CATEGORIES

Showing posts with label agama. Show all posts

Konflik agama bersumber pada perbedaan keyakinan dan kepatuhan doktrin. Setiap manusia mempunyai prinsip yang dipegang sebagai ideologi mene...

bahaya dari Agama

Konflik agama bersumber pada perbedaan keyakinan dan kepatuhan doktrin. Setiap manusia mempunyai prinsip yang dipegang sebagai ideologi menentukan keyakinannya. Banyak pengaruh yang meladasi keyakinan seseorang seperti pendidikan keluarga, lingkungan sekolah dan kelompok, hingga aktivitas media sosial.

Pemilihan memantapkan keyakinan memberikan kesan kepemilikan yang jika ada yang mengusik akan dianggap musuh atau penghianat. Semakin berbahaya ketika orang yang memilih keyakinan tidak diimbangi dengan pemahaman terhadap keyakinan yang lain. Keengganan belajar dan memahami keyakinan orang lain hanya diekspresikan dengan aktivitas penghinaan, perundungan, dan persekusi di ruang publik.

Dalam ruang diskusi antar agama akan dilabeli paham liberalisme, sementara diskusi intra agama akan menghasilkan konflik gagasan. Dalam beberapa kasus, penjelasan kebenaran ilmiah akan ditolak untuk mempertahankan keyakinan agama yang sudah diimani sejak kecil. Mengalihkan keyakinan akan menghasilkan perasaan malu dan kalah.

Harapan menyadarkan atas kekeliruan keyakinan berdasarkan argumentasi ilmiah sulit dilakukan jika dibenturkan dengan aspek teologi agama. Sikap fanatisme mempertahankan keyakinan yang kerap dimanfaatkan secara ekonomis dan politis. Secara ekonomi akan menjadi pasar dagang menjual agama, sementara secara politik akan dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan. Muncullah politik identitas untuk membenturkan kepentingan dan memecah belah bangsa.

Kebodohan memilih keyakinan tidak disandarkan pada tujuan makna dan moral. Makna tentang penciptaan dan kekuatan supranatural, sementara moral berkaitan dengan aturan perilaku manusia untuk mencapai kedamaian. Menjadi kontrdiktif ketika agama yang dianut dan dipahami malah sering menciptakan konflik dan anarkisme.

Agama tidak lagi dipandang sebagai nilai religiusitas selain tujuan formalitas. Pamer tampilan semata tanpa penghayatan tentang konsep cinta kasih. Membela mati-matian kelompok atau organisasi atau afiliasi politik tanpa melibatkan logika berpikir. Hasilnya adalah praktek agama dengan ujaran kebencian, pembubaran pengajian, hingga terorisme.

Feuerbach pernah melontarkan kritik keras terhadap penagnut agama yang disebutnya sebagai penyembah khayalannya sendiri. Dalam banyak hal, keyakinan agama mematikan nalar untuk melihat realita kehidupan yang lebih memprihatinkan seperti kemiskinan, ketidakadilan, hingga peperangan.

 

Baca Juga : Dunia Islam Kontemporer

Krisis Beragama

Dalam postingan NU Online di YouTube (10/3), Habib Ali Baqir al-Saqqaf menjelaskan tentang pentinganya memahamkan kebenaran agama. Hal ini berkaitan dengan aksi pembubaran pengajian, perundungan aliran minoritas, hingga penjabaran terhadap perbedaan mazhab agama.

Obrolan beliau menjadi bahan koreksi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di dunia agar tidak mudah melakukan persekusi terhadap ustaz atau ulama yang berbeda mazhab. Seharusnya yang dilakukan NU adalah menginisiasi ruang dialog intraagama untuk menemukan kebenaran atas keyakinan yang dianut seseorang.

Menghalangi dakwah (pengajian) mazhab yang dianggap berbeda merupakan perilaku pengecut karena ketidakmampuannya bersaing dan mempertahankan argumentasi keyakinannya. Melempar narasi terhadap ancaman agama yang berpotensi makar hanya akan dilihat sebagai bentuk krisis beragama.

Agama dijadikan pembenaran sikap egois yang bertentangan dengan nilai-nilainya sendiri. Penganut agama mulai takut terhadap perbedaan, sementara banyak kampanye perbedaan adalah rahmat tidak diindahkan dengan aksi merendahkan mazhab lain.

Peran lembaga pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap pilihan keyakinan seseorang. Akses informasi dari internet memudahkan setiap orang menentukan keyakinannya berdasarkan karakter dan lingkungan sosialnya. Sementara keyakinan merupakan ruang privasi yang tidak bisa diintervensi pemerintah atau orang lain.

Seperti yang disampaikan Habib Ali Baqir al-Saqqaf, bahwa mengatasi krisis beragama adalah dengan intensitas diskusi yang bakal diadakan. Ketidaktahuan memahami agama yang sering menjadi faktor konflik intra agama. Semakin luas ilmu seseorang akan menjadikannya lebih toleran melihat perbedaan. Sayangnya, penganut agama di Indonesia masih banyak yang tidak mau mempelajari keyakinan atau mazhab yang lain.

Ketakutan terbesar adalah terjadinya perang antar saudara seperti yang terjadi di negara-negara timur tengah. Bahkan dalam sejarah Islam, banyak perang besar yang terjadi karena perbedaan sesama muslim seperti Perang Jamal, Perang Shifin, hingga Perang Karbala. Kemunculan doktrin jihad, aksi bom bunuh diri, kampanye negara thaghut dan kebolehan membunuh sesama muslim menjadi tantangan generasi muslim milenial untuk menyadarkan bahaya krisis dan kedunguan beragama.

Butuh kedewasaan dan kebijaksanaan melihat perbedaan keyakinan dan mazhab. Meski NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia sering terlibat dalam sosialisasi kebhinekaan, sebaran informasi terhadap ideologi transnasional mulai banyak dianut generasi milenial yang tidak dipedomani landasan kitab dan ulama dalam memahami agama.

Sikap intoleransi dan mengecam perbedaan keyakinan adalah risiko dari kurangnya ruang diskusi dan tawaran ideologi yang relevan dengan perkembangan zaman. Kajian melalui media sosial mulai banyak diminati dengan embel-embel hijrah. Kemudian politik praktis memfasilitasi gerakan kelompok Islam tertentu untuk menambah konflik agama yang semakin sulit diuraikan dan diselesaikan.***

Langgar, surau, meunasah, atau musala identik dengan bangunan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil dan sederhana. Lan...

Langgar dan Sanggar

Langgar, surau, meunasah, atau musala identik dengan bangunan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil dan sederhana. Langgar umumnya dibuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu. Hingga banyak orang Jawa hingga Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan kata dari musala.

Sementara sanggar merupakan wadah mengembangkan kesenian tradisi. Langgar dan sanggar merupakan interpretasi konsep budaya lokal untuk memfasilitasi dakwah keagamaan dan kesenian. Gambaran mengenai berkawinnya agama dan seni dalam membentuk karakter dan moralitas masyarakat. Belajar agama ke langgar, belajar seni ke sanggar.

Hal ini selaras dengan dakwah walisongo yang menggunakan instrumen kesenian wayang, gamelan, hingga tembang untuk menyiarkan agama Islam. Akulturasi agama dan budaya mencentuskan konsep Islam Nusantara. Masyarakat Jawa yang kental dengan tradisi disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan dengan menciptakan kesenian berbasis religiusitas.

Keberadaan langgar dimakani tidak seformal kegiatan di Masjid. Langgar bisa difungsikan sebagai wadah diskusi, silaturahmi, bahkan kegiatan yang berorientasi kesenian. Demikian halnya dengan sanggar yang bisa difungsikan sebagai media dakwah mengajarkan agama tanpa pidato formal syariat yang mengikat.

Saat ini sebutan langgar perlahan punah, sementara eksistensi sanggar masih banyak digunakan bahkan untuk komunitas kesenian kontemporer. Seni tari, teater, hingga ketoprak masih bangga menggunakan istilah sanggar untuk menunjuk sekretariat tempat menggodog ide, latihan, hingga pementasan. Belum ada padanan kata yang menggusur eksistensi sanggar dalam bidang kesenian.

 

Baca Juga : Ajaran Falsafah Serat Wedatama

Dikotomi

Keagamaan dan kesenian masih dianggap sebagai entitas ajaran yang berseberangan. Aktivitas seni yang ekspresif dan bebas bertentangan dengan nilai agama yang kaku dan mengikat bagi pemeluknya. Faktor perilaku, batasan aurat, hingga variabel drama dan musik yang mulai ada pelarangan dari sebagian mazhab agama. Kesenian perlahan tersisih dari kesatuan keagamaan yang dulu berelaborasi membentuk kebudayaan bangsa.

Pelaku seni dipersepsikan sebagai bagian dari kaum urakan dan tidak senonoh. Akrab dengan kemaksiatan dan barang-barang haram seperti minuman keras dan narkoba. Seniman butuh media berimajinasi dan berkreasi untuk menciptakan sebuah karya yang kadang dipenuhi dengan mengonsumsi sesuatu yang membuatnya rileks. Meski terlalu konyol menyimpulkan semua pelaku seni dekat dengan kemaksiatan.

Sementara agama erat berkaitan dengan kesopansantunan, kesunahan, dan ketaatan. Batasan antara seni dan agama yang menjadi dikotomi kehidupan. Berkesenian diibaratkan tidak beragama dan sebaliknya. Padahal kemampuan suatu perilaku untuk mengungkapkan emosi keagamaan selaras dengan daya pesona (enchantment) yang dimiliki oleh perilaku seni.

Agama dan seni yang memiliki hubungan bersifat saling melengkapi, kontradiksi dan bentuk akulturasi karena adanya hubungan saling mempengaruhi antara satu nilai dengan nilai berbeda (Lysen, 1972). Keterikatan seni dan agama di Indonesia mengubah warna baru Islam yang moderat dan “lentur”. Tidak dipahami kaku dan memaksa.


Baca Juga : Hidup untuk Berteater

Seni Beragama

Peradaban modern manusia mulai terpenjara dalam paradigma rasionalitas. Saat ini manusia belum mampu menerima kekayaan dimensi yang terperangkap pada kebenaran moral dan rasionalitas saja. Seni seharusnya menjadi jalan untuk mengatasi degradasi moral manusia itu sendiri.

Dalam kacamata seni, kebenaran tidak selalu berbentuk kebaikian dan sebaliknya. Seniman akan mengolah segala hal yang dialaminya menjadi wujud keindahan dengan landasan nilai estetika. Perasaan dan intuisi merupakan alat bagi pelaku seni menemukan kebenaran yang paling mendasar, universal, dan abadi.

Menurut Jakob Sumardjo, seni punya korelasi mendalam dengan agama dalam menemukan kebenaran. Kehadiran sesuatu yang transendental dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam kesenian. Sebab seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman yang nyata.

Agama bersifat statis, sedangkan seni bersifat dinamis. Kontradiksi ini menjadi parameter sulitnya menggabungkan unsur keagamaan dan kesenian dalam menjalani kehidupan. Padahal seharusnya Agama memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan, khususnya dalam berkesenian.

Beragama harus punya sifat dan sikap keindahan yang digambarkan Tuhan dalam kewelasasihannya. Seni bisa menjadi instrumen melunakan ego dan nafsu beragama seseorang. Seni dihayati sebagai pengejawantahan konsep ketauhidan yang nyawiji dalam benda dan perilaku alam. Seni hanya mengolah ide yang meniru kejadian dan keindahan alam untuk diimplementasikan dalam karya.

Seni pondasi mendidik kebatinan (rasa, karsa, dan karya) manusia agar tidak terlalu konservatif dalam beragama. Konsep mengawinkan sanggar dan langgar adalah gagasan progresif melihat realita kesenian dan keagamaan saat ini. Lebih ekstrem lagi, seni (sanggar) dan agama (langgar) merupakan entitas kehidupan yang mustahil dipisahkan.***

Kita perlu menyepakati bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisai masyarakat terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Meski lebih muda dari sa...

Tantangan Seabad NU

Kita perlu menyepakati bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisai masyarakat terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Meski lebih muda dari saudara tuanya Muhammadiyah, NU punya basis masa yang cukup fanatik, khususnya di lingkup pondok pesantren. Bahkan sekarang aktif merambah dunia pendidikan formal dan kesehatan.

Peran politis NU sebagai jembatan pemerintah dan rakyat juga menjadi daya tawar pengurus mengembangkan sayap dominasi keagamaan di Indonesia. Konsep pribumisasi Islam relevan dengan budaya bangsa terkait praktek ibadah. Sementara Islam puritan yang mulai berkembang di media sosial kembali mendapat tantangan dari intelektual muda NU.

Berbagai sektor coba disasar NU untuk mempertahankan tujuan menjaga NKRI dan keberagaman. Tantangan intoleransi, radikalisme, dan terorisme dijawab secara ilmiah oleh kemunculan ulama-ulama muda NU. Keanggunan NU dalam belantikan keagamaan dan kemasyarakatan Indonesia menarik minat generasi milenial di daerah urban dengan mendirikan berbagai organisasi atau komunitas yang berafilisasi dengan NU.

Bangunan konsep keaswajaan yang selaras dengan jati diri bangsa membawa seabad NU konsisten memfasilitasi kebutuhan spiritual masyarakat. Pesantren bukan lagi satu-satunya poros kekuatan NU, namun lebih berkembang ke berbagai lembaga pendidikan dan kajian ilmiah. Menawarkan kajian yang progresif dan mengikuti minat generasi milenial yang aktif bermedia sosial.

Perekrutan generasi muda dalam kepengurusan PBNU menjadi gagasan brilian menghadapi tantangan perubahan zaman. Menyiasati berbagai ancaman yang menyasar budaya masyarakat, doktrinasi melalui media digital, dan strategi “mengislamkan” Indonesia. Fitnah, penggiringan opini, dan sebaran informasi hoaks untuk menjatuhkan NU menambah kokoh organisasi sepanjang waktu.

Jelang seabad NU, pengurus punya tantangan menjadi stabilitator politik dan mewujudkan cita-cita bangsa. Menguatkan ideologi agar tidak mudah dipengaruhi iming-iming kekuasaan di pemerintah dan konsisten berada di belakang kelompok minoritas sebagai aktualiasi dari karakter tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh.

 

Baca Juga : Nahdliyin yang Maiyah

Pondok Pesantren

Sebagai pilar organisasi, pondok pesantren memunculkan cendikiawan muslim yang bakal meneruskan perjuangan NU. Berdasarkan data dari Kemenag, per bulan April 2022, jumlah pesantren di Indonesia ada 26.975 unit. Meski tidak bisa diklaim seluruhnya berafiliasi dengan NU. Namun citra pesantren sebagai simbolisasi NU menegaskan tentang kekuatan organisasi dari nilai pendidikan, politik, dan sosial kemasyarakatan.

Tantangan berikutnya bagaimana NU bisa memberikan fasilitas bagi pondok pesantren agar tetap diminati masyarakat. Eksplorasi dunia digital tanpa meninggalkan pedoman dasar kepesantrenan. Menawarkan inovasi yang tidak bisa ditawarkan teknlogi dengan kecerdasan buatannya. Solusi mempertahankan pesantren dari gencaran sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan terbuka.

Diketahui bersama bahwa banyak pesantren yang menerapkan sistem kaku memperlakukan santrinya. Batasan akses informasi, sosialisasi di luar pesantren, dan aktualisasi keahlian menjadikan santri jenuh dan tidak betah. Tidak ada tawaran lain selain penguasaan ilmu keagamaan dan pembentukan karakter santri. Meski beberapa sudah berevolusi menuju pesantren modern, masih banyak pondok pesantren salaf yang mempertahankan nilai-nilai kepesantrenan generasi sebelumnya.

Tentu tidak bisa disimpulkan bahwa keterbukaan akses punya dampak positif bagi santri di pesantren. Perilaku amoral anak-anak sekarang disebabkan karena tidak adanya kontrol dari yang berkepentingan. Ketidaksiapan mental menerima kecangihan teknologi mengubah karakter anak. Pesantren seharusnya punya daya tawar mencetak generasi berkualitas yang bermoral. Apalagi Indonesia bersiap menghadapi periode generasi emas di tahun 2045.

Penataan pesantren juga harus menjadi fokus NU agar tidak menimbulkan citra buruk. Kasus asusila dan kekerasan di pondok pesantren yang dipotret media dan disebarluaskan akan mereduksi kualitas pesantren. Kekhawtiran orang tua menyekolahkan anaknya di pesantren akan menurunkan sumber daya NU di masa depan.

Satu-dua kasus pesantren berdampak pada pandangan miring masyarakat yang ingin memasrahkan (santri mukim) anggota keluarganya (tanpa kontrol orang tua). Tidak adanya filterisasi pembangunan dan pengembangan pesantren di lingkungan masyarakat secara tidak langsung mencederai NU.

Semua punya hak mendirikan pondok pesantren meski bukan dari kalangan NU atau alumni santri. Konsep swadaya masyarakat yang kemudian berkembang dengan memanfaatkan internet sebagai media promosi. Labelisasi ulama atau kiai juga tidak jelas standarisasinya. Pondok pesantren berkembang, kualitasnya diperdebatkan. Belum lagi kepentingan ideologi di luar NU yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat menidentifikasi ajaran pondok pesantren.

Apa pun itu, seabad NU merupakan pijakan menuju perubahan yang lebih baik. Pondok pesantren perlu kesadaran tentang pentingnya citra dengan tetap berinovasi dari sistem pengelolaan pesantren dan cara pengajaran yang menarik bagi santri. Keberadaan pesantren dan NU masih menjadi benteng NKRI dari segala intrik perpecahan atau perang saudara, bukan hanya tentang perselisihan praktek keagamaan, namun juga faktor politik.***

  “ Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu ” Saya sering mengatakan bahwa saya adalah muslim yang jarang berdoa terkait kebu...

