Konflik yang terjadi di dalam Islam merupakan reaksi terhadap aksi sebelumnya. Permasalahan saat ini sebenarnya reaksi atas ketidakadilan di masa lalu yang dirasa belum terselesaikan. Kekerasan, terorisme, dan ajakan berperang sering dikumandangkan sebagai solusi dari ketertindasan dan ketidakadilan. Sehingga perilaku destruktif sering dijadikan dalih untuk memperkuat basis dan memperbaiki nasib muslim dunia.
Sekte Islam moderat moncoba mengembalikan citra Islam yang kadung tercoreng dengan perilaku anarkisme atas nama agama. Ayat-ayat peperangan disembunyikan untuk lebih menonjolkan ayat-ayat perdamaian dan keadilan. Saling serang narasi sesama muslim seakan menjadi aib bahwa beragama dengan banyak keyakinan kebenaran punya potensi salah ketika ditafsirkan.
Disadari atau tidak, modernitas berperan banyak pada konflik internal dalam tubuh Islam. Angan-angan kejayaan masa lampau sering dijadikan motivasi untuk melegalkan perilaku anarkis. Perlawanan atas ketidakadilan dan penjajahan kapitalisme modern memunculkan sikap ekstrem di sebagian umat muslim.
Islam harus bisa “disembuhkan” kembali dari “penyakit-penyakit” yang merusak sistem dan konsep beragama yang damai. Pemujaan atau fanatisme terhadap ketokohan yang diklaim ulama menjadi pintu menyebarkan doktrin-doktrin Islam fundamentalis yang menghendaki permusuhan hingga peperangan. Dengan slogan pemurnian agama dan jihad, sebagian umat Islam berhasil digiring untuk memusuhi sesamanya.
Penyakit di tubuh Islam cepat menular ke bagian lain yang mengancam kedamaian dunia. Meskipun hanya “sedikit”, namun aksi nekatnya (teror dan bom bunuh diri) berhasil mengusik keamanan negara. Mereka yang merasa menjadi korban atas kebengisan terorisme selalu merasa terancam di negeri yang mayoritas berpenduduk Islam. Meskipun dialasi teror bukan ajaran Islam, namun identitas dan personalitas pelaku menunjukan bahwa pelaku memang seorang muslim.
Wajah Islam tercoreng. Sedangkan pelaku masih kokoh berpendirian memusnahkan sistem kekafiran dengan jalan terorisme. Tidak ada yang ditakuti, mati pun sekalian. Ketika doktrin sudah tertancam kuat di otak pelaku, keyakinan atas kebenaran relatif terorisme akan selalu dibenarkan. Masa bodoh dengan perbedaan tafsir dan pandangan dalam memahami Islam, sebab impian surga dengan jalan terorisme sudah diimani kebenarannya.
Baca Juga : Citra Islam Anarkisme
Pencekokan Wahabisme
Sekte wahabisme beberapa tahun terakhir muncul sebagai “ancaman baru” konflik abadi Sunni dan Syiah. Mengusung pemurnian Islam dengan ajakan kembali ke Alquran dan hadis menambah daftar konflik internal di dalam Islam. Mohammad Ibn Abd al-Wahhab adalah tokoh yang dijadikan acuan dalam memahami kompleksitas Islam. Meskipun bukan pemikir (ulama) dominan ketika itu, kemanangan politik di Arab Saudi berhasil membawa pengaruh besar pada ajaran Islam modern.
Wahabisme kemudian diadopsi keluarga bangsawan di Arab Saudi untuk digunakan sebagai alat politik pada abad ke-18. Pada pertengahan abad ke-20, Arab Saudi berkembang pesat akibat industri minyak dan berhasil menyebarkan ajaran wahabisme secara masif di dunia pendidikan dan sosial-politik. Dampaknya, banyak jebolan kampus di Arab Saudi yang menjadi tangan panjang ideologi wahabisme di banyak negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, gairah belajar agama mulai digemari dan menjadi tren di kalangan umat muslim. Di lingkungan pendidikan, perkantoran, dan organisasi-organisai lainnya mulai aktif mengaji melalui ustaz-ustaz media sosial. Mengundang ulama dan membagikan ceramahnya di media sosial. Islam menjadi kekuatan politik yang besar seperti aksi 212 di monas tahun 2016.
Pergerakan lainnya dengan mempengaruhi dan mengajak artis dan influencer untuk ikut mempromosikan ideologi dan ajaran wahabisme. Ulama wahabisme di Indonesia cepat dikenal dan diundang di berbagai kegiatan keagamaan. Setelah sedikit-banyak berhasil merekrut jamaah digital, sekte wahabisme coba masuk ke dunia politik. Tujuannya tuntu untuk menciptakan sistem syariah sebab dominasi muslim di Indonesia.
Masifnya gerakan wahabisme di dunia Islam kontemporer bisa menjadi ancaman keutuhan bangsa dan pondasi dasar negara. Meskipun tidak secara gamblang menjadi bagaian wahabisme, namun ajaran dan ritual ibadah menunjukan bahwa Islam fundamentalis sudah menjadi doktrin mengikat dalam keyakinannya. Perekrutan SDM unggul dan aliran dana dari sekte yang bersangkutan menjadi kekuatan penyebaran sekte wahabisme di Indonesia.
Pemerintah dan organisasi Islam harus bisa membuka ruang-ruang komunikasi yang bebas dominasi, egaliter, dan inklusif. Menunda prasangka negatif yang menjangkiti benak kolektif benar dan salah dalam memahami agama. Semua punya hak meyakini sesuatu, namun perlu keluasan wawasan agama dan kebesaran hati menerima perbedaan. “Penyakit” yang sesungguhnya adalah pemaksaan kehendak, sehingga tidak ada pilihan lain untuk menentukan keyakinan.
Pernah dimuat Dunia Santri
https://www.duniasantri.co/dunia-islam-kontemporer/
0 comments: