Mayoritas orang menyebutnya primitif, sebagian meyakini ikhtiar ngalap berkah sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang. Bukan hanya menjelang pemilu, orang-orang berkepentingan kerap mendatangi “orang pintar” dan tempat keramat untuk memuluskan hajatnya. Mereka meminta doa dan memohon agar diberikan jabatan, kekayaan, dan kesuksesan hidup.
Orang pintar diasosiasikan dengan dukun atau kiai yang punya kemampuan linuwih. Mereka didatangi untuk kepentingan pengobatan, gangguan kegaiban, hingga kemudahan jodoh. Memberikan rapalan doa dan amalan (tirakat) dengan mahar tertentu. Orang pintar masih menjadi solusi sebelum berkunjung kepada dokter umum, psikiater, atau tokoh masyarakat.
Biasanya disebut sebagai solusi alternatif, namun dalam prakteknya malah terkesan sebagai solusi utama mengatasi segala masalah yang menimpa masyarakat. Tentu didasari dengan pengalaman tentang mujarabnya doa dan hanya bermodal biaya seikhlasnya. Orang pintar punya pengaruh besar dalam sandaran keyakinan masyarakat, khususnya di daerah perkampungan.
Sementara tempat keramat biasanya merujuk pada lokasi ziarah makam ulama atau tokoh Jawa yang punya ilmu keagamaan atau kegaiban. Motif ziarah sering disalahgunakan untuk kepentingan dunia hingga melupakan esensi mendoakan wali atau mengingat mati. Bahkan, rela tidur di makam beberapa hari untuk menunggu wangsit bagi pecandu togel atau judi.
Misalnya di Gunung Kemukus, Sragen yang disebut Sex Mountain oleh media internasional karena ritual perzinaan untuk terkabulnya hajat yang biasanya berkaitan dengan kekayaan. Masih banyak daerah lain yang punya syarat tertentu ketika mengunjungi tempat keramat yang diyakini punya sugesti tertentu membawa masyarakat menggapai keinginannya.
Perilaku seperti ini jelas bertentangan dengan landasan berpikir logis. Pengobatan alternatif kepada orang pintar tidak merujuk pada penelitian ilmiah dan keberhasilan seseorang mencapai sesuatu mengabaikan faktor kehendak dan usaha. Namun bukti aktivitas berkunjung ke orang pintar dan tempat keramat masih marak terjadi adalah faktor lain di luar nalar manusia; perihal keyakinan.
Baca Juga : Habituasi Dogma Kebudayaan
Politik Gaib
Politikus muda dan senior lebih sering memasrahkan hasil pada orang pintar dan tempat keramat daripada konsistensi berkampanye. Mereka menyadari ada kekuatan supernatural yang tidak cukup diikhtiari dengan janji manis, membeli suara, dan transaksi jabatan. Apalagi bagi politikus yang kalah secara finansial dan popularitas.
Di desa, pejabat sering menggunakan bantuan dukun atau kiai agar terlindung dari ancaman gaib (santet). Kematian beberapa kepala desa setelah menang pilkades disimpulkan sebagai serangan santet dengan asumsi pejabat menderita penyakit misterius. Memutuskan untuk maju sebagai pemimpin juga harus siap risiko kehilangan nyawa.
Meski secara medis bisa dijelaskan, namun budaya santet, pelet, dan kepet menjadi khasanah kebudayaan yang masih diyakini keberadaannya. Tak heran banyak calon pejabat yang menyiapkan diri dengan meminta bantuan kepada orang pintar dan tirakat di tempat keramat. Bahkan dalam level pimpinan nasional, banyak yang meyakini mereka melakukan tradisi serupa di tempat-tempat yang diyakini bisa melindunginya dari ancaman yang nyata dan gaib.
Kebiasaan pemimpin yang suka blusukan di tengah masyarakat dan kebencian radikal di media sosial seharusnya memudahkan pembenci untuk melukai atau bahkan membunuh dengan senapan ilegal atau senjata tajam. Namun kekecewaannya malah sering diaktualisasikan dengan perilaku teror dan bom bunuh diri yang jauh dari tujuan melukai pemimpin yang dibenci.
Seolah ada kekuatan di luar kendali manusia yang menghalau segala macam bahaya darinya. Keberadaan intelijen dan paspampres tentu tidak bisa menganalisis motif setiap orang. Apapun itu, kekuatan supernatural yang dicari atau diberikan kepada pemimpin adalah hal yang wajar dalam kebudayaan nusantara. Hal gaib masih menjadi kiblat menyandarkan permasalahan hidup.
Jelang tahun politik, kita akan melihat banyak calon politikus aktif mengunjungi orang pintar dan tempat keramat. Menggadaikan keimanan demi kekayaan dan popularitas. Jasa orang pintar juga akan semakin meningkat meski dalam perjalanannya tidak mampu memberikan kepastian keberhasilan atau kegagalan calon pejabat.
Sementara di tempat keramat, calon pejabat akan kembali aktif menjadi peziarah dadakan dan ahli tirakat. Bukan sebagai sarana bermuhasabah, namun lebih kepada keinginan terkabulnya hajat menjadi pejabat. Itulah Indonesia dengan segala keyakinan dan kebudayaannya. Orang pintar dan tempat keramat adalah alat ketika menyadari kemampuan diri tidak bakal tersampainya doa kepada Tuhan.
Dengan mengunjungi orang pintar dan tempat keramat akan melegakan perasaan calon pejabat yang sudah melakukan semua usaha jelang pemilu. Politik bukan hanya seputar strategi berkoalisi, namun juga siasat menemukan orang pintar dan tempat keramat yang tepat.***
0 comments: