CATEGORIES

Showing posts with label kesehatan. Show all posts

  Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin mendorong MUI untuk menerbitkan fatwa ganja medis. Mahkamah Konstitusi (MK) akan melakukan uji materi y...

 

legalisasi ganja

Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin mendorong MUI untuk menerbitkan fatwa ganja medis. Mahkamah Konstitusi (MK) akan melakukan uji materi yang diajukannya atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya Thailand menjadi negara ASEAN pertama yang melegalkan ganja untuk konsumsi minuman dan makanan.

Meski demikian, legalisasi ganja medis punya batasan penggunaan agar tidak disalahgunakan. Ganja merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai manfaat untuk mengobati penyakit seperti alzheimer, sklerosis lateral amiotrofik (ALS), HIV-AIDS, penyakit crohn, epilepsi dan kejang, glaukoma, multiple sclerosis dan kejang otot, sakit parah dan kronis, mual atau muntah parah yang disebabkan oleh pengobatan kanker (sumber: Mayoclinic).

Dua tahun yang lalu, pemerintah memutuskan untuk mencabut Kepmentan RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang di dalamnya menyebutkan ganja sebagai tanaman obat binaan Dirjen Hortikultura. Pencabutan tersebut dilakukan sebab bertentangan dengan Undang-Undang Narkotika yang menyatakan ganja bukanlah tanaman obat.

Pada dasarnya tumbuh-tumbuhan atau produk nabati yang ada di bumi itu halal dan boleh dikonsumsi. “Dan Dia (Allah) telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. 45: 13)

Ganja merupakan obat yang bersifat simtomatik, bukan bersifat menyembuhkan. Lebih kepada keingingan untuk menikmati halusinasi yang disebut psikoaktif untuk mempengaruhi kejiwaan seseorang. Ganja mengandung unsur psikotropika  tetrahidrokanabinol (THC) yang dapat menyebabkan perubahan pada aktivitas dan mental seseorang.

Dari sisi medis, ganja dapat mengakibatkan kerusakan otak, penyakit paru-paru, gangguan pada sistem peredaran darah, ganguan mental, dan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Gaanja bisa memicu efek samping berupa perasaan paranoid, mual, hingga gangguan persepsi.

Meskipun begitu, ganja memiliki manfaat secara medis. Ganja dapat digunakan untuk mengatasi dan mencegah mata dari glaukoma. Selain itu juga bisa mencegah kejang karena epilepsi, mematikan beberapa sel kanker, mengurangi nyeri kronis, mengatasi masalah kejiwaan, hingga memperlambat perkembangan alzheimer. Demikian yang menjadikan beberapa negara kemudian mencabut larangan peredaran ganja.

Dari segi agama, secara nash tidak ada ketetapan atau larangan penggunaan daun ganja. Konsumsi ganja nyatanya masih banyak digunakan untuk bumbu masak tradisional. Misalkan Aceh yang dikenal sebagai penghasil ganja terbesar di Indonesia. Label haram penggunaan ganja terletak pada kuantitas ganja yang dikonsumsi. Boleh jika takarannya sesuai (sedikit), haram jika berlebihan.

Di Indonesia, ganja memiliki potensi besar secara ekonomi. Optimalisasi ganja tidak hanya digunakan untuk kepentingan medis, namun juga menjadi alternatif sumber pendapatan negara. Pada tahun 2019, Riset Precedence Research mencatat pasar ganja legal senilai US$ 17,5 miliar dan diperkirakan mencapai US$ 65,1 miliar atau hampir 1.000 triliun pada tahun 2027.

 
Baca Juga : Kemerdekaan Sains

Risiko

Legalisasi ganja terhalang oleh persepsi masyarakat yang masih tabu mengonsumsi ganja. Apalagi jika tanpa pendampingan, ganja dapat menyebabkan banyak penyakit. Indonesia yang mayoritas beragama Islam mengharapkan ada fatwa tegas dari MUI mengenai legalisasi ganja, minimal untuk keperluan medis.

