Petisi boikot Saipul Jamil di panggung televisi nasional semakin gencar disuarakan. Hal ini dilandasi perilaku tercela (pencabulan anak) pria 41 tahun tersebut. Sejak dibebaskan pada tanggal 2 September 2021, Saipul Jamil malah disambut secara meriah yang kemudian menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi fakta begitu banyaknya acara on air dan off air yang sudah menunggu.
Sebelumnya, Saipul Jamil terjerat 2 kasus sekaligus. Pertama, kasus asusila (pencabulan) terhadap anak di bawah umur - pelajar kelas III SMA berusia 17 tahun. Kedua, kasus suap panitera pengadilan negeri Jakarta Utara. Dari 2 kasus tersebut, pedangdut itu mendapat total remisi sebanyak 30 bulan dari hukuman 8 tahun. Sepak terjang keartisan Saipul Jamil banyak mendapat sorotan media, termasuk beberapa isu kontroversial seperti, pelecehan seksual lawan main film, kecelakaan di tol Cipularang, hingga perseteruan dengan mantan istrinya (Dewi Perssik).
Penyambutan mantan narapidana seperti pahlawan menjadi perhatian banyak pihak. Perilaku amoral seharusnya menjatuhkan eksistensi dan popularitas pelaku, bukan malah sebaliknya. Bebasnya Saipul Jamil menjadi keprihatinan pengamat sosial dan masyarakat umum mengenai batasan sikap fanatisme. Kemudian tekanan industri penyiaran atau televisi yang bergantung pada rating penonton sehingga mengabaikan nilai-nilai edukatif dan inspiratif.
Gairah penyambutan Saipul Jamil masih begitu masif disiarkan di berbagai acara. Ada perasaan kangen setelah hampir 5 tahun tidak disuguhi tingkah konyol pedangdut kelahiran Serang, Banten ini. Beberapa tokoh mulai angkat bicara dan petisi boikot artis cabul semakin bertambah, namun belum ada tindakan nyata dari KPI atau instansi terkait untuk memblokir kehadiran Saipul Jamil di televisi.
Baca Juga : Pernikahan Atta-Aurel : Pelestarian Budaya Pamer
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
KPI mempunyai visi terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Meskipun dalam prakteknya banyak menimbulkan kontroversi seperti kebijakan sensor segala hal yang dianggap mengandung unsur pornografi, batasan penggunaan diksi kata yang dianggap tidak senonoh, hingga batasan jam acara yang menjurus pada konten dewasa.
Apapun itu, Indonesia masih butuh KPI sebagai filter acara yang mengedepankan sisi moralitas dan edukasi bagi masyarakat. Dasar konstitusi menghendaki tercapainya bangsa yang cerdas dan bermartabat. Jangan sampai liberalisasi penyiaran berdampak pada kehancuran moral bangsa.
Di sisi lain, KPI juga butuh refleksi tentang indikator moralitas dan edukasi. Jangan menjadi instansi yang gagap ketika ada pelaporan untuk segera diambil tindakan. Butuh analisis yang komprehensif dari seluruh elemen masyarakat. Sehingga aspek keadilan juga dijadikan pertimbangan selain pelayanan terhadap keluhan pelanggan.
Selanjutnya adalah kasus Saipul Jamil yang lantang disuarakan di media sosial. Perlu ada diskusi matang dan segera agar dampak yang ditimbulkan atas kemunculan Saipul Jamil di televisi tidak semakin masif. Menariknya, kasus pencabulan Saipul Jamil juga menjadi isu hangat di instansi internal KPI. Seakan “berjodoh”, sehari sebelum pembebasan Saipul Jamil, korban yang didampingi komisioner KPI melapor kasus pelecehan dan perundungan ke Polres Jakarta Pusat. Sebelumnya korban berinisial MS menjadi viral lantaran curhat di media sosial mengenai kasus pelecehan dan perundungan di lingkungan KPI.
Belum selesai permasalahan internal, masayarkat semakin gencar mendorong KPI untuk segera mengambil tindakan atas kemunculan Saipul Jamil di berbagai acara televisi swasta.
Baca Juga : Jerinx Hingga Pulau Komodo
Dampak
Industri televisi tentu lebih mementingkan nilai komersial daripada nilai edukasi. Banyak masyarakat yang menantikan banyolan receh Saipul Jamil. Selaras dengan kebutuhan industri, rating meningkat berbanding lurus dengan pendapatan sponsor dan lain-lain. Apalagi lingkaran dekat (sesama artis) ikut andil menjembatani eksistensi mantan napi di panggung hiburan.
KPI adalah harapan membendung euforia kebebasan pelaku tindak asusila. Selain mempunyai kewenangan, KPI juga harus bisa menampilkan sosok orang tua penyiaran yang bersikap adil dan amanah menjaga moral bangsa. Televisi seharusnya memperhatikan 3 fungsi utama, yakni fungsi informasi, fungsi pendidikan, dan fungsi hiburan.
Sedangkan dalam undang-undang penyiaran nomor 24 tahun 1997, bab II pasal 4 menyebutkan bahwa penyiaran bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, dan membangun masyarakat adil dan makmur.
Tayangan televisi memberi dampak negatif bagi anak karena keterbatasan daya nalar, pola pikir egosentris, daya fantasi yang besar, ketidakmampuan membedakan antara khayalan dan kenyataan ditambah kurangnya penjelasan yang rasional. Televisi kerap menyuguhkan tontonan pada anak dengan hal-hal baru yang tidak kontekstual secara budaya.
Semakin dibiarkannya Saipul Jamil tampil di acara televisi akan berdampak pada rusaknya moral bangsa. Persepsi bahwa pelaku asusila masih diterima di masyarakat, bahkan di panggung televisi jangkauan nasional. Apalagi perayaan penyambutan kebebasan yang berpotensi terhadap kesenjangan perilaku sosial jika dibandingkan dengan atlet emas olimpiade atau sejenisnya.
Pedofil adalah kejahatan kemanusiaan. Berakhirnya norma hukum bukan berarti menyelesaiakan norma lain (kesusilaan dan kesopanan). Harus siap menanggung risiko dikucilkan, dihina, hingga perasaan bersalah. Jika KPI tidak punya kekuatan untuk membendung predator seksual tampil di televisi, biarkan masyarakat bersatu memboikot acara televisi yang nekat menayangkan sosok Saipul Jamil.
Setidaknya sedikit berempati terhadap korban podofil dari Saipul Jamil, bagaimana perasaannya melihat pelaku asusila terhadapnya tertawa lepas di layar televisi.
Pernah dimuat Rahma.id
0 comments: