CATEGORIES

Showing posts with label teknologi. Show all posts

  Dua bulan terakhir, saya aktif mempelajari seluk beluk teknologi Artificial Intelligence (kecerdasan buatan). Mulai dari ChatGPT (Open AI)...

 

Artificial Intelligence

Dua bulan terakhir, saya aktif mempelajari seluk beluk teknologi Artificial Intelligence (kecerdasan buatan). Mulai dari ChatGPT (Open AI), Bakground Remover, desain logo, hingga video creator. Dalam hitungan menit, teknologi ini mampu mengaktualisasikan ide yang dikemas secara elegan dan profesional.

Kegelisahan saya sebagai penulis adalah sikap kemalasan membuat konten untuk artikel blog yang saya bangun tiga tahun lalu. Dengan teknologi AI, membuat konten berkualitas hanya cukup mengetikan ide atau premis tulisan, baik tulisan fiksi maupun nonfiksi. Kemudian menampilkan hasil yang mungkin lebih baik (setidaknya dari ketentuan tata bahasa) daripada hasil tulisan sendiri.

Jalan pintas menulis ini yang kemungkinan menggusur keahlian penulis profesional dengan segudang pengalaman. Kemudian merambat dalam bidang desain, infografis, editor video, dan lain sebagainya. Keterlambatan beradaptasi dengan teknologi AI tentu akan mengurangi populasi keahlian yang dimiliki orang-orang yang berkompeten di bidangnya.

Parameter kualitas keahlian tidak lagi diukur dari pengalaman dan latar belakang pendidikan, melainkan dari seberapa cepat dan tepat seseorang memanfaatkan kecanggihan teknologi. Bahkan untuk menilai keaslian karya sulit dibedakan antara proses manual dengan digital. Dampaknya adalah perasaan ketidakadilan atas etos kerja tenaga profesional di bidang yang dikuasai.

Teknologi dihadirkan memang untuk membantu memudahkan pekerjaan, di sisi lain akan memalaskan manusia untuk belajar menggeluti bidang yang disukai atau dikuasai. Meskipun sifatnya “buatan”, namun kecerdasan yang dihadirkan menjadi ancaman serius dari sisi profesinoalisme, karir, ekonomi, dan budaya.

Fakta menjamurnya teknologi kecerdasan buatan harus dipelajari untuk mencari sisi kreaktif dan inovatif masing-masing orang. AI bukan batu sandungan berkarya, melainkan alat yang harus bisa dimanfaatkan untuk menambah kualitas karya. Manusia modern harus bisa lebih cerdas dari teknologi kecerdasan buatan agar tetap bertahan dalam industri globalisasi.

Acuh tak acuh pada perkembangan teknologi hanya akan mematikan kreaktivitas dan nasib di masa depan. Meskipun pengaplikasiannya akan membuat manusia menjadi malas dan perasaan ketidakadilan karena semua keahlian disediakan oleh teknologi. Kesuksesan tidak lagi ditentukan dari seberapa lama seseorang belajar di bidang yang digeluti, melainkan seberapa cepat seseorang memanfaatkan teknologi AI untuk menguasai segala aspek bidang keahlian.

 

Perubahan Budaya

Dalam hal penulisan, teknologi AI menyajikan beragam jenis karya ilmiah, artikel populer, digital marketing, cerpen, skrip konten video, hingga penulisan lagu. Menariknya, teknologi tesebut mampu mengolah kalimat yang lolos plagiasi. Meskipun beberapa kali saya coba, ada kecenderungan kesamaan pola tulisan yang mungkin bisa menjadi celah untuk seseorang bisa sedikit lebih unggul daripada kecerdasan buatan.

Setidaknya, bagi generasi malas akan mendapatkan tulisan secara cepat dan berkualitas untuk blog atau kepentingan lain di dunia literasi. Tanpa membaca pun, artikel yang disajikan sudah mendekati kesesuaian ide yang diminta. Teknologi AI jelas menjadi ancaman bagi mesin pencari seperti Google, Bing, atau Yahoo. Dalam mesin pencarian saat ini tidak jeli memfilter kualitas konten yang relevan dengan kebutuhan manusia seperti yang ditawarkan teknologi AI.

Budaya ketergantungan terhadap mesin pencari untuk mencari sumber informasi akan beralih. Selain lebih akurat, teknologi ini juga punya keunggulan interaktif layaknya berdiskusi dengan orang dengan sumber informasi yang lengkap. Meski masih belum komprehensif menyerap kecerdasaran mayoritas manusia di dunia, teknologi ini jelas meningkatkan jumlah generasi malas untuk belajar dan mendalami bidang tertentu.

Setidaknya, pemanfaatan teknologi AI akan mengurangi jumlah orang yang ikut pelatihan, pengembangan bakat, dan perekrutan karyawan sebuah perusahaan. Bagaimana AI mampu mengejawantahkan perintah mulai dari pengembangan usaha, teknik promosi, produktivitas konten, hingga berbagai permasalahan operasional perusahaan.

Sementara bagi penyedia pekerjaan seperti tulisan (redaktur/editor) belum disediakan fasilitas pendeteksi keaslian karya murni dan buatan. Sehingga menjadi celah siapa pun untuk menjadi penulis dadakan namun punya hasil yang elagan. Dalam dunia teknologi seperti ini, pengalaman dan latar belakang penulis tentu tidak lagi relevan untuk menghasilkan karya yang berkualitas.

Kesuksesan dan kegagalan seseorang bakal ditentukan dari seberapa siap dan gagap beradaptasi dengan teknologi AI. Ada perubahan budaya kerja dari banyak industri untuk efektivitas dan efisiensi perusahaan. Prediksi beberapa tahun ke depan dengan transformasi AI yang jauh lebih canggih akan menggusur keahlian manusia saat ini.

Perasaan ketidakadilan dengan adanya teknologi AI tidak bisa dijadikan alasan seseorang untuk malas. Setiap penciptaan teknologi tentu punya potensi terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan/ancaman. Yang perlu dilakukan hanyalah beradaptasi dan konsisten menghadirkan ide yang tidak terekam oleh teknologi kecerdasan buatan.***

  PINGGIR BOLA - Beberapa hari yang lalu, saya ditawari menjadi tim sukses oleh salah satu Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Nasional Demo...

 

kampanye digital

PINGGIR BOLA - Beberapa hari yang lalu, saya ditawari menjadi tim sukses oleh salah satu Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Nasional Demokrat. Bukan tanpa alasan, mengingat saya begitu aktif menjadi penggiat media sosial dan menulis di koran atau media online. Namun karena satu dan lain hal, saya menolak dan tetap idealis menjaga jarak dari pengaruh politik praktis.

Beberapa kali saya menulis tentang tidak efektif dan efisiennya metode kampanye konvensional yang mengandalkan stiker, pamflet, dan baliho di ruang-ruang publik. Selain kegelisahan tentang pencemaran lingkungan akibat sampah iklan politik, pemasangan baliho untuk kampanye juga boros anggaran yang hasilnya tidak begitu signifikan.

Keterbukaan informasi dan peningkatan kecerdasan intelektual masyarakat modern mulai sadar akan narasi politik pencitraan. Cenderung memilah pejabat atau pemimpin yang punya gagasan program dengan realisasi yang logis. Tidak berlebihan yang kemudian punya track record pengkhianatan atau ingkar janji. Prinsip pada politik identitas dan fanatisme partai atau tokoh juga punya andil besar dalam pemilihan suara daripada kampanye menggunakan baliho atau pamflet yang dipasang di pohon-pohon pinggir jalan raya.

Namun realitanya, masih banyak tokoh politik yang mengiklankan dirinya dengan metode konvensional. Selain strategi politik uang yang dianggap masih ampuh mengeruk suara di daerah pedesaan atau pinggiran kota. Suap suara dijadikan jalan terakhir menjelang pilihan umum. Calon pejabat mencari modal untuk melakukan politik uang, sementara pemilih mengaminkan dengan menggadaikan suaranya.

Selain masih relevan dengan kondisi perekonomian masyarakat saat ini, politik uang juga menjadi bentuk simbiosis mutualisme dalam transaksi demokrasi di Indonesia. Masyarakat yang minim pengetahuan terhadap politik akan lebih memilih uang yang mungkin hanya bisa untuk bertahan hidup sehari daripada berspekulasi memilih pemimpin yang sama-sama tidak mengetahui kepribadian dan program kerja saat menjabat.

Kampanye usang lainnya adalah mengerahkan massa memenuhi jalan dan mengadakan konser di tanah lapang. Euforia baju partai atau gambar tokoh kurang efektif menarik basis suara generasi milenial yang cenderung melihat pengalaman, gagasan kepemimpinan, dan kemampuan dalam berkomunikasi politik.


Baca Juga : Kesusahan Berteknologi

Digitalisasi Politik

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis data hingga batas pendaftaran partai politik, terdapat 40 partai politik yang telah mendaftar sebagai calon peserta pemilu dari anggota DPR dan DPRD tahun 2024. Ada 24 parpol yang dinyatakan lengkap berkas pendaftarannya dan akan dilanjutkan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.

Kemeriahan kontestasi politik berikutnya menjadi tantangan tentang strategi bertempur memperebutkan suara, khususnya generasi milenial yang menjadi kantong terbesar pemilihan. Ada delapan partai baru yang menarik untuk ditunggu cara berkampanye dengan memanfaatkan dominasi penggunaan teknologi, khususnya gadget.

Namun kemudahan melakukan akses internet dan eksplorasi teknologi digital kerap disalahgunakan sebagai medium provokasi atau melakukan black campaign (kampanye hitam). Esensi kampanye yang dijalaskan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum tentang visi, misi, program, dan/atau citra diri mulai diabaikan.

Lemahnya pendidikan politik dan banyaknya masyarakat yang tidak melek politik menjadi penyebab kegagapan berkampanye. Nafsu berkuasa menciptakan iklim politik yang anarkis untuk menghalalkan cara agar bisa memenangkan kontestasi. Menjelekan hingga memfitnah (menyebarkan hoaks) lawan politik. Sementara masyarakat tidak disajikan visi, misi, dan program politik saat kampanye.

Media digital dipenuhi dengan politik pencitraan dan narasi menjatuhkan hingga mempermalukan lawan. Belum lagi jika ada afiliasi organisasi agama atau sisa politik identitas yang membuat masyarakat mengabaikan esensi berkampanye selain membagikan politik kebencian.

Banyak harapan terhadap kecanggihan teknologi dan kebutuhan internet dapat dimanfaatkan tokoh dan partai politik menyaring suara yang relevan dengan visi dan misi membangun Indonesia. Mengutamakan kepentingan bersama daripada motivasi menjadi pemimpin yang diktator. Media digital harus kembali digunakan sebagai sarana menyampaikan informasi dan alat berkomunikasi yang bijak.

Politikus punya tantangan dalam menghadapi realitas dunia digital. Menawarkan konten dan publikasi politik yang menarik secara informasi visual. Tetap mengedepankan politik gagasan tanpa embel-embel mencederai lawan politik. Sedangkan dalam sisi anggaran, kampanye digital akan lebih efektif dan efisien menyasar mayoritas kantong suara di pemilu.

Banyak informasi tentang kelebihan dan kekurangan tokoh dan partai politik di internet tanpa harus memamerkan citra di baliho atau pamflet. Sementara politik uang akan mulai ditinggalkan ketika masyarakat mulai melek politik dengan memilih pemimpin yang jelas kredibilitasnya. Modal politik uang hanya akan menciptakan persepsi pengembalian modal ketika sudah berhasil menjabat dengan cara korupsi.

Ke depan, tokoh dan partai politik yang cerdas berkampanye di media sosial akan cenderung punya elektabilitas yang tinggi dibandingkan pasang baliho di berbagai titik jalan raya. Demikian yang mulai digagas beberapa tokoh politik dengan aktif berinteraksi di media sosial. Menambah atensi dari generasi milenial yang kecanduan gadget dan media sosial. Mengadakan berbagai jenis lomba untuk menyasar kelompok-kelompok kreaktif mengenal tokoh dan partai pengusungnya.***

Masalah sosial secara umum adalah kecepatan industri teknologi yang tidak sejalan dengan kemampuan masyarakat mengikuti perkembangan zaman. ...

benturan sosial digital

Masalah sosial secara umum adalah kecepatan industri teknologi yang tidak sejalan dengan kemampuan masyarakat mengikuti perkembangan zaman. Setiap orang dituntut bisa adaptif terhadap kemajuan teknologi yang dibangun melalui media daring. Platform digital menjadi kebutuhan didukung dengan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan sarana prasarana teknologi bagi seluruh masyarakat.

Mereka yang tertinggal (kurang mampu beradaptasi) akan tertinggal yang berdampak pada konflik sosial kultural mulai dari tingkat keluarga. Remaja terlahir dan tumbuh dengan media sosial sebagai bagian dari hidup dan kesehariannya. Menurut sebuah agensi marketing sosial, terdapat 72 juta pengguna aktif media sosial pada tahun 2015.

Orang tua yang gagal mengikuti kemajuan teknologi tidak mampu bersaing dengan anak-anaknya. Dunia digital menyajikan beragam informasi yang kadang bertentangan dengan ideologi dan nilai keluarga. Sementara internet kesulitan memfilter informasi bagi anak yang menyebabkan kecanduan, perilaku imoral, dan pelanggaran nilai-nilai agama.

Anak yang terlahir dan tumbuh di dunia digital menjadi asing dengan pendidikan dasar dari keluarga. Mereka lebih mudah terdoktrin dan teredukasi melalui media sosial. Sementara media sosial dibangun dari sistem alogaritma yang mendorong psikologi anak untuk lebih suka eksistensi, kebencian (kekerasan), hingga perundungan.

Media jurnalistik juga tidak lagi punya kekuatan mengontrol dan mengubah budaya bangsa ketika harus terjun mengikuti pasar (selera) konten masyarakat. Kritikan media jurnalistik yang hanya bermodalkan sumber konten dari media sosial tidak dapat dielakan. Produksi informasi yang tidak punya nilai edukasi semakin membanjiri konsumsi media sosial.

Media sosial juga membawa dampak perasaan curiga (ketidakpercayaan) terhadap sebuah informasi. Fanatisme dibangun untuk menciptakan konflik identitas yang dibawa dalam arena panggung pilitik dan mimbar agama. Anak-anak dan remaja tidak lagi menganut nilai dari orang tua ketika media sosial dianggap sebagai kebenaran informasi.


Baca Juga : Sistem Pendidikan Robot

Literasi Digital

Literasi diartikan sebagai kemampuan memahami, menganalisis, menilai, mengatur, mengevaluasi informasi dengan menggunakan teknologi digital (Maulana, 2015:3). Literasi yang buruk dapat mengakibatkan gangguan pada psikologis remaja. Hal ini disebabkan oleh emosi anak dan remaja yang masih belum stabil. Distribusi informasi begitu cepat tanpa kontrol etika berinternet.

Literasi tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan membaca, memahami, dan mengeapresiasi berbagai bentuk komunikasi secara kritis. Namun gerakan atau program literasi digital tidak bisa mengatasi problem sosial masyarakat. Sebaran berita hoaks dan narasi kebencian masih didominasi oleh remaja dan anak-anak.

Kemajuan teknologi dalam mengimplemantasikan program literasi digital tidak diimbangi dengan komunikasi dan pemahaman mengenai aspek penerimaan informasi. Kecepatan distribusi informasi dianggap yang utama daripada ketelitian memahami kevalidan informasi. Semua informasi diterima tanpa pertimbangan risiko akan benturan konflik di masyarakat.

Literasi digital harus dilihat dari sudut pandang negatif agar remaja tidak terjebak pada sikap melawan nilai dan norma di masyarakat. Dampak negatif literasi digital bisa dijadikan batasan bahwa perkembangan teknologi perlu dipahami secara seksama terhadap pertumbuhan psikologi anak terhadap orang tua.

Dunia digital merupakan panggung baru bagi semua orang. Orang tua yang sebelumnya dihargai sebab keunggulannya dalam segi pengalaman dan pengetahuan terdistorsi melalui perkembangan teknologi informasi. Mereka yang bertahan adalah yang mudah beradaptasi terhadap perkembangan teknologi. Anak dan remaja tentu punya daya serap pengetahuan seputar teknologi lebih baik daripada orang tua yang sebagian masih menerapkan konsep hidup yang konservatif.

Ada masalah besar mengenai kesenjangan sosial orang tua dan anak yang menjadikan benturan sosial di dalam keluarga dan masyarakat. Intensitas bermedia sosial melalaikan nilai-nilai yang dibangun oleh keluarga. Informasi seputar etika, agama, budaya, dan politik lebih dominan diserap melalui media sosial. Komunikasi internal keluarga juga terbatas seiring laju perkembangan teknologi yang menjalar ke berbagai sendi kehdidupan.

Bahkan sektor pendidikan yang seharusnya menjadi benteng anak-anak dan remaja memfilter derasnya arus informasi malah dijadikan metode pembelajaran daring. Sekolah hanya dijadikan lembaga formal pencarian ijazah, sementara pencarian ilmu diserahkan kepada pengetahuan digital. Semua orang dipaksa mandiri menentukan nasib di dunia maya. Moralitas sedikit dikesampingkan.

Bagi orang tua yang mudah beradaptasi dengan kemajuan teknologi akan mudah melakukan diskusi dengan anak tentang dampak dan risiko media digital. Sedangkan bagi orang tua yang tertinggal, akan membiarkan anaknya membentuk karakter diri melalui alogaritma media yang cenderung menciptakan perilaku kebencian, kekerasan, dan perundungan.

  Budaya dipaksa sesegera mungkin beradaptasi dengan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia diharapkan mampu me...

 

kesusahan berteknologi

Budaya dipaksa sesegera mungkin beradaptasi dengan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia diharapkan mampu menciptakan ekosistem negara yang bisa bersaing secara global. Namun di balik ikhtiar pemerintah mengejar kemandirian sains dan teknologi terselip ketakutan mengenai perubahan budaya secara mendasar.

Dampak jangka panjang kecanduan teknologi adalah kerusakan alam, berkembangnya apatisme, dan depresi hidup manusia di tingkat global. Teknologi memaksa masyarakat global menganut sistem budaya egaliter tentang kesetaraan antar manusia. Budaya egaliter memungkinkan terjadinya aliran diskusi secara bebas dan terbuka, tanpa dihalangi tembok-tembok feodalisme yang melembagakan kasta atau kelas sosial tertentu.

Kemajuan pesat teknologi yang belum siap dihadapi masyarakat Indonesia menciptakan kegagalan berpikir logis, kritis, rasional, dan sitematis. Ongkos produksi meningkat disertai pemecatan tenaga kerja yang dianggap tidak efektif dan efisien. Masyarakat dipaksa mandiri beradaptasi dengan teknologi. Tidak menggantungkan nasib kepada orang lain (perusahaan).

Masyarakat yang memanfaatkan teknologi di awal akan punya potensi mendapatkan keuntungan. Mereka yang “coba-coba” memanfaatkan kecanggihan teknologi seperti Andovi da Lopez dan Jovial da Lopez, Raditya Dika, Candra Liow, hingga Bayu Skak yang disebut bapak YouTuber Indonesia. Selain itu ada Ghozali Everyday di NFT, Adriano Qalbi di Podcast, hingga Bowo di Tik Tok.

Celah popularitas sebagai “penemu” aplikasi yang berpotensi viral di masa depan menjadi agenda yang tidak bisa diprediksi dalam dunia teknologi. Ada faktor keberuntungan dan sensasi untuk mengangkat populartitas agar dikenal lebih banyak orang. Hasil akhirnya adalah capaian ekonomi tanpa “bekerja”. Teknologi informasi mengubah stigma masyarakat bekerja harus berangkat pagi dan pulang sore hari.

Orientasi eksistensi mengubah dasar budaya bangsa menjadi lebih berani namun gegabah mengambil risiko. Kemudahan yang ditawarkan kadang menjadi bumerang seperti kasus pinjaman online. Bahkan pada tahun 2020, Micosoft melalui survei Digital Civility Index (DCI) menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara keempat paling tidak sopan di dunia.

Hal ini tentu menjadi sesuatu yang kontradiktif mengingat citra masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai negara ramah dan sopan. Teknologi seolah mampu mengubah persepsi budaya dan karakter bangsa melalui kemudahan berinteraksi dan berkomunikasi melalui media daring.

Menyusahkan

Kebijakan baru dari pemerintah melalui PT Pertamina Patra Niaga yang mewajibkan masyarakat mendaftar terlebih dahulu di aplikasi digital MyPertamina dan website MyPertamina sebelum membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar mulai 1 Juli 2022 menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Tujuannya tentu agar pembagian subsidi bisa sesuai sasaran.

Sebelumnya, pemerintah juga membuat aturan baru untuk perubahan sistem penjualan dan pembelian minyak goreng curah rakyat (MGCR) menggunakan aplikasi Pedulilindungi. Bahkan setelah pelonggaran akibat pandemi, beberapa kegiatan mewajibkan masyarakat memiliki akun Pedulilindungi sebagai syarat utama.

Bagi masyarakat yang cepat beradaptasi dengan teknologi akan dengan mudah menuruti anjuran pemerintah, namun berbeda bagi mereka yang gagap teknologi (gaptek) yang mayoritas adalah masyarakat penerima subsidi (miskin). Sebagai negara multikultural, pemerintah harus rasional mengambil kebijakan dengan melihat realitas di masyarakat. Memahami bahwa tidak semua masyarakat bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Selain itu, kemudahan akses terhadap informasi yang disediakan teknologi dapat mematahkan kerja keras dan ketekunan, beredarnya informasi berkualitas rendah, dan kurangnya kemampuan menyajikan produksi pengetahuan yang bermutu. Masyarakat didesain menjadi pecandu konten hoaks dan berita sensitif yang menciptakan konflik di dunia maya.

Kegagapan masyarakat yang mendistorsi kebudayaan bangsa semakin disusahkan dengan berbagai kebijakan yang menjadikan teknologi sebagai senjata utama menjalankan roda perekonomian. Pemerintah semakin giat melancarkan kebijakan yang bersinggungan dengan teknologi tanpa memahami kualitas masyarakat dalam menerima kecangihan informasi teknologi.

Kesusahan menghadapi realita akibat meningkatnya berbagai harga kebutuhan pokok yang tidak sebanding dengan peningkatan upah karyawan harus ditambah dengan pemaksaan terhadap kebijakan yang mengharuskan masyarakat melek teknologi.  Teknologi informasi dan komunikasi seharusnya menempatkan manusia sebagai objek agar terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Sementara keadaan saat ini, manusia terkesan menjadi objek ekspolitasi teknologi.

Dampak

Teknologi berperan menjadi katalisator terhadap konsekuensi dari kebebasan individu. Menurut Feenberg (2002), teknologi akan menjadi salah satu elemen utama pembentuk jati diri dan karakter manusia. Teknologi tidak pernah netral dan objektif, selalu terkait dengan dampak dan kepentingan politis tertentu. Teknologi juga bisa menjadi simbol diskriminasi bagi mereka yang bodoh dan miskin.

Dalam sistem demokrasi, teknologi seharusnya mampu memberdayakan manusia dari kesetaraan. Sementara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan terkesan membebaskan manusia mengeksplorasi teknologi dengan sedikit intervensi melalui undang-undang. Upaya pemerintah hanya sebatas menyediakan akses internet tanpa andil menciptakan etika budaya berteknologi.

Ketertinggalan informasi terhadap teknologi yang menciptakan kesenjangan keadilan ditambah sikap acuh tak acuh pemerintah yang bertubi-tubi menerapkan kebijakan melalui teknologi berdampak pada kehancuran karakter dan budaya bangsa. Mereka yang cukup informasi bisa bijak berinternet, sementara selainnya terkesan brutal dan bodoh dalam berinternet.

Feenberg mencatat berkembangnya gerakan postmodernisme hendak menantang semua klaim universal, dan menawarkan pembebasan partikular lokal dari penjajahan universalitas yang berperan sebagai selubung penindasan. Krisis sosial yang lahir dari berkembangnya teknologi mengambil bentuk lemahnya perdebatan di dalam ruang publik tentang masalah-masalah masyarakat.

Manusia dijadikan objek dari subjek yang disebut teknologi. Bahkan sikap egaliter pemerintah untuk memperbudak rakyatnya juga menggunakan sarana teknologi yang dipaksakan dalam pengambilan kebijakan publik. Teknologi menjadi sistem otonom yang menggantikan sistem budaya dan sistem agama. Selain itu juga digunakan sebagai alat pembantu pengembangan politik dan budaya masyarakat. Dampak tidak langsungnya adalah mentalitas praktis dangkal, otoriter, dan miskin refleksivitas.

  Interaksi dan komunikasi di masyarakat menghasilkan bentuk informasi dan pengetahun. Saat ini, media digital menjadi corong masyarakat men...

 

kapitalisme narasi media

Interaksi dan komunikasi di masyarakat menghasilkan bentuk informasi dan pengetahun. Saat ini, media digital menjadi corong masyarakat mendapakan informasi sebagai acuan atau referensi memutuskan sesuatu. Ketergantungan terhadap informasi menjadikan media merancang metode pembenturkan opini melalui sistem atau program yang terstruktur.

Manusia modern lebih gampang emosi sebab alogaritma media (khususnya media sosial) mendorong terjadinya kontraksi ideologi yang berujung pada politik identitas. Narasi media mampu melampaui batas spiritual dan etika yang melekat di masyarakat. Bahkan yang konsisten menganut nilai-nilai agama dan budaya malah dianggap konservatif terhadap perubahan zaman.

