CATEGORIES

Showing posts with label kesenian. Show all posts

Runtuhnya bangunan kebudayaan semakin terlihat dari kebiasaan dan pola perilaku masyarakat Jawa, khususnya generasi milenial. Sebagai bagian...

Budaya dan Bahasa Jawa


Runtuhnya bangunan kebudayaan semakin terlihat dari kebiasaan dan pola perilaku masyarakat Jawa, khususnya generasi milenial. Sebagai bagian dari generasi itu, kajian falsafah Jawa tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Mitos Jawa mulai dilupakan sebagai perlawanan terhadap landasan berpikir logis. Petuah (ajaran) luhur dianggap pagar kebebasan.

Dalam khazanah kebudayaan Jawa, masyarakat mengekspresikan budi kehalusan. Ada etos kedewasaan kepribadian yang mulai mengalami distorsi dimensi feodalistik. Sisa alkuturasi hanya menonjolkan aspek agama dan menyingkirkan ajaran budaya. Selain kuno, budaya Jawa juga dianggap batu sandungan beradaptasi dengan ruang budaya global.

Realita di masyarakat, banyak orang Jawa yang sudah tidak lagi njawani. Njawani merupakan istilah yang merujuk pada perkataan dan perilaku yang mengutamakan kebudayaan. Budaya menjadi identitas yang diciptakan dan disepakati masyarakat. Transformasi peradaban membawa manusia melupakan budaya sendiri dan bergairah meniru budaya asing.

Sebagai suku terbesar di Indonesia, Jawa menjadi entitas kebudayaan yang menasional. Pembangunan sumber daya, instrumen sosial, dan tatanan hukum banyak dipengaruhi budaya Jawa. Diakui bahwa Jawa punya pondasi kebangsaan dan kenegaraan yang dominan di Indonesia. Meskipun tidak mengesampingkan kebudayaan lain sebagai entitas kenusantaraan.

Mungkin saya bagian salah satu dari sedikit masyarakat Jawa yang gelisah tentang lunturnya kebudayaan Jawa. Melihat orang-orang yang kehilangan sopan santun, sikap empati, perilaku gotong royong, dan lain sebagainya. Sudah banyak generasi milenial mendemonstrasikan cara berbudaya yang tidak “berbudaya”.

Media punya peran membentuk kebudayaan baru yang menembus dimensi ruang. Pengembangan kebudayaan tidak akseptabel dengan pelestarian kebudayaan. Orientasi sosial digantikan dengan egosentris dan individualistik. Interaksi dan komunikasi tidak lagi diajarkan ketika teknologi menfasilitasi setiap manusia bebas mengekspresikan diri.

Mencari referensi kebudayaan yang dipandang unik dan sekufu dengan jiwanya. Sementara orang tua yang punya tanggung jawab mengajarkan kebudayaan tidak lagi bernilai dalam pasar teknologi informasi. Generasi yang tidak adaptif terhadap teknologi hanya resah dan heran melihat anak-cucunya berperilaku kontras dengan nilai dan norma yang dianutnya.

 

Apatis Bahasa Jawa

Ketika dulu saya diajarkan penggunaan aneka ragam Bahasa Jawa berdasarkan konteks, akhir ini tidak lagi terdengar kasta bahasa. Komunikasi anak terhadap orang tua menggunakan bahasa keseharian yang biasa dipraktekan sesama teman. Beberapa mulai membiasakan anak menggunakan Bahasa Indonesia meski orang tuanya tinggal dan berasal dari Suku Jawa tulen.

Beberapa di antaranya saya tanya tentang pengetahuan bahasa dan mayoritas tidak mengetahui penggunaan bahasa Jawa Ngko, Madya, dan Inggil yang dulu menjadi kebanggaan budaya. Apalagi ketika berdiskusi tentang falsafah, nilai, dan sejarah Jawa.

Sementara dalam kegiatan formal kebudayaan seperti pernikahan, kematian, dan rapat, reruntutan Bahasa Jawa Kawi tidak lagi menjadi agenda penting penyampai informasi. Meski esensi bahasa sebagai sebuah sistem linguistik yang spesifik -asalkan komunikan dan komunikator sama-sama memahami-, namun kekayaan bahasa patut dirawat sebagai khazanah kebudayaan.

Sistem pendidikan juga kurang perhatian terhadap hilangnya bahasa daerah. Bagaimana Aksara Jawa bukan lagi materi yang wajib diajarkan dan dipahamkan kepada anak-didik. Kritik juga perlu disematkan pada kaum orientalis karena kecenderungan produksi pengetahuan yang membagi kesusastraan Jawa menjadi fase kuna, tengah, baru, dan modern. Masyarakat Jawa menjadi berpikiran dikotomis.

Kesantunan bahasa setidaknya mengejawantahkan falsafah Jawa “Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti,” yang memiliki arti segala sifat keras hati, picik, angkara murka akan dikalahkan dengan sifat bijak, lembut hati dan sabar. Dari bahasa kita melihat keindahan tembang, kidung, serat yang masih relevan dalam lintas peradaban.

Lunturnya budaya dan bahasa Jawa tidak dinilai memiliki urgensi pembangunan. Negara disibukan dengan retorika politik dan euforia ekonomi. Budaya yang seharusnya menjadi representasi kemajuan bangsa seolah menjadi fragmen sulitnya mencapai persatuan. Sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika dianggap sebagai faktor polarisasi yang berkembang saat ini.

Membenturkan budaya dan agama, nasionalisme dan islamisme, serta sosialime dan kapitalisme. Bentukan budaya yang menghilangkan praktek berbahasa Jawa mengancam ideologi bangsa. Perubahan sosial-budaya dimaklumkan sebagai risiko terlibat dalam gencaran teknologi global.

Tidak ada lagi minat belajar berbahasa Jawa. Kebudayaan Jawa direduksi mainan kecerdasan buatan. Beberapa tahun lagi, kebudayaan dan kebahasaan Jawa akan hilang seturut dengan ramalan familiar Serat Jangka Jayabaya, “Hati-hati jika sampai orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung, maka aku akan datang lagi. Ingat itu lima ratus tahun lagi jika syarat-syarat ini engkau abaikan, aku akan muncul membuat goro-goro,”***

Langgar, surau, meunasah, atau musala identik dengan bangunan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil dan sederhana. Lan...

Langgar dan Sanggar

Langgar, surau, meunasah, atau musala identik dengan bangunan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil dan sederhana. Langgar umumnya dibuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu. Hingga banyak orang Jawa hingga Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan kata dari musala.

Sementara sanggar merupakan wadah mengembangkan kesenian tradisi. Langgar dan sanggar merupakan interpretasi konsep budaya lokal untuk memfasilitasi dakwah keagamaan dan kesenian. Gambaran mengenai berkawinnya agama dan seni dalam membentuk karakter dan moralitas masyarakat. Belajar agama ke langgar, belajar seni ke sanggar.

Hal ini selaras dengan dakwah walisongo yang menggunakan instrumen kesenian wayang, gamelan, hingga tembang untuk menyiarkan agama Islam. Akulturasi agama dan budaya mencentuskan konsep Islam Nusantara. Masyarakat Jawa yang kental dengan tradisi disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan dengan menciptakan kesenian berbasis religiusitas.

Keberadaan langgar dimakani tidak seformal kegiatan di Masjid. Langgar bisa difungsikan sebagai wadah diskusi, silaturahmi, bahkan kegiatan yang berorientasi kesenian. Demikian halnya dengan sanggar yang bisa difungsikan sebagai media dakwah mengajarkan agama tanpa pidato formal syariat yang mengikat.

Saat ini sebutan langgar perlahan punah, sementara eksistensi sanggar masih banyak digunakan bahkan untuk komunitas kesenian kontemporer. Seni tari, teater, hingga ketoprak masih bangga menggunakan istilah sanggar untuk menunjuk sekretariat tempat menggodog ide, latihan, hingga pementasan. Belum ada padanan kata yang menggusur eksistensi sanggar dalam bidang kesenian.

 

Baca Juga : Ajaran Falsafah Serat Wedatama

Dikotomi

Keagamaan dan kesenian masih dianggap sebagai entitas ajaran yang berseberangan. Aktivitas seni yang ekspresif dan bebas bertentangan dengan nilai agama yang kaku dan mengikat bagi pemeluknya. Faktor perilaku, batasan aurat, hingga variabel drama dan musik yang mulai ada pelarangan dari sebagian mazhab agama. Kesenian perlahan tersisih dari kesatuan keagamaan yang dulu berelaborasi membentuk kebudayaan bangsa.

Pelaku seni dipersepsikan sebagai bagian dari kaum urakan dan tidak senonoh. Akrab dengan kemaksiatan dan barang-barang haram seperti minuman keras dan narkoba. Seniman butuh media berimajinasi dan berkreasi untuk menciptakan sebuah karya yang kadang dipenuhi dengan mengonsumsi sesuatu yang membuatnya rileks. Meski terlalu konyol menyimpulkan semua pelaku seni dekat dengan kemaksiatan.

Sementara agama erat berkaitan dengan kesopansantunan, kesunahan, dan ketaatan. Batasan antara seni dan agama yang menjadi dikotomi kehidupan. Berkesenian diibaratkan tidak beragama dan sebaliknya. Padahal kemampuan suatu perilaku untuk mengungkapkan emosi keagamaan selaras dengan daya pesona (enchantment) yang dimiliki oleh perilaku seni.

Agama dan seni yang memiliki hubungan bersifat saling melengkapi, kontradiksi dan bentuk akulturasi karena adanya hubungan saling mempengaruhi antara satu nilai dengan nilai berbeda (Lysen, 1972). Keterikatan seni dan agama di Indonesia mengubah warna baru Islam yang moderat dan “lentur”. Tidak dipahami kaku dan memaksa.


Baca Juga : Hidup untuk Berteater

Seni Beragama

Peradaban modern manusia mulai terpenjara dalam paradigma rasionalitas. Saat ini manusia belum mampu menerima kekayaan dimensi yang terperangkap pada kebenaran moral dan rasionalitas saja. Seni seharusnya menjadi jalan untuk mengatasi degradasi moral manusia itu sendiri.

Dalam kacamata seni, kebenaran tidak selalu berbentuk kebaikian dan sebaliknya. Seniman akan mengolah segala hal yang dialaminya menjadi wujud keindahan dengan landasan nilai estetika. Perasaan dan intuisi merupakan alat bagi pelaku seni menemukan kebenaran yang paling mendasar, universal, dan abadi.

Menurut Jakob Sumardjo, seni punya korelasi mendalam dengan agama dalam menemukan kebenaran. Kehadiran sesuatu yang transendental dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam kesenian. Sebab seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman yang nyata.

Agama bersifat statis, sedangkan seni bersifat dinamis. Kontradiksi ini menjadi parameter sulitnya menggabungkan unsur keagamaan dan kesenian dalam menjalani kehidupan. Padahal seharusnya Agama memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan, khususnya dalam berkesenian.

Beragama harus punya sifat dan sikap keindahan yang digambarkan Tuhan dalam kewelasasihannya. Seni bisa menjadi instrumen melunakan ego dan nafsu beragama seseorang. Seni dihayati sebagai pengejawantahan konsep ketauhidan yang nyawiji dalam benda dan perilaku alam. Seni hanya mengolah ide yang meniru kejadian dan keindahan alam untuk diimplementasikan dalam karya.

Seni pondasi mendidik kebatinan (rasa, karsa, dan karya) manusia agar tidak terlalu konservatif dalam beragama. Konsep mengawinkan sanggar dan langgar adalah gagasan progresif melihat realita kesenian dan keagamaan saat ini. Lebih ekstrem lagi, seni (sanggar) dan agama (langgar) merupakan entitas kehidupan yang mustahil dipisahkan.***

Degradasi kualitas kesenian saya rasakan sebagai pelaku seni, khususnya teater. Di banyak pertunjukan di Surakarta dan Yogyakarta, ada penur...

Kesenian Ngawur

Degradasi kualitas kesenian saya rasakan sebagai pelaku seni, khususnya teater. Di banyak pertunjukan di Surakarta dan Yogyakarta, ada penurunan standar pementasan dari waktu ke waktu. Padahal, seharusnya semakin banyak pertunjukan seni akan meningkatkan daya kreativitas pelaku seni dalam segi keaktoran dan penggarapan. Bahkan beberapa update pertunjukan teater di YouTube juga mengalami masalah serupa.

Namun penilaian saya bisa dibilang subjektif ketika penikmat awam teater menganggap keren pada salah satu pertunjukan yang saya anggap jelek. Bahwa standar penilaian kesenian bisa saja mengalami peningkatan seiringi kuantitas pertunjukan yang pernah disaksikan. Itulah yang kerap dijadikan dalih berkesenian dengan ngawur.

Namun alasan saya selaras dengan sepinya kehadiran tokoh teaterawan nasional. Pertunjukan masih didominasi dengan naskah-naskah lawas seperti naskah karya Arifin C Noer, Putu Wijaya, N. Riantiarno, hingga WS Rendra. Sementara kegiatan sayembara penulisan naskah teater yang diinisiasi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) masih kurang populer dan minim publikasi.

Sikap sinis terhadap penulis muda bisa dimaklumi ketika produksi naskah cenderung ngawur dan miskin kreativitas. Naskah hanya menojolkan dialog komedi tanpa alur dan pesan yang jelas. Berbeda dengan penulis naskah lama yang memasukan unsur situasi komedi dengan mengajak penonton berpikir bahwa secara kontekstual adegan yang disajikan begitu lucu dan menarik.

Beberapa naskah baru yang saya baca tidak menyajikan dramatugi yang kerap diabaikan demi euforia pertunjukan yang ngawur. Seni bukan perkara kebebasan, tapi tentang kepekaan dan kreaktivitas menyampaikan pesan kepada penonton. Pelaku seni harus punya tanggung jawab menghargai penonton yang sudah mengorbankan waktu dan uang untuk melihat sebuah pertunjukan.

Ketika saya mengikuti kelas pelatihan menulis drama dengan Garin Nugroho tiga tahun lalu, naskah harus bisa memuat nilai-nilai moral dan sosial yang relevan dengan penonton (masyarakat). Kebiasaan menggarap naskah lama tentu menghadirkan interpretasi yang sumbang dengan keadaan saat ini seperti naskah Marsinah Menggugat, Pedati dalam Kubangan, Orde Tabung, hingga Rumah Sakit Jiwa.


Baca Juga : Inovasi Pandemi Pentas Teater

Estetika

Kegagapan mengejawantahkan nilai estetik pada karya seni mereduksi esensi kesenian. Tidak ada indikator menilai sebuah karya seni. Kesenian ngawur tetap bisa dinilai keindahannya berdasarkan sudut pandang masing-masing orang. Takutnya, menurunnya kualitas kesenian berdampak pada apresiasi penikmat seni yang lebih memilih karya seni asing (luar negeri).

Pelaku seni melupakan aspek karya seni harus konsisten memuat nilai logika (benar dan salah), etika (baik dan buruk), estetika (indah dan jelek). Saat ini, berkesenian sering melompat ke nilai estetika dan meninggalkan aspek logika dan etika pertunjukan. Plagiat ide dan potongan konsep pertunjukan dilakukan pelaku seni saat buntu dalam proses penggarapan.

Kesenian hanya dijadikan wadah bersenang-senang mengekspresikan diri. Tidak ada lagi tanggung jawab moral, apalagi usaha melampaui kualitas karya seni sebelumnya. Kelompok teater juga hanya mementingkan eksistensi (rutinitas pertunjukan) dengan proses yang seadanya. Ada kesenjangan antara pemikiran konsepsional dalam lingkup akademik dengan pemikiran seni yang hidup di dalam diri para seniman tradisional.

Pertunjukan seni tidak lagi ideal ketika idealis praktisi seni berbenturan dengan parameter seniman dari kalangan akademisi. Minimnya ruang kritik seni menjadikan kesenian ngawur masih menjamur di panggung-panggung. Menurut Abrahams (1953) ada empat komponen dasar berpikir melakukan kritik seni, yaitu universe (kesemestaan), works (karya-karya seni), artist (seniman), dan audience (penikmat/ penonton).

Perlu kesadaran dari pelaku seni bahwa setiap hasil karya seni harus siap dengan kritik. Bukan berdalih atas nama kebebasan berkekspresi. Seni punya relasi dengan ruang dan penonton sebagai kesatuan pertunjukan. Estetika tidak bisa diukur dari intensitas guyonan saat berdialog dan beradegan. Setiap pertunjukan seni harus mampu menawarkan sesuatu yang baru dan memuat pesan logis.

Dari teater bisa menggambarkan fenomena kesenian lain seperti tari, musik, hingga lukis. Realitanya, Indonesia krisis pelaku dan kritikus seni yang kredibel. Kesenian domestik diambang keruntuhan ketika acuan berkarya masih dibayang-bayangi kejayaan seni periode kebangkitan hingga teater mutakhir (1940-an hingga 1980-an).

Pada masa transisi, kesenian di Indonesia mengalami problem pelik meninggalkan kesenian tradisi dan memilih teater modern dengan warna pertunjukan yang baru. Sejak saat itu teater tradisi yang memuat nilai dan norma bangsa jarang mendapatkan panggung. Namun ketika sebaran kesenian kontemporer yang banyak dipengaruhi kesenian barat malah menyebabkan pelaku seni malas memasukan amanat pertunjukan.

Penikmat seni kerap kecewa dengan sajian kesenian ngawur. Niat belajar kesenian dari pengalaman menonton pertunjukan malah diberikan referensi pertunjukan yang asal-asalan. Estetika bukan hanya tentang nilai keindahan dari satu pihak (pelaku teater), melainkan harus bisa memberikan kesan yang sama secara komunal.***

  Sejak kecil saya dididik dalam lingkungan pondok pesantren atau madrasah yang sifatnya informal. Dimana ngaji (belajar agama) bukan menjad...

 

hidup untuk berteater

Sejak kecil saya dididik dalam lingkungan pondok pesantren atau madrasah yang sifatnya informal. Dimana ngaji (belajar agama) bukan menjadi pendidikan pokok, melainkan aktivitas “ekstrakulikuler”. Semakin berkembang, kini pondok pesantren yang dulu hanya tempat singgah ngaji menjelang Maghrib sudah mulai banyak didatangi santri.

Ketika kuliah saya memutuskan untuk mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) minat bakat teater. Sejak pertama aktif berteater, citra kontradiksi antara agama dan seni menjadi konsumsi cerita sepanjang hari. Seni - dalam hal ini teater - dianggap sebagai kegiatan yang bertentangan dengan agama. Apalagi kebiasaan seniman yang dinilai urakan, seks bebas, misuh-misuh, dan suka mabuk-mabukan.

Meskipun demikian, hingga sekarang sudah lebih dari 10 tahun saya masih terlibat dalam dunia perteateran. Pernah menjadi aktor, sutradara, hingga menulis naskah sebuah pertunjukan. Bukan tanpa alasan, jika bisa bijak mengorelasikan antara seni dan agama, menjalani kehidupan bisa dengan tenang dan bahagia.

Teater adalah kegiatan seni memainkan peran. Kadang disebutnya drama yang menjadi medium bermain film atau sinetron. Pemain perannya disebut artis (aktor untuk pria, aktris untuk wanita). Meskipun tidak segemilang dan setenar film, teater masih tetap lestari di sekolah, kampus, dan komunitas seni lainnya. Teater masih dijadikan batu loncatan untuk bermain film.

Patut dimaklumi sebab masa depan perteateran, khususnya di Indonesia jauh dari kemapanan. Banyak teaterawan yang hidup jauh dari berkecukupan. Sehingga teater bukan dijadikan pekerjaan utama, melainkan hobi. Biaya produksi yang tinggi tidak sebanding dengan biaya tiket pertunjukan yang rendah. Teater masih jauh dari perhatian pemerintah untuk mengangkat eksistensi kesenian panggung tersebut.

Secara konteks teater tidak hanya pertunjukan drama 1 atau 2 jam di panggung tertutup. Teater bisa dimaknai secara luas sebagai bentuk pertunjukan, apapun jenisnya. Termasuk teater tradisi seperti ludruk, ketoprak, wayang wong, dan lain sebagainya. Merawat tradisi dan budaya harusnya dimulai dari membangun pondasi kehidupan berteater yang kokoh.

Menjadikan teater seimbang dengan kesenian lain sebagai harapan untuk menggantungkan kebutuhan hidup yang layak.

 
 Baca Juga : Inovasi Pandemi Pentas Teater

Belajar Hidup Berteater

Teater bukan seni kebohongan (pura-pura) seperti yang banyak dituduhkan. Justru dengan berteater seseorang diajarkan untuk jujur memainkan peran agar pertunjukan menjadi menarik disaksikan. Bagi penikmat teater akan mudah mengenali mana artis yang berpura-pura dan mana artis yang bisa menjiwai tokoh sepanjang pertunjukan. Penilaian bisa dilihat dari sorot mata, gestur tubuh, dan dialog artis.

Pemain teater harus bisa mengaktualisasikan peran imajinasi sutradara di atas panggung. Metode yang dilakukan bisa dengan meniru aktivitas orang lain yang mendekati peran naskah. Mengamati secara detail gerakan, perasaan, dan motivasi orang lain (tokoh) akan mengubah cara pandang seseorang untuk bisa lebih menghargai perbedaan.

Meyakini bahwa setiap orang punya peran dan keyakinan akan sebuah kebenaran. Jika benar belajar teater, seharusnya seniman teater menjadi orang paling toleran di muka bumi. Berteater akan mengajari banyak hal seputar dunia seni sebab semua elemen kesenian tercakup dalam proses teater seperti desain interior (setting), musik, lukis/ gambar, tata rias, lampu, kostum, dan lain sebagainya.

Namun ada esensi yang lebih dalam dari teater. Bahwa diakui atau tidak, setiap orang sedang berteater. Seperti lagu panggung sandiwara dengan cerita yang mudah berubah. Bermain peran ketika di lingkungan (panggung) kantor dengan menjadi tokoh yang pura-pura disiplin dan bekerja keras agar diapresiasi atasan. Menjadi sosok yang manja ketika tiba di rumah bertemu istri. Menjadi sosok yang tegas ketika di hadapan anak. Menjadi konyol ketika ngobrol bareng teman-teman.

Hampir setiap adegan kita memainkan peran sebagai tokoh protagonis (Center of the universe). Bertemu dan berdialog dengan tokoh antagonis yang berputar di sekitar orbit kita. Ada pula tokoh yang betemu (berpapasan) namun tidak memberi cukup makna yang signifikan. Kemudian pemeran figuran yang berada di orbit terluar. Orang-orang yang tidak pernah diperhatikan. Padahal masing-masing dari mereka adalah organisme yang sama kompleksnya dengan kita.

Ketika hidup kita berpindah dari satu adegan ke adegan lain, mereka akan selalu ada tanpa pernah disadari. Menjadi semacam latar dengan miliyaran kisah. Figuran-figuran itu barangkali hanya akan muncul sesekali dalam hidupmu; sebagai seorang yang minum kopi di sebuah kedai, sebagai kilatan kabur cahaya lampu mobil di jalanan malam, bisa juga sebagai satu jendela dari apartemen di seberang jalan.

Momen ketika menyadari bahwa kita menjadi tokoh figuran dalam kisah hidup seseorang di luar sana, itulah yang disebut sonder. Belajar hidup berteater akan membuat kita sering melakukan refleksi diri dengan tidak mudah menyalahkan orang lain. Menekan egoisme dalam diri dengan kesadaran bahwa setiap orang punya keyakinan dan tujuan hidup masing-masing. Hidup bukan melulu tentang kita.

  Dulu awalnya begitu ragu dengan bahaya Covid-19. Apalagi pemberitaan heboh di televisi tidak benar-benar terjadi di lingkungan terdekat. B...

 penyintas covid

Dulu awalnya begitu ragu dengan bahaya Covid-19. Apalagi pemberitaan heboh di televisi tidak benar-benar terjadi di lingkungan terdekat. Bertanya kepada keluarga, kerabat, teman dekat, semuanya sehat. Tidak pernah merasakan anosmia dan sesak nafas hingga membutuhkan tabung oksigen.

Hingga munculnya program vaksinasi di daerah-daerah, banyak masyarakat yang menolak (meskipun gratis). Alasannya, (1) kurang percaya tentang adanya Covid-19, (2) gejala yang ditimbulkan setelah vaksinasi, (3) alasan politik yang memang menentang segala apapun program pemerintah.

Sebelum ramai narasi konspirasi, masyarakat desa sudah tidak begitu takut ancaman Covid-19. Mereka belanja di pasar, pergi ke sawah, dan melakukan kegiatan kumpul-kumpul antar RT. Semua berjalan normal. Tidak ada penularan atau menciptakan klaster baru.

Namun mulai akhir Juni, masyarakat mulai mendiskusikan ganasnya pandemi. Dimulai dari meledaknya jumlah kasus positif dan meninggal dunia, gugurnya para pahlawan kesehatan, hingga beberapa saudara dekat yang sudah terstempel penyintas Covid-19. Lingkungan perusahaan juga demikian adanya. Banyak karyawan yang terpaksa melakukan Isolasi Mandiri (isoman) tanpa mendapatkan upah.

Covid-19 akhir ini membuka mata masyarakat luas tentang bahayanya meremehkan protokol kesehatan (prokes). Tidak harus melihat di televisi contoh tersiksanya penyintas Covid-19 di Wisma Atlet. Bahkan tetangga kita sudah banyak yang meninggal gegara Covid-19. Dikucilkan dari lingkungan sosial dan dimakamkan dengan tidak berbudaya.

Hingga skenario kasus terburuk (40.000 kasus harian) terjadi, masyarakat mulai giat memakai masker dan mengurangi mobilitas. Para pedagang juga taat peraturan pemerintah dengan menutup usaha pada jam tertentu. Budaya masyarakat Indonesia yang santun dan patuh (tidak membangkang) mulai teraplikasi di daerah-daerah pedesaan. Meskipun target vaksinasi untuk menciptakan kekebalan komunitas belum juga tercapai.

 
Baca Juga : Semangat Perang Gaib

Gotong Royong

Bukan seperti vaksin yang nama dan aplikasinya tidak selaras, konsep gotong royong yang menjadi ekasila bangsa Indonesia sudah mulai dilakukan oleh masyarakat dengan saling bahu membahu membantu sesama. Masyarakat yang jauh dari sifat egois dan individualisme serta senantiasa peduli terhadap kegiatan sosial. Pandemi telah melahirkan kembali watak dan budaya bangsa yang beberapa dekade terakhir hilang dijajah budaya asing.

Tokoh publik, komunitas, perusahaan, hingga masyarakat awam berlomba menawarkan diri membantu saudara-saudara yang isoman. Menyediakan sembako gratis dan diantar sesuai tujuan. Tanpa pamrih, murni solidaritas. Sisi kemanuisaan masyarakat Indonesia tanpa muatan politis dan pencitraan.

Di beranda media sosial, banyak akun yang memberikan jasa sosial, baik dari individu maupun kelompok. Utamanya adalah bagi penyintas Covid-19 dari keluarga yang kurang mampu atau penghasilannya berkurang drastis akibat pandemi. Sebelum ramai kegiatan sosial “bantu penyintas Covid”, masyarakat yang isoman begitu dikucilkan di masyarakat. Tidak boleh keluar rumah dan tidak boleh berinteraksi dengan warga. Mereka mengalami sakit fisik dan mental.

Keterbatasan satgas dalam melayani para penyintas yang membludak beberapa hari terakhir yang akhirnya menggerakan masyarakat lain untuk melakukan bakti sosial kepada para penyintas di lingkungan sekitar masing-masing. Bahkan beberapa warung makan menyediakan paket khusus gratis bagi penyintas dan siap diantarkan selama stock tersedia.

Kegiatan gotong royong yang dilakukan masyarakat untuk memulihkan kondisi bangsa Indonesia yang sedang loyo sedikit-banyak telah membantu pemerintah mengatasi pandemi. Ketika kas negara dikuras untuk kegiatan vaksinasi dan penyediaan fasilitas kesehatan, masyarakat ternyata masih banyak yang peduli terhadap sesama. Meskipun mereka yang membantu juga merasakan dampak (penurunan penghasilan) yang sama dengan yang lain.

Berharap dan optimistis Indonesia keluar dari masalah pandemi seperti di berbagai negara maju jika masyarakatnya mudah diatur dan punya empati terhadap sesama. Indonesia adalah negara plural yang mempunyai latar belakang berbeda-beda. Mengelola bangsa yang besar harus dengan kesabaran dan perlu kesadaran dari masyarakatnya sendiri untuk sama-sama bangkit dari keterpurukan.

Pandemi sudah banyak memakan korban orang terdekat. Menyiksa keadaan dengan tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan yang menciptakan kerumunan. Membodohkan masyarakat karena urung membuka kegiatan belajar mengajar (tatap muka). Menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan nasional. Hanya mengharap bantuan dari pemerintah adalah sikap yang tidak solutif di masa sekarang. Setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk membantu harus menunjukan sikap solidaritas terhadap sesama.

Semoga gerakan masif merangkul penyintas Covid-19 menjadi semangat masyarakat yang hampir putus asa akibat pandemi. Satu lidi akan mudah dipatahkan, jika dikumpulkan menjadi sapu akan menjadi kokoh.

 

Pernah dimuat di Times Indonesia

https://www.timesindonesia.co.id/read/news/368733/merangkul-penyintas-covid19 

Dalam cerita pewayangan di Indonesia, nama punokowan cukup akrab didengar. Meskipun tidak ada dalam kisah wiracarita (Mahabharata dan Ramaya...

punokawan reborn

Dalam cerita pewayangan di Indonesia, nama punokowan cukup akrab didengar. Meskipun tidak ada dalam kisah wiracarita (Mahabharata dan Ramayana), namun punokawan selalu menjadi bumbu tersediri ketika goro-goro menampilkan dialog dan adegan lucu (menghibur) bagi penonton. Punokawan terdiri dari 4 tokoh, yakni; Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.

Semar alias Ismaya alias Badranaya dianggap simbol Ilahiyah masyarakat pewayangan. Seperti halnya Allah Swt yang tidak bisa dijelaskan seperti apa dan bagaimana, Semar juga menyimbolkan keabsurdan Tuhan (tan kena kinaya ngapa, tan kena kinaya sapa). Semar begitu disegani oleh kawan dan lawannya. Ia menjadi sosok bijaksana dan arif yang senantiasa memberikan nasehat. Semar menjadi sosok panutan bagi semua orang.

Dalam penggambarannya, Semar bukan sosok laki-laki dan bukan pula perempuan, tangan kanan menunjuk ke atas dan tangan kiri menunjuk ke bawah, mulutnya tersenyum dan matanya menangis (mengeluarkan air mata), tidak duduk dan tidak berdiri, tidak tua (seperti wajahnya) dan tidak muda (seperti kuncungnya). Paradoks seperti halnya Tuhan.

Gareng alias Pancalpamor adalah anak pertama Semar yang berkaki pincang dan bermata juling. Ia menyimbolkan bahwa hidup harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Semua hal yang diinginkan tidak mesti didapatkan, karena semua kehendak Tuhan.

Petruk alias Dawala adalah anak Semar berikutnya. Ia dikenal sebagai tokoh yang nakal, cerdas, dan pandai berbicara. Terakhir adalah Bagong alias Bawor yang dikiaskan sebagai bayangan dari Semar. Ia memiliki sifat memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh. Namun Bagong juga memiliki sifat sederhana, sabar, dan tidak terlalu kagum dengan kehidupan dunia.

 
Baca Juga : Prabu Karna dalam Percaturan Politik Indonesia

Ponokawan Reborn

Berbeda dengan punokawan yang artinya memahami teman (kawan sejati), ponokawan lebih bermakna umum. Ponokawan memahami keadaan dengan cinta dan kesetiaan. Mendampingi pejabat atau pemimpin dan memahami seluk beluk kepemerintahan, tapi tidak berambisi menjadi pejabat atau pemimpin.

Kehadiran ponokawan lebih diharapkan oleh rakyat karena kemampuannya memahami realita kehidupan. Kebijaksanaan dalam bertutur dan berperilaku yang bisa diterima oleh semua kalangan. Ponokawan tidak memihak satu dengan yang lain selain bercita-cita untuk kemajuan dan keadilan bersama.

Misalnya Semar sebagai pelayan masyarakat ketika diberikan mandat dianggap bagian dari ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Dalam sudut pandang agama Islam; Semar artinya bersegeralah, Gareng artinya buah atau kebaikan, Petruk artinya tinggalkan, dan Bagong artinya yang buruk-buruk. Jadi makna filosofis punokawan adalah meminta manusia untuk segera bertaubat kepada Allah agar mendapatkan buah kebaikan, asalkan mau dan mampu meninggalkan yang buruk-buruk (mungkar).

Goro-goro di Indonesia muncul pada masa reformasi yang mengubah segala sendi kehidupan. Politik, budaya, ekonomi, hingga agama berubah sedemikan drastis dengan berbagai revolusi kepemerintahan. Di sisi lain, destruksi masyarakat bergejolak dengan meningkatnya kriminalisme, matinya ekonomi rakyat, dan hancurnya masa depan bangsa.

KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur muncul menjadi tokoh penyelemat negara akibat terombang-ambingnya situasi politik di Indonesia. Melalui poros tengah, beliau melanggang mulus menjadi presiden dengan proses negoisasi panjang bersama Muhammad Ainun Najib alias Cak Nun.

Kedua tokoh tersebut dikenal aktif melakukan konfrontasi di era kepemimpinan Soeharto. Melalui tulisan, pentas seni, hingga pergerakan untuk melengserkan Soeharto yang dianggap diktator dan otoriter selama 32 tahun lamanya. Berkat pengalaman memimpin PBNU, ketika menjabat presiden, Gus Dur melakukan manuver identitas persatuan dan kebangsaan. Menanamkan sikap toleransi dan pluralitas bangsa. Gus Dur akhirnya menyandang gelar bapak pluralisme Indonesia.

 

Baca Juga : Nasib Kesenian Tradisi di Tengah Pandemi

Tokoh Kesenian

Berangkat dari bidang kesenian (wayang), ada 4 tokoh nasional yang digadang pantas menyandang predikat punokawan reborn. Pertama Gus Dur yang dikiaskan sebagai Ki Semar. Sebagai seorang bapak, beliau memberikan petuah-petuah bijak kepada masyarakat ketika menjabat menjadi presiden. Begitu disegani oleh siapapun lawan politiknya.

Selanjutnya adalah Ahmad Musthofa Bisri alias Gus Mus yang juga teman karib Gus Dur ketika masih hidup. Gus Mus diibaratkan seperti Gareng dengan karakter bijaksana dalam mengambil keputusan (tidak grusa-grusu). Gus Mus merupakan seniman lukis dan juga penyair yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang harmonis penuh cinta dan kasih.

Kemudian ada Cak Nun yang dikiaskan menjadi sosok Petruk dengan kelebihan berbicara di depan khalayak umum. Sedikit nakal dan cerdas dalam menjabarkan sesuatu. Menggagas forum maiyah yang sudah tersebar di berbagai daerah, Cak Nun juga seorang seniman atau budayawan yang pernah aktif di lingkungan politik nasional.

Terakhir si bungsu Bagong yang disematkan kepada Sudjiwo Tedjo. Meskipun tidak berangkat dari kalangan santri seperti ketiga tokoh lainnya, Sudjiwo Tedjo kerap melahirkan buku-buku tasawuf. Ia tidak terlalu tergiur pada bingar-bingar kehidupan dunia dan popularitas. Berangkat dari dunia pewayangan (dalang), beliau aktif menghadiri diskusi-diskusi politik nasional yang kemudian menggenapkan 4 tokoh punokawan.

Sejak beberapa tahun yang lalu, euforia punokawan reborn mulai dikenal dari berbagai kanal media sosial. Masuk dalam ruang industri kreatif (sablon kaos, cinderamata, dan berbagai lukisan), punokawan reborn seolah menjadi oase di tengah gerahnya politik identitas nasional.

Seperti halnya punokawan dalam cerita pewayangan, Gus Dur, Gus Mus, Cak Nun, dan Sudjiwo Tedjo juga sering berseloroh di forum-forum pengajian ataupun seminar. Di tengah ramainya kampanye punokawan reborn, semoga masyarakat bisa meneladani gairah berpunokawan dalam dirinya masing-masing.

Pandemi telah mengubah kebiasaan manusia dari berbagai sektor, salah satunya dunia kesenian dan panggung hiburan. Semua seni pertunjukan dit...

Konser Musik

Pandemi telah mengubah kebiasaan manusia dari berbagai sektor, salah satunya dunia kesenian dan panggung hiburan. Semua seni pertunjukan ditutup karena larangan berkerumun (social distance) demi memotong rantai penyebaran Covid-19. Masyarakat, khususnya penikmat seni harus kehilangan pertunjukan seni sebagai media hiburan dan pelaku seni yang harus meratapi nasib kehilangan pekerjaan.

Proses kreatif seniman terganggu, inspirasi terancam terhambat karena kurangnya ruang berkreasi dan berekspresi. Bukan hanya pelaku seni secara primer yang terdampak, di sisi lain banyak pekerja seni, kru panggung, penata musik dan cahaya, event organizer, dan lainnya yang mengalami nasib serupa.

Kerugian akibat pembatalan pertunjukan dan pembatasan akses ruang dirasakan di semua sektor kesenian. Mulai dari pameran lukis dan patung, konser musik, stand up comedy, pentas teater, dan berbagai kesenian tradisi. Pertunjukan dalam jaringan (daring) tidak begitu membantu pelaku seni untuk bertahan hidup. Bantuan dari pemerintah juga sebatas formalitas empati kemanusiaan tanpa solusi mencarikan wadah berkreasi dan ruang berekspresi.

Ketika memaksa seniman patuh dan tunduk kepada kebijakan, pemerintah juga harus memberikan timbal balik atas matinya seni pertunjukan. Bukan hanya pelaku seni, penikmat seni sebagai media hiburan juga harus terdampak kerugian akan akses pertunjukan seni yang terbatas.

Selain berfokus kepada pemulihan ekonomi, dalam proses vaksinisasi Covid-19, pemerintah juga harus memperhatikan sektor lain yang rela berpuasa selama pandemi, khususnya seni pertunjukan. Kesehatan masyarakat memang yang utama, tapi pertunjukan seni juga jangan lantas ditinggalkan tanpa solusi.

Seni itu stimulus bagi kehidupan masyarakat. Memperkaya kita dalam menjaga kewarasan. Arahmaiani menjelaskan bahwa seni adalah medium kreatif yang sangat fleksibel dan mampu merespons berbagai permasalahan dan situasi. Kesenian mampu menginspirasi dan menciptakan alternatif yang kreatif untuk memecahkan masalah.

 

Baca Juga : Nasib Kesenian Tradisi di Tengah Pandemi

Harapan

Pertengahan tahun 2020, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudaayan sudah memberi bantuan kepada sekira 38 ribu seniman (masih sangat mungkin bertambah) yang penghasilannya tersendat akibat pandemi. Pemerintah daerah pun turun tangan memberikan wadah-wadah pertunjukan virtual untuk memberikan bantuan kepada pelaku seni daerah.

Semasa Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (kemenparekraf) dijabat Wishnutama Kusubandio, anggaran pada 2021 ditetapkan sebesar Rp 4,907 triliun dalam rapat bersama Komisi Pariwisata DPR. Rencanaya dana tersebut akan dialokasikan ke dalam program percepatan pemulihan pariwisata, quality tourism, dan ekonomi kreatif. Selain itu juga untuk program digitalisasi dan kedaulatan digital.

Seiring pergantian menteri baru, Sandiaga Salahudin Uno, anggaran Kemenparekraf dipotong sebesar Rp 342 miliar sebagai upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19. Meski demikian, Sandiaga meyakini bahwa 2021 adalah tahun kebangkitan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

Berbeda dengan strategi program kementerian sebelumnya, Sandiaga memilih untuk menerapkan strategi inovasi dengan pendekatan big data untuk memetakan potensi dan penguatan berbagai sektor pariwisata. Kemudian, melakukan perubahan terhadap destinasi super prioritas di masa pandemi.

Selain itu juga penerapan standar yang ketat dan disiplin Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability (CHSE) untuk setiap destinasi wisata sebagai bentuk adaptasi di masa pandemi. Terakhir adalah kolaborasi dengan semua pihak untuk memulihkan sektor pariwisata dan industri kreatif dengan membuka lapangan pekerjaan, termasuk sektor kesenian.

Semua pekerja seni pertunjukan di tingkat nasional maupun tradisional dan semua even yang sifatnya rutin tahunan, kemungkinan akan bisa kembali digelar mulai bulan Juli mendatang. Langkah yang diambil kemenparekraf sebagai bentuk kepedulian terhadap nasib kesenian panggung diapresiasi tinggi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah harus hadir dalam membangun kembali gairah kesenian panggung.

Harapannya seni pertunjukan kembali menjadi media hiburan yang merakyat. Membangkitkan ekonomi sekitar dan menafkahi pelaku seni pertunjukan. Adaptasi kehidupan baru di masa pandemi tanpa harus menghilangkan interaksi dan komunikasi seni panggung, seniman dengan penonton.

Pandemi Covid-19 adalah pelajaran nyata bagi pelaku seni pertunjukan untuk bertahan hidup, berkarya, dan berpikir tentang pertunjukan. Ajang pertunjukan virtual -mau tidak mau- harus dipelajari sebelum realita terbukanya panggung-panggung kesenian. Positifnya adalah pertunjukan virtual membuka mata dunia (internasional) tentang kemegahan beragamnya kesenian tradisi dan kontemporer di Indonesia.

Kesenian Indonesia sangat unik untuk dikonsumsi sebagai media hiburan dan penelitian. Pemerintah harus tekun menyiasati eksistensi seni panggung agar tidak mati selama pandemi. Semoga bulan Juli 2021 menjadi keterbukaan pintu kesenian menuju panggung-panggung seperti sedia kala. Seni harus senantiasa memegang prinsip atraktif, interaktif, dan ekspresif yang tidak bisa maksimal dinikmati secara daring.


Pernah dimuat di Nusantara News

http://www.nusantaranews.net/2021/04/menyambut-gairah-seni-pertunjukan.html

Di tengah pagebluk Covid-19, Jokowi mengambil langkah strategis dengan meneken Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang pengelolaan ...

royalti musik

Di tengah pagebluk Covid-19, Jokowi mengambil langkah strategis dengan meneken Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau musik pada tanggal 30 Maret 2021. Kebijakan tersebut banyak diapresiasi para musisi tanah air seperti Anji, Anang Hermansyah, Pay BIP, Candra Darusman, dan lain sebagainya.

PP ini mengatur pembayaran royalti yang meliputi seminar dan konferensi komersial, klub malam, pub, cafe, bar, retoran, bistro, diskotek, bus, pesawat, kereta api, kapal laut, pameran dan bazar, konser musik, bioskop, nada tunggu telepon, pertokoan, bank dan kantor, pusat rekreasi, radio, televisi, fasilitas hotel, dan usaha karaoke ketika memutar lagu yang bersifat komersial.

Pembayaran royalti akan dihimpun melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dibentuk oleh pemerintah. Royalti tersebut nantinya akan didistribusikan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait. Aktualisasi dari penagihan royalti mengacu pada Sistem Informasi Lagu dan Musi (SILM).

Dalam peraturannya dijelaskan bahwa definisi royalti adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Sedangkan hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah berharap dengan adanya PP pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dapat membantu pendapatan musisi melalui kekayaan intelektual karya di tengah pandemi yang mengakibatkan sepinya konser dan acara on air dan off air lainnya. Selain itu juga untuk memberikan edukasi kepada masyarakat (pelaku usaha) untuk lebih menghargai sebuah karya seni ketika digunakan untuk tujuan komersial.

Sebelumnya, royalti untuk musisi dihimpun LMK Wahana Musik Indonesia (WAMI), Karya Cipta Indonesia (KCI), Anugerah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI), Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI). Pada tahun 2019 LMK PAPPRI menyalurkan royalti sebesar 1,69 miliar rupiah, sedangkan tahun kemarin menyalurkan royalti sebesar 2,5 miliar rupiah.

Namun diprediksi tahun 2021 pendapatan dari royalti intellectual property lagu dan musik mengalami penurunan mengingat masa pandemi yang berimbas terhadap industri musik seperti karaoke, klub malam, bistro, seminar, konser musik, dan sebagainya. Demikian yang menggerakan pemerintah untuk segera meneken PP Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik untuk membantu musisi tetap konsisten berkarya di tengah pandemi.


Baca Juga : Nasib Kesenian Tradisi di Tengah Pandemi

Risiko

Peraturan ini dianggap genting untuk segera disahkan mengingat menurunnya penjualan kaset atau CD karya musik yang berganti dengan platform digital. Penjualan lagu digital tidak tumbuh maksimal, sedangkan kemajuan teknologi digital semakin pesat. Ketika konser musik (panggung) dipaksa berhenti akibat pandemi, musisi harus tetap memperoleh penghasilan untuk penopang kebutuhan hidup.

Namun demikian, penerapan royalti terhadap ruang-ruang publik akan mengakibatkan pelaku usaha berpikir ulang untuk memutar lagu atau musik yang berpotensi mengandung hak cipta. Ketika semua industri belum berjalan sebagaimana mestinya, pembayaran royalti dianggap akan menambah beban pengeluaran pelaku usaha.

Meskipun di pasal 11 ada keringanan tarif royalti untuk usaha mikro yang perlakuannya masih begitu abu-abu, namun kepastian hukum tetap akan mematikan musik-musik komersial di ruang-ruang publik. Dampaknya, lagu dan musik dari musisi nasional akan semakin asing didengar oleh masyarakat. Lagu atau musik tidak lagi bisa dinikmati sebagai media hiburan sehari-hari.

Di lain hal, peraturan tersebut masih belum secara eksplisit mengatur hak royalti terhadap platform digital yang menyediakan musik cover. Walaupun di dalam pasal 3 memungkinkan untuk menjangkau ruang lingkup yang lebih luas (platform digital). Ketika semua sudah dibayangi pemungutan royalti terhadap karya musik, maka masyarakat akan beralih pada karya musik asing atau hal lain selain musik sebagai media hiburan.

Padahal banyak lagu yang terangkat akibat masifnya cover lagu di platform-platform digital. Bagaikan simbiosis mutualisme, lekatnya lagu yang sering didengar oleh masyarakat akan meningkatkan popularitas musisi itu sendiri. Belum lagi batasan plagiasi yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jika permasalahan fundamental tentang pengakuan hak cipta yang didasarkan pada karya plagiasi belum begitu terselesaikan, pengaturan royalti akan sulit diaplikasikan.

Ditambah arsip lagu (big data) lagu yang layak untuk mendapatkan royalti masih belum begitu maksimal. Begitu juga dengan software atau aplikasi pemungutan royalti di ruang-ruang publik yang susah dijangkau oleh LKMN. Dilematis PP Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik akan menjadi berkah bagi musisi namun akan menjadi musibah bagi pelaku usaha yang sebenarnya juga membantu mengenalkan karya musik para musisi ke publik dan tentunya masyarakat yang kehilangan lagu-lagu dari musisi nasional karena kekhawatiran pembayaran royalti di ruang publik dan platform digital.


Pernah dimuat di Jawa Pos

https://www.jawapos.com/opini/13/04/2021/dilema-royalti-hak-cipta-lagu/?page=all

Don’t judge a book from its cover Dalam filsafat Taoisme terdapat prinsip Yin dan Yang sebagai sebuah konsep keseimbangan serta dualitas yan...

Prabu Karna dalam Percaturan Politik Indonesia

Don’t judge a book from its cover

Dalam filsafat Taoisme terdapat prinsip Yin dan Yang sebagai sebuah konsep keseimbangan serta dualitas yang sudah ada sejak ribuan tahun lamanya dalam kebudayaan Cina. Semesta menghendaki adanya kebaikan dan keburukan, hitam dan putih. Semuanya berkesinambungan dalam dialektika kehidupan manusia. Bukan hanya di kehidupan sosial, setiap individu juga selalu berkonflik tentang pilihan kebaikan dan keburukan.

Agama dan spiritualitas adalah cara dan alat untuk menentukan kebaikan yang kadang bertolakbelakang dengan budaya atau kebiasaan yang sering dilakukan. Narasi dan motivasi yang bermuara pada keselarasan dan keharmonisan dalam menata tatanan sosial didasarkan pada rujukan kitab dan petuah-petuah dari orang yang disepakati keilmuannya.

Lambat laun, kedamaian yang dicita-citakan seluruh umat di dunia menjadi pudar. Terdegradasi oleh identitas dan labelitas keyakinan yang memaksa untuk bertikai dan berperang kepada mereka yang berbeda pandangan. Bukan hanya tentang perbedaan teologi, tapi juga dalam ranah politik dan sosial. Berebut jatah kekuasaan demi mewujudkan semua hasrat keinginannya.

Semangat perjuangan tidak lagi dirasakan dalam bentuk gotong royong membangun daerah atau negara, tapi lebih kepada gairah memerangi kelompok lain yang berbeda cara pandang dengannya. Memusuhi dengan berbagai retorika mengelabuhi basis pendukungnya. Politik yang berarti siasat untuk tetap menang dalam medan pertempuran.

Orang-orang baik terjebak pada dinamika politik yang membuatnya terlihat jahat. Orang-orang pecinta yang karena salah masuk “pintu rumah” menjadi terkesan manusia pembenci. Era media informasi, membuat putih dan hitam bercampur menjadi abu-abu. Abu-abu luntur menjadi pekat. Semua terlihat jahat.

Pujian-pujian sudah tidak lagi terekspose, digantikan dengan caci-maki, sumpah serapah, dan hinaan secara tersirat dan tersurat di kolom-kolom media sosial. Tidak ada lagi yang terpandang, semua mempunyai celah untuk dikritik dan dihina. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang sopan dan santun, berubah menjadi bangsa yang mengerikan dengan orasi-orasi peperangan.