Melegalkan rokok dan melarang ganja adalah ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah menjalankan amanah konstitusi untuk menjamin kesehatan dan keselamatan warga negara. Keduanya sama-sama menyebabkan kecanduan atau ketagihan. Secara medis juga sama-sama membahayakan bagi diri sendiri. Tapi ada diskriminasi peredaran di antara keduanya. Fatwa agama hanya menilai secara preventif konsumsi barang yang dianggap membahayakan tubuh.

Padahal ganja malah punya manfaat dari segi hukum, kesehatan dan ekonomi. Secara hukum legalisasi ganja jika diterapkan di Indonesia akan melonggarkan beban penjara menampung pengguna dan pengedar ganja. Benturan kepentingan politik, kesehatan, dan agama tidak akan pernah menemukan titik terang jika masih kolot terhadap kepentingan masing-masing daripada utnuk kemaslahatan umat dan negara.

Misalpun ganja dilarang dengan alasan kekhawatiran konsumsi tanpa arahan medis, produksi ganja seharusnya dipertimbangkan sebagai potensi pendapatan negara dengan mengekspor ke negara-negara yang membutuhkan. Sedangkan penegak hukum malah sering terlibat pemusnahan tanaman ganja di berbagai daerah.

BNN terus meningkatkan strategi hard power approach atau pemberantasan jaringan sindikat narkoba di berbagai wilayah. Tahun kemarin, Tim penyelidikan Direktorat Narkotika Deputi Pemberantasan BNN berhasil memusnahkan 2 hektar ladang ganja, dengan jumlah tanaman sebanyak ± 20.000 pohon, berat tanaman basah ± 15 ton. pada ketinggian 424 mdpl dengan luas 1 hektar, dan pada ketinggian 835 mdpl dengan luas yang sama, yakini 1 hektar.

Indonesia diberkahi lahan yang subur untuk berbagai komoditas pertanian, termasuk tembakau dan ganja. Secara internasional, ganja masih dilarang peredarannya. Namun kemajuan ilmu sains di bidang kesehatan membuktikan bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan mempunyai manfaat. Pemerintah harus jeli melihat peluang dan potensi pasar ganja global. Selain dapat membantu kesejahteraan petani ganja, negara juga bisa mendapatkan banyak keuntungan dari ekspor ganja.

Meskipun demikian, butuh pengawas yang punya kompetensi untuk mengatur peredaran dan ekspor ganja jika nanti dilegalkan. Jangan sampai perdaran ganja malah dijadikan gaya hidup yang berpotensi merusak masa depan generasi muda. Tentu segala sesuatu punya risiko. Sebab yang berlebihan akan selalu menyebabkan kekecewaan.

  Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalu...

 

Keselamatan dan kesehatan kerja

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Dalam implementasinya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2021 tentang penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.

Namun program ini kurang begitu familiar di kalangan pengusaha dan pekerja, sehingga banyak kasus kecelakaan kerja yang tidak terdata dan teratasi dengan baik. Dampaknya kasus kecelakaan kerja masih sering terjadi di lingkungan kerja. Kurangnya sosialisasi tentang K3 juga memaksa pekerja kurang mendapatkan perlindungan atas jaminan keselamatan dan kesehatan saat bekerja. Pekerja hanya menjalankan kewajiban tanpa menuntut hak sebab ketidaktahuan program K3.

Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2020, terdapat 225 ribu kasus kecelakaan kerja dan 53 kasus penyakit akibat kerja. Kurangnya identifikasi potensi bahaya dan analisis risiko kecelakaan kerja perlu mendapat perhatian serius dari pemangku kebijakan dan perusahaan. Pada kelompok usia rentang 20 sampai 25 tahun adalah mayoritas pekerja yang sering mengalami kecelakaan kerja.

K3 merupakan hak pekerja, selain upah dan jaminan sosial. Namun realitanya, banyak pekerja yang sama sekali tidak tahu (bahkan belum mendengar) program K3. Perusahaan seakan juga menutup diri dengan tidak aktif menyosialisasikan kepada pekerja karena dirasa menambah beban anggaran perusahaan. Tentu kehadiran pemerintah dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan tentang manajemen K3.

 
Baca Juga : Bagaimana Jika Vaksinasi Corona Gagal?

Era Digital

Transformasi dunia digital menjadi tantangan baru program K3 yang berpotensi lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Industri 4.0 menuju 5.0 menunjukan kedinamisan pekerja yang tidak terikat ruang dan waktu. Budaya kerja di rumah (work from home) dan pemanfaatan tenaga kerja paruh waktu (freelance) membuat pengawasan seputar K3 menjadi terbatas.

Perusahaan juga akan mudah melempar tanggung jawab sebab kecelakaan kerja tidak terjadi di lingkungan kerja (perusahaan). Pekerja dituntut memberikan sistem keselamatan dan kesehatan sendiri. Perusahaan merasa sudah bertanggung jawab dengan pengadaan BPJS sebagai tameng terhindar dari sikap penelantaran kesehatan pekerja.

Namun manfaat dunia digital mampu mengurangi pekerja kasar sebab keberadaan teknologi yang dianggap lebih efektif dan efisien dalam bekerja. Pekerja lebih banyak berkutat pada aspek pemasaran (promosi dan jualan) secara daring. Digitalisasi pekerjaan memotong generasi tua sebab tidak dibutuhkannya pengalaman. Semua generasi belajar dari nol tentang pemanfaatan ruang digital dan kemajuan pesat teknologi.

Digitalisasi dan otomatisasi teknologi juga berdampak pada hilangnya banyak jenis pekerjaan yang bisa digantikan sistem atau robot yang kemudian memunculkan jenis-jenis pekerjaan baru. Manajemen K3 harus adaptif menyesuaikan perkembangan dunia digital dengan tetap melibatkan pengusaha sebagai penanggung jawab utama. Strategi pengendalian K3 harus lebih efektif, efisien, dan inovatif mengikuti perkembangan teknologi.

Selain menggenjot kemampuan memanfaatkan dunia digital oleh pekerja, pemerintah juga harus sigap bertransformasi menyusun program yang seimbang. K3 harus dijadikan isu nasional untuk membuka mata pekerja digital tentang hak keselamatan dan kesehatan mereka.

 

Baca Juga : Manusia Butuh Predator

Solusi K3 dunia digital

Hingga saat ini, masih banyak pekerja yang mengalami kecelakaan namun nihil pelaporan. Kurangnya pengawasan perusahaan, investigasi kecelakaan, pengelolaan inventaris, dan pengendalian risiko menyebabkan kecelakaan sering terjadi bahkan menyebabkan kecacatan dan kematian.

Selain itu, ketidakmampuan dan ketidakmauan perusahaan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) juga menjadi masalah pada sistem manajemen K3. Akhirnya kecelakaan kerja dijadikan pemakluman yang juga disetujui oleh pekerja sebagai bagian dari risiko kerja.

Alasan selanjutnya adalah sikap terburu-buru atau tergesa-gesa dalam menyelesaiakan pekerjaan. Hal ini dijadikan tuntuan perusahaan untuk dapat mengimbangi kecepatan kemajuan teknologi dan digital. Pekerja yang tidak siap dengan kerja cepat dan tepat akan tereliminasi (PHK) atau digantikan sistem teknologi yang mempunyai akurasi kesalahan lebih kecil.

Akhirnya keselamatan dan kesehatan kerja tereduksi dengan laju perkembangan digital. Bahkan hingga saat ini kurang dari 15% perusahaan yang mampu bertransformasi ke dunia digital. Selebihnya hanya berusaha bertahan dari gempuran pandemi dan penjajahan industri digital. Tantangan K3 bukan hanya bagi pekerja, namun juga perusahaan yang berpikir untuk bisa mengembangkan usaha yang berdaya saing.

Ketika perusahaan hanya berorientasi pada keuntungan, maka keselamatan dan kesehatan pekerja akan dikesampingkan. Perlu peran pemerintah untuk menjadi jembatan manajemen K3 agar tetap bisa diaplikasikan dengan baik di era digitalisasi teknologi. Perusahaan yang mengabaikan sistem K3 juga perlu mendapat teguran dan sanksi jika tidak mengindahkan program K3 dengan baik.