Teknologi dijadikan kebutuhan dasar manusia melebihi kebutuhan fundamental masyarakat seputar sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal). Media menembus batas realitas kehidupan manusia yang mengabaikan nilai kemanusiaan itu sendiri. Kapitalisasi media tidak menganut nilai religiusitas, etika dan norma masyarakat, hingga ketidaksadaran menjadi manusia (diri sendiri).

Ketidaksadaran itulah yang membawa manusia dalam kubangan narasi informasi tidak seimbang. Membentuk koloni perang antarsaudara dan pengumbaran kebencian disertai ancaman. Media yang semula dipuja sebagai alat untuk memudahkan komunikasi, sekarang menjadi bumerang menghancurkan tatanan sosial budaya lintas ruang dan waktu.

Kejahatan digital tidak dapat dihindarkan sebab tawaran perilaku kriminal disediakan media. Kasus penipuan, pencemaran nama baik, hingga pengambilan data pribadi secara ilegal marak terjadi di dunia maya. Lebih universal lagi, media menjadi alat untuk mengeruk kekayaan sebanyak mungkin. Pencetus atau pembuat media akan memanfaatkan ketergantungan masyarakat dengan iming-iming modernitas. Selebihnya membuat kolaps bangsa atau negara dengan narasi media yang mengarah kepada sikap iri, kecewa, benci, dan marah.

Emosi masyarakat diatur sedemikian rupa agar tercipta ketidakpercayaan satu sama yang lain. Simbol-simbol yang mengarah pada konflik sering dimunculkan sebagai potret bangsa sedang tidak baik-baik saja. Narasi kebencian dan berita palsu kerap dimunculkan dengan imbalan popularitas, uang, dan kekuasaan. Media begitu telitinya menyasar nafsu/ hasrat manusia yang tidak pernah terbendung. Media berusaha memfasilitasinya sampai semua mati dalam medan pertempuran.

 

Baca Juga :  Menciptakan Planet Baru

Tantangan

Kemajuan teknologi digital yang dibarengi menjamurnya media sosial akan membentuk perubahan struktur sosial budaya di masyarakat. Berdasarkan penelitian Hootsuite (We are Social), data tren pengguna media sosial aktif di Indonesia tahun 2021 mencapai 170 juta penduduk dari 274,9 juta total penduduk. Pasar sedemikian besar memicu motif kapitalisme digital yang muaranya adalah penjajahan ideologi dan perebutan kekuasaan.

Pengaruh besar media sosial telah menyentuh berbagai sendi kehidupan masyarakat. Tidak hanya seputar dunia politik, transaksi ekonomi, sarana seni pertunjukan, hingga metode pendidikan sudah mulai bergantung pada teknologi. Media sosial tidak lagi hanya berfokus pada alat komunikasi digital, lebih jauh lagi akan menjadi raksasa kaptalisme modern dengan meninggalkan sistem-sistem tradisional yang tidak lagi relevan.

Tantangan candu media sosial adalah kurangnya kesadaran terhadap kontrol media. Pelemparan opini sebagai ekspresi penyampaian pendapat akan menimbulkan konflik yang jika didukung strategi media akan menjadi sengkarut di masyarakat luas. Pendapat dari masing-masing individu yang dirawat oleh media akan menjadi opini publik sebagai kekuatan massa untuk membenturkan masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan tokoh tertentu.

Ketika manusia butuh eksistensi, media sosial menjadi sarana yang pas untuk mengekspresikan apapun, kepada siapapun. Alogaritama media sosial mendukung ekspresi kebencian dan amarah dengan kepuasan tanggapan dari banyak orang. Semakin dikenal, seseorang akan semakin aktif meniadakan nilai-nilai kemanusiaan untuk digantikan dengan popularitas. Kebencian mengatasnamakan apapun akan dijadikan alat media untuk “menghancurkan” persatuan dan persaudaraan.

Kapitalisme media akan menjadi penguasa lini kehidupan. Menembus dimensi ruang dalam satu entitas masyarakat global. Tidak ada pemilihan demokratis, keadilan, dan kedamaian bermasyarakat. Media sosial yang semula menjadi teknologi canggih memudahkan komunikasi menjadi momok kapitalisme modern menjajah dunia. Isu mata uang crypto, penciptaan dunia metaverse, hingga mayoritas pekerjaan digital menjadi tantangan negara melawan kapitalisme narasi media.

Masyarakat harus tetap waras terhadap pengaruh narasi media dengan tetap konsisten menjaga persatuan. Kapitalisme hanya tunduk pada ketegasan kebijakan dan kesatuan masyarakat. Menanti pemimpin masa depan Indonesia dalam menghadapi gejolak kapitalisme modern yang lebih kompleks. Harapannya muncul sosok pemimpin yang mengedepankan agenda, bukan retorika semata. Negara sedang menghadapi ancaman penjajahan intelektual tanpa peperangan senjata. Mereka yang terlena akan menjadi budak jajahan teknologi. Mereka yang bertahan akan tetap melawan kerakusan teknologi media menjadi “tuhan” untuk manusia.

 

Pernah dimuat Teropong Senayan

https://www.teropongsenayan.com/126801-melawan-kapitalisme-narasi-media 

  Planet itu bernama metaverse. Suatu teknologi Augmented Reality  (AR) yang memungkinkan individu untuk berinteraksi dan berkomunikasi deng...

 

metaverse

Planet itu bernama metaverse. Suatu teknologi Augmented Reality (AR) yang memungkinkan individu untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan individu lainnya di seluruh dunia secara virtual. Pencetusan ide planet baru tersebut diinisiasi oleh Mark Zuckerberg (CEO Facebook) untuk simulasi dunia manusia melalui internet. Usaha tersebut dinilai sebagai langkah revolusioner setelah teknologi internet dan sosial media melekat dalam kehidupan masyarakat.

Bukan hanya itu, kehadiran metaverse setidaknya akan mengombinasikan lima teknologi sekaligus, yakni media sosial, game online, Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), dan cryptocurrencies. Metaverse akan menciptakan ruang baru yang di dalamnya ada dunia baru. Kehadiran pengguna akan direpresentasikan melalui avatar untuk melakukan aktivitas. Semua orang bisa saling berinteraksi layaknya di dunia nyata.

Ketika dulu bermimpi menciptakan robot dengan kecanggihan teknologi untuk memudahkan pekerjaan manusia, sekarang manusia malah terjebak menjadi robot-robot yang mulai meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dunia digital membuat manusia sakau (hilang kesadaran) dengan menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar smartphone atau komputer. Aktif mempromokan diri dengan bebas mengumbar privasi.

Isu metaverse sudah menjadi perbincangan dunia. Aset kripto pun terdongkrak naik sebab ada tipe aset kripto yang bisa berfungsi untuk transaksi jual beli aset virtual. Melalui facebook, metaverse adalah bentuk paling mutakhir dalam teknologi sosial. Facebook dapat mengantongi semua pengetahuan penting untuk menciptakan dunia digital seperti yang diinginkan. Mengetahui bagaimana orang berperilaku secara daring, kepribadian seseorang, hal yang disuka dan tidak, kiprah, minat, bahkan keadaan emosional pengguna.

Jika metaverse sudah beroperasi, maka pesaing facebook akan merasa kesulitan untuk mengimbangi sistem digital serupa. Suatu saat facebook akan memonopoli industri digital yang akan memudahkan mengatur masyarakatnya (manusia digital) di sebuah planet baru yang disebut metaverse.

Usaha menciptakan dunia virtual bagi pengguna untuk berinteraksi dengan orang lain bukan sekadar visi yang mewah, namun juga kebutuhan bisnis. Orang-orang akan berbondong memasuki ruang baru yang ditemukan pengalaman realitas virtual yang lebih modern. Manusia menutut kebebasan dan metaverse mencoba memfasilitasinya.

 
Baca Juga : Persiapan Menghadapi Artificial Intelegence

Masa Depan

Perkemangan pesat teknologi telah mengubah struktur masyarakat, politik, dan budaya. Ketergantungan terhadap peran teknologi, khususnya internet, membuat manusia mulai meninggalkan dimensi realitas sosial di masyarakat. Semua dituntut segera beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar tidak tertinggal. Bahkan pemerintah aktif menggenjot pemerataan akses internet sebagai dalih keadilan dan kesejahteraan.

Teknologi memang ditujukan untuk memudahkan pekerjaan manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Saat ini banyak orang yang menggantungkan pendapatan dari internet seperti menjadi blogger, YouTuber, influencer, berjualan (jasa dan barang) secara daring, hingga partisipasi kontes atau lomba. Era digital menghapuskan persepsi masyarakat bahwa kerja harus pergi ke kantor pagi hingga sore.

Dalam dunia digital, semua bisa bersaing secara bebas. Setiap orang punya potensi mendapatkan kesejahteraan (uang) berdasarkan tingkat kreativitas dan inovasi masing-masing. Tidak terikat aturan perusahaan, diskriminasi upah, hingga tarik ulur jenjang karir. Di mata teknologi, semua pengguna dianggap sama.

Kehadiran metaverse menjadi penggugah kegelisahan manusia modern tentang masa depan dirinya sendiri, keluarga, hingga negara. Kekuatan kapitalis melalui teknologi telah mengubah peradaban manusia. Meninggalkan pemikiran kuno tentang pekerjaan, menurunkan intensitas sosialisasi di masyarakat, hingga mengubah tatanan sosial dan politik suatu negara.

Teknologi digital mampu menembus batas realitas (ruang dan waktu). Metaverse diracang untuk setiap orang bisa berinteraksi dengan siapapun dan di manapun tanpa melewati aturan yang diterapkan negara. Berdasarkan data internetworldstats, total pengguna internet di Asia mencapai 2,77 miliar jiwa dari total populasi 4,33 miliar jiwa. Di Indonesia sendiri, pengguna internet sampai bulan Maret 2021 mencapai 212,35 juta jiwa. Potensi tersebut dimanfaatkan kapitalis teknologi untuk menciptakan planet baru (metaverse) yang menembus batas teritorial negara dengan dipimpin oleh beberapa penguasa teknologi digital.

Iming-iming yang ditawarkan metaverse adalah pengalaman realitas seperti kehidupan saat ini. Sehingga di dalamnya, manusia bisa berkomunikasi, bersosialisasi, hingga bertransaksi. Semakin cepat mengunjungi planet baru tersebut, manusia berkesempatan mendapatkan barang-barang yang murah sebelum nanti nilainya naik seiring terbatasnya sumber daya, seperti tanah, minyak bumi, hingga emas.

Dampak politisnya adalah pemerintah tidak lagi punya kekuatan untuk mengatur masyarakat. Kesejahteraan masyarakat tidak bergantung lagi kepada pemerintah. Semua kebijakan akan diatur oleh pemilik planet baru. Ancaman dari kapabilitas teknologi big tech yang semakin berkembang dapat mengganggu tatanan sosial, ekonomi, bahkan politik suatu negara.

Secara ekonomi, techno-feodalism menyebabkan pasar akan didominasi oleh segelintir orang yang jumlahnya sangat sedikit namun kuat tanpa tandingan. Orang-orang tersebut tidak hanya menguasai pasar tetapi juga dapat menentukan perilaku pasar sesuai keinginan mereka. Metaverse juga mampu mendistorsi proses agregasi informasi untuk menggiring opini publik ke pemahaman yang keliru.

 

Pernah dimuat Teraju

https://teraju.id/opini/metaverse-cara-mark-zuckerberg-menciptakan-planet-baru-19935/ 

  Kajian tentang terorisme bukan lagi menjadi isu nasional, melainkan sudah menjadi bahasan penting dunia. Terorisme telah menimbulkan dampa...

 

eksistensi terorisme

Kajian tentang terorisme bukan lagi menjadi isu nasional, melainkan sudah menjadi bahasan penting dunia. Terorisme telah menimbulkan dampak yang cukup luas, bukan hanya dalam bidang politik dan militer, tetapi juga secara ekonomi dan budaya. Dalam pencarian identitas di tengah arus modernisasi dan globalisasi, terorisme tidak lagi dilandaskan motif agama.

Maraknya aksi radikalisme dan terorisme disebabkan oleh ketidakberdayaan agama menghadapi tantangan industri dan globalisasi karena masifnya arus modernitas. Alih-alih melahirkan perdamaian dan memeratakan keadilan, industrialisasi dan globalisasi justru menciptakan kekerasan dan penindasan.

Radikalisme akhir ini menarik agama, khususnya Islam, dalam situasi dan kondisi yang tak terelakkan dari anggapan mengenai konektivitas antara Islam dan kekerasan. Islam yang dihadirkan membawa misi kedamaian dirusak dengan aksi teror dan tindak radikalisme oleh sebagian oknum yang mengaku “memperjuangkan” Islam. Radikalisme memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan terorisme, keduanya merupakan tindakan kekerasan atau ancaman bagi kehidupan umat manusia.

Indonesia menganut asas demokrasi yang menghendaki kebebasan berideologi masyarakatnya. Negara punya hak untuk memaksa warganya agar berideologi sama secara nasional, sementara setiap individu memiliki hak kebebasan berideologi. Maka terjadi tarik menarik antara ideologi personal dengan ideologi komunal.

Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mempunyai peran strategis untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya paham radikalisme dan terorisme. Sedangkan lembaga kepolisian dan densus 88 sebagai eksekutor terhadap pelaku yang sudah terpapar ideologi terorisme. Selama dua periode kepemimpinan Jokowi, isu radikalisme menjadi pokok perhatian permasalahan nasional untuk segera diselesaikan.

Berdasarkan data Global Terrorism Index (GTI) 2020 melaporkan bahwa Indonesia ada di peringkat empat di Asia Pasifik yang paling terdampak terorisme. GTI menyebutkan ekstremisme agama menjadi faktor pendorong serangan teroris di beberapa negara dunia, seperi Pakistan, India, Indonesia, Filipina, dan lainnya.

 
Baca Juga : Mengatasi Problem Radikalisme dalam Negeri

Peran Internet

Keberadaan internet menjadi bagian penting bagi manusia dalam membentuk peradigma berpikir, perbuatan, perilaku, dan kebutuhan dasar hidup. Aksi terorisme dan bom bunuh diri sering menggunakan teknologi mutakhir dengan berbagai jejaring sosialnya.

Media internet mengambil porsi dan peranan yang sangat besar dalam memberikan informasi kepada publik, terutama kaum muda terhadap ideologi radikal. Fakta bahwa organisasi yang terafiliasi dengan ideologi teroris telah memanfaatkan teknologi untuk memudahkan dalam menyebarkan propaganda dan merekrut anggota potensial melalui internet.

Di sisi lain, media internet juga memegang peran kunci dalam menangkal dan memberikan informasi ke publik terhadap isu-isu radikalisme. Sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan berkembangnya gerakan-gerakan ekstrimis. Memberikan pemahaman Islam moderat untuk membendung derasnya ideologi radikalisme yang mengancam kebhinnekaan.

Dalam konteks kekerasan atas nama agama, media berperan penting menyebarkan ideologi radikalisme untuk mempengaruhi massa mendukung opini dan gagasannya. Banyak kalangan ekstrimis memanfaatkan momentum kekacauan sosial-politik suatu negara untuk menyukseskan ambisi teror mereka.

Salah satu pola aksi terorisme di Indonesia ini menggunakan cyberterrorism, yaitu penggunaan komputer dan jaringan internet oleh kelompok teroris dalam melakukan proses radikalisasi, membobol sistem keuangan, sistem pengendalian alat transportasi seperti kereta api dan pesawat terbang. Internet bukan hanya sekedar inovasi teknologi dalam jaringan informasi komunikasi, melainkan sudah menjelma menjadi medium kekuatan ideologi politik tertentu.

Pergeseran ke ranah media sosial yang dilakukan oleh kelompok teroris mempunyai tujuan untuk membangun interaksi untuk tampil lebih trendi dan populer, lebih menyentuh pada sasaran, dan secara demografis pengguna media sosial merupakan generasi muda.

Sejak tahun 2017 hingga akhir Juni 2021, Kementerian Kominfo telah memblokir sebanyak 21.330 konten radikalisme dan terorisme yang tersebar di berbagai situs dan platform digital. Kominfo mempunyai misi untuk selalu konsisten menjaga dan mempertahankan keamanan ruang digital dari muatan radikalisme terorisme yang mengancam NKRI.

Tentu diperlukan peran serta masyarakat untuk bersatu melawan gerakan terorisme yang menancam kehidupan dan lingkungan sekitar. Aksi terorisme bukan hanya memalukan agama yang dicitrakan melegalkan tindak kriminalitas atau kekerasan, melainkan juga atas nama bangsa yang tidak mencerminkan sebagai negara yang damai.

Sulit untuk memusnahkan ideologi radikalisme dan terorisme secara menyeluruh. Peran internet setidaknya bisa dikontrol untuk tindak pencegahan, bukan malah menjadi medium untuk meyebarkan ideologi terorisme. Ulama moderat dengan kapabilitas pengetahuan yang memadai banyak diperlukan untuk kampanye Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

 

Pernah dimuat Simposium

https://www.forumsimposium.com/2021/11/15/cyber-terrorism-wajah-baru-terorisme-ruang-maya/

 

  Petisi boikot Saipul Jamil di panggung televisi nasional semakin gencar disuarakan. Hal ini dilandasi perilaku tercela (pencabulan anak) p...

 artis cabul

Petisi boikot Saipul Jamil di panggung televisi nasional semakin gencar disuarakan. Hal ini dilandasi perilaku tercela (pencabulan anak) pria 41 tahun tersebut. Sejak dibebaskan pada tanggal 2 September 2021, Saipul Jamil malah disambut secara meriah yang kemudian menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi fakta begitu banyaknya acara on air dan off air yang sudah menunggu.

