Degradasi kualitas kesenian saya rasakan sebagai pelaku seni, khususnya teater. Di banyak pertunjukan di Surakarta dan Yogyakarta, ada penurunan standar pementasan dari waktu ke waktu. Padahal, seharusnya semakin banyak pertunjukan seni akan meningkatkan daya kreativitas pelaku seni dalam segi keaktoran dan penggarapan. Bahkan beberapa update pertunjukan teater di YouTube juga mengalami masalah serupa.
Namun penilaian saya bisa dibilang subjektif ketika penikmat awam teater menganggap keren pada salah satu pertunjukan yang saya anggap jelek. Bahwa standar penilaian kesenian bisa saja mengalami peningkatan seiringi kuantitas pertunjukan yang pernah disaksikan. Itulah yang kerap dijadikan dalih berkesenian dengan ngawur.
Namun alasan saya selaras dengan sepinya kehadiran tokoh teaterawan nasional. Pertunjukan masih didominasi dengan naskah-naskah lawas seperti naskah karya Arifin C Noer, Putu Wijaya, N. Riantiarno, hingga WS Rendra. Sementara kegiatan sayembara penulisan naskah teater yang diinisiasi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) masih kurang populer dan minim publikasi.
Sikap sinis terhadap penulis muda bisa dimaklumi ketika produksi naskah cenderung ngawur dan miskin kreativitas. Naskah hanya menojolkan dialog komedi tanpa alur dan pesan yang jelas. Berbeda dengan penulis naskah lama yang memasukan unsur situasi komedi dengan mengajak penonton berpikir bahwa secara kontekstual adegan yang disajikan begitu lucu dan menarik.
Beberapa naskah baru yang saya baca tidak menyajikan dramatugi yang kerap diabaikan demi euforia pertunjukan yang ngawur. Seni bukan perkara kebebasan, tapi tentang kepekaan dan kreaktivitas menyampaikan pesan kepada penonton. Pelaku seni harus punya tanggung jawab menghargai penonton yang sudah mengorbankan waktu dan uang untuk melihat sebuah pertunjukan.
Ketika saya mengikuti kelas pelatihan menulis drama dengan Garin Nugroho tiga tahun lalu, naskah harus bisa memuat nilai-nilai moral dan sosial yang relevan dengan penonton (masyarakat). Kebiasaan menggarap naskah lama tentu menghadirkan interpretasi yang sumbang dengan keadaan saat ini seperti naskah Marsinah Menggugat, Pedati dalam Kubangan, Orde Tabung, hingga Rumah Sakit Jiwa.
Baca Juga : Inovasi Pandemi Pentas Teater
Estetika
Kegagapan mengejawantahkan nilai estetik pada karya seni mereduksi esensi kesenian. Tidak ada indikator menilai sebuah karya seni. Kesenian ngawur tetap bisa dinilai keindahannya berdasarkan sudut pandang masing-masing orang. Takutnya, menurunnya kualitas kesenian berdampak pada apresiasi penikmat seni yang lebih memilih karya seni asing (luar negeri).
Pelaku seni melupakan aspek karya seni harus konsisten memuat nilai logika (benar dan salah), etika (baik dan buruk), estetika (indah dan jelek). Saat ini, berkesenian sering melompat ke nilai estetika dan meninggalkan aspek logika dan etika pertunjukan. Plagiat ide dan potongan konsep pertunjukan dilakukan pelaku seni saat buntu dalam proses penggarapan.
Kesenian hanya dijadikan wadah bersenang-senang mengekspresikan diri. Tidak ada lagi tanggung jawab moral, apalagi usaha melampaui kualitas karya seni sebelumnya. Kelompok teater juga hanya mementingkan eksistensi (rutinitas pertunjukan) dengan proses yang seadanya. Ada kesenjangan antara pemikiran konsepsional dalam lingkup akademik dengan pemikiran seni yang hidup di dalam diri para seniman tradisional.
Pertunjukan seni tidak lagi ideal ketika idealis praktisi seni berbenturan dengan parameter seniman dari kalangan akademisi. Minimnya ruang kritik seni menjadikan kesenian ngawur masih menjamur di panggung-panggung. Menurut Abrahams (1953) ada empat komponen dasar berpikir melakukan kritik seni, yaitu universe (kesemestaan), works (karya-karya seni), artist (seniman), dan audience (penikmat/ penonton).
Perlu kesadaran dari pelaku seni bahwa setiap hasil karya seni harus siap dengan kritik. Bukan berdalih atas nama kebebasan berkekspresi. Seni punya relasi dengan ruang dan penonton sebagai kesatuan pertunjukan. Estetika tidak bisa diukur dari intensitas guyonan saat berdialog dan beradegan. Setiap pertunjukan seni harus mampu menawarkan sesuatu yang baru dan memuat pesan logis.
Dari teater bisa menggambarkan fenomena kesenian lain seperti tari, musik, hingga lukis. Realitanya, Indonesia krisis pelaku dan kritikus seni yang kredibel. Kesenian domestik diambang keruntuhan ketika acuan berkarya masih dibayang-bayangi kejayaan seni periode kebangkitan hingga teater mutakhir (1940-an hingga 1980-an).
Pada masa transisi, kesenian di Indonesia mengalami problem pelik meninggalkan kesenian tradisi dan memilih teater modern dengan warna pertunjukan yang baru. Sejak saat itu teater tradisi yang memuat nilai dan norma bangsa jarang mendapatkan panggung. Namun ketika sebaran kesenian kontemporer yang banyak dipengaruhi kesenian barat malah menyebabkan pelaku seni malas memasukan amanat pertunjukan.
Penikmat seni kerap kecewa dengan sajian kesenian ngawur. Niat belajar kesenian dari pengalaman menonton pertunjukan malah diberikan referensi pertunjukan yang asal-asalan. Estetika bukan hanya tentang nilai keindahan dari satu pihak (pelaku teater), melainkan harus bisa memberikan kesan yang sama secara komunal.***
0 comments: