CATEGORIES

Showing posts with label hukum. Show all posts

Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menyisakan masalah pelik di masyarakat. Mulai dari isu “pasal titipan” koru...

Perkara Unggas di KUHP

Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menyisakan masalah pelik di masyarakat. Mulai dari isu “pasal titipan” koruptor, negara yang campur tangan urusan privasi keluarga, hingga sebaran ideologi terlarang. Apa pun itu, KUHP sudah resmi ditetapkan sebagai hukum negara yang wajib dipatuhi dan ditaati oleh setiap warga negara.

Menurut DPR RI, KUHP sebelumnya merupakan warisan peraturan dari Belanda yang tidak relevan dengan nilai dan norma bangsa Indonesia. Pengesahan ini juga merupakan bentuk keputusan yang diambil dari aspirasi masyarakat saat mengadakan ruang diskusi dan dialektika kebangsaan.

Salah satu topik pembahasan di KUHP yang dipermasalahkan terkait pasal unggas yang berjalan di kebun atau perkarangan milik orang lain. Ada ancaman bagi pemilik yang membiarkan unggas masuk ke pekarangan orang lain yang ditanami benih dengan denda maksimal 10 juta rupiah. Dalam Pasal 278 UU KUHP berbunyi:

“Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II,”

Meski sempat ada dalam aturan di KUHP yang lama, penegasan denda dan hukuman dalam aturan baru menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Selain dianggap sebagai permasalahan yang sepele, perkara unggas juga menjadi ancaman bagi pemilik ternak di kampung-kampung. Urgensi ternak sempat ramai ketika kasus segerombolan kerbau di Kabupaten Asahan yang memakan daun dan bibit karet di areal perkebunan salah satu perusahaan.

Kasus penegasan hukum yang merugikan perusahaan diperlukan untuk mengatur batasan kepemilikan hewan ternak. Namun menjadi rancu ketika kehidupan di masyarakat yang terbiasa beternak unggas, seperti ayam misalnya. Di kampung, banyak masyarakat yang beternak ayam membiarkannya mencari makanan ke pekarangan rumah orang lain.

Pemakluman perilaku ayam yang tidak bisa dibatasi oleh pemiliknya menjadi dalih ketidaksukaan tetangga untuk memberikan denda atau hukuman. Pengesahan KUHP mengancam kerukunan bermasyarakat dan mengurangi gairah tolong-menolong. Urusan unggas dalam KUHP tentu tidak begitu relevan dengan pengambil kebijakan (pejabat) yang tinggal di kompleks perkantoran atau perumahan.

 

Baca Juga : Kematian Hak Asasi Manusia

Norma Bangsa

Pernyataan aspirasi dari dialektika ruang publik menjadi pertanyaan ketika viralnya perkara unggas dalam pengesahan UU KUHP. Urusan remeh temeh tentang keberadaan unggas yang biasa nangkring di pekarangan atau kebun orang lain memiliki landasan hukum. Padahal unggas tidak bisa dikontrol jangkauan jarak ketika mencari makan.

Seolah pasal unggas di KUHP merupakan pemaksaan negara agar masyarakat tidak lagi beternak unggas, khususnya ayam atau bebek. Misalkan nekat beternak, pemilik harus punya lahan khusus tanpa ada risiko berkeliaran di pekarangan tetangga. Terkait norma bangsa yang menjadi dalih reformasi pasal warisan Belanda, keberadaan unggas di pekarangan atau kebun orang lain malah menimbulkan konflik sosial.

Perkara unggas, masyarakat bisa terpecah belah jika ada salah satu warga yang melaporkan sesuai pasal di UU KUHP. Masyarakat lainnya juga akan mengucilkan pelapor karena mempermasalahkan kebiasaan yang sering dialami oleh semua warga. Apalagi bagi perkampungan yang mayoritas warganya beternak ayam.

Hukum yang seharusnya menata kehidupan sosial masyarakat malah terkesan memecah belah kerukunan warga masyarakat. Norma bangsa adalah sikap memaklumi saudara setanah air meski sedikit merugikan pribadi. Mengatasi masalah dengan musyawarah, bukan dengan denda dan hukuman penjara. Beban hukuman juga jauh memberatkan dengan kerugian terkait perilaku unggas yang memakan benih di pekarangan tetangga.

DPR seharusnya melakukan kunjungan ke kampung yang biasa beternak unggas untuk melihat realita di lapangan sebelum buru-buru mengambil keputusan pengesahan UU KUHP. Apalagi perkara unggas tidak relevan bagi mereka yang terbiasa tinggal di lingkungan yang jauh dari kehidupan masyarakat yang suka beternak unggas.

Norma bangsa harus lebih mementingkan urusan kekeluargaan dan keadilan daripada kesewenang-wenangan hanya karena satu atau dua kasus terkait perilaku hewan ternak yang berkeliaran di kebun yang dikelola perusahaan. Tentu akan ada banyak kasus yang dilaporkan jika masyarakat tidak punya norma bermasyarakat.

Sebagai lembaga legislatif yang mewakili aspirasi warga, tentu menjadi kegelisahan masyarakat di daerah pemilihnya yang cenderung melihat aturan unggas merupakan pasal titipan perusahaan-perusahaan di bidang produksi perkebunan. Butuh kebijaksanaan bahwa realitanya banyak masyarakat yang saat ini beternak unggas dan suka berkeliaran di pekarangan tetangga.***

  Keberadaan hukum merupakan suatu dimensi sosial untuk menciptakan ruang ketertiban, keamanan, dan keadailan bagi seluruh warga negara. Dih...