 

doa manusia muslim

Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu

Saya sering mengatakan bahwa saya adalah muslim yang jarang berdoa terkait kebutuhan dan keinginan dunia. Tentu akan bertolak belakang dengan firman Allah Swt dalam QS. Ghofir ayat 60 tentang kewajiban manusia untuk berdoa. Ketidakmauan berdoa menyimbolkan kesombongan yang diancam Neraka Jahanam dalam keadaan yang sehina-hinanya.

Alasan saya jarang berdoa bukan karena kesombongan, melainkan ketidakpantasan meminta kepada Tuhan sebab kesadaran akan belum patuhnya saya menjalankan perintah dan larangan-Nya. Analogi yang sering saya ceritakan adalah ketika orang tua menyuruh anaknya untuk membantu pekerjaan rumah atau memberikan larangan terkait aturan keluarga namun kerap dilanggar. Lantas sekonyong-konyong anak meminta dibelikan sesuatu.

Bagi orang tua yang kasihan kepada anaknya mungkin tetap akan dituruti keinginannya, namun dengan perasaan jengkel dan kecewa. Sementara bagi orang tua yang tegas akan menolak permintaan anak. Relasi pemberian dan permintaan ini yang menjadi landasan saya jarang berdoa terkait keinginan terhadap dunia. Saya belum benar-benar beriman dan bertakwa.

Daripada berdoa untuk diri sendiri, saya lebih senang mendoakan orang lain, khususnya orang tua dan guru ngaji. Saya meyakini doa adalah bumerang yang akan berbalik kepada diri sendiri. Doa baik akan menjadi baik, doa buruk akan menjadi buruk. Selain itu, saya lebih suka berdoa terkait pemenuhan kebutuhan akhirat seperti ampunan terhadap dosa, menjauhkan dari siksa api neraka, dan mengharap rida Allah.

Saya takut keterikatan pada dunia mengalihkan fokus beribadah kepada Tuhan. Lebih menuhankan kekayaan, popularitas, dan jabatan daripada menuhankan Tuhan itu sendiri. Kecewa ketika doa tidak dikabulkan dan lupa bersyukur ketika sudah dikabulkan. Doa hanya dijadikan sarana formalitas, sedangkan keberhasilan dianggap karena usahanya sendiri, tanpa melibatkan Tuhan.

 

Baca Juga : Deprimordialisasi Haji dan Kurban

Model Berdoa

Esensi doa adalah meminta sesuatu kepada yang lebih tinggi derajatnya. Ada beberapa tipe doa yang dipraktekan manusia dengan gaya mengemis, gaya bersyair, dan gaya eksistensial. Gaya mengemis adalah metode berdoa yang selalu meminta dan selalu menuntut dikabulkan. Gaya bersyair lebih berfokus pada kondisi bersyukur terhadap apa yang sudah diberikan oleh Tuhan dengan ungkapan-ungkapan pemujian. Sementara gaya eksistensial adalah metode doa dengan menyatukan diri kepada Tuhan untuk mendapatkan rida.

Berdoa bagi saya meminta dan menuntut Tuhan atas terkabulnya keinginan. Etika pengabdian ini yang menjadi keresahan saya jarang berdoa, apalagi doa yang tidak diimbangi dengan rayuan (pujian). Secara tingkatan, sepantasnya Tuhan memerintah manusia, bukan sebaliknya. Namun ada juga strategi berdoa dengan munajat atau curhat dengan menginginkan sesuatu secara tersirat.

Tuhan adalah penguasa, bukan pembantu yang senak-enaknya diperintah mengabulkan permintaan kita. Tuhan punya segalanya dan mengetahui apa pun yang menjadi kebutuhan setiap manusia. Menuntut Tuhan dengan dalih kewajiban berdoa tidak menunjukan sikap etis seorang hamba. Apalagi berdoa terhadap sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungan untuk semakin mendekatkan kepada Tuhan.

 

Baca Juga : Fase Manusia Beragama

Doa Nabi

Doa adalah teka-teki Tuhan untuk manusia. Doa populer Nabi Adam misalnya, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” Menisbatkan doa pada sikap penyesalan tanpa tendensi mengharap sesuatu dari kebutuhan dunia.

Ada juga doa Nabi Yunus ketika ditelan Ikan Paus, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim,” Nabi Yunuh tidak secara tersirat meminta kepada Tuhan untuk dikeluarkan dari perut ikan, namun lebih kepada kesadaran diri akan kezalimannya.

Puncaknya adalah munajat Nabi Muhammad ketika tiba di Kota Thaif untuk menyebarkan agama Islam, “Ya Allah. Kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku? Atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli.”

Banyak lagi doa para nabi yang tidak secara tersurat berdoa untuk kebutuhan dunia seperti pekerjaan mapan, jodoh yang rupawan, kekayaan harta, meraih jabatan, hingga populer di lingkungan. Nabi mencontohkan doa tentang kesadaran diri yang zalim dan mengharap ampunan Tuhan. Kemudian Tuhan memberikan berbagai macam kebahagiaan dan kemudahan terhadap urusan dunia.

Tuntutan atas nama doa kepada Tuhan membalikan posisi pemberi dan peminta. Takutnya, niat berdoa malah berdosa sebab tidak tercapainya segala keinginan yang dituntutkan kepada Tuhan. Sementara kita masih jauh dari istikamah ibadah dan hobi bermaksiat. Pantaskah kita berdoa?***

Beberapa hari saya sedih melihat viralnya Mbah Nun di media sosial. Bukan karena keikhlasannya hampir setiap hari berkunjung ke desa-desa, m...

Nahdliyin yang Maiyah

Beberapa hari saya sedih melihat viralnya Mbah Nun di media sosial. Bukan karena keikhlasannya hampir setiap hari berkunjung ke desa-desa, melainkan karena isu politik sejak kehadiran Prabowo di Ponpes Segoro Agung Mojokerto hingga potongan video Jokowi Fir'aun.

Padahal beberapa bulan lalu saya sempat mbrebes mili saat mendengar Mbah Nun bilang bahwa suatu saat ia pasti akan mati dan meminta anak-anak maiyah melanjutkan perjuangannya. Entah kenapa saat itu belum siap -dan mungkin tidak akan pernah siap- ditinggal beliau.

Di usianya yang sudah senja, ia banyak mengajarkan filosofi dan konsep hidup yang selaras dengan alam dan sosial. Slogan yang kerap dikampanyekan nahdliyin tentang memanusiakan manusia juga saya dapat dari Mbah Nun. Meski berulang kali beliau bilang untuk jangan mengikutinya sebab ada kemungkinan salah dari apa yang diucapkan, dilakukan, dan diajarkan.

Saya mengikuti Mbah Nun sejak awal kuliah sekira tahun 2010. Membaca kisah hidup beliau dan mulai mengumpulkan buku-buku karyanya. Semakin cinta ketika banyak ajaran kenahdliyian yang ditawarkan meski beliau lebih suka menyebutnya MuhammadiNU.

Kedekatan dengan idola saya berikutnya seperti Cak Nur, Gus Dur, dan Gus Mus semakin membuat saya semakin kagum dengan beliau. Hampir setiap kajiannya saya ikuti meski kebanyakan via YouTube. Seperti halnya Gus Dur, saya sering terkecoh menilai setiap ucapannya yang kadang bertentangan dengan keyakinan saya.

Dulu Gus Dur banyak dihina dan dimaki akibat perkataan dan kebijakannya kala menjabat sebagai presiden. Waton ngomong. Setelah meninggal, banyak yang terkejut kalau omongannya banyak yang terjadi seperti kasus korupsi, perilaku DPR, langkah diplomasi, dan lain sebagainya.

Dalam tradisi pesantren, kiai yang levelnya sudah makrifat itu punya ilmu weruh sakdurunge winarah. Namun tentu Mbah Nun akan tegas menolak puja-puji yang saya lontarkan. Beliau ingin dianggap manusia biasa yang kadang salah, kadang benar. Meskipun jamaah maiyah mungkin banyak yang setuju dengan pendapat saya.

Kurangcakapnya pengetahuan saya mengenai dunia politik dan kegaiban menyandarkan pemahaman saya kepada orang yang saya anggap lebih paham dan mengetahui. Tentu bukan kapasitas saya mengetahui maksud dibalik pernyataan Mbah Nun yang berdampak pada kemarahan mayoritas nahdliyin tulen di luaran sana.


Baca Juga : Skeptisisme Pondok Pesantren


Tokoh-tokoh NU berbondong memberikan pernyataan yang menyudutkan Mbah Nun yang kemudian dibarengi dengan ribuan caci maki di kolom komentar. Sebagian besar merasa menyesal pernah mengidolai Mbah Nun hanya karena potongan video (dalam beberapa kata).

Patut dimaklumi, selain memanasnya situasi politik, pihak pemerintah sekarang seolah menjadi representasi NU. Wakil presiden dan jajaran kabinet banyak dihuni tokoh NU yang membuat ribuan, bahkan jutaan warga NU ngamuk ke Mbah Nun. Seolah melupakan pengaruh dan perjuangan Mbah Nun mengayomi nahdliyin di kampung-kampung yang kerap mengundang beliau.

Itulah kenapa sejak dulu saya tidak pernah setuju NU dibawa ke ranah politik. Selain efek buruk fanatisme, NU kerap mengabaikan nilai dakwah yang mungkin saat ini masih diampu kiai-kiai kampung tanpa butuh eksistensi, popularitas, apalagi jabatan di pemerintahan. Mereka yang malah berjasa membesarkan NU dari akar rumput, seperti halnya yang dilakukan Mbah Nun saat melakukan kunjungan ke kampung-kampung.

Sementara tokoh NU milenial yang hanya sibuk menghibahkan diri di media sosial enteng saja mengatai Mbah Nun dengan sumpah serapah. Mengajak pengikutnya untuk andil membenci beliau dengan memviralkan kembali potongan narasi di media sosial.

Analogi goblok saya mungkin akan membantah klaim mereka ketika dulu yang jadi presiden Prabowo kemudian dikatai Mbah Nun sebagai Firaun. Respon tokoh-tokoh NU tentu akan mendukung dan memberikan puja-puji. Sekali lagi, faktor fanatisme dan kedekatan mengubah nalar keilmuan seseorang.

Tahun 2018 saya menggagas komunitas Seniman NU dengan mencuplik kutipan Mbah Nun, “Kebenaran adalah bekal yang kamu ekspresikan menjadi kebaikan untuk mencapai keindahan.” Tujuannya untuk membuka wawasan berpikir dan melonggarkan kebijaksanaan dari spektrum pengetahuan yang sempit. Menyadari banyak hal yang tidak kita ketahui, termasuk saat menjadi nahdliyin.

Saya adalah salah satu dari ratusan atau bahkan ribuan nahdliyin yang juga maiyahan. Dari Mbah Nun saya belajar menulis buku dan opini yang kebetulan dimuat ratusan media massa. Mengampanyekan toleransi beragama yang sebagian besar terinspirasi dari Mbah Nun. Namun usaha saya menyebarkan ajaran nahdliyin kalah telak dengan tokoh NU yang kadung taklid dengan pemerintah tanpa punya peran menyebarkan ajaran-ajaran ke-NU-an.

Membenturkan NU dan Maiyah akan disambut sorak sorai muslim puritan yang anti tahlilan, selawatan dengan gamelan, dan dakwah guyonan. Gegara politik praktis, saya menjadi khawatir usaha NU merangkul semua golongan terpecah belah dengan gegabahnya tokoh-tokoh NU mengangkat isu yang menambah keruh suasana jelang pemilu 2024.

Revolusi industri media menciptakan budaya baru, termasuk budaya Islam di Nusantara. Sebagai bagian dari generasi milenial, saya merasakan p...

Hilangnya Budaya Islam Nusantara

Revolusi industri media menciptakan budaya baru, termasuk budaya Islam di Nusantara. Sebagai bagian dari generasi milenial, saya merasakan praktek belajar agama di langgar atau musala sepanjang sore hingga malam hari. Tanpa televisi dan gawai, pergi ke musala untuk nderes (tadarus) atau ngaji menjadi kebiasaan.

Banyak anak remaja yang berkompetisi untuk jumlah hafalan surat dengan makhraj dan tajwid yang benar. Saling berebut mikrofon untuk azan dan ikamah. Komparasi budaya beragama cukup jelas saat melihat perilaku anak-anak sekarang yang dimanjakan tontonan televisi dan gawai di waktu prime time.

Berbagai acara favorit televisi sengaja ditempatkan di waktu anak-anak dulu ngaji di musala. Appraisal dan valuasi penonton juga mendorong pengiklan menyuplai anggaran di waktu prime time. Pergeseran budaya rupanya tidak menggelisahkan sebagian atau mungkin banyak orang melihat keturunannya tidak lagi mahir beragama. Minimal bisa baca-tulis Alquran.

Terlalu jauh menyimpulkan adanya konspirasi mereduksi kualitas kemusliman seseorang akibat dominasi industri media. Sementara memaklumi situasi akan membenarkan klaim bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam hanya karena faktor keturunan (Islam KTP).

Pendidikan keagamaan juga mulai kurang diminati ketika realitas di masyarakat tidak memberikan kesejahteraan hidup di dunia ketika bergelut di bidang keagamaan. Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di kejuruan dan negeri yang dianggap lebih menjamin pekerjaan. Sedangkan waktu di luar jam sekolah malah disibukan dengan bermain gadget.

Hilangnya budaya belajar agama di Indonesia menciptakan pola pikir pragmatis. Mempelajari agama secara instan dan tekstualis yang berdampak pada konflik sosial. Perbedaan pandangan tentang nilai dan sikap saling merendahkan satu sama lain. Perdebatan sesama muslim menjadi konsumsi wajib di media sosial. Agama tidak lagi mengajarkan kebaikan selain egois mempertahankan ideologi.

Kemalasan ngaji namun rajin berdebat perihal hukum syariat menjadi hal yang kontradiktif. Industri media mendorong pertentangan agama yang dulu merupakan praktek persaudaraan dan kebersamaan. Efek dari ketiadaan budaya ngaji sore hingga malam yang digantikan dengan kebiasaan bermedia sosial adalah sikap fanatisme.

 

Baca Juga : Pesulap Merah dan Benturan Budaya

Ideologi Transnasional

Citra Islam Nusantara dipandang sinis muslim kontemporer yang mengampanyekan ideologi puritanisme. Budaya muslim bangsa bergeser menuju gaya hidup Timur Tengah. Cara bersosialisasi, berpakaian, hingga bersikap terhadap sebuah masalah keagamaan. Tidak lagi mementingkan nilai nasab dan sanad beragama, apalagi nilai kebangsaan.

Tawaran ideologi transnasional semakin masif tersebar di media. Banyak yang lebih tertarik ngaji daring daripada bermukim di pondok pesantren atau meluangkan waktu untuk ngaji di langgar dan musola. Padahal dengan interaksi langsung saat ngaji dapat mencegah sikap manipulatif ulama serta mengkritisi materi dakwah yang diajarkan.

Interaksi satu arah yang ditawarkan kajian daring memungkinkan setiap orang tanpa kapabilitas keagamaan bisa mengubah diri menjadi pendakwah. Memanfaatkan kecanggihan algoritma media sosial yang dirancang untuk meningkatkan popularitas seseorang. Ketergantungan terhadap media sosial juga menjadi peluang gesernya budaya bangsa dalam beragama.

Ideologi transnasional menawarkan kajian instan tanpa mengembangkan pembahasan dari sisi konteks dan esensi. Kompleksitas beragama seiring kemajuan zaman memaksa muslim menghadapi banyak masalah seputar akidah dan amaliah. Mengutamakan logika untuk menemukan jawaban dengan menghendaki kesamaan persepsi.

Kekhawatiran penjajahan ideologi mengikis budaya beragama di Nusantara. Tidak lagi berminat pada kajian yang betele-tele, seperti belajar Iqra’ atau kitab-kitab klasik. Selain dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, khasanah keilmuan agama di Nusantara juga dianggap kuno. Anak-anak memilih belajar agama di rumah via media sosial daripada menghabiskan waktu pergi ke langgar atau musala.

Permasalahan berikutnya ada pada sisi pengajar yang memilih bekerja di perusahaan swasta daripada menghibahkan diri sebagai kiai (ulama) kampung. Kondisi tersebut disebabkan karena manusia saat ini lebih berpikir realistis tentang pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak dapat dipenuhi ketika menjadi pengajar di langgar.

Cara beragama dengan budaya Nusantara akan dirindukan bagi sebagai besar orang yang terlibat pada masa itu. Memiliki ketekunan belajar agama yang dijadikan hiburan bersama teman-teman. Sementara industri media mencetak generasi individualistik yang tidak lagi mementikan aspek spiritual dan sosial. Penjajahan budaya yang dibalut dengan agama menjelma menjadi konflik sosial yang dikomersilkan oleh media.***

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) merancang pariwisata halal sebagai program prioritas untuk menjadikan Indonesia d...

Potensi Pariwisata Islam

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) merancang pariwisata halal sebagai program prioritas untuk menjadikan Indonesia destinasi wisata halal kelas dunia. Data Global Muslim Travel Index (2019) menunjukkan wisatawan Muslim hingga tahun 2030 diproyeksikan akan menembus 230 juta di dunia.

Untuk mengimplementasikan program tersebut, pemerintah menyusun strategi seperti fasilitas dan pelayanan yang memadai, konektivitas destinasi wisata halal, mengembangkan promosi dan marketing komunikasi, mengembangkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, dan meningkatkan kompetensi industri yang ramah wisatawan.

Potensi pariwisata halal cukup menjanjikan bagi Indonesia sebagai basis negara muslim terbesar di dunia. Gairah praktek beragama juga berkembang pesat melalui simbol dan pemanfaatan media sosial. Berbagai kajian keislaman menjadi objek menciptakan identitas yang beberapa di antaranya di bungkus nuansa politis.

Mengingat sebaran destinasi wisata di Indonesia, tentu mudah mengaplikasikan program wisata halal. Tantangannya, capaian wisata nonmuslim yang punya proyeksi ekonomi saat ini. Simbol Islam masih punya paradigma negatif terkait perilaku terorisme, perang saudara di Timur Tengah, dan intoleransi. Indonesia punya tugas membersihkan nama Islam yang banyak dicederai oleh umatnya sendiri.

 

Baca Juga : Habituasi Dogma Kebudayaan

Islam dan Halal

Penggunaan diksi halal yang punya asumsi produk makanan/ minuman kurang relevan digunakan sebagai istilah pelengkap pariwisata. Meski Majelis Ulama Indonesia mulai mengabaikan esensi kehalalan produk menjadi simbol Islam dalam berbagai bentuk barang atau benda. Sebab wisata tidak hanya berfokus pada penyajian makanan dan minuman halal, melainkan pada nilai yang diterapkan.

Pariwisata Islam tampaknya lebih lugas mencitrakan nilai-nilai keagamaan melalui sarana pariwisata. Meskipun berbicara nilai Islam banyak yang sejalan dengan budaya di Indonesia. Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang menyangkut kebersihan, keramahan, kedisiplinan, dan gotong royong. Maksudnya, tanpa identitas Islam pun, manusia bisa mengamalkan nilai-nilai Islam sebagai hakekat budaya dan kemanusiaan.

Pemerintah harus bisa mengembangkan esensi daripada hanya berkutat pada eksistensi Islam. Penggunaan simbol dan istilah-istilah Islam kurang begitu punya pengaruh menciptakan nuansa islami jika perilaku wisatawan dan pelaku di dalamnya jauh dari cerminan nilai-nilai Islam. Fokus nilai Islam tidak tercermin dari penamaan wisata halal dan lebih layak menggunakan nama Pariwisata Islam.

Wisatawan tidak dibatasi oleh muslim, semua pemeluk agama bisa berkunjung ke Indonesia dan melihat praktek nilai-nilai Islam yang indah dan menarik. Misalnya tingkat kebersihan dilihat dari penyediaan fasilitas MCK, tidak adanya sampah, perawatan lingkungan hidup, dan kerapian penataan lokasi wisata. Dalam sisi keramahan bisa diwujudkan dengan intensitas interaksi dengan wajah murah senyum seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad.

Halal hanya identik dengan Islam namun tidak mewakili nilai secara keseluruhan. Namun butuh kesiapan yang matang menyiapkan pelaku industri pariwisata dalam mengamalkan nilai Islam. Memberikan teladan kepada wisatawan bahwa Islam adalah agama yang damai, menyenangkan, dan selalu memanusiakan manusia. Islam tidak boleh dimonopoli oleh salah satu paham atau ideologi yang tercermin dari sikap menerima kehadiran wisatawan nonmuslim.

 

Baca Juga : Budaya Insecurity Bangsa

Pluralistik

Perlu diakui bahwa Indonesia merupakan negara plural dengan beragam suku, budaya, dan agama. Sejarah bangsa juga diilhami oleh para pemuka agama nonmuslim dan sudah hidup rukun puluhan tahun di Indonesia. Kesadaran negara multidimensi menghendaki kebijakan pemerintah yang adil pada semua aspek agama.

Penyediaan produk (barang) halal sebagai penguatan unsur religius terlihat tidak begitu berpengaruh pada motif pembentukan wisata islami. Kita kerap dininabobokan simbol-simbol agama namun tidak pernah menganalisis esensi dan manfaat dari keberadaannya. Agama hanya dijadikan transaksi dagang secara politik dan ekonomi.

Kegigihan pemerintah merencanakan program wisata halal banyak berorientasi pada data State of the Global Islamic Economy yang di tahun 2020 mencatat total perjalanan wisatawan muslim dunia senilai 194 Miliar US Dolar. Diprediksi pada tahun 2023 mengalami peningkatan sekira 274 Miliar US Dolar. Kondisi tersebut yang mengaburkan aspek religius dan mementingkan aspek ekonomi dengan menjual nama Islam.

Konsep pariwisata Islam harus digagas tidak hanya mengenalkan keindahan alam Indonesia. Melainkan juga sebagai komitmen mengembalikan citra Islam yang bisa diterima oleh berbagai agama di dunia. Menunjukan bahwa Indonesia bisa berdiri dan tumbuh dari kondisi yang plural dan majemuk. Islam sebagai negara mayoritas punya tanggung jawab melindungi kehadiran agama minoritas dari segala bentuk ancaman.***

Dalam tradisi Islam ada istilah habib yang ditujukan bagi seseorang keturunan Nabi Muhammad. Habib diambil dari kata habba-yuhibbu  yang ber...

sikap terhadap habaib

Dalam tradisi Islam ada istilah habib yang ditujukan bagi seseorang keturunan Nabi Muhammad. Habib diambil dari kata habba-yuhibbu yang berarti kesayangan atau orang yang dikasihi. Sementara habaib merupakan kata jamak dari habib. Di Indonesia, ada lembaga khusus yang mencatat silsilah keturunan Nabi Muhammad, yakni Rabithah Alawiyah yang berdiri tahun 1928.

Budaya patriarki menentukan posisi habib yang resmi harus berasal dari nasab (garis keturunan) laki-laki. Meski mendapat pertentangan ketika keturunan Nabi Muhammad sempat terputus pada anaknya Fatimah Az-zahra. Nabi Muhammad memiliki 3 anak laki-laki (Al-Qasim, Abdullah, Ibrahim) dan 4 anak perempuan (Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az-Zahra).

Fatimah merupakan satu-satunya ahlul bait (keluarga Rasulullah) yang meneruskan nasab Nabi Muhammad hingga sekarang. Ada sekira 20 juta penduduk di dunia yang menyandang gelar habib dari 114 marga. Di sisi lain, KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menyampaikan bahwa esensi habib adalah orang yang mampu mencintai dan dicintai orang lain.

Mengingat beratnya mengemban gelar habib sebagai suri teladan bagi umat, banyak juga keturunan Nabi Muhammad yang “menyembunyikan identitasnya” seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Said Aqil Siradj, hingga Prof. Quraish Shihab. Dalam tradisi pesantren, santri diajarkan untuk menghormati dan memuliakan habaib sebagai sikap mencintai keturunan Nabi Muhammad.

“Aku tinggalkan dua perkara yang sangat berharga pada kalian. Yang pertama adalah Kitab Allah, yang kedua adalah Ahlul Bait-ku,”

 
Baca Juga : Deprimordialisasi Haji dan Kurban

Politik

Motif politis menjadikan intensitas kecintaan kepada habaib mengalami penurunan. Kasus Front Pembela Islam yang resmi dibubarkan tanggal 21 Juni 2019 menjadi puncak perselisihan antara habaib dan pribumi yang tidak cocok secara pilihan politik. Dimulai dari kemunculan politik identitas sejak pilkada di DKI Jakarta tahun 2017 dan membesar dalam kontestasi pilpres 2019.

Habib Rizieq Shihab menjadi tokoh utama yang getol menyuarakan pandangan politik-religius. Berbagai aksi digalang seperti agenda 212, 1410, dan 411 untuk memuluskan cita-cita politik. Semangat politik yang kemudian menular ke daerah-daerah dan memunculkan tokoh-tokoh lain seperti Habib Bahar bin Smith dan Habib Abubakar Assegaf.

Perkara perbedaan pandangan politik, banyak santri yang semula diajarkan untuk mencintai habaib berubah sikap menjadi pembenci habaib yang kontra pemerintah. Hal itu disebabkan karena pesantren merupakan basis organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama yang menjadikan KH. Ma’ruf Amin (mantan Rais Am Syuriah) wakil presiden. Serentak dukungan mayoritas nahdliyin masuk kantong suara Jokowi.

Benturan politik yang melibatkan pengaruh kiai dan habaib menjadi dilema santri yang terlibat dalam perdebatan politik. Bahkan tak sedikit yang berani menghina dan melecehkan habaib di media sosial. Di sisi lain, banyak habaib yang rupanya terang-terangan mendukung Jokowi di pilpres 2019. Perbedaan pandangan ini yang mereduksi gelar habib yang semestinya mampu mencintai dan dicintai umatnya.

Harapan meredanya politik identitas menggunakan agama sebagai alat merebut kekuasaan akan mengembalikan citra habib yang bisa lebih fokus pada pendidikan agama. Mengembalikan marwah habaib sebagai tokoh yang patut dihormati dan dicintai umat Islam. Tanggung jawab moral sebagai keniscayaan gelar yang didapat sebab keturanan Nabi Muhammad.

 

Baca Juga : Habib Kribo dan Krisis Beragama

Ulama

Bekas konflik politik juga merambah pada gelar ulama sebagai penuntun umat dalam bidang keagamaan. Narasi kriminalisasi ulama digaungkan kepada mereka yang segerbong pandangan politik. Gelar keulamaan juga hilang hanya karena mendukung kebijakan pemerintah yang pernah membubarkan HTI dan FPI.

Habaib secara kesadaran diri dan disepakati masyarakat patut mendapat gelar ulama. Ancaman sesat pada mereka yang membenci ulama kerap muncul dalam dialog dan perdebatan secara daring. Sayangnya, penyematan gelar ulama yang inkonsisten membuat warganet sering mengingkari pernyataannya sendiri.

Bahkan banyak habib yang berbeda pandangan politik dan ditengarai berafilisasi pada salah satu organisasi berani difitnah dan dihakimi secara masal di media sosial. Paling mutakhir kasus Habib Husein Ja’far yang dituduh syiah oleh Muhammad Assaewad dan mendapat dukungan dari followernya di Twitter.

Namun belum ada kejelasan tentang sikap kita sebagai santri yang diwajibkan mencintai habaib kepada mereka yang dianggap atau dituduh sesat. Apakah hanya dibolehkan untuk mencintai habaib yang sesuai dengan pandangan politiknya? Lalu bagaimana dengan habaib yang punya pandangan berbeda tentang politik?

Belum selesai pada gelar habib dalam pandangan politik, apakah gelar ulama hanya disandang bagi mereka yang kontra dengan pemerintah? Apakah gelar ulama otomatis hilang ketika masuk dalam pemerintahan seperti KH. Ma’ruf Amin?

Hanya karena politik, gelar ulama seolah tidak lagi ditentukan dari kualitas keilmuan di bidang agama, melainkan dari sikap oposisi terhadap pemerintahan. Demikian yang kemudian memunculkan transaksi gelar keulamaan yang tidak lagi fokus berdakwah tentang Islam, selain caci maki terhadap pemerintah.***

Reformasi doktrinasi agama transnasional semakin menjamur dan terselubung. Meghadirkan ideologi baru di tengah masyarakat bermotif radikalis...

keyakinan dan kematian

Reformasi doktrinasi agama transnasional semakin menjamur dan terselubung. Meghadirkan ideologi baru di tengah masyarakat bermotif radikalis-terorisme. Perlu diakui bahwa perilaku terorisme berkorelasi dengan agama sebagai sebuah ajaran. Meski agama dibentuk untuk menciptakan kedamaian dan kebaikan, namun ada kecacatan paradigma memandang agama sebagai ajaran yang kaku dan terbelakang.

Eksklusivitas agama melahirkan konflik horizontal dan vertikal. Menciptakan ketidakpercayaan pada institusi dan lembaga negara yang diajarkan melalui forum-forum kajian. Tokoh agama memberikan dogma dan pemahaman konservatif dengan embel-embel pemurnian ajaran agama yang tekstualis. Kegagapan berpikir terbuka dengan menyandarkan keyakinan pada ulama, mendasari kerelaan diri -hingga berkorban nyawa- demi kepentingan agama.

Tak dapat dipungkiri bahwa mayoritas pelaku terorisme diidentifikasi sebagai muslim. Simbolisasi pakaian dan beragam barang bukti pelaku mengarahkan tentang kesalahan memahami esensi agama Islam. Pendekatan transendensi melihat kemampuan manusiawi dengan kaca mata yang lebih luas dari kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya.

Motif terorisme masih menjadi teka-teki meski faktor agama dan politik berperan besar dalam aksi bom bunuh diri di ruang publik. Bertujuan untuk menciptakan kecemasan dan ketakutan di tengah masyarakat demi tujuan kekuasaan. Solidaritas terorisme menjadi simbol kebebasan yang menindas perbedaan.

Menurut Strassner (2008) ada tiga bentuk tujuan dasar dari tindakan teroristik, yakni tujuan-tujuan nasionalisme, seperti perang kemerdekaan, revolusioner, perubahan pemerintahan, dan kepentingan religius. Ingin mendirikan negara homogen yang berpijak pada satu agama tertentu. Perilaku terorisme dengan cara peperangan ditujukan untuk penguasaan wilayah, sementara bom bunuh diri untuk menaklukan mental.

Menariknya, bom bunuh diri yang diklaim perilaku kelompok muslim malah menyebabkan korban dari kalangan muslim itu sendiri. Patut diteliti tentang motif politis dengan doktrin ketidakpuasan terhadap dasar dan sistem negara yang dianggap sekuler dengan dalih kepatuhan terhadap keyakinan dalam beragama. Tekad memperjuangkan keyakinan yang berdampak pada kematian menjadi keprihatinan tentang bahayanya eksklusivitas ajaran agama.

 

Baca Juga : 5 Alasan Ancaman Agama

Bom Bunuh Diri

Bom bunuh diri di kantor Polsek Astana Anyar Kota Bandung, Jawa Barat pada Rabu (7/12) pagi menyisakan kekhawatiran tentang kegagalan pemerintah menanggulangi terorisme dalam negeri. Banyak analisis terkait peristiwa terorisme yang terjadi selain kepentingan religiusitas seperti ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah. Himpitan ekonomi, kecacatan hukum, hingga kekecewaan politik juga menjadi alasan logis aksi bom bunuh diri.

Indonesia darurat teror yang pernah dibahas oleh Ali Imron (mantan teroris bom Bali) yang lolos dari hukuman mati menjabarkan tentang konsep deradikalisasi. Penyebab doktrin agama yang rela mengorbankan nyawa demi kepentingan agama dilandasi pada perasaan berdosa dan bertemu dengan pemuka agama yang keliru. Mengiming-imingi penebusan dosa dengan aksi bom bunuh diri sebagai jalan jihad.

Kurangnya ruang diskusi yang inklusif dalam kajian-kajian agama menciptakan paham terselubung. Melakukan aksi ekstrim bom bunuh diri hingga mengajak keluarga intinya seperti peristiwa terorisme di tiga gereja, kantor polisi, dan rumah susun di Surabaya dan Sidoarjo Jawa Timur. Ketika banyak orang ketakukan mati saat pandemi, gerombolan terorisme nekat menghabisi dirinya sendiri setelah meyakini agama yang sumbang.

Tidak memahami agama secara komprehensif dan kontekstual menjadi faktor fundamental aksi bom bunuh diri. Berdasarkan survei The Wahid Foundation (2016), generasi muda mendukung aktivitas kekerasan agama (jihad) dan terorisme sudah mencapai 76%. Sementara dari data Navara Foundation ada 23,4% mahasiswa setuju diberlakukannya sistem khilafah Islamiyah.

Data tersebut bisa semakin bertambah ketika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut internet menjadi salah satu media yang paling berperan dalam penyebarluasan paham radikalisme dan terorisme. Terorisme lahir dari landasan berpikir (dogmatis) dan tata nilai moral yang terstruktur dan sistematis.  Kemudian ada kaderisasi yang mengedepankan fanatisme, fundamentalisme, dan ekstrimisme.

Menjelang tahun politik 2024, kita belum bisa tenang berada di ruang-ruang publik ketika masalah terorisme (bom bunuh diri) masih sulit diatasi. Peran pemerintah nyatanya masih gagal memberikan kontranarasi terhadap ajaran agama yang eksklusif. Sementara kehadiran media teknologi menambah kekhawatiran menjamurnya aksi terorisme yang lahir dari sempitnya cara berpikir memahami agama.

Sulit mengidentifikasi peran dan motif aksi terorisme ketika variabel keyakinan menjadi alasan mutlak melakukan bom bunuh diri. Negara tidak punya kuasa mengatur pemikiran warganya dan semua punya hak meyakini paham atau ideologi yang dianutnya. Teroris tidak melihat manusia sebagai makhluk sosial selain kepentingan pribadi dan keyakinan religiusnya.

Jalan agama yang diyakininya menghendaki bom bunuh diri untuk mencapai surga dan hidup di daerah yang dianggapnya kafir akan mengantarkannya ke neraka. Tidak ada ruang diskusi salain klaim pembenaran keyakinan masing-masing. Terorisme bukan hanya ancaman negara, melainkan juga menodai ajaran agama yang semula damai menjadi menakutkan.***

Islam berkembang di Indonesia, khususnya Jawa dan di Timur Tengah secara sistematis baru terjadi pada abad ke-14, yaitu bertepatan dengan su...

Pesantren Simbol Moderasi Islam

Islam berkembang di Indonesia, khususnya Jawa dan di Timur Tengah secara sistematis baru terjadi pada abad ke-14, yaitu bertepatan dengan suatu kebudayaan besar yang menciptakan suatu sistem politik, nilai-nilai estetika, dan kehidupan sosial-budaya keagamaan suatu bangsa.

Kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an atau en’, yaitu sebutan untuk bangunan fisik atau asrama di mana para santri bermukim. Pesantren dapat diartikan sebagai asrama tempat santri atau murid belajar mengaji kepada guru atau kiainya. Pesantren memiliki persamaan dengan padepokan dalam hal tertentu, yakni adanya murid (cantrik dan santri), guru (kiai dan resi), bangunan (pesantren dan padepokan), dan kegiatan belajar mengajar.

Sistem dan metodologi pembelajaran dalam pesantren lebih mirip dengan corak Asshabu Shuffah di Madinah. Asshab al-suffah itu adalah sekelompok sahabat Nabi yang tidak punya tempat tinggal dan memanfaatkan serambi masjid sebagai tempat tinggalnya.

Pondok pesantren muncul pertama kali di Indonesia pada abad ke-16 M, yakni di Ampel Denta dalam asuhan Sunan Ampel. Pada waktu itu, beliau mengkader santrinya untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok tanah air. Dari murid Sunan Ampel, kemudian menjamur pesantren-pesantren di Nusantara. Puncaknya adalah pada awal pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20 pada masa Syekh Kholil Bangkalan.

Pesantren yang ada di beberapa wilayah teritorial Indonesia secara doktrinal mengambil empat gugus pemikiran keagamaan sebagai materi pengajaran, yakni akidah, fikih, tasawuf, dan kalam. Fikih memiliki wilayah garapan yang bernuansa eksoterik dan lebih bersentuhan langsung dengan masalah keumatan, tasawuf lebih bernuansa esoterik yang menekankan pada pergulatan kemiskinan batin, dan kalam serta filsafat berorientasi pada problem perkara spiritualitas yang mengedepankan rasionalitas berpikir.

Jika dulu pesantren tidak membolehkan santri untuk membaca koran, menonton televisi, atau mempelajari literatur umum, maka sekarang lebih terbuka. Banyak pesantren yang memasukkan beberapa disiplin ilmu baru dan mendirikan sekolah umum di dalam lingkungan pesantren itu sendiri. Konflik pemikiran dunia luar ini ternyata berpengaruh terhadap pola pikir kaum santri terhadap doktrin agama yang selama ini dipelajari.


Baca Juga : Islam, Jawa, dan Digital

Tantangan Globalisasi

Globalisasi merupakan era dimana dunia terasa seperti sebuah kampung kecil. Interaksi antar negara dan budaya semakin mudah dilakukan. Proses saling mempengaruhi antarbudaya semakin intens dan cepat, baik budaya itu bersifat positif atau negatif. Pada akhirnya globalisasi menjadi medium saling mempengaruhi antar peradaban dan agama.

Proses saling mempengaruhi menjadikan peradaban, budaya, dan agama suatu daerah terkontaminasi dengan unsur-unsur yang lain. Hal ini menimbulkan goncangan bagi ideologi dan budaya lain yang tidak sesuai karakteristik sosial kulturalnya, termasuk juga dialami oleh lembaga pendidikan Islam seperti pesantren.

Menghadapi era globalisasi, pesantren punya peran menjembatani tradisi konservatisme dan liberalisme dengan jalan moderasi Islam. Kelompok yang pertama terlalu ketat bahkan cenderung menutup diri dalam sikap keberagaman dan kelompok yang kedua terlalu longgar dan sangat terbuka yang berpotensi mengaburkan esensi ajaran agama Islam itu sendiri.

Pesantren yang berideologi konservatif dalam menghadapi globalisasi pada umumnya bermuara pada fundamentalisme dan radikalisme. Globalisasi dipandang sebagai upaya menundukkan semua negara untuk mengikuti negara super power, Amerika. Globalisasi menjadi ancaman lunturnya nilai-nilai Islam.

Santri berkeyakinan bahwa penerapan syariat Islam akan menyelesaikan persoalan bangsa, masyarakat, dan individu. Di sisi lain, santri sejatinya tidak membenarkan cara-cara kekerasan dalam menerapkan syariat Islam. Proses penerapan syariat Islam dalam pesantren melalui jalur pendidikan yang dipandang sebagai instrumen dalam sosialisasi penerapan nilai-nilai syariat Islam kepada santri dan masyarakat pada umumnya.

Ajaran Al-Wasathiyah (moderat) yang dikembangkan para santri di Indonesia sebagaimana tercermin dalam ajaran Islam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (pelaksanaan hukum dan ritual keagamaan), dakwah (syiar agama), dan akhlak (etika). Adapun konsep Al-Ghuluw (melampai batas) dalam beragama yang selalu diperingatkan oleh kiai kepada para santri adalah upaya untuk menjauhi fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu pandangan, kecenderungan yang justru mempersulit pelaksanaan ajaran Islam, berprasangka buruk kepada penganut agama lain, atau pengkafiran terhadap sesama muslim yang beda pemikiran dengannya.

Sikap-sikap moderat para santri yang dapat dikembangkan di masyarakat adalah metode pemahaman dan pengamalan teks-teks keagamaan yang ditandai dengan beberapa ciri seperti pemahaman terhadap realitas (fiqh al-waqi’), pemahaman terhadap fikih prioritas (fiqh al-auwlawiyyat), pemahaman terhadap konsep sunatullah dalam penciptaan mahluk, pemahaman terhadap teks-teks keagamaan secara komprehensif, pemberian kemudahan kepada orang lain dalam beragama, mengedepankan dialog, bersikap toleran, serta sikap keterbukaan dengan dunia luar.

Ajaran moderasi Islam dalam pendidikan pesantren mampu menjadi poros tengah yang terpusat dalam gerakan Islam moderat di antara dua kubu yang berbeda haluan, yaitu gerakan Islam kontemporer yang cenderung liberal dan gerakan Islam konservatif yang lebih radikal. Agenda utama dari pengembangan ajaran moderasi di era globalisasi yaitu:

  1. memperbaiki citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin dan dipandang negatif di masyarakat global;
  2. membangun harmoni dan menyebarkan semangat toleransi di antara golongan-golongan yang berbeda, baik secara inter- dan antar-agama;
  3. memastikan bahwa moderasi beragama tidak melampaui batas primer (tsawabit) dalam ajaran Islam;
  4. menebarkan perdamaian di muka bumi dengan mengembangkan dialog intra-religious dan inter-faith.***

Santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat merupakan proses Islamisasi di Jawa yang memiliki variabel pesantren dan kiai. Akulturasi a...

Islam Jawa - Santri

Santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat merupakan proses Islamisasi di Jawa yang memiliki variabel pesantren dan kiai. Akulturasi antara Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa mengubah tatanan sosial di lingkungan keagamaan yang kerap memasukan unsur kebudayaan dalam sarana dan metode peribadatannya. Islamisasi di Jawa telah melahirkan tradisi kraton Islam-Jawa sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.

Dari perspektif historis dapat ditunjukkan bahwa tradisi santri telah menjadi basis kekuatan sosial politik pada masa awal pendirian kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten. Sementara masa kerajaan Mataram Islam, peran santri berpengaruh fundamental di daerah pedalaman Jawa. Bahkan setelah keruntuhan kerajaan-kerajaan Islam akibat dominasi kolonialisme, santri menjadi basis perlawanan hingga melahirkan jiwa nasionalisme dan patriotisme.

Hingga masa pergerakan kemerdekaan santri berperan dalam berdirinya organisasi nasional seperti Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Partai Sarekat Islam Indonesia, dan Masyumi. Dampak potensi santri di Jawa mewarnai kelahiran dikotomi orientasi sosiokultural masyarakat dengan kemunculan istilah Islam Mutihan dan Abangan, aliran Ortodoks dan Herodoks, ahli sunnah wal jamaah dan kaum Islam Modern, Santri dan Abangan, dan kaum Nasionalis Keagamaan dan Nasionalis Sekular.

Peran santri secara histori, sosial, dan politik yang sering dijadikan alat kampanye mendekati pemilu. Mendekati ulama atau kiai untuk mempengaruhi santrinya dalam parade politik praktis. Sementara perubuhan era digital dimanfaatkan dengan menjual agama yang kemudian berimplikasi pada konflik politik identitas. Membenturkan sikap nasionalisme dan Islamisme. Agama pun berakulturasi terhadap perubahan zaman dengan tidak lagi melihat esensi akhlak dalam berpolitik.

Tradisi kepesantrenan memuat berbagai dimensi keagamaan, pandangan dunia, pemikiran intelektual, sastra, bahasa, seni, maupun kelembagaan sosial budaya dan politik. Pada masa awal perkembangannya telah menawarkan salah satu bentuk komunitas alternatif kepada masyarakat Jawa dalam menghadapi proses perubahan sosial-budaya dari masyarakat Hindu-Budha ke masyarakat Islam di Jawa.

Historiografi Jawa telah memberikan rekaman historis tentang proses Islamisasi di Pesisir Utara Jawa dan Jawa secara keseluruhan, menurut visi budaya Jawa. Menurut pandangan historiograsfi Jawa tradisi besar santri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Jawa dan Indonesia.

 
Baca Juga : Revolusi Sistem Pondok Pesantren

Santri Digital

Santri tidak lagi dilihat secara etnosentris ketika kemajuan teknologi mengubah sosio-kultural saat ini. Pesatnya perubahan teknologi yang mengedepankan unsur efisiensi mengubah budaya pesantren konservatif. Bahkan, sudah banyak pesantren yang terpaksa beradaptasi kajian secara daring. Menciptakan santri-santri digital tanpa spesifikasi ulama atau kiai yang punya kompetensi.

Santri digital bebas mengakses bentuk kajian kapanpun dan di manapun selama tersedia internet di gadget masing-masing. Setiap problematika keagamaan bisa dicarikan jawaban di “pondok pesantren” yang disebutnya GOOGLE. Bahkan materi kitab kuning tersebar luas beserta kajian tafsir dan berbagai referensi mazhab. Pondok pesantren klasik mulai dtinggalkan di tengah euforia merayakan membanjirnya informasi agama di dunia modern.

Namun ada yang mengganjal ketika informasi keagamaan mudah di dapat oleh para santri digital. (1) Kualitas informasi. Meliputi kejelasan referensi atau rujukan tulisan. Sebab setiap orang bebas memproduksi informasi yang punya potensi hoaks dan memanipulasi data untuk kepentingan kelompok tertentu. (2) Limitasi kepakaran. Masyarakat Jawa memberikan penghargaan dan penghormatan tinggi kepada raja, guru atau kyai, di samping kepada orang tua atau orang yang dipandang tua, sebagai bagian dari pandangan budaya.

Kepercayaan tentang adanya kelebihan (karomah), mukjizat, dan kemampuan memberikan barokah dari Allah kepada umatnya yang dimiliki oleh para wali, kiai, atau ulama banyak dijumpai dalam sumber-sumber lokal sejarah Jawa. Namun digitalisasi pesantren mendistorsi kepakaran ulama yang sebelumnya begitu ditakuti, dihormati, dan diikuti setiap fatwanya. Sementara sajian informasi digital menciptakan ekosistem baru bahwa semua orang punya potensi menjadi kiai atau ulama meski tanpa kecakapan ilmu agama.

(3) Sanad keilmuan. Disadari atau tidak, bahwa budaya kepesantrenan merupakan budaya pewarisan ilmu agama yang kemudian melahirkan cabang-cabang pesantren baru. Santri yang takzim pada kiainya punya semacam ikatan batin yang dapat dikaji secara metafisis. Hubungan sanad itulah yang membedakan santri konvensional dengan santri digital.

Laporan Kementerian Kementerian Agama per Januari 2022 menunjukkan bahwa ada 26.975 pondok pesantren di Indonesia. Provinsi Jawa Barat menyumbang jumlah pondok pesantren terbanyak dengan 8.343 pesantren atau sekitar 30,92% dari total pesantren nasional. Banten menempati peringkat kedua, yakni sebanyak 4.579 pesantren. Jawa Timur dan Jawa Tengah menyusul di posisi ketiga dan keempat.

Dominasi pesantren memang berada di Jawa sebagai tradisi khas keislaman nusantara. Namun menjadi beban berat mengembalikan citra pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berkualitas yang bukan hanya menciptakan santri berprestasi secara akademik, namun juga berakhlak. Apalagi beberapa kasus pencabulan di lingkup pesantren yang menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran terhadap lembaga keagamaan.

Sementara “pesantren digital” menyajikan wahana informasi gratis tanpa terikat ruang dan waktu. Belajar agama secara fleksibel meski punya risiko kecacatan informasi keagamaan. Menghilangkan nilai pendidikan karakter kedisiplinan dan kehilangan guru spiritual yang disebutnya kiai.

Ada hal yang lebih fundamental membahas dunia pesantren selain isu pelecehan dan penganiayaan santri. Yaitu, sistem pembelajaran pondok pesa...

Revolusi Sistem Pondok Pesantren

Ada hal yang lebih fundamental membahas dunia pesantren selain isu pelecehan dan penganiayaan santri. Yaitu, sistem pembelajaran pondok pesantren. Setidaknya mampu meminimalisir persepsi bahwa pesantren masih menganut asas konservaitisme pendidikan yang dianggap usang dan tidak adaptif terhadap perubahan peradaban.

Kritik tersebut bisa dimaklum ketika beberapa pondok pesantren salaf masih menerapkan aturan ketat mengenai batas penggunaan teknologi seperti gadget, televisi, dan komputer. Sementara era post-modern menghendaki setiap orang mampu menggunakan dan memanfaatkan kemajuan teknologi, bukan hanya untuk mencari sumber informasi, melainkan juga untuk kebutuhan sosial dan ekonomi.

Namun pihak pondok pesantren punya alasan tersendiri menerapkan aturan ketat pembatasan penggunaan teknologi. Selain mengganggu sistem kegiatan belajar mengajar, teknologi juga rawan disalahgunakan menjadi medium berperilaku maksiat dan mengajarkan kriminalitas. Ada juga budaya pondok pesantren yang menjadi ciri khas salaf tanpa terpengaruh terhadap perkembangan zaman.

Skeptis pada dunia pondok pesantren sedikit berkurang ketika Savic Ali - mantan redaktur NU Online dan Islami.co, yang kali ini menjabat sebagai ketua umum harian PBNU - memberikan pandangan mengenai masa depan pesantren dalam diskusi ringan di PutCast Mojok. Setidaknya sudah ada beberapa ponpes yang mulai melek teknologi dengan pemanfaatan aplikasi untuk absensi, administrasi, dan pembayaran digital.

Tentu kita berharap mayoritas pondok pesantren sudah mulai berpikir progresif mengenai tata kelola pondok pesantren agar santri mampu bertahan di tengah arus informasi teknologi yang kian masif di masyarakat. Sehingga tidak ada lagi persepsi miring mengenai pendidikan pondok pesantren yang tertinggal.

Di sisi lain, tokoh-tokoh nahdliyin mulai aktif berdakwah menggunakan metode digital. Memberikan kajian melalui Zoom Meeting, saluran YouTube, hingga live Facebook seperti yang biasa dilakukan Gus Ulil Abshar Abdalla. Transformasi digital memaksa sistem pengajaran pondok pesantren tidak kaku dan terikat ruang-waktu. Semua punya potensi menjadi ustaz dan menjadi santri digital.

Permasalahannya adalah dimensi teknologi tidak menawarkan standarisasi kapabilitas kepakaran seorang tokoh (kiai atau ulama) seperti halnya di pondok pesantren. Belum lagi kebutuhan karomah dan pendidikan karakter yang diterapkan di pesantren. Marwah kiai tetap terjaga di hadapan para santri dengan tetap mengedepankan adab dibandingkan ilmu.

 

Baca Juga : Skeptisisme Pondok Pesantren

Digitalisasi Pesantren

Mengingat kebutuhan akan ilmu kepesantrenan yang tidak dimiliki sebagian besar masyarakat karena keterbatasan ruang dan waktu, digitalisasi pesantren bisa menjadi solusi mengatasi kekeringan khasanah pembelajaran kitab pesantren. Namun sebaran kajian keagamaan yang membanjiri internet dan media sosial menjadi tantangan bagi pesantren untuk menawarkan metode dakwah yang relevan kepada masyarakat, khususnya generasi milenial.

Alasan mendasar kemajuan teknologi adalah untuk memudahkan pekerjaan manusia yang secara tidak sadar membentuk karakter malas. Mengutamakan efektivitas dan efisiensi. Itulah yang menjadi daya tawar “kajian sunah” ketika menerima pertanyaan dan keluh kesah dari jamaah. Menjawab dengan lugas berdasar landasan kajian kitab dari imam yang dianutnya.

Sementara kebiasaan di pondok pesantren menjabarkan sebuah pertanyaan dengan berbagai landasan kitab dan aliran madzab. Positifnya santri punya wawasan luas mengenai esensi perbedaan, negatifnya masyarakat umum tidak tertarik pada jawaban yang dianggap berbelit (bertele-tele) dan menghabiskan waktu.

Ketika saya diskusi dengan salah satu kiai di Klaten, alasan tidak gegabah menjawab sesuatu sebab kekhawatiran akan adanya banyak kebenaran berdasarkan tafsir para ulama mazhab. Sehingga landasan santri paling utama adalah memahami filosofi perbedaan tafsir. Agar tidak gampang menyalahkan paham lain yang sekiranya bertentangan dengan ibadah atau amaliyah yang dilakukan.

Sementara terburu-burunya menjawab pertanyaan dapat menyebabkan sikap kebencian terhadap kelompok lain yang dianggapnya menyimpang. Padahal ada dalil tersendiri yang tidak diketahui atau tidak sempat disampaikan oleh ustaz atau ulama yang diikutinya. Itulah kenapa santri jebolan pondok pesantren punya pikiran yang terbuka dan moderat melihat sebuah perbedaan.

Tantangannya, bagaimana pola pikir dan budaya pesatren bisa diimplementasikan secara digital. Memberikan tawaran metode pembelajaran yang menarik namun tetap pada koridor kepesantrenan. Menggunakan rujukan yang jelas secara nasab dan sanad keilmuan. Ruang digital harus menjadi sarana memasarkan ajaran Islam yang toleran agar terbangun budaya persatuan dan menghargai perbedaan.

Sampai saat ini belum ada penawaran mengenai digitalisasi pesantren selain portal berita atau channel YouTube dan media sosial yang mengangkat isu ikhtilafiyah dan narasi kebangsaan. Ketika NU Online menyuguhkan aplikasi yang di dalamnya memuat kitab-kitab kepesantrenan, belum ada “kiai digital” yang diberikan mandat mengelola “pesantren digital” yang juga memiliki “santri digital”.

Dalam istilah populer keberadaan santri kalong, digitalisasi pesantren bisa memberikan aturan, metode pengajaran, dan manajemen pengelolaan pesantren mirip dengan sistem luring. Sehingga banyak masyarakat yang mungkin terkendala ruang dan waktu masih tetap bisa menjadi santri, meski hanya sebagai santri digital.***