Namun yang paling fundamental dari pelaksanaan K3 adalah sosialisasi program ke perusahaan dan pekerja secara masif. Sebab seperti pengantar sebelumnya, masih banyak pekerja (dan mungkin pengusaha) yang tidak tahu dan paham tentang aturan K3. Bekerja hanya dianggap usaha mencari uang tanpa mempertimbangkan keselamatan dan kesehatan.

  Diawali dari pesta dansa di Klub Paloma & Amigos, Jakarta, seorang warga Jepang yang menetap di Malaysia memulai kisah bencana Covid-1...

 mencegah tidak lebih baik


Diawali dari pesta dansa di Klub Paloma & Amigos, Jakarta, seorang warga Jepang yang menetap di Malaysia memulai kisah bencana Covid-19 di Indonesia dengan 2 orang dari Depok sebagai pasien pertama dan kedua yang terkonfirmasi positif. Masih teringat ketika Menteri Kesehatan sebelumnya, Terawan Agus Putranto memberikan pernyataan bahwa flu lebih berbahaya ketimbang virus corona.

Anggapan remeh terhadap Covid-19 nyatanya malah menjadi bencana nasional dengan korban ratusan ribu jiwa. Belum lagi dampak terhadap ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang terpaksa harus berpuasa (prihatin) terhadap kondisi yang mengharuskan untuk membatasi mobilitas dan aktivitas ekonomi.

Selanjutnya menurut Satgas Penanganan Covid-19, gelombang kedua terjadi karena beberapa faktor antara lain, masyarakat sudah mulai lelah dan abai terhadap protokol kesehatan, sudah mulai dibukanya tempat umum (tempat makan dan wisata) tanpa adanya pembatasan, sudah diizinkannya masyarakat melakukan perjalanan (antarwilayah atau antarnegara), merasa sudah aman setelah divaksinasi, terlalu fokus pada pemulihan ekonomi dibandingkan kesehatan, dan tidak waspada saat beraktivitas.

Untuk kasus perjalanan antarnegara, pemerintah berdalih memikirkan nasib para warga negara Indonesia (WNI) yang ingin pulang ke Indonesia. Penutupan penerbangan asing harus memikirkan aspek hubungan luar negeri, perdagangan, ekonomi, dan sebagainya. Sedangkan untuk petunjuk teknis syarat perjalanan di masa PPKM darurat untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 disusun dengan mengacu pada SE Satgas Covid-19 Nomor 14 Tahun 2021.

Indonesia memiliki 30 bandara internasional yang tercatat dalam website Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menginstruksikan selama pandemi Covid-19, perjalanan internasional harus selalu diprioritaskan untuk sejumlah sektor, di antaranya keadaan darurat dan tindakan kemanusiaan serta perjalanan esensial atau tidak tergantikan. Demikian pula pemulangan warga negara dan transportasi kargo untuk persediaan penting seperti makanan obat-obatan dan bahan bakar. WHO mewanti-wanti bahwa pelaku perjalanan internasional tidak boleh dianggap sebagai tersangka utama penyebar Covid-19.

Covid-19 merupakan wabah impor yang dibawa manusia dari luar negeri. Bukan hanya penerbangan, tetapi gerbang penumpang internasional baik itu udara, laut, maupun darat, karena kan darat juga banyak. Kita sudah punya pengalaman ketika pertama kali Covid-19 masuk ke Indonesia. Meskipun Covid-19 sudah mengganas di Cina, pemerintah juga tidak segera menutup penerbangan dari Cina.

Sejumlah varian baru virus Corona berasal dari luar negeri, seperti India, Inggris, Afrika Selatan, dan Kolombia. Menurutnya, PPKM darurat tidak akan maksimal bila yang dibatasi hanya pergerakan warga dalam negeri sedangkan arus tranportasi luar negeri masih kecolongan masuk ke Indonesia.