 

hukum indonesia

Keberadaan hukum merupakan suatu dimensi sosial untuk menciptakan ruang ketertiban, keamanan, dan keadailan bagi seluruh warga negara. Diharapkan hukum mampu mengimplementasikan keinginan masyarakat secara responsif dan reaktif. Indikatornya dengan memahami dan menjalankan aturan berdasarkan nilai-nilai kemanusaiaan yang adaptif terhadap perubahan di masyarakat.

Namun problem hukum di Indonesia tidak hanya persoalan produk hukum domestik, melainkan juga disebabkan peran aparat penegak hukum. Kurangnya integritas menangani berbagai permasalahan hukum dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga hukum. Saat ini masih banyak masyarakat yang kurang percaya terhadap sistem hukum beserta aparaturnya.

Selama ini aparat penegak hukum hanya melaksanakan undang-undang secara normatif, namun melupakan prinsip common sains dengan mengedepankan prinsip sense of humanity. Hukum harus bisa menjadi jembatan penghubung antara pemikiran normatif dengan pemikiran responsif. Menunjukan integritas yang didasarkan landasan moral di masyarakat.

Sejauh ini, independensi lembaga hukum masih diragukan ketika narasi publik memberitakan hukum di Indonesia hanyalah alat politik dan kekuasaan. Masih banyak intervensi yang dilakukan untuk mereduksi integritas lembaga hukum. Saat ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan yang bersifat kaku dan menekankan pada aspek the legal system, tanpa melihat kaitan antara hukum dengan persoalan-persoalan yang hidup dalam suatu masyarakat.

Dibutuhkan reformasi hukum tidak hanya dalam hal pembaruan Undang-Undang (UU) atau substansi hukumnya (legal substance reform), tetapi juga pembaruan struktur hukum (legal structure reform) dan pembaruan budaya hukum (legal ethic and legal science/ education reform), serta pembaruan aspek immateriil dalam hukum dengan pembaruan budaya hukum, etika/ moral hukum, aparatur penagak hukum, serta ilmu/ pendidikan hukum untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan (Barda Nawawi Arief, 2010).

Sebenarnya hukum dan moral merupakan dua entitas yang memiliki tujuan sama untuk mencapai keadilan. Segala analisis, pembongkaran, dekonstruksi, hingga kritik terhadap hukum dalam tataran implementatif tujuannya untuk mencapai keadilan. Alasan sikap skeptis masyarakat terhadap hukum yang mengabaikan prinsip keadilan di antaranya proses penegakan hukum yang tidak seimbang antara penguasa dan oposisi, proses pengadilan (putusan) yang meragukan, hingga keterlibatan aparat hukum dalam tindak pidana.

 

Baca Juga : Dikotomi Kemenkumham

Rastra Sewakotama

Abdi Utama bagi Nusa Bangsa dijadikan moto Polisi Republik Indonesia. Aplikasinya dengan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Jika nusa dan bangsa dipahami secara komprehensif berarti juga menyangkut objek rakyat (warga negara). Sehingga polisi harus mampu memposisikan sebagai pelayan masyarakat, bukan menjadi pelayan pemerintah saja.

Realitanya, polisi terkesan berlaku semena-mena terhadap masyarakat (tuannya) ketika melakukan aksi demo. Sedangkan polisi menjadi begitu patuhnya terhadap perintah penguasa meskipun harus dengan menggunakan perilaku anarkisme untuk melawan masyarakat. Polisi sudah dijadikan alat politik dan kekuasaan tanpa punya integritas sebagai lembaga independen. Hal tersebut bisa dimaklumi mengingat lembaga penyusun undang-undang menghendaki kedudukan lembaga kepolisian berada di bawah presiden. Dalam pasal 30 (4) UUD NRI 1945, kepolisian hanyalah alat negara yang menjalankan wewenangnya berdasar arahan presiden.

Meskipun demikian, masih ada secerca harapan bagi masa depan hukum di Indonesia yang lebih banyak diwakili oleh lembaga kepolisian. UUD 1945 tidak mengatur secara tegas posisi atau kedudukan polisi dalam konsep trias politik. Polisi juga dijadikan alat negara, bukan alat pemerintah. Artinya semua masih bisa berharap mendapat keadilan hukum dari lembaga kepolisian sekalipun kontra dengan pemerintah.

Belum selesai menguraikan kedudukan polisi dalam struktur lembaga negara, perilaku anggota polisi sedikit-banyak mencoreng wajah polri. Polisi salah tembak warga di Makassar, bocah terkena peluru nyasar oleh polisi mabuk di Gorontalo, kasus suap polisi di Palembang, hingga kasus “pemerkosaan” polisi Mojokerto. Bagaimana mungkin lembaga yang diharapkan mampu menciptakan ketertiban, keamanan, dan keadilan malah terlibat dalam tindak pidana?!

Polri harus membangkitkan lagi moto Rastra Sewakottama sebagai pelayan dan abdi utama negara dan bangsa. Mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sempat hilang terhadap lembaga kepolisian. Polisi masih dianggap ancaman daripada pengayom atau pelindung masyarakat. Banyak pelaporan kasus hukum masyarakat yang lama diproses, pungutan liar dengan dalih “biaya administratif”, dan mendadak tampil eksis ketika kasus ramai dibicarakan di media sosial.

Selama ada putusan diskriminatif hukum terhadap pejabat dengan masyarakat (nonpejabat), masa depan hukum di Indonesia tetap akan kumuh. Banyak tugas yang harus dilakukan lembaga kepolisian untuk mengangkat martabat hukum sebagai pondasi keadilan suatu negara. Jangan sampai polisi yang seharusnya menjadi kawan masyarakat malah terkesan menjadi musuh masyarakat.

 

Pernah dimuat Falsafatuna

https://falsafatuna.id/hukum-kumuh-di-indonesia/admin/