CATEGORIES

Showing posts with label pendidikan. Show all posts

Radikalisme masih menjadi objek menarik melucuti kelompok politik dan agama. Kata yang semula diartikan sebagai gagasan mendasar dan maju da...

dunia filsafat

Radikalisme masih menjadi objek menarik melucuti kelompok politik dan agama. Kata yang semula diartikan sebagai gagasan mendasar dan maju dalam berpikir atau bertindak dikonotasikan sebagai aliran gerakan yang amat besar untuk menuntut perubahan. Kemudian disematkan pada ajaran agama yang diafiliasikan dalam bentuk politik identitas untuk menyunat kantong suara di pemilu.

Dalam beberapa hal terkait nilai keagamaan, radikalisme kerap disematkan pada kelompok Islam puritan yang kemudian diarahkan dalam gerakan “kriminalitas” dan terorisme. Istilah wahabisme, hizbut tahrir, hingga salafi dijadikan dalih menyerang ideologi yang berseberangan. Nahdlatul Ulama tampak organisasi yang paling getol menarasikan ketidaksetujuannya dengan ajaran Islam konservatif yang tumbuh subur di media sosial.

Tak ayal, banyak santri dan ustaz dari kalangan nahdliyin “perang medsos” untuk memberikan argumentasi kontra-narasi ulama-ulama wahabi. Menyuguhkan dalil dan logika berpikir tentang konsep agama yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun dogma dan fanatisme mengenai keyakinan menyebabkan perbedaan terhadap penafsiran agama selalu dijadikan materi perdebatan.

Dengan bumbu politis, agama terlihat sebagai alat melegalkan kebencian dan kekerasan. Memanfaatkan tren islamisme modern untuk menggiring opini publik membenci individu atau kelompok lain. Kerentanan pemahaman agama secara komprehensif mengabaikan bahaya kebencian agama seperti perang saudara di Timur Tengah.

Bahkan saking meloyanya, pemerintah menyusun strategi khusus (dalam bentuk kebijakan) untuk menangani penyebaran paham radikalisme. Lembaga BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), hingga Densus 88 bergerak aktif melawan radikalisme agama. Pemerintah juga berafiliasi dengan lembaga negara, kepolisian, dan akademik untuk menahan laju persebaran ajaran radikalisme.

Bulan Juli 2022, BNPT menyebut ada 33 juta penduduk terpapar radikalisme di Indonesia. Kemudian media memberikan framing tentang bahaya radikalisme dalam tatanan sosial, agama, dan kedaulatan. Mengidentifikasi ideologi agama tertentu terhadap gerakan radikalisme tentu dinilai tidak adil. Apalagi Indonesia kerap menggaungkan sistem demokrasi dan pancasila yang menghendaki adanya hak kebebasan beragama.

 

Baca Juga : Fahruddin Faiz, Menghilangkan Skeptisisme Filsafat

Kontemplasi

Kesalahan melihat perilaku kriminalitas atas nama agama hingga bom bunuh diri tidak bisa dilimpahkan pada keputusan seseorang meyakini prinsip beragama yang disediakan di lingkungan atau media digital. Semua punya hak untuk fanatik pada ulama dan ajaran yang dianggapnya baik. Dalam orientasi “perebutan umat”, seharusnya masing-masing ideologi atau aliran agama menyajikan platform atau konten yang menarik sebagai wadah mengajarkan ilmu, bukan dengan menghakimi kajian kelompok lain.

Kita perlu berkaca pada pernyataan Prof. Koentjaraningrat bahwa mental manusia Indonesia itu tidak suka berpikir logis, tidak suka berusaha gigih dan tekun, suka menerabas dan meremehkan mutu, tidak percaya diri, tidak disiplin, dan suka mengabaikan tanggungjawab. Begitu juga dengan kritikan Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia pada umumnya bermental munafik, berjiwa feodal, percaya takhyul, berwatak lemah, boros, malas, suka mengeluh, mudah dengki, arogan, dan tukang tiru.

Itulah yang menjadi dasar Jokowi aktif menyuarakan revolusi mental. Bahwa karakter dan sifat manusia Indonesia -termasuk kita sendiri- jauh dari kata tercerahkan. Dari nilai budaya, perlu diakui bahwa kita adalah bangsa yang suka meniru gaya hidup negara lain. Sementara dalam ranah agama, ideologi transnasional mudah tersebar melalui media daring. Keterbelakangan mental bangsa diperparah dengan miskinnya nilai spiritualitas yang berdampak pada sikap anti kebijaksanaan.

Perlu banyak perubahan dari lembaga pendidikan untuk membiasakan masyarakat berpikir logis dan sistematis. Sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh dogma agama yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Kepatuhan berpikir dimuali dari penyediaan pelajaran filsafat untuk mengajari berpikir runtut. Masyarakat harus dibiasakan belajar filsafat untuk menghilangkan stigma negatif tentang pertentangan ajaran agama dan filsafat.

Agama harus bisa dipahami secara logis ketika ilmu pengetahuan tersebar di internet. Ketidakcakapan belajar agama tanpa dilandasi pikiran yang logis berimplikasi pada rendahnya kualitas keyakinan seseorang. Agama dianggap sebagai objek suci yang dilarang untuk dipertanyakan dan dikritisi. Perdebatan seputar dalil atau tafsir agama tidak akan pernah menemukan jalan keluar selain kepatuhan pada logika berpikir.

Sayangnya, kajian filsafat masih dianggap tabu bagi kalangan muslim. Bahwa belajar filsafat rentan pada pembentukan keyakinan atau idelogi liberalisme. Ketika menjelaskan masalah agama dengan dasar filsafat akan mudah dicap liberal, sementara pikiran konservatif akan dicap radikal. Demikian yang menjadi bahasan rutin dalam beragama di media sosial.

Padahal akar tumbuhnya paham radikalisme dan sifat kebencian dimulai dari kemalasan masyarakat -termasuk kita sendiri- untuk berpikir. Sementara landasan berpikir adalah filsafat. Sebuah hadis dari kitab al-Awsath, bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Ciptaan Allah pertama adalah akal. Lalu, Allah memerintah kepada akal, 'Menghadaplah', akal itu pun menghadap. Lalu Allah memerintahkan, 'Renungkanlah', maka akal itu pun merenung,”***

Bicara tentang kehidupan selebirtas, masyarakat perlu menyadari tentang filterisasi informasi yang bermanfaat atau sebaliknya. Selebritas ju...

Edukasi Selebritas

Bicara tentang kehidupan selebirtas, masyarakat perlu menyadari tentang filterisasi informasi yang bermanfaat atau sebaliknya. Selebritas juga bagian dari masyarakat yang berpotensi melakukan kesalahan dalam perkataan maupun tindakan. Meski fanatisme kadang mereduksi nalar kritis terhadap pesohor yang diidolai.

Kebebasan berekspresi menjadi dalih selebritas melakukan hal-hal yang melanggar nilai-nilai budaya dan keagamaan. Masyarakat disajikan tontonan yang tidak layak konsumsi. Sementara selebritas sekonyong-konyong memberikan pernyataan kepada masyarakat untuk cerdas memilih konten yang sesuai kebutuhannya. Tidak ada paksaan untuk menonton kontennya.

Kita tidak bisa berharap lebih tentang konten yang mengedukasi kepada selebritas ketika orientasinya adalah popularitas dan pendapatan. Aturan hukum juga tidak jelas dan tegas memberikan arahan pada konten yang ditampilkan di platform digital yang saat ini menjadi kebutuhan primer masyarakat. Dampaknya, banyak masyarakat hingga anak-anak mengikuti pola perilaku selebritas yang ditontonnya.

Pengaruh selebritas terhadap perubahan budaya perlu dianalisis untuk menentukan kebijakan penyiaran. Tokoh publik harus punya tanggung jawab moral, selain kebutuhan komersial. Apalagi fungsi pendidikan formal banyak digantikan dengan pendidikan digital. Anak-anak yang dibiasakan menonton konten selebritas punya naluri meniru perkataan dan perilaku yang kadang tidak sesuai etika (nilai dan norma) di masing-masing daerah.

Dunia digital yang menampilkan pesohor tanah air sudah menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat. Realitanya, pola pikir dan perilaku di masyarakat sudah tidak sejalan dengan perkembangan teknologi digital. Goncangan budaya membawa masyarakat pada titik krisis identitas. Masyarakat tidak lagi berpikir rasional, kritis, sistematis, dan reflektif di berbagai bidang kehidupan.

Media sosial menjadi medium menampilkan citra sebagai perwujudan abstraksi realita. Membangun persepsi atas bayangan realita. Kanalisasi pemikiran dalam program media sosial diarahkan membentuk pola perilaku tertentu. Dalam negara hukum demokratis, selebritas harus diedukasi dan dilatih secara moral. Tidak menyajikan tontonan yang membodohkan dan mengarah pada perilaku menyimpang.


Baca Juga : Seberapa Penting Pendidikan Bagi Wanita?

Etika Selebritas

Industri digital menjadi tawaran menarik secara ekonomi. Jutaan orang berlomba membuat konten untuk meraih popularitas (viral) dan keuntungan. Banyak selebritas dadakan keluar dari pekerjaan konvensional dan memilih menekuni dunia digital. Memanfaatkan paltform digital seperti YouTube, TikTok, Instagram, hingga Facebook.

Beberapa di antaranya rela melakukan aktivitas ekstrem seperti menyiksa orang tua (mandi tengah malam), membuat konten pornografi, hingga aksi Ria Ricis mengajak anaknya (balita) bermain jetski. Dalam program pendidikan parenting, kegiatan Ria Ricis jelas tidak layak dicontoh sebab berpotensi pada risiko kecelakakan pada anak. Namun kurangnya sikap kritis masyarakat, malah banyak yang mendukung aksi YouTuber tersebut.

Banyak lagi perilaku selebritas yang dijadikan konten tidak berorientasi pada pendidikan selain sikap kebodohan yang bakal ditiru banyak masyarakat, khususnya fansnya. Meski ketenaran kadang tidak diperoleh dengan niat dan usaha, menjadi selebritas harus siap risiko pada tanggung jawab moral. Maju dan hancurnya generasi mendatang bergantung pada sajian tontonan dari selebritas.

Bukannya menyesal, banyak selebritas yang semakin ngawur membuat konten dengan dalih kebebasan berekspresi. Prihatinnya, banyak generasi milenial yang malah antusias menyaksikan tontonan yang jauh dari moralitas bangsa. Semakin banyak kemunculan platform digital yang menjamin popularitas dan pendapatan, semakin bodoh dan berani masyarakat membuat konten agar viral.

Selebritas harus menyadari posisinya sebagai tokoh yang punya banyak pengaruh. Ketika menuntut diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya, mereka harus bersedia meninggalkan gemerlap dunia digital. Selebritas harus menyadari dirinya sebagai produsen konten, bukan konsumen. Produsen berarti harus punya standar produk yang layak untuk dikonsumsi masyarakat.

Selebritas punya kebebasan menjual kesedihan, kekayaan, keteraniayaan, dan kebodohan di internet. Tidak semua orang punya kapabilitas menyaring informasi dan kritis terhadap konten digital. Penggunaan media sosial oleh kaum muda telah menjadi cara hidup dan aktivitas pribadi yang dibuat untuk publik (Edge, 2017).

Media sosial menambah volume dan frekuensi konten pada ranah yang jauh lebih personal. Kesadaran media sosial merupakan praktik perusakan diri didorong oleh perasaan ingin mencari sensasi atau perhatian dari publik. Setelah mencapai kepopuleran, mereka melakukan segala konsekuensi yang membahayakan diri dan orang lain (penonton konten).

Mengumbar ranah privasi yang tidak dibekali dengan edukasi dan etika sosial membahayakan perilaku masyarakat. Apalagi akses dunia internet banyak yang lepas dari pengawasan dan bimbingan orang tua. Selebritas tidak peduli dampak konten yang disajikan selain popularitas dan keuntungan. Sementara bangsa Indonesia menjadi korban kegagalan mengedukasi selebritas dalam membuat konten.***

Berkeluarga mempunyai beberapa fungsi seperti (1) fungsi biologis, yakni gagasan meneruskan kelangsungan hidup (keturunan) dan merawat kelua...

Pendidikan Bagi Wanita

Berkeluarga mempunyai beberapa fungsi seperti (1) fungsi biologis, yakni gagasan meneruskan kelangsungan hidup (keturunan) dan merawat keluarga dengan makanan/ minuman yang layak. (2) fungsi psikologis untuk memberikan kasih sayang dan rasa aman. (3) fungsi ekonomi dengan mencari sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup (nafkah). (4) fungsi pendidikan dengan menyekolahkan anak sebagai usaha memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai tingkat perkembangannya.

Di Indonesia, masih banyak yang menganggap tabu budaya pendidikan bagi anak wanita. Perspektif bahwa berkeluarga menyandarkan kebutuhan kepada pihak lelaki sebagai pencari nafkah. Sementara wanita hanya dijadikan objek eksploitasi pelayan keluarga. Pendidikan masih dianggap sebagai jalan meraih pekerjaan yang mapan, tanpa mempertimbangkan faktor pembentukan karakter, sikap kebijaksanaan, dan kecerdasan menyelesaikan masalah.

Kesenjangan gender yang menempatkan lelaki di posisi unggul mendapatkan pendidikan juga dipengaruhi faktor agama dan lingkungan. Wanita punya ketakutan menikah di usia matang karena dianggap tidak laku atau batasan menopause dan banyak yang memilih menikah di usia dini. Memaksa berhenti melanjutkan pendidikan dan memasrahkan nasib hidupnya kepada suami.

 

Baca Juga : Sistem Pendidikan Robot

Pendidikan Universal

Di tengah krisis pendidikan dalam negeri, perubahan peradaban melesatkan teknologi informasi yang memfasilitasi wanita memperoleh pendidikan nonformal. Meski tidak menawarkan gelar, elastisitas informasi di internet menyajikan berbagai pengetahuan untuk mendongkrak kualitas pendidikan wanita ketika berkeluarga. Melampaui sekat-sekat ruang kelas dan sekolah.

Hambatan selanjutnya adalah rendahnya minat literasi (belajar) secara daring. Dalam pendidikan formal, pelajar dididik dalam lingkungan yang fokus dan intens belajar. Ada nilai pembentukan karakter kedisiplinan, tanggung jawab, dan kompetitif. Tanpa pendidikan formal, wanita kehilangan suasana bersosialisasi. Mendiskusikan peran dan menyelesaikan masalah.

Manfaatnya, wanita yang memutuskan untuk tidak menyeriusi pendidikan formal akan terhindar dari sikap kritis, aktivitas hafalan buta, kepatuhan mutlak, dan hilangnya sikap kepemimpinan. Harus diakui, pendidikan Indonesia masih menerapkan sistem kuno yang mendidik pelajar menjadi objek pesuruh. Mencitakan menjadi pembantu alias bekerja ke perusahaan atau orang lain. Tidak diajarkan jiwa optimisme menjadi wirausaha atau pebisnis muda.

Keterbukaan informasi berisiko pada kurangnya filterisasi materi yang berpotensi hoaks. Tanpa bekal pendidikan yang diajarkan oleh guru atau dosen, wanita akan kesulitan memahami fenomena hanya dengan membaca informasi di internet. Apalagi tidak didukung dengan peran suami yang punya kewajiban mendidik istri dan anaknya.

Pendidikan yang diniatkan sebagai jembatan mendapatkan pekerjaan. Wanita akan berpikir panjang tentang konsep berkeluarga jika suaminya bekerja tidak pada satu tempat (kota). Kemudian banyak wanita yang mengalah ikut suami dan mengubur semua gelar pendidikan yang pernah diraihnya.

Urusan wanita hanya seputar sumur, kasur, dan dapur. Membersihkan rumah, memenuhi kebutuhan seksualitas, dan mencukupi kebutuhan makan/minum. Sementara istri/ibu merupakan pengajar dalam pendidikan awal anak dalam lembaga keluarga. Tanpa bekal pendidikan yang memadai, potensi keengganan belajar akan menular pada anak.

 

Baca Juga : Inovasi Guru Daring

Kurikulum Merdeka Belajar

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan program Kurikulum Merdeka Belajar untuk memaksimalkan peserta didik agar memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan memperkuat kompetensinya. Kurikulum Merdeka merupakan opsi tambahan dalam rangka pemulihan pembelajaran selama 2022-2024.

Diharapkan kurikulum ini membuat materi menjadi lebih sederhana, mendalam dan fokus pada materi yang esensial. Guru juga memiliki keleluasaan untuk mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta didik. Pelajaran akan lebih relevan dan interaktif dalam mengeksplorasi isu-isu aktual.

Revolusi pendidikan Indonesia belum mampu menjawab urgensi kebutuhan pendidikan wantia menjelang dewasa. Pendidikan nasional belum mampu menawarkan manfaat pendidikan bagi wanita, selain menghabiskan uang dan waktu. Bahkan di banyak desa, pendidikan tinggi bagi wanita masih tabu dan malah menjadi bahan olokan lingkungan sekitar. Jangka waktu pendidikan yang panjang menjadi alasan utama banyak wanita yang memilih tidak melanjutkan pendidikan tinggi.

Padahal implementari Kurikulum Merdeka Belajar seharusnya menjadi acuan meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia. Melanjutkan cita-cita menjadi bangsa yang maju, sejahtara, dan punya kompetensi. Gebrakan menteri pendidikan hanya akan dilihat dalam jangka waktu pendidikan. Setelah lepas dari pendidikan formal, tidak ada lagi tanggung jawab lembaga pendidikan memperhatikan karir wanita.

Harapannya Kurikulum Merdeka Belajar bukan menjadi proses dehumanisasi yang menghilangkan sisi kemanusiaan dengan mengutamakan ego masing-masing. Jika masih menjadi wadah mengunggulkan diri, wanita akan tetap menjadi objek eksploitasi lelaki ketika berumah tangga.***

Terlepas dari permasalahan startup edutech Ruang Guru akibat situasi ekonomi global, namun hybrid learning masyarakat dalam memanfaatkan kem...

Inovasi Guru Daring

Terlepas dari permasalahan startup edutech Ruang Guru akibat situasi ekonomi global, namun hybrid learning masyarakat dalam memanfaatkan kemajuan teknologi menjadi inovasi baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Perlu diakui, pendidikan nasional banyak mendapat kritik karena tidak bisa memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Semantara banyak praktisi dan akademisi memprediksi potensi Indonesia bakal segera menjadi negara maju dalam beberapa tahun ke depan.

Aktualisasi kurikulum yang tidak relevan dengan tahap usia anak didik dan sistem pengajaran yang feodalistik menjadi faktor sulitnya meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Terapan hafalan materi, budaya kompetisi, dan intervensi politik terhadap mekanisme birokrasi pendidikan menjadi masalah yang masih susah untuk diuraikan.

Sekolah belum mampu memfasilitasi anak didik untuk mencari ilmu, mengolah kreativitas, dan menata kepribadian. Dampaknya, banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan kesulitan mengembangkan potensi diri untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan beberapa di antaranya melihatkan sikap amoral di masyarakat. Anak didik masih kesulitan melihat peluang pasar dalam mengembangkan minat dan bakatnya, selain dituntut menjadi manusia yang patuh dan tunduk pada sistem.

Pendidikan nasional masih dibayangi mindset industrialisasi yang menghendaki anak didiknya menjadi pegawai atau karyawan di salah satu perusahaan daripada mencari peluang mengembangkan usaha sesuai minatnya. Sementara iklim kompetisi di dunia pendidikan mengajarkan sikap saling mengalahkan untuk mencapai keberhasilan, meski dengan risiko mengorbankan nilai-nilai sosial budaya.

Secara tidak sadar, pendidikan saat ini menempuh jalan penyeragaman pengetahuan, gaya hidup, dan kepatuhan yang sama. Kapasitas memori otak manusia dijejeli dengan pengetahuan dengan metode hapalan tanpa pelatihan dan kreativitas individu. Ketidakpedulian masyarakat terhadap mutu pendidikan mengakibatkan pembiaran kebodohan dan kebobrokan kualitas kecerdasan manusia. Mewajarkan sistem pendidikan hanya sebagai syarat formlitas menghibahkan diri pada industri dan kapitalisme.

Kesempatan memanfaatkan bonus demografi disia-siakan dengan sistem pendidikan yang kolot dan miskin inovasi mulai dari penerapan kurikulum, pembentukan aturan, hingga teknik ajar guru. Sementara reformasi pendidikan nasional butuh waktu dan metode yang sistematis agar bisa mengubah budaya pendidikan yang sudah mengakar di Indonesia.

 

Baca Juga : Menilai Sistem Pendidikan di Indonesia

Inovasi

Beberapa bulan lalu, saya mendapat kesempatan menjadi pengajar di salah satu startup edutech. Melakukan pendidikan (bimbingan belajar) secara daring atau online. Kegiatan seperti ini populer sejak pandemi, bukan hanya keperluan pendidikan informal, melainkan juga dalam sistem kurikulum pengajaran pendidikan formal (sekolah).

Kesadaran penggunaan gawai dalam belajar dan adaptasi pendidikan tanpa “tatap muka” mengasah guru melakukan inovasi pengajaran. Menciptakan budaya pendidikan baru tanpa terikat aturan sekolah namun tetap fokus dan konsentrasi belajar. Guru dituntut berkreasi membuat inovasi pembelajaran yang tidak membosankan.

Sementara materi, bahkan soal dan jawaban sudah banyak tersedia di internet yang kalau peserta didik aktif belajar via daring bisa menemukan sendiri pengetahuannya. Materi buku bukan lagi menjadi barang mewah yang “wajib” dibeli ketika guru malas melakukan invosi pengajaran tanpa memberikan soal ujian dari hasil plagiat di internet.

Beberapa kali saya melakukan pembahasan soal ujian selama bimbingan belajar online, soal pilihan ganda pun banyak yang mencuplik dari internet. Sementara banyak anak didik yang kesulitan menjawab pertanyaan karena tidakcakapan menguasai hapalan materi yang dijejeli dari berbagai mata pelajaran. Sedangkan hanya sedikit di antaranya yang diajari memahami materi atau mengnalisis kasus.

Kebuntuan inovasi mengajar guru, kekakuan kurikulum pendidikan, dan kaburnya orientasi pembelajaran menciptakan kegagalan mengimplementasikan tujuan konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Peserta didik hanya dituntut mendapat nilai bagus tanpa ada tanggung jawab memikirkan masa depan anak mengenai hasil pengetahuan yang didapat di sekolah.

Di sisi lain, kesejahteraan guru yang masih sering mendapat sorotan memungkinkan prioritas mengajar di sekolah sedikit diabaikan dan memilih memfokuskan pada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Dampaknya tentu pada kualitas kecerdasaan siswa yang secara tidak langsung berimplikasi pada tindakan amoral hingga kriminalitas di masyarakat.

Pendidikan adalah pondasi utama negara bangkit dari ketertinggalan. Berpartisipasi pada produktivitas ekonomi dan pengembangan bisinis dengan memanfaatkan kecerdasan intelektual. Tantangan majunya teknologi informasi harus relevan dengan mutu kualitas pendidikan nasional. Agar masyarakat adaptif menghadapi goncangan ekonomi global dengan terus berkreasi dan berinovasi sesuai minat dan bakatnya.

Guru juga harus punya tanggung jawab memberikan pengajaran yang inovatif di media daring. Bagaimana menciptakan iklim pembelajaran yang menyenangkan tanpa tekanan dan tuntutan yang berakibat pada tingkat stres anak didik. Selain juga memasukan nilai-nilai moralitas sebagai jalan merevolusi kebudayaan yang mulai banyak ditinggalkan.

Itulah yang sering saya terapkan dalam sistem mengajar secara daring. Meski bukan berasal dari lulusan keguruan, nyatanya siswa tertarik dengan metode pengajaran yang membuatnya antusias untuk bertemu dan belajar. Hasilnya adalah pencapaian nilai tinggi di kelas dan menguatnya nilai moralitas di lingkungan masyarakat.***

  Sistem media digital mereduksi kaidah struktur penulisan kata sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Banyak kata yang salah kaprah di...

 

Kecacatan Editor Tulisan

Sistem media digital mereduksi kaidah struktur penulisan kata sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Banyak kata yang salah kaprah di mesin pencarian yang dijadikan acuan dalam menulis artikel bahkan buku pendidikan. Kemudian kesalahan tersebut dianggap lumrah tanpa ada kekuatan mengubah paradigma masyarakat menulis dengan baik dan benar.

Saya merupakan pekerja di salah satu perusahaan percetakan dan penerbitan buku pendidikan, namun tidak berkecipung di bagian produksi atau editor tulisan. Mengingat sistem pendidikan di Indonesia yang tidak selalu relevan dengan minat dan bakat pelajar, maka banyak yang terpaksa sekolah tidak sesuai dengan keinginannya. Di sisi lain, pencarian pekerja di bidang editor tulisan diutamakan -bahkan diwajibkan- berasal dari jurusan pendidikan atau kebahasaan.

Saya adalah penulis buku dan ratusan artikel di media massa. Pernah bekerja paruh waktu menjadi editor media. Sedikit-banyak memahami kaidah tata bahasa yang baik dan benar. Menjadi keprihatinan ketika melihat kualitas buku pendidikan di perusahaan saya yang banyak menggunakan diksi tidak sesuai standar. Ada juga praktek plagiasi sebab tuntutan pekerjaan berdasarkan target produksi tulisan. Menariknya buku tersebut lolos dari pengawasan perpusnas dan disebarluaskan di lembaga pendidikan formal se-Indonesia.

Lebih aneh lagi ketika guru atau sekolah tidak ada yang komplain terkait kesalahan penulisan dan dianggap sebagai kewajaran. Kecacatan berliterasi dinilai lumrah bagi masyarakat umum dan menjadi kerancuan bagi penulis yang paham tata bahasa. Suatu saat akan terjadi konsep kesalahan yang dibenarkan dan kebenaran yang disalahkan.

Dalam ranah media digital, kesalahan penulisan kerap ditemui dalam running text di televisi dan judul artikel di banyak media nasional. Entah editor yang kecolongan atau ketidakpahaman mengenai kaidah kepenulisan, kecacatan tulisan menjadi kebiasaan yang tidak ada hukum dalam etika bahasa. Apalagi penerapan strategi Search Engine Optimization (SEO) yang menuntut penulisan sesuai kebiasaan pencarian di internet.

Tanggung jawab moral media terhadap revolusi tata bahasa terhalangi kepentingan komersial. Prinsip menulis sesuai Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) tidak begitu laku dalam mesin pencarian di internet. Bahkan murid, guru, hingga editor meng-iya-kan kesalahan penulisan yang kemudian dijadikan rujukan dalam penyusunan materi pembelajaran.

 

Baca Juga : Delusi Literasi Intelektual

Membaca

Memahami etika penulisan harus dibiasakan dengan referensi bacaan yang berkualitas. Pihak yang berkepentingan juga harus memfilter kualitas bacaan yang layak untuk dikonsumsi masyarakat. Sementara salah kaprah penulisan masih sering diwajarkan dalam penyajian buku dan artikel di media massa.

Kompetensi editor tulisan juga mesti ditingkatkan mulai dari industri percetakan dan penerbitan hingga perpustakaan daerah atau nasional. Orientasi editor harus diubah terkait faktor ekonomi, namun juga tentang tanggung jawab moral turut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa sesuai amanat konstitusi. Sejauh ini, korelasi jurusan pendidikan rupanya tidak selaras dengan kualitas produksi tulisan yang dipublikasikan.

Namun rendahnya minat baca masyarakat berpengaruh terhadap produksi konten dan karya tulis. Tulisan hanya menjadi alat memperkaya informasi asalkan pembaca memahami maksud yang disampaikan penulis. Membaca bukan menjadi aktivitas untuk membenarkan kesalahan penulisan, tetapi bisa menambah kecakapan diksi dan keluasan khasanah kebahasaan.

 

Baca Juga : Nasib Pers dan Literasi Indonesia

Belajar

Guru atau editor tidak bisa dijadikan parameter kecakapan menulis. Bahkan, banyak orang yang punya kompetensi menulis namun tidak berasal dari latar belakang pendidikan yang relevan dengan ketatabahasaan. Ketekunan belajar mengenai teknik kepenulisan yang membuat seseorang punya kelebihan dibandingkan mereka yang berasal dari pendidikan guru atau bahasa namun tidak ada upaya mempelajari perkembangan penulisan yang baik dan benar.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tesaurus, dan lain sebagainya adalah alat fundamental penulis sebelum membuat konten atau menulis karya di buku dan media massa. Belajar menulis harus konsisten dilakukan untuk mengetahui banyak hal yang dulu pernah salah karena kurangnya pengetahuaan terhadap dunia literasi.

Namun kadang semangat belajar di dunia kepenulisan sulit mendapatkan tempat di ruang strategis dalam penataan budaya kebahasaan seperti editor tulisan. Lebih mempercayakan kepada pekerja yang punya latar belakang pendidikan kebahasaan atau keguruan. Hasilnya, banyak kecacatan tulisan yang terlanjur dipublikasikan di ruang-ruang yang seharusnya mendidik kepatuhan terhadap standar penulisan.


Baca Juga : Konflik, Dampak Rendah Literasi

Pembiasaan

Butuh waktu panjang mengembalikan standarisasi penulisan sesuai tata bahasa yang baik dan benar. Budaya membiasakan menulis dengan salah karena minimnya pengetahuan kebahasaan masih dipertahankan ketika komunikan dan komunikator sama-sama memahami maksud tulisan. Di sisi lain, mereka yang punya kesadaran terhadap kesalahan penulisan yang banyak tersebar di penulisan judul berita, isi artikel, materi buku, hingga iklan-iklan di billboard tidak punya ruang untuk mengkritisi kesalahan tersebut. Seolah dibiarkan dan dijadikan budaya.

Sudah lebih dari lima tahun, saya membiasakan menulis saat chatting atau membuat posting-an di media sosial menggunakan struktur penulisan sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Tidak ada penulisan kata singkatan dan penggunaan kata tidak baku. Meskipun cenderung lebih lama, namun pembiasaan menulis dengan baik dan benar akan melatih kepekaan menulis. Selain itu juga memberikan bacaan yang layak bagi komunikan.

Kesalahan menemukan referensi bacaan dan menuliskannya yang kemudian menjadi racun bahasa untuk dikonsumsi banyak orang di internet. Nasionalisme paling sederhana adalah menghargai esensi bahasa dalam bentuk ucapan maupun tulisan. Bagaimana masa depan kecintaan generasi mendatang terhadap bahasa yang bisa diproduksi saat ini melalui tulisan yang berkualitas, baik, dan benar.***

  Intelektualitas bukan lagi menjadi parameter kesuksesan seseorang. Modernitas menarik persepsi masyarakat menilai kesuksesan secara materi...

 

literasi digital

Intelektualitas bukan lagi menjadi parameter kesuksesan seseorang. Modernitas menarik persepsi masyarakat menilai kesuksesan secara material. Ukuran tersebut yang membawa kualitas manusia mengalami degradasi pengetahuan sebab rendahnya minat baca (literasi). Dipandang sebagai aktivitas yang membosankan, menghabiskan waktu, dan tidak produktif.

Percepatan industri digital memaksa manusia untuk lebih aktif berkreaktivitas mencari pendapatan secara mandiri. Orientasi ekonomi menjadi objek utama meraih kebahagiaan. Intelektualitas sedikit dipinggirkan ketika lembaga pendidikan hanya dijadikan syarat akademik tanpa ada usaha mencetak generasi unggul yang berpengetahuan.

Padahal ilmu pengetahuan disediakan melimpah di dunia digital. Menyajikan berbagai informasi yang sesuai minat bacaan masyarakat. Nyatanya, masih banyak masyarakat yang lebih memilih menggunakan gadget mereka untuk eksis di media sosial.

Membaca dan menulis membutuhkan niat disertai usaha yang kuat. Generasi milenial lebih menyukai sesuatu yang instan untuk mendapatkan uang daripada menambah wawasan dengan membaca. Sekalipun tidak memaksa diri untuk produktif (mencari uang), mereka lebih suka healing atau mencari hiburan dengan games atau nonton video di YouTube.

Di zaman teknologi digital telah memungkinkan buku dibuat tanpa kertas (paperless). Format audio book memudahkan seseorang mendengarkan isi sebuah buku yang dibacakan atau dinarasikan oleh narator. Meskipun penetrasi buku menjangkau khalayak yang lebih luas. Namun buku tetaplah menjadi karya otentik dari penulis, sementara diskusi atau ceramah sudah menjadi opini atau sumber skunder. Dampaknya, generasi milenial gampang terdoktrin dan tergiring opini untuk membenci atau menyukai sesuatu.

Sebagai generasi milenial butuh refleksi terhadap Bung Karno sebagai tokoh bangsa yang memimpin karena kepiawaiannya dalam berliterasi. Kegemaran Soekarno membaca membawanya dalam berbagai pemikiran ideologi. Ada peradaban megah dari pikirannya untuk mengangkat harkat martabat bangsa sebab pembendaharaan literasi yang berkualitas.

Padahal ketika itu penyediaan buku tidak semudah sekarang yang mulai banyak disediakan di ruang-ruang digital. Seokarno bukan hanya hobi membaca, namun pemikirannya juga banyak dituangkan dalam bentuk tulisan (buku). Kualitas pemimpin doyan literasi yang akhirnya menciptakan generasi unggul dan berwawasan luas.


Baca Juga : Nasib Pers dan Literasi Indonesia

Pilar Literasi Digital

Berdasarkan data Perpusnas (2019), jumlah perpustakaan di Indonesia mencapai 164.610. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah infrastruktur perpustakaan terbanyak kedua di dunia setelah India yang memiliki 323.605 perpustakaan. Namun jumlah perpustakaan tidak berbanding lurus dengan budaya baca (melek literasi) masyarakat.

Mengakali masyarakat yang malas pergi ke perpustakaan, pemerintah mencoba melakukan inovasi literasi digital dengan dalih mengikuti perkembangan zaman. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membentuk Road Map Literasi Digital 2020 - 2024 dengan empat pilar literasi digital seperti cakap digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital. Aspek-aspek ini merupakan komponen ideal untuk mendefinisikan terbentuknya kemampuan literasi digital masyarakat.

Namun program tersebut tidak mengatasi problem rendahnya minat literasi di Indonesia. Pilar literasi digital secara esensi hanya himbauan dan aturan mengenai praktek penggunaan media digital. Kemerosotan berliterasi dipengaruhi juga membanjirnya informasi di dunia digital yang tidak tersaring hingga menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap “perpustakaan digital”.

Masyarakat lebih tertarik membaca opini dari status orang lain di media sosial daripada membaca buku secara digital. Selain membuat tidak nyaman mata, literasi digital tidak menawarkan sesuatu yang menarik bagi masyarakat agar doyan membaca. Apalagi persepsi tentang suguhan bacaan tidak berkualitas yang disediakan di ruang digital.

Pemerintah melalui perpusnas bahkan mendorong inovasi literasi digital yang masih asing bagi masyarakat seperti penerapan Indonesia OneSearch (IOS), aplikasi perpustakaan digital (iPusnas), Layanan e-Resources, dan Layanan International Standard Book Number (ISBN) Online. Kebijakan perpusnas masih kalah dengan kapitalisasi media yang menyajikan berita hoaks, click bait, dan opini bebas pembaca.

Menurut UNDP dalam Education for All Global Monitoring Report (2006:144) menjelaskan adanya hubungan yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia melalui literasi. Indonesia perlu memberikan layanan perpustakaan berbasis cloud computing, big data analytics, artificial intelligence, dan digital business. Sehingga perpustakaan bukan hanya berfungsi sebagai wahana pendidikan, namun juga menjadi sarana penelitian, pelestarian, informasi, hingga rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.

Namun yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana upaya untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya berliterasi. Sehingga Isu Society 5.0 mampu memfasilitasi masyarakat yang lebih banyak menuntut kemudahan dan transparansi dalam pelayanan publik. Pekerjaan Rumah yang besar bagi pemerintah mengingat potensi bonus demografi Indonesia dengan penyediaan informasi bacaan yang melimpah namun tidak menciptakan generasi yang berkualitas dengan budaya literasi.***

 

  “Perbedaan adalah berkah”, demikian yang selalu dijadikan tameng mengatasi potensi konflik sosial. Bahwa perbedaan akan menciptakan keinda...

 

Konflik, Dampak Rendah Literasi

“Perbedaan adalah berkah”, demikian yang selalu dijadikan tameng mengatasi potensi konflik sosial. Bahwa perbedaan akan menciptakan keindahan dan menjadi semboyan bangsa Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika. Namun menurut Amy Gallo, perbedaan tidak otomatis menghasilkan sesuatu yang positif sebab seringkali berujung pada konflik. Konflik bisa dalam bentuk konfrontasi langsung maupun pasif dalam bentuk keenggenan berkomunikasi.

Konflik memiliki dimensi metafisis yang melampaui analisis praktis. Konflik bisa dianggap sebagai simbol bahwa perpecahan adalah suatu keharusan. Setiap manusia perlu memasuki diskusi dengan orang-orang yang berbeda dengan pikiran terbuka. Membebaskan diri dari siapapun lawan bicara dan apapun bentuk argumennya.

Ada beberapa sumber konflik yang terjadi, (1) konflik di tataran substansi, perbedaan pandangan mengenai isi dari tugas atau persoalan yang ada di depan mata. (2) konflik di tataran relasional, tidak menyukai orang yang lain sebab karakter atau sikapnya mengenai masalah tertentu. (3) konflik di tataran perseptual, melihat satu masalah yang sama dari sudut pandang yang berbeda.

Penyelesaian konflik di zaman modern tidak semudah menggunakan metode kuno dengan berdialog atau bermusyawarah. Saat ini, dunia tidak sedang pada kehidupan yang rasional dengan prinsip hidup yang argumentatif. Kevalidan data dan keakuratan analisis suatu masalah tidak serta merta menyadarakan seseorang di pihak yang bersebrangan untuk mengakui kesalahan.

Media sosial mendukung eksistensialisme manusia senantiasa bersikap egois tentang klaim kebenaran. Mengedepankan emosi kebencian dan kemarahan daripada menerima kebenaran. Permintaan maaf menjadi sesuatu yang tabu. Fitnah dan adu domba dijadikan cara merebut kekuasaan dengan cara menciptakan konflik di tengah masyarakat.

Akar konflik terjadi karena kesempitan berpikir dan cara pandang yang konservatif. Kesempitan berpikir menciptakan perilaku diskriminasif, radikalisme, dan terorisme. Kecenderungan untuk memutlakan kebenaran atas pandangan sendiri dan menolak untuk menerima kebenaran dari sudut pandang orang lain menandai kurangnya empati. Selalu merasa benar meskipun tidak berpijak pada akal sehat dan realita yang ada.

Konflik sosial merupakan bagian dari bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lainnya di dalam masyarakat. Biasanya ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik terjadi tidak hanya untuk mempertahankan hidup (eksistensi), melainkan juga bertujuan sampai ke tahap pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan.

 

Baca Juga : Nasib Pers dan Literasi Indonesia

Dampak Rendah Literasi

Banjir informasi memuat manusia kekurangan waktu dan tenaga untuk melakukan kontemplasi diri. Informasi hanya sekumpulan fakta tanpa menjadi pengetahuan. Informasi perlu menjadi ilmu untuk dikelola menjadi sebuah kebijaksanaan. Masa depan manusia ditentukan oleh keterbukaan berpikir manusia.

Sindirian terhadap kenyataan masyarakat yang rendah literasi bukan hanya berkaitan dengan aktivitas membaca buku. Media menyajikan berbagai referensi bacaan untuk dijadikan informasi sebelum anarkis mengekspresikan emosi di ruang publik (media massa). Masyarakat perlu menyadari bahwa malas membaca dan mencari informasi membuat konflik semakin sulit diatasi. Apalagi ketika menyadari kesalahan mengimplementasikan informasi tidak disertai dengan klarifikasi dan introspeksi diri.

Kurangnya informasi sebab rendahnya literasi menjadikan manusia bersikap bebal. Kebebalan kemudian menciptakan kesalahan berulang dan memperparah konflik yang sedang terjadi. Manusia bebal akan terjebak dalam kebodohan dan melahirkan kejahatan. Perkataan dan perilakunya seringkali mengacaukan tatanan sosial dan cenderung menjadi provokator untuk melihat konflik yang lebih besar.

Rendah literasi juga dipengaruhi karena pesatnya perkembangan teknologi. Manusia cenderung malas karena difasilitasi media dan membanjirnya informasi. Mempercayai hoaks melalui sebuah judul artikel tanpa membaca isinya. Membagikan ke berbagai jaringan media dengan motif mengajak banyak orang ikut mendukung keputusannya.

Kebencian dijadikan variabel primer dan kebenaran informasi hanya menjadi ornamennya. Menjamurnya berbagai ideologi politik dan agama semakin memperkeruh konflik di masyarakat. Antarkelompok tidak berkenan menghibahkan diri untuk menerima informasi dari kelompok lain. Sehingga kemauan berliterasi hanya di lingkup informasi kelompoknya. Pebedaan semakin kentara terlihat.

Berliterasi tidak hanya berbicara jumlah orang yang berkunjung ke perpusatakaan atau seberapa banyak jumlah orang yang membeli buku. Literasi adalah budaya membaca dan berpikir sebelum bertindak. Keengganan membaca akan berpengaruh terhadap kepasifan otak mengolah informasi. Ternyata membanjirnya informasi tidak berkorelasi dengan kebiasaan membaca masyarakat. Akibatnya kerap muncul konflik yang jika dikelola akan menjadi tindakan yang destruktif yang menggangu tatanan sosial masyarakat.

Konflik di media sosial banyak terjadi karena rendahnya literasi terhadap informasi. Mempercayai hoaks dengan landasan kebencian terhadap seseorang atau kelompok yang dianggap musuhnya. Euforia konflik menjadi gairah tersendiri berlindung di balik demokrasi dan hukum asasi. Tidak butuh lagi persatuan, selain keinginan terwujudnya perpecahan dan kekacauan.

  Manusia hidup untuk belajar. Dalam proses pembelajaran dibutuhkan sistem pendidikan yang berkualitas dengan mempertimbangkan aspek nilai d...

 

sistem-pendidikan-indonesia

Manusia hidup untuk belajar. Dalam proses pembelajaran dibutuhkan sistem pendidikan yang berkualitas dengan mempertimbangkan aspek nilai di masyarakat didukung kebijakan ideal dari pemerintah. Indonesia sendiri masih jauh dari standar sistem pendidikan yang baik, mulai dari intimidasi korporasi, intervensi politik, dan kepatuhan terhadap tata nilai agama.

Pendidikan terbatas pada sistem yang memaksa siswa diperlakukan sama. Parameter kesuksesan seseorang dinilai dari ujian serentak (setara) yang menentukan langkah masa depan berikutnya. Sedangkan bakat dan potensi masing-masing individu terpendam untuk merelakan bekerja tidak sesuai minatnya. Apalagi persepsi di masyarakat yang mengukur keberhasilan seseorang berdasarkan “kerja” dan tidaknya.

Realita di masyarakat banyak yang mendapatkan peringkat tinggi semasa sekolah, namun harus menjadi buruh pabrik. Sedangkan mereka yang dianggap bodoh di sekolah malah sukses menjadi wirausaha atau manajer di sebuah perusahaan. Nilai sekolah nyatanya tidak berbanding lurus dengan kesuksesan seseorang di masa depan.

Banyak alasan mendasari sukses dan tidaknya seseorang. Siswa yang pandai di kelas kalah dengan siswa bodoh tapi cukup modal untuk terus sekolah. Ada faktor mental yang mendasari pengambilan risiko kesuksesan seseorang. Sedangkan sistem pendidikan di Indoneisa tidak cukup memfasilitasi potensi siswa untuk terus berkembang sebab aturan yang kaku.

Masalah selanjutnya adalah ketidakmampuan sistem pendidikan Indonesia memahami bakat dan potensi anak. Dipaksa mengikuti kurikulum pendidikan yang disediakan. Peringkat didasarkan mampu dan tidaknya siswa mengerjakan soal yang mungkin tidak diminatinya. Pendidikan Indonesia tidak menyediakan fasilitas mengembangkan bakat kesenian, agama, olahraga, dan lain sebagainya. Pemerintah malah sibuk mengobrak-abirk kurikulum yang hasilnya tetap sama.

Mutu pendidikan Indonesia masih seputar seberapa cakap siswa menghafal. Siswa tidak dilatih untuk mampu memahami pelajaran. Sikap kreatif dianggap menantang tradisi lama. Sampai pada tingkat stres siswa sebab tuntutan pendidikan yang semakin hari semakin tidak jelas arah tujuannya. Banyak pelajaran yang belum layak diberikan pada anak seusianya. Siswa hanya dijadikan robot (semuanya sama) di masa depan.

Sejak kemerdekaan, pendidikan Indonesia sudah gonta-ganti kurikulum seperti Rentjana Pelajaran 1947, Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Suplemen Kurikulum 1999, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2015.

Ketertinggalan pendidikan Indonesia tidak lepas dari budaya feodal yang mengakar sejak dulu. Sikap kritis dianggap pemberontakan. Membungkat pertanyaan agar tunduk pada perintah guru. Guru punya tanggungjawab menjadi acuan dalam bersikap. Sedangkan guru tidak selalu punya kapasitas dan kepribadian yang layak untuk diikuti. Buktinya kasus pelecehan dan kekerasan masih sering terjadi di lingkup pendidikan.

 

Baca Juga: Menilai Sistem Pendidikan di Indonesia

Solusi

Pendidikan Indonesia harus mampu menghasilkan manusia yang kritis, cerdas, dan juga terampil. Dibutuhkan tahapan mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Revolusi pendidikan di mulai dari memberikan kebebasan anak mengembangkan fungsi tubuh dan batinnya. Jangan dibebankan pada kurikulum yang malah membunuh kreativitas anak. Anak akan semakin stres dan tertekan untuk mendapatkan hasil yang baik pada pelajaran yang tidak sesuai bakatnya.

Tahapan berikutnya adalah kesadaran lingkungan dan kepedulian sosial. Siswa diberikan pilihan menentukan minat dan bakatnya dengan tetap sadar lingkungan sosial yang membentuk kepribadiannya. Pengajar dibutuhkan untuk memantau dan mengawasi siswa yang tidak berjalan di koridor bakatnya. Tahapan ini sekaligus membentuk mental siswa untuk fokus pada permasalahan hidup dan kebimbangan menentukan pilihan.

Tahapan terakir adalah pendidikan yang “sebenarnya”. Siswa diajarkan materi filsafat, sejarah, budaya, sains, agama, dan keterampilan praktis. Pemerintah atau sekolah mulai fokus menyedikan sumber bacaan bagi siswa sesuai minat dan kebutuhannya. Merangsang siswa untuk gemar membaca (mencari pengetahuan) dan guru bertugas memberikan penjelasan atas kesulitan memahami isi bacaan. Kemandirian menentukan masa depan setiap individu akan membentuk komunal yang ideal untuk negara maju.

Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah sebelum merevolusi pendidikan. Masih banyak terjadi ketimpangan pendidikan di kota besar dan daerah terpencil, biaya pendidikan tinggi yang bertolak belakang dengan kesejahteraan guru, dan infranstruktur pendidikan yang belum merata.

Merevolusi pendidikan memang cukup kompleks dilakukan. Sistem pendidikan terhubung dengan beragam sistem lainnya seperti sistem ekonomi, politik, agama, dan kebudayaan. Saat ini lembaga pendidikan formal berubah menjadi ajang bisnis yang kompetitif. Siswa berlomba menjadi yang terbaik dengan mengalahkan teman-temannya ketika ujian. Siswa tidak diajarkan bekerjasama selain berkompetisi yang berdampak pada sikap egois ingin mengalahkan (menghancurkan) yang lain.

Perlu mengurangi dominasi guru atau aturan sekolah untuk memberikan hak kepada siswa dalam mengembangkan minat dan bakatnya. Pendidikan Indonesia merupakan warisan kolonial yang tidak ditujukan untuk manusia, melainkan pendidikan untuk membentuk robot industri. Melatih orang untuk menjadi budak kasar, bukan menjadi manusia yang utuh dan kreatif.

 

Pernah dimuat di Indonesiana

https://www.indonesiana.id/read/153682/rusaknya-sistem-pendidikan-di-indonesia 

  Saat ini saya bekerja di salah satu perusahaan percetakan dan penerbitan buku pendidikan dengan pasar terbesar di Indonesia. Sejak Covid-1...

 

nasib pers

Saat ini saya bekerja di salah satu perusahaan percetakan dan penerbitan buku pendidikan dengan pasar terbesar di Indonesia. Sejak Covid-19 masuk menghancurkan tatanan sosial dan ekonomi domestik, banyak karyawan yang terpaksa diberhentikan (PHK) dan dipensiunkan dini. Penyesuaiaan gaji juga sempat dilakukan sebab anjloknya omset perusahaan.

Mereka yang selamat dari PHK bersyukur, sedangkan saya masih gelisah dengan masa depan buku di Indonesia. Kegelisahan saya diiringi dengan banyaknya fokus perusahaan mengembangkan usaha (selain buku) untuk menutup kerugian. Meski tetap berkaitan dengan pendidikan, namun perusahaan yang dikenal sebagai penerbitan buku perlahan akan mengalami distorsi tujuan mulia ikut mencerdaskan kehidupan berbangsa.

Meskipun saya sangat cinta membaca, namun banyak orang yang ternyata tidak doyan membaca, apalagi membaca buku. Rendahnya literasi di Indonesia dipengaruhi berbagai faktor seperti pesatnya perkembangan media teknologi dan komunikasi, aktivitas membosankan (tidak bermanfaat secara instan), membutuhkan biaya untuk membeli buku, dan budaya.

Berdasarkan data dari Kemendagri tahun lalu, Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara literasi rendah. Rendahnya indeks literasi berdampak pada rendahnya produksi buku dalam negeri. Total jumlah bacaan dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0.09. Artinya setiap 1 buku diantri oleh 90 orang Indonesia setiap tahunnya.

Belum selesai masalah klasik rendahnya literasi, pemerintah malah aktif mengampanyekan gerakan pemanfaat digital. Nasib buku akan menjadi sejarah digantikan layar-layar digital. Hingga memunculkan istilah modern literasi digital untuk mengakali kegagalan meningkatkan daya saing literasi nasional. Perusahaan percetakan penerbitan dikorbankan, masa depan kecerdasan bangsa Indonesia dipertaruhkan.

Bagi penikmat baca seperti saya tentu akan tetap memilih buku sebagai media literasi. Selain kebiasaan, tulisan dari buku tentu mengalami proses kurasi yang ketat untuk menyediakan bacaan yang otentik dari penulis. Berbeda dengan literasi digital yang banyak intervensi politik, pencitraan, dan motif ekonomi. Dampaknya adalah membanjirnya hoaks dan informasi kontranarasi yang menimbulkan konflik di masyarakat.


Baca Juga : Vaksinasi Pendidikan

Nasib Pers Indonesia

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985, tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Sejak era reformasi, perkembangan pers cukup cepat. Kehidupan berdemokrasi kembali menyala melalui berbagai media. Pers menjadi salah satu media paling efektif menyampaikan aspirasi yang tidak tembus di tingkat parlemen. Pers menjadi alat kritik untuk mengontrol kebijakan dan penyampai informasi dari dua sudut pandang.

Di Indonesia, pers laiknya toa suara rakyat agar didengar pemerintah. Perannya bukan hanya melindungi konstitusi, namun juga terhadap keselamatan lingkungan, kesehatan informasi, hingga penyeimbang keadilan. Mengungkap kasus-kasus yang sengaja ditutupi untuk kepentingan tertentu. Tapi kapitalisme mengubah persepsi pers yang independen ke arah politik dan ekonomi.

Pers tidak lagi mempertimbangkan independensi informasi. Tidak lagi fokus pada tujuan mulia memberikan pemberitaan yang bermanfaat bagi konsumen (pembaca). Lebih intens mengangkat berita yang viral, kehidupan sosialita artis domestik, dan penggunaan sistem clickbait. Jurnalisme tercoreng dari daftar bidang pekerjaan yang berintegritas. Padahal melalui pers-lah masyarakat menggantungkan harapan dari sikap kediktatoran dan anarkisme kebijakan pemerintah.

Budaya ketidakindepenan pers mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap informasi media. Padahal era teknologi menghendaki masyarakat untuk selalu terintegrasi dengan media, termasuk konsumsi berita. Berdasarkan laporan Reuters Institute, CNN didapuk sebagai media dengan tingkat kepercayaan tertinggi 69%, diikuti Kompas (67%), TVRI (66%), dan Detik.com (64%). Namun tingkat kepercayaan masyarakat pada berita yang disajikan masih tergolong rendah (39%).

Hari Pers Nasional harus dijadikan introspeksi arah media ke depan. Mengedepankan sikap independensi, namun juga harus realitis pada sudut pandang ekonomi. Pers hanyalah alat komunikasi rakyat. Masa depan pers bergantung pada kualitas dan kuantitas literasi masyarakat sebagai pertimbangan pasar (ekonomi) pers menjalankan kebutuhan operasional perusahaan.

Bagaimana mengharapakan kemajuan pers jika literasi (minat baca) masyarakat rendah. Akhirnya media menjadi alat yang liberal membagikan berbagai informasi yang sarat kepentingan tertentu. Masyarakat dicekoki dengan informasi yang paradoks. Pers tidak lagi dipandang sebagai rujuakan informasi. Di sisi lain, dunia jurnalistik juga susah bertahan di tengah laju arus digital yang membunuh buku, koran, dan majalah sebagai sumber utama pendapatan perusahaan.

Nasib jurnalistik di Indonesia semakin memprihatinkan. Menjadi “jurnalis” bisa dilakukan semua orang tanpa pendidikan dan pelatihan tentang pers. Semua bisa membuat tulisan dan wadah digital untuk dibagikan ke semua orang tanpa mempertimbangkan keterampilan dan kode etik jurnalistik. Sementara tidak semua masyarakat pandai memilah dan memilih informasi yang kredibel.

Seharusnya perkembangan media teknologi membantu masyarakat mendapatkan informasi yang cepat, namun realitanya disuguhi kepalsuan informasi yang menyebabkan konflik. Kehidupan pers harus kembali ditertibkan dengan tetap memperhatikan konsep jurnalisme milik rakyat, bukan hanya kepentingan kapitalis perusahaan.

 

Pernah dimuat di Solo Pos


Harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap mahasiswa agar bisa menjadi pelaku usaha sepertinya sulit direalisasikan. Jokowi berharap ter...

buruh mahasiswa

Harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap mahasiswa agar bisa menjadi pelaku usaha sepertinya sulit direalisasikan. Jokowi berharap tercipta ekosistem yang mendorong sosio techno entrepreneur di lingkungan kampus untuk memecahkan masalah sosial dengan memanfaatkan teknologi secara inovatif dan kewirausahaan.

Keinginan Jokowi terkendala sistem pendidikan perguruan tinggi saat ini yang lebih condong menciptakan buruh (pekerja industri) daripada menjadi pengusaha yang membuka lapangan pekerjaan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, proses pembelajaran peserta didik secara aktif ditujukan untuk mengembangkan potensi diri agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Berdasarkan survei yang dilakukan dilakukan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mencatat dari 5 juta mahasiswa yang ada di Indonesia, sebanyak 83 persen di antaranya bercita-cita menjadi karyawan, 4 persen menjadi wiraswasta, dan selebihnya ingin menjadi anggota LSM dan politisi. Padahal mengacu standar World Bank, minimal harus 4 persen atau lebih dari 5 juta anak muda menjadi pengusaha. Hingga saat ini rasio jumlah wirausaha atau pengusaha di Indonesia baru mencapai 2 persen dari total penduduk.

Potret pengusaha di Indonesia semakin menegaskan bahwa menjadi pengusaha tidak perlu melalui perguruan tinggi. Beberapa contoh pengusaha yang tidak membutuhkan ijazah untuk suskes adalah Bob Sadino, Hendy Setiono, Andrie Wongso, Purdi E. Candra, dan Susi Pudjiastuti. Sedangkan banyak lulusan mahasiswa berprestasi perguruan tinggi direkrut perusahaan ternama untuk dijadikan buruh atau pekerja.

Konsep kemapanan mahasiswa masih soal standar gaji di sebuah perusahaan. Mayoritas mahasiswa menggantungkan nasib untuk lolos calon Aparatur Sipil Negara (ASN). Menjadi pelaku usaha membutuhkan mental dalam menghadapi risiko. Beberapa beranggapan bahwa modal merupakan variabel utama jalan-tidaknya sebuah usaha atau bisnis.

Sedangkan pendidikan perguruan tinggi tidak memfasilitasi kurikulum tentang wirausaha. Bahkan dalam perkuliahan fakultas ekonomi, mata kuliah wirausaha juga hanya dijadikan templat formal kurikulum perguruan tinggi. Mahasiswa hanya dicekoki teori tanpa pelatihan aksi menjadi wirausaha.


Baca Juga : Mahasiswa, BEM UI, dan Jokowi

Kampus Merdeka

Selama ini lembaga pendidikan cenderung menekankan kognisi dalam praksisnya. Sistem ini mereduksi hakekat pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia secara utuh dan penuh. Lulusan perguruan tinggi seharusnya tidak hanya berakal, tetapi juga harus bermoral. Perlu keluasan cara berpikir mahasiswa mengenai problematika bangsa dengan fokus membuka lapangan usaha daripada menjadi buruh perusahaan.

Program kampus merdeka yang diharapkan pemerintah mampu mendorong mahasiswa menjadi pelaku usaha masih perlu dibuktikan ketika budaya pendidikan kampus sudah melekat menjadi lulusan buruh profesional. Perguruan tinggi tidak memfasilitasi concern mahasiswa memilih jurusan yang fokus menjadi wirausaha.

Mahasiswa memilih jurusan berdasarkan peluang kerja yang mapan. Sedangkan kosentrasi pendidikan kurang begitu diperhatikan perusahaan dalam memilih calon karyawan. Dampaknya banyak karyawan perusahaan yang bekerja tidak sesuai dengan segmen pendidikan mahasiswa selama di kampus.

Dalam program kampus merdeka, pemerintah mengusung 4 kebijakan strategis seperti; program re-akreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat, memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS), memberikan otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru, dan kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH).

Lulusan mahasiswa diharapkan mempunyai empat kompetensi, yakni kompetensi sikap, pengetahuan, keterampilan umum, dan keterampilan khusus. Ada ruang gerak bagi mahasiswa untuk mendesain masa depannya dengan memilih mata kuliah sesuai keahlian spesifik yang ditopang dengan keahlian lain yang diminatinya.

Namun program magang masih menjadi budaya penciptaan buruh yang diabaikan pemerintah dan perguruan tinggi. Pre-job Training (Pelatihan Kerja) dan magang yang dipaksakan kepada mahasiswa agar terbiasa menjadi buruh (dunia kerja), menegaskan inkonsistensi pemerintah mendorong mahasiswa untuk menjadi pelaku usaha.

Belum ada realisasi konkrit program kampus merdeka untuk mencipta pelaku usaha bagi mahasiswa. Apalagi ada otonomi perguruan tinggi yang semakin melonggarkan kampus untuk membuat sistem budaya kampus yang susah dihilangkan sejak zaman kolonial. Kemandirian mahasiswa memilih program studi tidak lantas dijadikan indikator mahasiswa ketika lulus menjadi wirausaha. Setidaknya sampai saat ini, masih banyak mahasiswa yang memilih aman untuk menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan daripada mengambil risiko menjadi wirausaha yang mempunyai potensi bangkrut. Apalagi bagi mahasiswa yang nihil modal.

 

Pernah dimuat Buruan.co

https://barisan.co/mencipta-buruh-melalui-perguruan-tinggi/ 

Kritikan keras Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang menyebut Jokowi sebagai presiden The King of Lip Service menuai...

bem ui

Kritikan keras Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang menyebut Jokowi sebagai presiden The King of Lip Service menuai berbagai tanggapan di media sosial. Politisi, aktivis, dan akademisi juga melontarkan pendapatnya mengenai petisi tersebut yang dilandaskan pada pernyataan presiden Jokowi yang tidak sesuai dengan realita di lapangan.

Jokowi dianggap presiden yang kerap mengumbar janji tapi seringkali diingkari. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan lain sebagainya. Indikasi selanjutnya ketika Jokowi menolak jabatan presiden selama 3 periode, namun pendukungnya banyak yang menginiasi berdirinya relawan Jokpro 2024 (Jokowi-Prabowo).

Kemuakan mengenai kata-kata manis politisi dan pejabat negara yang akhirnya memunculkan petisi The King of Lip Service sebagai bentuk kritik terhadap para politisi yang kerap mengumbar janji saat kampanye. Politik Indonesia sudah mengalami krisis kepercayaan di tataran intelektual muda (mahasiswa) dan masyarakat umum yang terkena imbas dari sikap anarkisme kebijakan kabinet Jokowi.

Jika sebelumnya Jokowi mendorong masyarakat untuk aktif melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah, seharusnya petisi BEM UI bisa dijadikan pembelajaran tetang etika komunikasi politik di depan publik. Meskipun tanpa mengabaikan faktor kompleksitas persoalan negara yang semakin runyam sejak pandemi.

Namun kritikan BEM UI tersebut malah berujung pemanggilan pengurus BEM oleh pihak rektorat UI. Hal itu terlihat dari surat nomor: 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/2021 yang ditandatangani oleh Direktur Kemahasiswaan UI, Tito Latif Indra. Pihak kampus meminta klarifikasi tentang sematan Raja Pembual yang sempat trending di Twitter tersebut. Pemanggilan pengurus BEM UI seolah menjadi alarm tentang batasan kebebasan berpendapat, khususnya bagi mahasiswa.

 

Baca Juga : Dunia Ketersinggungan

Mahasiswa

Sejarah reformasi tidak lepas dari gerakan masal mahasiswa dalam “mengkudeta” Soeharto. BEM sebagai fasilitator dalam menjaring aspirasi mahasiswa menjadi tonggak perlawanan terhadap pemerintahan yang otoriter dan diktator era orde baru. Semangat bergerilaya BEM yang melecut mahasiswa mengumandangkan mars Totalitas Perjuangan di sepanjang jalan.

Mahasiswa berperan sebagai agent of change dalam menggerakan perubahan menuju tatanan masyarakat yang adil. Selain itu juga berperan sebagai agent of control yang mengontrol kehidupan sosial dan penegakan hukum. Selainnya berperan sebagai moral force (penguat moral bangsa), guardian of value (penjaga nilai), dan iron stock (penerus dan harapan bangsa).

Mahasiswa butuh ruang berekspresi menyampaikan gagasan terhadap fenomena politik di Indonesia, termasuk kritikan terhadap kebijakan pemerintah yang menyeleweng dari koridor UUD 1945. Pemerintah harus memberikan kebebasan beropini (kritik atau saran) mahasiswa untuk menciptakan sinergitas pemerintah dan rakyat. Bukan malah membungkam suara mahasiswa yang dikomandoi BEM karena dianggap mengancam kestabilan politik dalam negeri.

Usia muda dengan gairah dan semangat pemberontakan perlu difasilitasi pemerintah agar aspirasi mahasiswa bisa didengar, syukur bisa mengubah arah kebijakan yang dianggap keliru. Mahasiswa bukan kaum oposan yang dianggap musuh pemerintah. Mereka hanya memperjuangkan peran dan eksistensi mahasiswa di hadapan publik mengenai kondisi politik dan sosial.

 

Baca Juga : Ironi Penghapusan Pelajaran Pancasila

Personal dan Lembaga

Dalam draft Rancangan Undang-Undang KUHP yang sedang digodok pemerintah dan DPR, terdapat pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang masih menjadi polemik di masyarakat. Dalam pasal 219 yang mengatur tentang meme presiden di media elektronik atau media sosial bisa dikategorikan pelanggaran pidana apabila dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden.

Meme The King of Lip Service bisa saja dijadikan delik hukum sebagai kasus penghinaan terhadap presiden. Batasan kritik dan penghinaan dalam RUU KUHP masih dianggap lemah yang memunculkan istilah pasal karet untuk menjerat siapapun yang bersebrangan dengan pemerintah. Proses itulah yang mengecewakan banyak pengamat tentang sikap otoriter penguasa.

Harus ada sekat antara dimensi personal dan lembaga. Penghinaan hanya mungkin dijadikan delik apabila menyasar terhadap personal tokoh yang menimbulkan dampak fisik, psikis dan sosial-ekonomi. Sedangkan kritikan bahkan penghinaan terhadap institusi atau lembaga harus diberikan kebebasan sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap kebijakan yang mempunyai pengaruh langsung terhadap masyarakat.

Presiden atau kepresidenan adalah lembaga tinggi negara yang terdiri dari presiden dan wakil presiden. Kemudian dalam proses pemerintahannya menyusun kabinet yang dibantu para menteri dalam menjalankan pemerintahan. Presdien memegang amanah kekuasaan eksekutif dan menjadi simbol resmi negara. Sedangkan Jokowi adalah tokoh (personal) yang diberikan amanah menjadi presiden RI.

Negara yang menganut asas pokok demokrasi harus mengedepankan peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Setiap warga negara memiliki hak untuk turut andil dalam proses pengambilan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Rakyat juga mempunyai hak mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap sejalan dengan tujuan negara berdasarkan UUD 1945.

Setiap warga negara mempunyai persamaan hak di depan hukum. Pemerintah wajib melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman dan melindungi hak asasi manusia dari tiap warga negaranya. Pemerintah juga harus memperlakukan rakyatnya secara adil tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongannya. Tidak boleh ada indikasi pemerintah membela koalisi dan menghukum oposisi.

 

Pernah dimuat di Times Indonesia

https://www.timesindonesia.co.id/read/news/361044/mahasiswa-bem-ui-dan-jokowi 

Sesuai dengan keputusan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah kembali dibuka pada bulan Juli 2...

vaksinasi pendidikan

Sesuai dengan keputusan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah kembali dibuka pada bulan Juli 2021. Kebijakan tersebut diambil bebarengan proses vaksinasi nasional terhadap tenaga pendidik, dosen, guru, murid, hingga perangkat pendidikan di sekolah atau universitas. Meskipun demikian, Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan kapasitas KBM hanya untuk 50 persen siswa.

Pendidikan menjadi kebutuhan dasar masyarakat Indonesia sesuai amanah UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dilema masyarakat mengenai ancaman pandemi dan kebodohan prematur siswa akibat vakum belajar selama setahun lebih membuat perdebatan di kalangan akademisi, politikus, hingga masyarakat. Apalagi Menteri Kesehatan (Menkes) juga memberi warning mengenai batasan KBM di sekolah atau kampus seperti kapasitas peserta didik 25 persen, maksimal dilakukan 2 hari dalam seminggu, dan maksimal durasi pembelajaran 2 jam.

Menggelar KBM di tengah pandemi adalah perjudian yang dilakukan pemerintah. Apalagi beberapa daerah juga mengalami ledakan kasus positif, seperti Kudus dan Bangkalan. Ada tanggungjawab turut serta mencerdasakan kehidupan berbangsa, ada pula risiko terjadi ledakan kasus Covid-19 melalui klaster pendidikan. Meskipun menjadi prioritas vaksinasi, namun sekolah tetap menjadi medium untuk bersosialisasi dengan masyarakat luas.

Bidang kesehatan dan pendidikan mempunyai program masing-masing. Sedangkan Covid-19 adalah bencana nasional yang harus dihadapi bersama seluruh elemen masayarkat. Setiap kementerian atau institusi (lembaga) harus menurunkan ego untuk bijak menyusun program. Tidak boleh gegabah yang pada akhirnya berdampak buruk bagi masa depan Indonesia.

Untuk saat ini, kesehatan memang lebih yang diprioritaskan, namun mengentaskan kebodohan bangsa juga menjadi kewajiban negara. Pemerintah harus cermat menganalisis bahwa vaksinasi pendidikan juga dibutuhkan, selain hanya fokus pada vaksinasi kesehatan. Mayarakat harus kebal terhadap kebodohan, ditingkatkan imun pengetahuan, dan dimanjakan dengan kemudahan akses pendidikan.

 
Baca Juga : Menilai Sistem Pendidikan di Indonesia

Pajak Pendidikan

Ketika pendidikan butuh suntikan vaksinasi ilmu pengetahuan, isu pungutan pajak terhadap sektor pendidikan menimbulkan polemik di masyarakat. Ternyata Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) bukan hanya memajaki sembako, jasa pendidikan yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara pun harus dipajaki.

Pemerintah seolah menjadi Debt collector bagi masyarakat miskin yang bercita-cita menyekolahkan anaknya agar menjadi orang yang terdidik. Ketika beberapa daerah memutuskan untuk tidak menaikkan Upah Minimun Regional (UMR), pemerintah aktif memungut dana dari masyarakat melalui embel-embel Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Setahun lebih pendidikan divakumkan karena pandemi, pemerintah berencana membuka sekolah tatap muka. Di sisi lain, kebahagiaan anak-anak belajar dan bersosialisasi di sekolah harus dibebani dengan biaya pendidikan yang lebih mahal karena aturan pajak dari negara. Asalkan negara kaya (karena pajak nasional), masyarakat menjadi bodoh (karena tidak mampu bersekolah) pun disepakati.

Seharusnya anak didik diberikan vaksin pendidikan secara gratis. Masa depan bangsa ada pada generasi berikutnya. Jika sektor pendidikan dibebani pajak, risikonya banyak siswa yang putus sekolah akibat mahalnya biaya pendidikan. pada tahun ajaran 2019/ 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat sudah ada 157 ribu siswa SD hingga SMA yang putus sekolah.

Pandemi memaksa ribuan anak merelakan kebutuhan pendidikan. Pemerintah yang seharusnya mengulurkan tangan mengatasi problem putus sekolah malah menjadi sebab untuk peningkatan putus sekolah yang lebih banyak. Tidak ada vaksinasi pendidikan, yang muncul adalah pajak pendidikan.

Belum selesainya dampak pandemi yang menyebabkan melimpahnya pengangguran, kemiskinan, dan hancurnya usaha (bisnis) masyarakat, pemerintah malah giat berpikir tentang pendapatan negara. Membangkitkan ekonomi negara bukan dengan cara mengorbankan pendidikan masyarakat. Membiarkan masyarakat bodoh karena ketidakmampuan bersekolah adalah pengingkaran paling nyata terhadap cita-cita bangsa dan negara.

Jika PPN nanti tetap diterapkan dalam jasa pendidikan, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi. Ketika banyak negara yang memilih menggratiskan biaya pendidikan, Indonesia malah dihantui dengan mahalnya biaya pendidikan. Konsep demikian yang menjadikan Indonesia susah keluar dari lingkaran negara berkembang. Semakin tertinggal, karena masyarakatnya dibiarkan bodoh.