Sebelumnya, Saipul Jamil terjerat 2 kasus sekaligus. Pertama, kasus asusila (pencabulan) terhadap anak di bawah umur - pelajar kelas III SMA berusia 17 tahun. Kedua, kasus suap panitera pengadilan negeri Jakarta Utara. Dari 2 kasus tersebut, pedangdut itu mendapat total remisi sebanyak 30 bulan dari hukuman 8 tahun. Sepak terjang keartisan Saipul Jamil banyak mendapat sorotan media, termasuk beberapa isu kontroversial seperti, pelecehan seksual lawan main film, kecelakaan di tol Cipularang, hingga perseteruan dengan mantan istrinya (Dewi Perssik).

Penyambutan mantan narapidana seperti pahlawan menjadi perhatian banyak pihak. Perilaku amoral seharusnya menjatuhkan eksistensi dan popularitas pelaku, bukan malah sebaliknya. Bebasnya Saipul Jamil menjadi keprihatinan pengamat sosial dan masyarakat umum mengenai batasan sikap fanatisme. Kemudian tekanan industri penyiaran atau televisi yang bergantung pada rating penonton sehingga mengabaikan nilai-nilai edukatif dan inspiratif.

Gairah penyambutan Saipul Jamil masih begitu masif disiarkan di berbagai acara. Ada perasaan kangen setelah hampir 5 tahun tidak disuguhi tingkah konyol pedangdut kelahiran Serang, Banten ini. Beberapa tokoh mulai angkat bicara dan petisi boikot artis cabul semakin bertambah, namun belum ada tindakan nyata dari KPI atau instansi terkait untuk memblokir kehadiran Saipul Jamil di televisi.


Baca Juga : Pernikahan Atta-Aurel : Pelestarian Budaya Pamer

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

KPI mempunyai visi terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Meskipun dalam prakteknya banyak menimbulkan kontroversi seperti kebijakan sensor segala hal yang dianggap mengandung unsur pornografi, batasan penggunaan diksi kata yang dianggap tidak senonoh, hingga batasan jam acara yang menjurus pada konten dewasa.

Apapun itu, Indonesia masih butuh KPI sebagai filter acara yang mengedepankan sisi moralitas dan edukasi bagi masyarakat. Dasar konstitusi menghendaki tercapainya bangsa yang cerdas dan bermartabat. Jangan sampai liberalisasi penyiaran berdampak pada kehancuran moral bangsa.

Di sisi lain, KPI juga butuh refleksi tentang indikator moralitas dan edukasi. Jangan menjadi instansi yang gagap ketika ada pelaporan untuk segera diambil tindakan. Butuh analisis yang komprehensif dari seluruh elemen masyarakat. Sehingga aspek keadilan juga dijadikan pertimbangan selain pelayanan terhadap keluhan pelanggan.

Selanjutnya adalah kasus Saipul Jamil yang lantang disuarakan di media sosial. Perlu ada diskusi matang dan segera agar dampak yang ditimbulkan atas kemunculan Saipul Jamil di televisi tidak semakin masif. Menariknya, kasus pencabulan Saipul Jamil juga menjadi isu hangat di instansi internal KPI. Seakan “berjodoh”, sehari sebelum pembebasan Saipul Jamil, korban yang didampingi komisioner KPI melapor kasus pelecehan dan perundungan ke Polres Jakarta Pusat. Sebelumnya korban berinisial MS menjadi viral lantaran curhat di media sosial mengenai kasus pelecehan dan perundungan di lingkungan KPI.

Belum selesai permasalahan internal, masayarkat semakin gencar mendorong KPI untuk segera mengambil tindakan atas kemunculan Saipul Jamil di berbagai acara televisi swasta.

 

Baca Juga : Jerinx Hingga Pulau Komodo

Dampak

Industri televisi tentu lebih mementingkan nilai komersial daripada nilai edukasi. Banyak masyarakat yang menantikan banyolan receh Saipul Jamil. Selaras dengan kebutuhan industri, rating meningkat berbanding lurus dengan pendapatan sponsor dan lain-lain. Apalagi lingkaran dekat (sesama artis) ikut andil menjembatani eksistensi mantan napi di panggung hiburan.

KPI adalah harapan membendung euforia kebebasan pelaku tindak asusila. Selain mempunyai kewenangan, KPI juga harus bisa menampilkan sosok orang tua penyiaran yang bersikap adil dan amanah menjaga moral bangsa. Televisi seharusnya memperhatikan 3 fungsi utama, yakni fungsi informasi, fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan.

Sedangkan dalam undang-undang penyiaran nomor 24 tahun 1997, bab II pasal 4 menyebutkan bahwa penyiaran bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, dan membangun masyarakat adil dan makmur.

Tayangan televisi memberi dampak negatif bagi anak karena keterbatasan daya nalar, pola pikir egosentris, daya fantasi yang besar, ketidakmampuan membedakan antara khayalan dan kenyataan ditambah kurangnya penjelasan yang rasional. Televisi kerap menyuguhkan tontonan pada anak dengan hal-hal baru yang tidak kontekstual secara budaya.

Semakin dibiarkannya Saipul Jamil tampil di acara televisi akan berdampak pada rusaknya moral bangsa. Persepsi bahwa pelaku asusila masih diterima di masyarakat, bahkan di panggung televisi jangkauan nasional. Apalagi perayaan penyambutan kebebasan yang berpotensi terhadap kesenjangan perilaku sosial jika dibandingkan dengan atlet emas olimpiade atau sejenisnya.

Pedofil adalah kejahatan kemanusiaan. Berakhirnya norma hukum bukan berarti menyelesaiakan norma lain (kesusilaan dan kesopanan). Harus siap menanggung risiko dikucilkan, dihina, hingga perasaan bersalah. Jika KPI tidak punya kekuatan untuk membendung predator seksual tampil di televisi, biarkan masyarakat bersatu memboikot acara televisi yang nekat menayangkan sosok Saipul Jamil.

Setidaknya sedikit berempati terhadap korban podofil dari Saipul Jamil, bagaimana perasaannya melihat pelaku asusila terhadapnya tertawa lepas di layar televisi.

 

Pernah dimuat Rahma.id

https://rahma.id/boikot-artis-cabul/ 

  Wonderland Indonesia, sebuah sajian musik EDM ( Electronic Dance Music ) dan teknologi CGI ( Computer Graphic Images ) yang diinisiasi Rev...

 wonderland indonesia

Wonderland Indonesia, sebuah sajian musik EDM (Electronic Dance Music) dan teknologi CGI (Computer Graphic Images) yang diinisiasi Rev Production dan Dewa Atlantis Studio. Video berdurasi 10 menit 52 detik tersebut berhasil memukau penduduk dunia karena lebih dari sepekan tranding di YouTube. Awwalur Rizqi Al-firori alias Alffy Rev menjadi lokomotif proyek animasi musik kontemporer yang memadukan unsur tradisional dan modern. Kemudian sosok Novia Bachmid (alumni Indonesian Idol tahun 2020) menjadi pelengkap kesempurnaan proyek musik animasi sebagai kado HUT ke-76 RI.

Berkat Wonderland Indonesia, nama Indonesia kini kembali diperhitungkan di kancah internasional. Terlihat dari begitu banyaknya reaksi video yang tayang di YouTube dari berbagai belahan dunia. Spanyol, Amerika Serikat, Afrika, Turki, Malaysia, Filipina, Jepang, Thailand, dan masih banyak negara yang kagum dengan keindahan Indonesia dan kekayaan pakaian adat, lagu tradisional, instrumen musik, hingga panorama alam yang melimpah dari Sabang sampai Merauke.

Meskipun terkesan singkat, namun video Wonderland Indonesia berhasil menampilkan banyak pesan, selain kemewahan sinematik dan musik EDM. Alffy Rev mencoba menunjukan kekayaan budaya Indonesia dan keelokan alam nusantara kepada dunia. Mengenalkan lagu-lagu tradisional yang mulai banyak dilupakan masyarakat Indonesia sendiri karena dianggap kuno. Merepresentasikan perjuangan pahlawan dalam memerdekakan Indonesia dari para penjajah. Banyak emosi yang tercipta, mulai dari kekaguman, kesedihan, kebahagiaan, dan lain sebagainya.

Dalam prosesnya, Alffy Rev menjelaskan betapa mendesaknya proyek Wonderland Indonesia namun bisa menghasilkan karya yang berkualitas. Tentang sejarah, harapan, realita, dan hal-hal yang terlanjur dilupakan karena ketidakpercayaan terhadap istimewanya bangsa sendiri.

 

Baca Juga : Mempersiapkan Generasi Emas Indonesia

Apresiasi Telat

Agaknya menjadi keganjilan ketika Alffy Rev membuat video Behind The Scenes of Wonderlan Indonesia. Keresahan terhadap dunia pariwisata dan kebudayaan yang akhirnya menjadi cambuk Alffy Rev dan timnya untuk membuat konten berjudul The Beauty of Bali. Ketika dirasa sukses, ia kemudian membuat konsep yang lebih spektakuler untuk perayaan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 2021.

Namun keinginannya sempat pupus karena tidak adanya minat dari para donatur dan sponsorship yang mendukung proyek besarnya. Hingga pada akhirnya Doni Salmanan menjadi aktor (donatur utama) di balik kesuksesan proyek Wonderland Indonesia. Alffy Rev mengaku kesusahan mewujudkan proyek tersebut jika tidak ada bantuan finansial dari pihak eksternal. Setelah proyek sebelumnya (The Beauty of Bali), ia harus menjual mobilnya untuk kelancaran operasional.

Sebelum kemunculan Doni Salmanan, tidak ada pengusaha, politikus, apalagi pemerintah yang melirik keinginan Alffy Rev dan tim untuk mengangkat nama Indonesia di dunia Internasional. Diakui bahwa selama ini, banyak potensi pemuda Indonesia yang kurang atau tidak sama sekali mendapat apresiasi dari pemerintah. Setelah viral dan mendapat atensi dari dunia luas, pemerintah juga yang mendapat untung.

Utamanya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang kesulitan mempromosikan potensi pariwisata daerah di masa pandemi. Sedangkan ada anak bangsa yang “mengemis” untuk membantu pemerintah menduniakan Indonesia malah dicampakan. Pemerintah terlalu naif untuk memajukan kebudayaan dan pariwisata ketika ada anak bangsa yang mempunyai bakat digital tapi tidak ada dukungan.

Wonderland Indonesia membuat dilema bahwa ada anak muda berusia 26 tahun bisa jauh lebih hebat mempromosikan Indonesia dibandingkan ratuasan bahkan ribuan orang di Kemenparekraf. Tentang perpaduan unsur etnis dan digital. Semangat persatuan dan rasa mencintai bangsa sendiri. Setelah viral, berbondong para konten kreator, politisi, artis, hingga pemerintah berlomba mengucapkan selamat dan memberikan berbagai bentuk apresiasi.

 
Baca Juga : Mengibarkan Bendera Setengah Tiang

Sejarah dan Masa Depan

Apapun itu, Wonderland Indonesia sudah menjadi salah satu maha karya untuk menunjukan kemewahan Indonesia yang dijuluki sebagai negeri impian, Atlantis. Sejarah panjang keragaman suku dan budaya yang bisa hidup rukun dan saling menghormati.

Sejarah mencatat, zaman Kalabendu pernah diramalkan oleh Prabu Jayabaya, dan pujangga besar Jawa Raden Ngabehi Ranggawarsita. Kalabendu secara harfiah dapat diartikan sebagai zaman penuh kesengsaraan. Fitnah menyebar di mana-mana, keluarga terpecah belah, kehidupan susah, kolusi, korupsi dan nepotisme merajalela, dan para pemimpin kehilangan wibawa karena ketika berbicara tidak bisa dipercaya.

Terdapat 3 babak kehidupan manusia yaitu zaman Kalawisesa (masa permulaan) atau Kalatida, kemudian zaman Kalabendu atau masa kekacauan (chaos), dan zaman Kalasuba (Pemulihan/Pencerahan). Dalam hitungan ramalan tersebut, banyak pengamat memprediksi bahwa tahun 2021-2025 adalah masa dimulainya zaman Kalasuba. Selaras dengan analisis pengamat modern dengan gagasan terbentuknya generasi emas di tahun 2025 karena terciptanya bonus demografi Indonesia.

Setidaknya viralnya video Wonderland Indonesia sedikit membangkitkan asa di tengah pandemi, bahwa Indonesia sudah bersiap menjadi negara besar dengan indikator kesejahteraan warga negara yang lebih baik. Mengekspor kebudayaan lokal ke luar negeri, bukan sebaliknya malah mengimpor kebudayaan asing. “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Pidato Bung Karno yang seakan menjadi kenyataan dengan kemunculan Alffy Rev di industri digital kreatif saat ini.

Terkahir, saya mengucapkan terimakasih banyak kepada Alffy Rev yang sudah membuat jiwa nasionalis kami (bangsa Indonesia) bangkit kembali. Kami takjub dan merinding. Bahkan ketika melihat ratusan reaksi video dari berbagai konten kreator luar negeri yang di antaranya menangis melihat kemagisan Wonderland Indonesia. Warga negara asing saja bangga, apalagi kita (bangsa sendiri).

 

Pernah dimuat di Kumparan
https://kumparan.com/joko-interisti/terimakasih-wonderland-indonesia-1wTwe3yGZrC 

  Rasio ketergantungan ( dependency ratio ) yang ditandai dengan menurunnya rasio perbandingan antara jumlah penduduk nonproduktif (usia kur...

 manusia digital

Rasio ketergantungan (dependency ratio) yang ditandai dengan menurunnya rasio perbandingan antara jumlah penduduk nonproduktif (usia kurang dari 15 tahun dan 65 tahun ke atas) terhadap jumlah penduduk produktif (usia 15-64 tahun) saat ini, membuat Indonesia digadang sedang mencapai generasi emas.

Fenomena menurunnya angka ketergantungan yang mencapai bonus demografi pada titik terendah akan meningkatkan suplai angkatan kerja (labor supply), tabungan (saving), dan kualitas sumber daya manusia (human capital). Bonus demografi terjadi saat proporsi jumlah penduduk usia produktif lebih dari 2/3 dari jumlah penduduk keseluruhan atau ketika rasio ketergantungan angkanya berada di bawah 50.  
Periode bonus demografi akan membuka peluang yang bisa dimanfaatkan untuk meraih keuntungan ekonomis yang lebih besar. Periode keemasan Indonesia akan terjadi sekitar periode tahun 2019-2024, yaitu ketika rasio ketergantungan mencapai titik 45,4.

Generasi milenial akan berperan besar pada fase bonus demografi di Indonesia yang masih dalam kategori negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Generasi ini yang akan memegang kendali atas roda pembangunan ekonomi yang diharapkan akan mampu membawa ke arah pembangunan nasional yang lebih maju dan dinamis.

Generasi milenial adalah modal besar untuk mewujudkan kemandirian bangsa dalam berbagai aspek. Dengan memanfaatkan teknologi, generasi milenial diharapkan mampu memiliki potensi atau keahlian yang lebih unggul dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

 

Baca Juga : Eksistensi Generasi Milenial

Generasi Milenial

Istilah milenial dicetuskan pertama kali oleh William Strauss dan Neil dalam bukunya yang berjudul Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Menurut Elwood Carlson (2008) generasi milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang waktu tahun 1983 sampai dengan 2001. Generasi milenial juga biasa disebut sebagai generasi Y.

Sebelum generasi milenial, ada generasi setelah generasi milenial yang disebut Generasi Z dengan rentang lahir antara tahun 2001 - 2010. Merupakan peralihan dari Generasi Y atau generasi milenial yang bebarengan dengan perkembangan teknologi dunia. Pola pikir Generasi Z cenderung serba instan. Generasi ini belum banyak berperan pada bonus demografi Indonesia pada tahun 2020.

Selanjutnya adalah Generasi Alpha yang lahir pada 2010 hingga sekarang. Merupakan lanjutan dari generasi Z yang sudah terlahir pada saat teknologi berkembang sangat pesat. Sejak dini, mereka sudah mahir menggunakan gadget, smartphone, dan teknologi digital lainnya.

Generasi milenial memiliki peluang berinovasi dan berimprovisasi yang sangat bebas dan luas. Terciptanya ekosistem digital yang berhasil mengembangkan berbagai bidang usaha di Indonesia. Saat ini banyak marketplace dan jasa transportasi daring menjadi kebutuhan masyarakat di masa pandemi.

Dengan inovasi ini, generasi milenial berhasil menciptakan sebuah solusi untuk mengatasi problematika masyarakat tingkat regional dan nasional. Selain itu, mereka berhasil memberi dampak ekonomi yang besar bagi negara. Kehadiran bisnis e-commerce karya generasi milenial Indonesia mampu memfasilitasi wirausahawan untuk semakin berkembang. Menciptakan lapangan kerja dan menarik inverstor ke dalam negeri.

Ada beberapa keunggulan generasi milenial dibandingkan dengan generasi sebelumnya, yakni mereka ingin serba cepat, lebih kreatif dan dinamis, mudah berpindah pekerjaan dalam waktu singkat, melek teknologi, dekat dengan media sosial, dan lain sebagainya.

 
Baca Juga : Demokratisasi Digital

Ruang Digital

Generasi milenial menyadari dampak teknologi bagi perkembangan masa depan suatu bangsa, khususnya bagi dirinya sendiri. Banyak sektor pendidikan dan pekerjaan telah digantikan dengan kemajuan sistem digital dan robot untuk mencapai tingkat efektivitas dan efisiensi ekonomi. Dampaknya banyak masyarakat yang memaksa diri untuk menjadi produsen digital.

Kondisi masyarakat yang melek teknologi memberikan harapan bagi masa depan bangsa. Kemajuan teknologi mempermudah akses informasi yang menghendaki pembelajaran tanpa sekat ruang dan waktu. Berbagai ilmu untuk bertahan hidup di masa pandemi begitu melimpah tersebar di internet. Platform digital dan media sosial seolah menjadi sarana generasi milenialis untuk move on dari penjajahan sistem monopoli dan kapitalisme modern.

Masa produktif manusia era generasi milenial memungkinkannya untuk mempelajari segala hal. Menjadi manusia yang adaptif terhadap perubahan zaman. Kemajuan teknologi bisa membuat orang mencapai puncak kesuksesan, di sisi lain akan menjadi momok bagi orang yang tidak bisa memanfaatkan kecanggihan dunia digital.

Perlu sosialisasi dan pendampingan pada masyarakat yang masih buta teknologi. Mendorong menjadi pengguna internet yang aktif mengeksplorasi diri dengan gagasan atau ide memanfaatkan ruang digital. Jangan sampai kesempatan bonus demografi dimanfaatkan oleh negara lain untuk dijadikan pasar (konsumen).

Kemunduran dan kemajuan suatu bangsa bergantung pada konsep kemandirian generasi milenial dan sesudahnya dalam mengelola perkembangan teknologi. Menjadi manusia digital yang tidak terjebak pada pola penjajahan teknologi dan informasi. Jika kesadaran generasi milenial terhadap ruang digital bisa diaplikasikan dengan baik, mungkin Indonesia sebentar lagi akan menjadi raksasa dunia.

Dunia darurat kenyataan. Sesuatu yang maya bisa dijelaskan dengan detail bermodalkan informasi-informasi potongan di media maya. Teknologi d...

media sosial

Dunia darurat kenyataan. Sesuatu yang maya bisa dijelaskan dengan detail bermodalkan informasi-informasi potongan di media maya. Teknologi dijadikan rujukan utama iman seseorang. Menggantungkan nasib dan takdirnya setiap saat di depan layar-layar smartphone.

Ya, smartphone sudah terlihat lebih “smart” dari penggunanya. Mulai dari trik memanipulasi diri, memberi jawaban atas masalah, hingga menyandarkan masa depan terhadapnya. Mulanya ilmu kesehatan menamainya nomophobia, seiring berlalu manusia akan dijadikan robot-robot. Ilmuwan mengembangkan teknologi dengan membuat robot setara “manusia” yang tujuannya menggantikan tugas manusia yang sudah tidak peduli pada kenyataan.

Perkembangan dunia digital yang begitu cepat tidak disadari manusia yang sebelumnya begitu aktif berinteraksi dan berkomunikasi langsung. Media sosial yang sebelumnya bertujuan menjadi sarana menyambung silaturahmi berubah menjadi kebutuhan pokok yang kalau tidak dikonsumsi bisa membuat seseorang “mati”.

Bagi masyarakat yang masih jauh dari penjajahan media akan terkejut ketika melihat orang-orang modern memesan sesuatu tanpa keluar rumah, menonton acara-acara TV yang sudah berlalu, hingga menjadi kaya tanpa “bekerja”. Pemikiran kuno tentang realitas kehidupan normal perlahan menghilang ketika semua orang sudah bisa melakukan segala hal menggunakan kemajuan teknologi.

Kecerdasan artifisal disiapkan untuk generasi yang melek teknologi. Menjadi produsen media digital, bukan sebaliknya. Ketika tidak memliki kecakapan menerima informasi yang melimpah di ruang media sosial, manusia hanya akan menjadi budak yang gampang dipermainkan narasi-narasi hoaks.

Media sosial tidak bisa menyaring informasi yang utuh. Bersifat semu karena sulit membedakan mana kebenaran dan mana kebohongan. Semua informasi melebur menjadi perdebatan-perdebatan tanpa rujukan yang jelas. Buku atau kitab yang seharusnya menjadi pedoman meluruskan informasi sudah tidak diminati. Kemasalan membaca seolah sudah difasilitasi secara visual melalui tontonan-tontonan video di media sosial.

Dunia pendidikan juga kehilangan marwah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Pelajar atau masyarakat seolah lebih mempercayakan pengetahuan di ruang digital yang dianggap komplit dan mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan. Media sosial atau dunia internet lebih flesksibel tanpa terikat aturan sekolah, ruang dan waktu, dan keterbatasan pengetahuan yang tidak didapatakan dalam pelajaran dan pengetahuan guru/ dosen di pendidikan formal.

Fenomena kecanduan bermedia sosial terlihat di berbagai tempat. Bahkan seseorang bisa duduk berjam-jam sendiri memandangi smartphone. Ada yang nge-games, chattingan, nonton video, hingga sekedar mencari informasi-informasi untuk menambah pengetahuan dan keyakinan akan suatu perbedaan. Ketika dalam sebuah diskusi atau obrolan, smartphone lebih didahulukan daripada merespon ide atau gagasan orang dalam kelompok. Semua pun memaklumi, karena budaya bermedia sosial lebih utama daripada budaya bersosialisasi secara nyata.

Terlalu naif jika membandingkan nostalgia zaman dulu (sebelum kemunculan smartphone) dan zaman sekarang. Nyatanya, semua orang sudah rela menjadi budak-budak teknologi. Ikhlas segala pekerjaannya digantikan oleh sistem teknologi. Jika tidak bisa beradaptasi menjadi “budak teknologi”, maka akan dituduh gaptek.

Semakin maju perubahan zaman akan mengubah teori-teori lama. Seperti melekatkan pendidikan pertama dan utama kepada keluarga. Realitanya, banyak anak-anak yang sudah dimanjakan dengan berbagai aplikasi di smartphone. Apalagi fase pandemi dijadikan dalih ketika sekolah libur dan siswa dituntut aktif memanfaatkan media.

Berdasarkan laporan konten HootSuite dan agensi pemasaran We Are Social pada awal tahun 2021, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 202,6 juta jiwa. Mencapai 73,7 persen dari total penduduk Indonesia. Mereka rata-rata menghabiskan waktu selama 8 jam 52 menit untuk mengonsumsi internet. Kemudian ada sekitar 170 juta jiwa orang Indonesia menjadi pengguna aktif media sosial.

Belum begitu jelas data statistik yang menunjukan berapa persen masyarakat yang menjadikan media sosial sebagai sarana memproduksi sesuatu. Sedangkan mayoritas masih terlihat menjadi konsumen setia media sosial dengan berbagai perkembangannya.

Tidak begitu penting manfaat atau mudaratnya. Sebagian besar sudah menjadi budak media sosial. Ibarat narkoba: tanpa media sosial, seseorang bisa sakau. Butuh peran semua elemen masyarakat untuk mengendalikan pengaruh masif media digital. Kecuali jika tidak ada kepedulian terhadap perkembangan sosial generasi mendatang.

Dampak paling memprihatinkan adalah kecenderungan meyakini informasi berdasarkan rujukan media sosial. Tidak punya prinsip dan ideologi hidup karena gampangnya terpengaruh oleh opini-opini tanpa referensi. Menjadi manusia-manusia yang taklid buta pada kebenaran subjektif. Bahayanya adalah sikap intoleransi terhadap perbedaan pendapat yang kemudian menciptakan konflik, anarkisme, dan peperangan.

Jika kata budak dianggap istilah yang menarik, silakan lanjutkan menggantungkan kebahagiaan hidup terhadap media sosial. Namun jika kata budak dianggap sebuah kritikan, segeralah mempersiapkan diri untuk memanfaatkan media sosial dan tidak sudi dimanfaatkan media sosial. Yakinkahlah bahwa kebahagiaan hidup tidak dipengaruhi ada dan tidaknya media sosial.