Permasalahan hidup membawa manusia pada penderitaan. Berbagai tekanan dan cobaan secara internal dan eksternal menciptakan emosi yang berbeda. Belum jelas obat depresi yang dialami manusia selain meluapkan dalam sikap kedengkian, kebencian, caci maki, hingga perilaku kriminal. Meski terkesan abstrak, seni mengolah emosi perlu diajarkan agar tidak terjebak pada konflik sosial.
Dalam kajian Filsafat Barat, manusia bergelut dalam konsep nalar dan kehendak. Sementara di Filsafat Jawa menambahkan variabel perasaan atau intuisi. Rasa merupakan aspek fundamental dalam berkesenian untuk menilai keindahan suatu karya. Ekspresi rasa diejawantahkan dalam bentuk emosi agar dinilai sama oleh penikmat seni.
Seni mengolah emosi merupakan kemampuan menata pikiran dan perasaan ketika menghadapi setiap kejadian. Dalam Filsafat Stoik, setidaknya ada empat nilai utama mengolah emosi yakni kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), keadilan/kejujuran (justice), kontrol diri/keseimbangan (temperance). Manusia harus menyadari tentang dikotomi yang berada di dalam dan luar kendali mereka.
Persepsi negatif berperan menciptakan emosi negatif yang diolah oleh pikiran. Kesan manusia pada sosok atau kejadian didominasi oleh emosi yang kemudian dicarikan alasan oleh akal untuk memutuskan kesukaan atau kebencian. Meski terkadang menyadari kesalahan menyimpulkan sesuatu, balutan emosi yang dipengaruhi oleh informasi dan lingkungan yang mendukung kesan pertama, akan memantapkan pilihan manusia memandang realitas hidup.
Itulah kenapa peran kesenian diperlukan untuk mengolah emosi manusia agar tidak mudah tersinggung, kecewa, dan marah. Menurunkan sikap fanatisme yang berorientasi pada konflik. Seni punya peran menghaluskan emosi dengan memfilter informasi yang benar (bermanfaat) dan salah (berbahaya).
Kesenian mengajarkan sikap empati dengan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tidak mementingkan diri sendiri (egois) untuk kepentingannya sendiri. Lunturnya sikap empati kerap menjadi akar masalah konflik sosial. Mementingkan emosi personal tanpa analisis mendalam tentang sebuah persoalan. Manusia tidak mampu merasakan emosi yang tidak dapat dikontrolnya. Dampaknya adalah buruknya cara bersosialisasi di tengah masyarakat.
Baca Juga : Benturan Sosial Dunia Digital
Melihat Indonesia
Demokrasi seyogyanya mampu menciptakan iklim kondusif dengan tercapainya keadilan dan kemakmuran. Goncangan emosi banyak dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik karena tidak tercapainya keadilan. Ada jurang antara pemerintah dan rakyat bahwa negara hanya milik mereka (pemerintah dan orang kaya). Hal ini dapat dilihat dari kesenjangan ekonomi dan penentuan kebijakan yang tidak secara direk menyasar masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Cita-cita demokrasi pancasila yang menuntut keadilan di segala aspek kehidupan belum atau tidak tercapai memaksa sebagian kelompok masyarakat menyusun gagasan ideologi baru yang mungkin bertentangan dengan pancasila. Berangan tentang sistem kenegaraan baru yang lebih ideal daripada saat ini.
Problem klasik ketidakadilan semakin kentara dengan tersebaranya informasi digital yang menambah gejolak emosi masyarakat. Mereka yang tidak dibekali seni mengolah emosi mudah tersulut dan berimplikasi pada sikap anarki. Tata kelola pemerintahan yang baik bisa mengubah persepsi masyarakat yang kadung frustasi menghadapi realitas ketidaktegasan menegakan hukum. Pemerintah juga harus menghilangkan citra motif kepentingan politik praktis dan transaksi jabatan.
Melesatnya informasi di dunia daring membuat manusia tidak sempat mengolah emosi. Lebih suka menyalurkan emosi dengan menyalahkan orang lain yang mempunyai perbedaan pandangan melihat sebuah fenomena. Menebalkan politik identitas yang berafiliasi pada politik kebencian. Banyak elemen masyarakat yang mesti bertanggung jawab menyosialisasikan seni mengolah emosi agar tidak semakin parah mencederai demokrasi.
Aneka ragam kesenian dan kebudayaan di Indonesia seharusnya menambah khasanah pengolahan emosi yang dituangkan dalam rasa. Sebelum penjajahan teknologi, Indonesia dikenal memiliki masyarakat yang mengutamakan sikap toleransi dan empati. Citra negara yang sopan dan santun bergeser menjadi citra negara paling tidak sopan se-Asia Tenggara sejak masifnya penggunaan gadget.
Faktor ketidaksopanan muncul karena ketidakmampuan mengolah emosi. Mudah dipengaruhi dan ikut-ikutan pada narasi yang belum jelas kebenarannya. Emosi lebih dulu diekspresikan sebelum menyadari informasi yang diterimanya ternyata hoaks. Manifestasi emosi diaplikasikan dalam sikap kebencian yang kadang diiringi dengan perilaku anarki hingga terorisme.
Sebagai negara multikultural, Indonesia menjadi negara yang rawan konflik. Mudah tersulut emosi akibat fanatisme kelompok (sukuisme) atau tokoh tertentu. Dari kesemuanya mencita-citakan negara yang ideal dengan tata kelola pemerintahan yang baik, tercapainya keadilan, dan terpenuhinya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Ketika kesenian daerah sendiri mulai dilupakan, perkara pengelolaan emosi akan selalu menjadi ancaman untuk negara. Dalam ketidaksadarannya emosi komunal bisa berdampak lebih parah seperti terjadinya perang antar saudara seperti yang terjadi di Timur Tengah.***
Follow Us
jika berkenan bisa membagikan tulisan kami di media sosial