 
Baca Juga : Mengibarkan Bendera Setengah Tiang

Gelombang Ketiga

Optimisme mananggulangi krisis pandemi memunculkan semangat baru dalam membangkitkan ekonomi nasional. Apalagi pernyataan kekaguman dunia internasional terhadap proses pananganan pandemi. Tidak seperti di India, Indonesia berhasil meredam pengingkatan kasus Covid-19 dengan metode sosialisasi protokol kesehatan dan kebijakan PPKM untuk mengurangi mobilisasi masyarakat. Terbukti, tanpa memperparah kehancuran ekonomi nasional, PPKM berhasil mencapai titik ekuilibrium antara kesehatan dan ekonomi.

Namun sikap optimisme terhadap kehidupan normal tanpa bayang-bayang penyebaran Covid-19 bisa menjadi bumerang ketika pemerintah dan masyarakat lengah menerapakan kebijakan dan protokol kesehatan. Perlu diingat, epidemiolog memprediksi bahwa penyebaran Covid-19 tidak akan pernah berakhir. Semua orang akan tertular setidaknya sekali seumur hidup. Beruntung bagi yang bisa bertahan, sebaliknya menjadi duka bagi mereka yang tidak mempunyai imunitas tubuh untuk melawan virus.

Itulah alasan pemerintah gencar melakukan vaksinasi sebagai amanah konstitusi terhadap kesehatan warga negara. Selain sebagai bentuk pencegahan, vaksinasi juga menjadi harapan menciptakan kekebalan komunal untuk mencapai kondisi kehidupan yang normal dan ideal.

Menunggu capaian target vaksinasi nasional, Indonesia kembali dihadapkan pada ancaman gelombang ketiga Covid-19 varian Mu. Negara-negara seperti China, Singapura tengah menghadapi pandemi Covid-19 gelombang ketiga. Di Indonesia diprediksi baru akan terjadi pada Desember 2021 karena mayoritas masyarakat Indonesia masih belum mempunyai imunitas untuk melawan virus atau tingkat vaksinasi yang masih cukup rendah. Hingga akhir September, jumlah vaksinasi nasional belum mencapai 40 persen dari target 80 persen penduduk Indonesia.

Belajar dari pengalaman gelombang pertama dan kedua, seharusnya pemerintah mulai melakukan tindakan dini pencegahan terhadap keganasan Covid-19 varian Mu yang dianggap kebal terhadap vaksin. Konsekuensinya adalah mengorbankan kepentingan ekonomi untuk menyelamatkan banyak warga yang belum divaksin atau tingkat kekebalan tubuhnya lemah.

Berdasarkan analisis penyebaran Covid-19 gelombang pertama dan kedua, arus transportasi internasional dianggap sebaga faktor utama ganasnya penyebaran virus di Indonesia. Berdasarkan JHU CSSE COVID-19 Data, hingga akhir September, Indonesia sudah kehilangan lebih dari 141 ribu nyawa karena Covid-19 dengan jumlah kasus mencapai 4,2 juta jiwa.

Pengorbanan terhadap kebijakan PPKM dengan mengurangi mobilitas dan aktivitas ekonomi harus diimbangi dengan pengorbanan pemerintah terhadap sektor tertentu, salah satunya moda transportasi internasional. Jangan mengulangi keteledoran pada masa gelombang pertama dan kedua yang menyebabkan jatuhnya korban meninggal dan bertambah pesatnya kemiskinan nasional.

Kelengahan pemerintah menerima keluar-masuk warga asing ke Indonesia kerap menjadi blunder karena menciptakan gelombang baru dengan varian yang lebih ganas. Namun kebiasaan eman-eman kalau harus mengorbankan sektor penerbangan atau moda transportasi lain yang mengangkut warga asing masuk ke Indonesia malah berdampak lebih besar terhadap kerugian negara dan masyarakat pada umumnya.

Kebijakan menghentikan penerbangan ke luar dan ke dalam negeri diambil setelah gelombang Covid-19 sudah diidentifikasi. Pencegahan dianggap tidak begitu efektif mengakhiri krisis pandemi. Lebih suka menanggulangi kasus setelah terjadi banyak korban dengan penerapan kebijakan PPKM yang nyatanya sedikit-banyak menghancurkan UMKM masyarakat.

