lembaga formal pencarian ijazah, sementara pencarian ilmu diserahkan kepada pengetahuan digital. Semua orang dipaksa mandiri menentukan nasib di dunia maya. Moralitas sedikit dikesampingkan.

Bagi orang tua yang mudah beradaptasi dengan kemajuan teknologi akan mudah melakukan diskusi dengan anak tentang dampak dan risiko media digital. Sedangkan bagi orang tua yang tertinggal, akan membiarkan anaknya membentuk karakter diri melalui alogaritma media yang cenderung menciptakan perilaku kebencian, kekerasan, dan perundungan.

Santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat merupakan proses Islamisasi di Jawa yang memiliki variabel pesantren dan kiai. Akulturasi a...

Islam Jawa - Santri

Santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat merupakan proses Islamisasi di Jawa yang memiliki variabel pesantren dan kiai. Akulturasi antara Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa mengubah tatanan sosial di lingkungan keagamaan yang kerap memasukan unsur kebudayaan dalam sarana dan metode peribadatannya. Islamisasi di Jawa telah melahirkan tradisi kraton Islam-Jawa sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.

Dari perspektif historis dapat ditunjukkan bahwa tradisi santri telah menjadi basis kekuatan sosial politik pada masa awal pendirian kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten. Sementara masa kerajaan Mataram Islam, peran santri berpengaruh fundamental di daerah pedalaman Jawa. Bahkan setelah keruntuhan kerajaan-kerajaan Islam akibat dominasi kolonialisme, santri menjadi basis perlawanan hingga melahirkan jiwa nasionalisme dan patriotisme.

Hingga masa pergerakan kemerdekaan santri berperan dalam berdirinya organisasi nasional seperti Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Partai Sarekat Islam Indonesia, dan Masyumi. Dampak potensi santri di Jawa mewarnai kelahiran dikotomi orientasi sosiokultural masyarakat dengan kemunculan istilah Islam Mutihan dan Abangan, aliran Ortodoks dan Herodoks, ahli sunnah wal jamaah dan kaum Islam Modern, Santri dan Abangan, dan kaum Nasionalis Keagamaan dan Nasionalis Sekular.

Peran santri secara histori, sosial, dan politik yang sering dijadikan alat kampanye mendekati pemilu. Mendekati ulama atau kiai untuk mempengaruhi santrinya dalam parade politik praktis. Sementara perubuhan era digital dimanfaatkan dengan menjual agama yang kemudian berimplikasi pada konflik politik identitas. Membenturkan sikap nasionalisme dan Islamisme. Agama pun berakulturasi terhadap perubahan zaman dengan tidak lagi melihat esensi akhlak dalam berpolitik.

Tradisi kepesantrenan memuat berbagai dimensi keagamaan, pandangan dunia, pemikiran intelektual, sastra, bahasa, seni, maupun kelembagaan sosial budaya dan politik. Pada masa awal perkembangannya telah menawarkan salah satu bentuk komunitas alternatif kepada masyarakat Jawa dalam menghadapi proses perubahan sosial-budaya dari masyarakat Hindu-Budha ke masyarakat Islam di Jawa.

Historiografi Jawa telah memberikan rekaman historis tentang proses Islamisasi di Pesisir Utara Jawa dan Jawa secara keseluruhan, menurut visi budaya Jawa. Menurut pandangan historiograsfi Jawa tradisi besar santri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Jawa dan Indonesia.

 
Baca Juga : Revolusi Sistem Pondok Pesantren

Santri Digital

Santri tidak lagi dilihat secara etnosentris ketika kemajuan teknologi mengubah sosio-kultural saat ini. Pesatnya perubahan teknologi yang mengedepankan unsur efisiensi mengubah budaya pesantren konservatif. Bahkan, sudah banyak pesantren yang terpaksa beradaptasi kajian secara daring. Menciptakan santri-santri digital tanpa spesifikasi ulama atau kiai yang punya kompetensi.

Santri digital bebas mengakses bentuk kajian kapanpun dan di manapun selama tersedia internet di gadget masing-masing. Setiap problematika keagamaan bisa dicarikan jawaban di “pondok pesantren” yang disebutnya GOOGLE. Bahkan materi kitab kuning tersebar luas beserta kajian tafsir dan berbagai referensi mazhab. Pondok pesantren klasik mulai dtinggalkan di tengah euforia merayakan membanjirnya informasi agama di dunia modern.

Namun ada yang mengganjal ketika informasi keagamaan mudah di dapat oleh para santri digital. (1) Kualitas informasi. Meliputi kejelasan referensi atau rujukan tulisan. Sebab setiap orang bebas memproduksi informasi yang punya potensi hoaks dan memanipulasi data untuk kepentingan kelompok tertentu. (2) Limitasi kepakaran. Masyarakat Jawa memberikan penghargaan dan penghormatan tinggi kepada raja, guru atau kyai, di samping kepada orang tua atau orang yang dipandang tua, sebagai bagian dari pandangan budaya.

Kepercayaan tentang adanya kelebihan (karomah), mukjizat, dan kemampuan memberikan barokah dari Allah kepada umatnya yang dimiliki oleh para wali, kiai, atau ulama banyak dijumpai dalam sumber-sumber lokal sejarah Jawa. Namun digitalisasi pesantren mendistorsi kepakaran ulama yang sebelumnya begitu ditakuti, dihormati, dan diikuti setiap fatwanya. Sementara sajian informasi digital menciptakan ekosistem baru bahwa semua orang punya potensi menjadi kiai atau ulama meski tanpa kecakapan ilmu agama.

(3) Sanad keilmuan. Disadari atau tidak, bahwa budaya kepesantrenan merupakan budaya pewarisan ilmu agama yang kemudian melahirkan cabang-cabang pesantren baru. Santri yang takzim pada kiainya punya semacam ikatan batin yang dapat dikaji secara metafisis. Hubungan sanad itulah yang membedakan santri konvensional dengan santri digital.

Laporan Kementerian Kementerian Agama per Januari 2022 menunjukkan bahwa ada 26.975 pondok pesantren di Indonesia. Provinsi Jawa Barat menyumbang jumlah pondok pesantren terbanyak dengan 8.343 pesantren atau sekitar 30,92% dari total pesantren nasional. Banten menempati peringkat kedua, yakni sebanyak 4.579 pesantren. Jawa Timur dan Jawa Tengah menyusul di posisi ketiga dan keempat.

Dominasi pesantren memang berada di Jawa sebagai tradisi khas keislaman nusantara. Namun menjadi beban berat mengembalikan citra pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berkualitas yang bukan hanya menciptakan santri berprestasi secara akademik, namun juga berakhlak. Apalagi beberapa kasus pencabulan di lingkup pesantren yang menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran terhadap lembaga keagamaan.

Sementara “pesantren digital” menyajikan wahana informasi gratis tanpa terikat ruang dan waktu. Belajar agama secara fleksibel meski punya risiko kecacatan informasi keagamaan. Menghilangkan nilai pendidikan karakter kedisiplinan dan kehilangan guru spiritual yang disebutnya kiai.