 

Baca Juga : Agama Mengajarkan Budaya Luhur

Menjadi Prabu Karna

R. Ng. Ronggowarsito pernah menulis wasiat tentang Zaman Kalabendu, yaitu zaman yang tampak begitu menyenangkan dan penuh dengan kenikmatan dunia, tetapi zaman itu sebenarnya zaman kehancuran dan berantakannya dunia. Beberapa cirinya adalah ketika sesama saudara sudah mulai saling berkelahi, orang yang melakukan kesalahan berpesta pora, orang baik disingkirkan, orang yang benar cuma bisa bengong, banyak komentar yang tidak ada isinya, orang salah diangap benar, orang lugu dibelenggu, orang yang kelakuannya bejat malah naik pangkat, orang mulia dipenjara, yang salah mulia dan yang jujur hancur.

Sekarang kita melihat banyak orang yang berubah-ubah sikapnya. Semula dianggap pahlawan, kemudian dikatai bajingan. Semula dicaci-maki, kemudian dipuji-puji. Mengikuti arus berdasarkan nafsu untuk memenangkan sebuah kompetisi. Politik mengubah wajah manusia baik menjadi terlihat bertopeng-topeng. Semua merasa dirinya orang baik, sedangkan kadang dilihat sebagian orang sebagai musuh atau orang jahat. Jika dipaksa melakukan langkah nyata perbuatan baik akan dicap sebagai sebuah pencitraan. Kebencian mengaburkan warna-warni yang sebelumnya jelas menjadi gelap gulita.

Orang-orang yang terjebak pada kubangan politik tergambar pada diri Prabu Karna. Ia merupakan kakak tertua dari Yudistira, Bimasena, dan Arjuna. Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang bayinya (Karna) ke sungai Aswa. Bayi itu akhirnya ditemukan oleh Adirata (kusir kereta di Kerajaan Kuru). Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagai anaknya. Dalam kisahnya, Karna merupakan pendukung utama pasukan Korawa dalam perang besar melawan Pandawa. Pada bagian akhir perang besar tersebut, Karna diangkat sebagai panglima pihak Korawa, namun akhirnya gugur di tangan Arjuna.

Karna adalah cuplikan cerita yang dialami oleh orang-orang baik yang rela menjadi jahat karena status dan peran yang mengharuskan untuk membela kelompok yang membesarkan namanya. Karna adalah ksatria sejati yang mempunyai pribadi yang baik dan luhur. Namun karena berada di pihak Kurawa, maka Karna dianggap sebagai musuh atau orang jahat. Padahal keberpihakan terhadap Kurawa bukan karena pilihan, tapi karena keadaan yang memaksa harus menjadi bala Kurawa.

Seperti halnya sumpah militer yang harus setia kepada negara dan pimpinannya. Konsekuensi melanggar harus siap dipecat dan dihukum. Prajurit militer harus menyingkirkan sisi nurani dan moralitas demi kepatuhan dan ketaatan kepada panglima militer demi kemaslahatan negara. Petugas partai pun demikian adanya. Harus siap jika mendapat mandat dari partai. Budaya balas budi, merasa sukses karena peran partai dan kader-kader yang mendukungnya.

Mereka yang terjebak pada situasi seperti Prabu Karna tidak akan pernah terlihat bijak di mata orang yang berseberangan dengannya. Jutaan kebaikan tidak akan mengubur kebencian. Kesalahan setitik akan disebarluaskan demi tujuan mempermalukan nama besarnya. Indonesia yang katanya dibangga-banggakan orang-orang luar negari, tapi dihina-hinakan oleh orang-orang dalam negeri.


Pernah dimuat di Islami.co

https://islami.co/orang-baik-dalam-pusaran-oligarki-dan-ramalan-yang-akhirnya-tumbang/

Sebagai pelaku kesenian, saya cukup tersentuh dengan keluh kesah teman-teman seniman yang mencoba bertahan hidup di masa pandemi Covid-19. B...

kesenian tradisi

Sebagai pelaku kesenian, saya cukup tersentuh dengan keluh kesah teman-teman seniman yang mencoba bertahan hidup di masa pandemi Covid-19. Beberapa di antaranya seniman teater paruh baya yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri di panggung kesenian. Mereka dipaksa menghadapi “new normaldalam mempertahankan keseniannya. Panggung-panggung pertunjukan sudah menjamur dan berkarat digantikan layar-layar digital smartphone.

Menurut Eddy Sedyawati (1981), seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaan dimana ia tumbuh dalam lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan etnik ini, adat, atau kesepakatan bersama yang turun temurun mengenai perilaku, mempunyai wewenang yang amat besar untuk menentukan rebah bangkitnya kesenian.

Sebelum pandemi, kesenian tradisi memang kurang begitu diminati. Dominasi kesenian modern sudah membius penikmat seni beralih dari bayang-bayang ritus dan mistis kesenian tradisi. Kemajuan teknologi juga membantu masyarakat melupakan masa jaya seni tradisi di Indonesia.

Periode tahun 90-an, seni tayuban begitu lekat di kalangan masyarakat. Tampil di persimpangan jalan desa satu ke desa lainnya. Masyarakat begitu khusyuk menyaksikan tarian lenggak-lenggok sinden dan tabuhan gamelan yang sederhana. Sesekali disisipi pesan-pesan moral untuk selalu berlaku bijak dalam kehidupan. Antusiasme masyarakat terhadap kesenian tradisi cukup dimaklumi, mengingat rendahnya konsumsi teknologi (televisi dan gadget) masa itu.

Sekarang kesenian tradisi tidak lagi digemari masyarakat. Bahkan banyak yang sudah melupakan euforia seni tayuban, ketoprak, lengger calung, wayang jemblung, ludruk, dan beragam jenis tari khas daerah tertentu. Masyarakat mulai dimanjakan dengan dunia digital yang menonjolkan kekuatan audio dan visual dalam pengkaryaannya.

Selain kurang diminati, pelaku seni tradisi juga berpikir realistis tentang perkembangan kesenian di Indonesia. Kesenian tradisi terjebak pada pakem pertunjukan yang akhirnya tertinggal jauh dengan kesenian modern yang lebih fleksibel mengikuti pasar. Akhirnya, kapitalisme kesenian mengusai seni modern yang menonjolkan fungsi digital sebagai acuannya.


Baca Juga : Inovasi Pandemi Pentas Teater

Menganaktirikan Seni Teater

Jika dimaknai secara etimologis, teater merupakan tontonan di gedung pertunjukan untuk disaksikan banyak orang. Istilah lainnya adalah drama yang diartikan sebagai perbuatan, tindakan, atau perilaku. Dalam tradisi Jawa, ada istilah sandiwara yang dikenalkan oleh P.K.G. Mangkunegara VII yang berasal dari sandi = teka-teki dan warah = ajaran, nasihat. Artinya adalah pertunjukan yang sarat pesan moral secara tersirat maupun tersurat.

Perkembangan teater di Indonesia cukup menggembirakan. Sejak kemunculan tokoh W.S Rendra yang mempopulerkan teater modern, kemudian disusul Arifin C. Noer, Putu Wijaya, hingga Sapardi Djoko Darmono. Hampir setiap kampus mempunyai UKM Teater per fakultasnya, bahkan di tingkat sekolah dasar hingga menengah atas juga mempunyai ekstrakurikuler teater.

Namun gairah berteater tidak diikuti dengan intensitas kesejahteraan pelaku teater. Akhirnya, minat berteater hanya dijadikan hobi, bukan jalan hidup. Apresiasi tertinggi dari pementasan teater hanyalah seberapa banyak penonton dan riuh tepuk tangan yang didengar. Soal pendapatan atau penghasilan hanya cukup untuk menutup biaya produksi pertunjukan.

Berbanding terbalik dengan dunia perfilman. Selain kemudahan akses mendapatkan sumber pendanaan dari sponsor, tontonan film juga jauh lebih diminati daripada pertunjukan teater. Harga tiket masuk juga bisa dijadikan acuan bahwa standar teater daerah sudah jauh tertinggal dari film. Kecuali memang pertunjukan teater sekelas teater koma, bengkel teater, dan sejenisnya yang mencoba “mengangkat martabat” daya jual teater.

Di Solo, standar harga tiket pertunjukan teater hanya berkisar 10 ribu hingga 20 ribu. Kapasitas penonton sekira 300-an orang. Sedangkan biaya produksi selama 3 bulan proses menuju pertunjukan bisa mencapai 5-10 juta. Daya tawar bagi sponsor dan donatur juga rendah karena pertunjukan yang singkat (1-2 jam) sekali pertunjukan.

Realita yang akhirnya banyak mengurungkan minat pemuda untuk menekuni dunia akting. Apalagi seni tradisi yang sulit mendapatkan ruang pertujukan karena tergusur dengan transformasi seni digital. Seni tradisi bukan lagi menjadi hiburan bagi masyarakat, melainkan hanya dijadikan formalitas ritus belaka.

Padahal sejak era orde baru, pertunjukan teater adalah sarana strategis melemparkan isu sindiran dan kritikan kepada pemerintah. Seiring berjalannya waktu, jasa teater yang menerbitkan banyak artis legendaris di Indonesia sudah tidak lagi dikenal sebagai batu loncatan menuju kesuksesan. Produser Film lebih memilih model atau selebgram yang mendadak viral karena tingkah konyol di media sosial, daripada mereka yang sejak kecil sudah berproses dari sanggar satu ke sanggar yang lain.

 

Baca Juga : Hiburan Warga Kampung di Masa Pandemi

Melawan Pandemi

Anggara abadi untuk kebudayaan tahun 2020 mencapai 5 triliun rupiah. Kemendikbud gencar melakukan pemajuan kebudayaan berbasis revolusi industri 4.0. Konstruksi seni dan budaya yang diusung pemerintah untuk menjadikan kesenian domestik bisa bersaing di kancah Internasional. Faktanya, kesenian tradisi semakin terpinggirkan dari jangkauan dana produksi dan ruang pertunjukan.

Pandemi Covid-19 sedikit membuka mata bahwa kesenian tradisi sudah hilang dari panggungnya. Bahkan kesenian modern cukup kewalahan menarik minat penonton menyaksikan pertunjukan musik atau teater, meskipun tanpa tiket sekalipun. Warganet lebih memilih tontonan non-streaming sesuai waktu yang mereka kehendaki.

Sarana yang digunakan juga menjadi kelemahan ketika pertunjukan seni tidak didukung dengan event organizer yang memadai. Dampaknya adalah tersendatnya pertunjukan, kualitas audio yang jelek, dan tata panggung atau lampu yang tidak semegah pertunjukan offline. Seniman dipaksa berpikir tentang proses dan pemasaran yang serba digital untuk tetap bisa mengekspresikan ide dan karyanya. Mereka rela berproses tanpa sponsor dan tiket penonton. Asalkan karyanya diapresiasi (ditonton) sudah menjadi kebanggaan tersendiri.

Pemberitaan tentang pandemi lebih menekankan pada ekonomi dan politik semata, sedangkan banyak bidang yang patut untuk diperhatikan agar tetap lestari. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan kesenian tradisi. Jika tidak berminat menjadi pelaku kesenian tradisi, minimal bisa melecut semangat seniman di tengah wabah pandemi Covid-19.

Salah satu kekayaan bangsa Indonesia adalah seni dan budayanya. Setiap suku dan daerah mempunyai kesenian masing-masing. Sayangnya apresasi terhadap seni tradisi tergusur oleh kemajuan teknologi. Generasi muda sudah tidak lagi mengenal kesenian tradisi dan lebih menggemari kesenian asing yang masif menjadi tren remaja masa kini.

Merawat kesenian tradisi bukan hanya dengan kucuran dana yang melimpah, bukan pula narasi-narasi lantang tentang pelestarian budaya. Kesenian tradisi bisa hidup kembali jika ada ruang berekspresi dan mendapatkan apresiasi. Mencoba mengenalkan dan menarik minat generasi muda untuk menekuni kesenian tradisi sebagai jalan hidup. Sehingga tidak ada lagi citra seniman tradisi yang mati dalam kemiskinan dan kesengsaraan.


Pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia

https://nasional.sindonews.com/read/241574/18/nasib-kesenian-tradisi-di-tengah-pandemi-1606047075

Beberapa kelompok teater berguguran seiring pembatasan sosial di panggung-panggung kesenian. Pelarangan acara yang berpotensi menimbulkan ke...

inovasi teater


Beberapa kelompok teater berguguran seiring pembatasan sosial di panggung-panggung kesenian. Pelarangan acara yang berpotensi menimbulkan kerumunan, membuat pelaku teater memutar otak untuk tetap berkesenian di tengah pandemi.

Ketidakjelasan kapan pandemi akan berakhir (kemunculan varian virus baru), menuntut seniman teater panggung banting setir untuk mencari penghidupan. Panggung teater bukan lagi menjadi tempat menjemput rezeki. Panggung teater mulai usang digantikan kisah dan kenangan.

Konsep teater sebagai hobi pun tidak mudah tersalurkan di panggung teater. Pelaku seni dipenjara dalam kecemasan persebaran Covid-19 dan ketakutan akan sanksi sosial dan hukum dari pemerintah. Diam di rumah menikmati drama-drama televisi yang tidak serealistis pertunjukan teater.

Keputusasaan pelaku teater terhadap pemerintah mengenai penanganan Covid-19 mamaksanya untuk nekat mengadakan proses dan pementasan teater secara langsung (bukan streaming) di masa pandemi. Risikonya adalah pembatasan jumlah penonton yang notabene menjadi sumber utama pendapatan utama kelompok teater. Alternatif solusi adalah dengan menaikan harga tiket pementasan untuk menutup biaya produksi pertunjukan.

Gairah pertunjukan teater bukan hanya dinikmati oleh pelaku kesenian, melainkan juga penikmat seni (penonton) yang sudah lama merindukan pentas teater. Antusiasme terhadap pertunjukan teater secara langsung jauh berbeda dengan pertunjukan teater secara digital.

 

Baca Juga : Drama Politik Indonesia

Film Pengganti Teater?

Menurut UU 8/1992, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.

Di Indonesia, film pertama kali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep". Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang dengan tema film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Sedangkan film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu.

Menurut Eko Santosa dalam buku Seni Teater (2008), teater adalah sebuah kesenian yang menekankan pada seni pertunjukan yang dipertontonkan di depan orang banyak, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainnya. Dengan kata lain teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton.

Teater berasal dari bahasa Yunani "theatron" yang memiliki arti tempat atau gedung pertunjukan. Awalnya teater diartikan sebagai gedung tempat untuk menyaksikan pertunjukan. Kemudian berkembang sebagai tempat pertunjukkan di depan orang banyak.

Era digital memaksa pelaku teater beralih ke pertunjukan virtual. Gagasan seniman teater untuk memfilmkan program kerja kelompok semakin mengemuka. Beberapa di antaranya sudah menjadikan film sebagai agenda kelompok teater. Ada anggapan menyamakan film dengan teater sebagai satu entitas: drama.

Bahkan masih banyak persepsi bahwa teater adalah “bahan mentah” untuk merambah ke dunia film. Pelaku teater dilihat sebagai “seniman rendahan” dan pemain film dilihat sebagai “seniman eksklusif”. Mereka yang masuk kelompok teater punya ambisi untuk bisa main film. Teater dijadikan batu loncatan untuk eksistensi yang lebih universal, yakni dunia perfilman.

Secara visual, film tentu jauh mempunyai nilai estetis dibandingkan teater. Film lebih kuat dalam proses editing, sedangkan teater adalah pertunjukan tanpa editing. Pertunjukan teater lebih riskan untuk mengalami kecelakaan di atas panggung yang kemudian diatasi dengan cara improvisasi. Selain itu teater juga menjalani proses yang lebih panjang untuk membentuk karakter peran, dramatugi, setting tempat, musik, dan sebagainya,

Artis panggung teater dituntut lebih kuat secara keaktoran daripada pemain film yang sudah banyak menggunakan teknologi untuk menunjang kualitas seni peran. Tak heran banyak pemain film yang diambil dari selebgram, model, dan musisi yang tidak mempunyai dasar ilmu drama sebelumnya.

Film bukanlah alternatif pertunjukan teater dari segi logika, etika, dan estetika panggung. Jika tetap memaksakan mendigitalisasi teater, solusinya adalah dengan pertunjukan teater langsung yang disiarkan secara virtual. Tentu akan banyak masalah teknis dari pengambilan suara, alat rekam, dan bentuk panggung yang tidak utuh terlihat di kamera.

Untuk menghindari kejenuhan atau untuk membuat visual yang manarik, bisa menggunakan beberapa kamera yang dipasang di beberapa sudut yang kemudian diubah oleh operator teknis mengikuti blocking pemain. Minimal teater tetap utuh dimainkan dengan mempertimbangkan keaktoran, garis blocking, dan nihil dari editing visual. Film mempunyai pasar tersendiri, demikian halnya dengan teater. Jika memaksakan teater beralih ke film, maka proses teater suatu saat akan menjadi mitos generasi digital.


Pernah dimuat di Depok Pos

https://www.depokpos.com/2021/03/inovasi-pandemi-pentas-teater/