CATEGORIES

  Dalam agama Islam, manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan dalam kebenaran. Sementara ego manusia kerap memaksakan k...

Habituasi Dogma Kebudayaan

 

Habituasi Dogma Kebudayaan

Dalam agama Islam, manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan dalam kebenaran. Sementara ego manusia kerap memaksakan keyakinan terhadap sesuatu yang dianggap benar kepada orang lain. Budaya tersebut berpengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat yang mudah berkonflik untuk saling menyalahkan atau merendahkan yang lain.

Pembiasaan terhadap pemaksaan kehendak mengabaikan nilai moralitas. Budaya bangsa tidak lagi dibangun atas aspek kemanusiaan tentang makna kebermanfaatan selain keuntungan pada diri dan kelompok sendiri. Degradasi moralitas kemudian difasilitasi media sosial yang berpotensi pada sikap ketersinggungan dari orang lain.

Kasus sara, penyebaran hoaks, dan perundungan digital menjadi bahan utama manusia berlomba untuk mengalahkan satu sama lain. Perkawanan (persaudaraan) dikontradiksikan dengan perlawanan. Berbeda pandangan atau ideologi kelompoknya, berarti musuh. Sementara keyakinan terhadap keyakinan dilandaskan pada dogma yang dipengaruhi oleh sikap tokoh idola, lingkungan, dan referensi informasi.

Dogma tentang keyakinan akan kebenaran dipupuk dari proposisi informasi dari orang lain yang dianggap standarisasi kebenaran. Keyakinan tersebut kemudian menjadikan kebiasaan yang ketika disalahkan akan melawan. Sehingga konflik bukan didasari atas perebutan kebenaran, melainkan mempertentangkan keyakinan.

Keyakinan itu muncul dari budaya di lingkungan yang menyepakati kebenaran. Bahkan tanpa mengetahui esensi dari habituasi budaya yang diyakini. Keyakinan terhadap kebenaran yang tidak dilandasi pada argumentasi yang kuat. Selain itu, keyakinan juga ditemukan atas dasar otoritas tokoh, kelompok, atau ideologi. Ada juga keyakinan akan kebenaran yang berasal dari pengalaman diri. Pencarian kebenaran dari jalur intuisi. Terakhir pencarian kebenaran melalui jalur sains yang diteliti berdasarkan metode ilmiah.

Kasus amoral di media sosial yang melibatkan ibu negara menjadi tamparan nilai kebudayaan yang diusung bangsa. Sebelumnya, pelecehan dan penghinaan terhadap presiden, politikus, ulama, dan artis cukup berpengaruh terhadap persepsi keyakinan terhadap nilai yang dipegang. Guncangan asosial untuk berlindung di balik tirai demokrasi (kebebasan).

Selanjutnya berbagai kasus viral tentang perundungan yang melibatkan pelajar. Dilematis hukum tentang perilaku kriminal anak di bawah umur menyadarkan masalah fundamental habituasi kebudayaan sejak kecil. Dogma tentang parameter moralitas dan keyakinan yang dipengaruhi oleh lingkungan melecut mental amoral masyarakat.

Nilai-nilai luhur budaya dikikis oleh pengaruh budaya asing dan konsep liberalisme yang menghendaki kebebasan manusia tanpa hukum dan aturan yang mengikat. Dorongan informasi di media digital juga menguatkan dogma terhadap argumentasi kebenaran yang diyakini. Konflik dijadikan strategi membuktikan kebenaran yang di antaranya diaktualisasikan melalui perilaku kekerasan.

Namun banyak masyarakat yang tidak menyadari kebenaran yang sedang diyakininya. Menghibahkan permasalahan kepada orang lain tanpa sudi disalahkan atau dituduh keliru. Persaudaraan hanya terjadi di lingkup kelompok yang sesuai dengan proposisi kebenaran yang diyakini. Sementara orang atau kelompok yang berseberangan akan dimusuhi dan dilawan dengan menghalalkan berbagai cara.

Dogma tentang kebenaran mudah diciptakan ketika keresahan dan cita-cita yang dituju sama. Atas dasar persaudaraan, dogma menular lebih luas di ruang publik dan membangun kebiasaan dalam meyakini sesuatu. Dogma tersebut kemudian diaktualisasikan dengan sikap amoral di media maya maupun nyata. Membudaya dan menciptakan konflik permanen.

Manusia post-modern susah menemukan sumber kebenaran dari pengalaman selain menyandarkan pada dogma orang lain. Mudah terepngaruh dan mengikuti arus kebenaran yang lain. Padahal setiap orang punya kualitas dan parameter kebenaran sendiri. Namun seringkali malas menemukan kebenaran dan memilih meyakini kebenaran dari persepsi lain di luar dirinya.

Kebudayaan dibangun atas dasar kebiasaan masyarakat dalam meyakini sebuah nilai. Sementara media sosial berperan menciptakan kebudayaan baru menularkan dogma yang kadang tidak relevan dengan moralitas budaya sebelumnya. Implikasinya adalah menurunya nilai moral dan lunturnya norma sosial. Konflik sengaja diciptakan untuk menambah gairah masyarakat dalam menilai sesuatu.

Pemerintah yang punya peran menciptakan suasana kondusif di masyarakat malah sering terlibat dalam narasi konflik dengan perkataan, sikap, dan kebijakan yang berpotensi mengarah pada ketidakadilan. Sementara media berperan mengembangkan isu dan menyebarluaskan sebagai kesatuan dari pembangunan perubahan kebudayaan yang amoral.

Bukan hanya perkara politik, agama juga punya sumbangsih dalam pembangunan kebudayaan. Perbedaan tidak dipandang sebagai khasanah keilmuan, namun menjadi sumber konflik mencederai yang lain. Tidak menerima dan memaksakan keyakinan akan kebenaran kepada orang atau kelompok yang lain. Sehingga agama terkesan sebagai alat untuk melegalkan konflik dan kekerasan.

Sedangkan ulama yang punya peran sentral mengajarkan dogma kebaikan, beberapa di antaranya malah mengajarkan fanatisme untuk menyalahkan yang lain. Budaya purifikasi agama yang coba diterapkan memicu pertentangan ideologi yang bermuara pada permusuhan. Tidak ada lagi nasihat berlomba-lomba dalam kebaikan, selain berlomba-lomba saling mengalahkan.

Menjadi pekerjaan rumah yang besar mengikis sikap amoral masyarakat yang sudah terjadi sejak dini. Pelajar yang semestinya mendapatkan pendidikan moral malah melakukan tindakan amoral berupa perundungan dan kriminalitas. Menyalahkan media sosial sebagai sarana penyebaran informasi hanyalah dalih ketidakmampuan negara mengontrol budaya masyarakat.***

0 comments: