Runtuhnya bangunan kebudayaan semakin terlihat dari kebiasaan dan pola perilaku masyarakat Jawa, khususnya generasi milenial. Sebagai bagian dari generasi itu, kajian falsafah Jawa tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Mitos Jawa mulai dilupakan sebagai perlawanan terhadap landasan berpikir logis. Petuah (ajaran) luhur dianggap pagar kebebasan.
Dalam khazanah kebudayaan Jawa, masyarakat mengekspresikan budi kehalusan. Ada etos kedewasaan kepribadian yang mulai mengalami distorsi dimensi feodalistik. Sisa alkuturasi hanya menonjolkan aspek agama dan menyingkirkan ajaran budaya. Selain kuno, budaya Jawa juga dianggap batu sandungan beradaptasi dengan ruang budaya global.
Realita di masyarakat, banyak orang Jawa yang sudah tidak lagi njawani. Njawani merupakan istilah yang merujuk pada perkataan dan perilaku yang mengutamakan kebudayaan. Budaya menjadi identitas yang diciptakan dan disepakati masyarakat. Transformasi peradaban membawa manusia melupakan budaya sendiri dan bergairah meniru budaya asing.
Sebagai suku terbesar di Indonesia, Jawa menjadi entitas kebudayaan yang menasional. Pembangunan sumber daya, instrumen sosial, dan tatanan hukum banyak dipengaruhi budaya Jawa. Diakui bahwa Jawa punya pondasi kebangsaan dan kenegaraan yang dominan di Indonesia. Meskipun tidak mengesampingkan kebudayaan lain sebagai entitas kenusantaraan.
Mungkin saya bagian salah satu dari sedikit masyarakat Jawa yang gelisah tentang lunturnya kebudayaan Jawa. Melihat orang-orang yang kehilangan sopan santun, sikap empati, perilaku gotong royong, dan lain sebagainya. Sudah banyak generasi milenial mendemonstrasikan cara berbudaya yang tidak “berbudaya”.
Media punya peran membentuk kebudayaan baru yang menembus dimensi ruang. Pengembangan kebudayaan tidak akseptabel dengan pelestarian kebudayaan. Orientasi sosial digantikan dengan egosentris dan individualistik. Interaksi dan komunikasi tidak lagi diajarkan ketika teknologi menfasilitasi setiap manusia bebas mengekspresikan diri.
Mencari referensi kebudayaan yang dipandang unik dan sekufu dengan jiwanya. Sementara orang tua yang punya tanggung jawab mengajarkan kebudayaan tidak lagi bernilai dalam pasar teknologi informasi. Generasi yang tidak adaptif terhadap teknologi hanya resah dan heran melihat anak-cucunya berperilaku kontras dengan nilai dan norma yang dianutnya.
Apatis Bahasa Jawa
Ketika dulu saya diajarkan penggunaan aneka ragam Bahasa Jawa berdasarkan konteks, akhir ini tidak lagi terdengar kasta bahasa. Komunikasi anak terhadap orang tua menggunakan bahasa keseharian yang biasa dipraktekan sesama teman. Beberapa mulai membiasakan anak menggunakan Bahasa Indonesia meski orang tuanya tinggal dan berasal dari Suku Jawa tulen.
Beberapa di antaranya saya tanya tentang pengetahuan bahasa dan mayoritas tidak mengetahui penggunaan bahasa Jawa Ngko, Madya, dan Inggil yang dulu menjadi kebanggaan budaya. Apalagi ketika berdiskusi tentang falsafah, nilai, dan sejarah Jawa.
Sementara dalam kegiatan formal kebudayaan seperti pernikahan, kematian, dan rapat, reruntutan Bahasa Jawa Kawi tidak lagi menjadi agenda penting penyampai informasi. Meski esensi bahasa sebagai sebuah sistem linguistik yang spesifik -asalkan komunikan dan komunikator sama-sama memahami-, namun kekayaan bahasa patut dirawat sebagai khazanah kebudayaan.
Sistem pendidikan juga kurang perhatian terhadap hilangnya bahasa daerah. Bagaimana Aksara Jawa bukan lagi materi yang wajib diajarkan dan dipahamkan kepada anak-didik. Kritik juga perlu disematkan pada kaum orientalis karena kecenderungan produksi pengetahuan yang membagi kesusastraan Jawa menjadi fase kuna, tengah, baru, dan modern. Masyarakat Jawa menjadi berpikiran dikotomis.
Kesantunan bahasa setidaknya mengejawantahkan falsafah Jawa “Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti,” yang memiliki arti segala sifat keras hati, picik, angkara murka akan dikalahkan dengan sifat bijak, lembut hati dan sabar. Dari bahasa kita melihat keindahan tembang, kidung, serat yang masih relevan dalam lintas peradaban.
Lunturnya budaya dan bahasa Jawa tidak dinilai memiliki urgensi pembangunan. Negara disibukan dengan retorika politik dan euforia ekonomi. Budaya yang seharusnya menjadi representasi kemajuan bangsa seolah menjadi fragmen sulitnya mencapai persatuan. Sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika dianggap sebagai faktor polarisasi yang berkembang saat ini.
Membenturkan budaya dan agama, nasionalisme dan islamisme, serta sosialime dan kapitalisme. Bentukan budaya yang menghilangkan praktek berbahasa Jawa mengancam ideologi bangsa. Perubahan sosial-budaya dimaklumkan sebagai risiko terlibat dalam gencaran teknologi global.
Tidak ada lagi minat belajar berbahasa Jawa. Kebudayaan Jawa direduksi mainan kecerdasan buatan. Beberapa tahun lagi, kebudayaan dan kebahasaan Jawa akan hilang seturut dengan ramalan familiar Serat Jangka Jayabaya, “Hati-hati jika sampai orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung, maka aku akan datang lagi. Ingat itu lima ratus tahun lagi jika syarat-syarat ini engkau abaikan, aku akan muncul membuat goro-goro,”***
Follow Us
jika berkenan bisa membagikan tulisan kami di media sosial