Surutnya gelombang kedua Covid-19 perlu disyukuri sebagai ikhtiar bersama (pemerintah dan rakyat), namun lebih disyukuri lagi jika pemerintah sejak dini mengambil tindak pencegahan masuknya gelombang ketiga Covid-19. Mengorbankan sisi bisnis penerbangan dan kegiatan ekspor-impor untuk kemaslahatan bersama. Bukankah harga seorang nyawa tidak bisa digantikan oleh apapun?

 

Pernah dimuat Giwangkara

https://www.giwangkara.com/opini/pr-851620285/mencegah-tidak-lebih-baik?page=all 

Maraknya peredaran rokok ilegal di tengah masyarakat, pemerintah mengusulkan pemberlakuan kebijakan standarisasi rokok. Peredaran rokok ileg...

rokok sni

Maraknya peredaran rokok ilegal di tengah masyarakat, pemerintah mengusulkan pemberlakuan kebijakan standarisasi rokok. Peredaran rokok ilegal meningkat dipicu kenaikan cukai rokok pada tahun 2020. Sepanjang 2020, kenaikan peredaran rokok ilegal mencapai 4,9 persen. Pegawai Bea Cukai mencatat kasus barang kena cukai ilegal mencapai 9.014 penindakan. Sebanyak 448,18 juta batang rokok atau senilai Rp270,79 miliar batang berhasil diamankan.

Meskipun ada sanksi tertulis dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, namun peredaran rokok ilegal masih sulit dikendalikan pemerintah. Kampanye “Gempur Rokok Ilegal” juga semakin masif digalakan di berbagai kota di Indonesia. Termasuk usulan kebijakan rokok ber-Standar Nasional Indonesia (SNI).

Kalau ditarik ke belakang, isu larangan merokok sudah muncul sejak lama. Rokok mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya. Rokok juga termasuk produk adiktif yang dapat menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya. Tapi kenapa peredaran rokok masih bebas diperjualbelikan di Indonesia?

Eksistensi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kurang terlihat karena hanya terkesan mengawasi dan memberikan rekomendasi atau teguran. Tidak ada sanksi tegas yang terhadap pelanggaran yang dilakukan produsen rokok akibat lemahnya peraturan yang dibuat pemerintah. Seolah produksi rokok dianakemaskan, kebijakan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) hanya ditujukan untuk menurunkan prevalensi perokok, terutama usia anak.

Di sisi lain, ada keuntungan negara yang didapat akibat peredaran rokok di tengah masyarakat. Pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2022, pemerintah memperkirakan pendapatan cukai akan meningkat menjadi Rp203,9 triliun atau sekitar 12 persen dari penerimaan cukai 2021 yang diperkirakan mencapai Rp182,2 triliun.

Tentu ada alasan mendasar kenapa pemerintah tidak tegas menghentikan peredaran rokok. Setidaknya ada 3 aspek yang dipertimbangkan pemerintah seperti pengendalian konsumsi rokok, optimalisasi penerimaan anggaran pendapatan negara, dan keberlangsungan tenaga kerja di industri rokok. Belum lagi risiko yang ditimbulkan karena masih banyaknya masyarakat Indonesia yang sulit menghentikan kebiasaan merokok.

Menaikan harga cukai rokok saja sudah banyak diprotes masyarakat, apalagi meniadakan peredaran rokok. Bagi pecandu rokok akan selalu punya dalih untuk melegalkan aktivitas merokok. Alasan kesehatan hanya dianggap retorika permainan bisnis farmasi dan nokotin di perang pasar global. Apapun itu, negara punya hak untuk konsisten melindungi kesehatan warga negaranya, termasuk dari bahaya merokok.

 

Baca Juga : Rokok Naik, Masyarakat Miskin Tercekik

Paradoksal Kebijakan

Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal, Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merumuskan standar produk hasil pengelolahan tembakau lainnya (HPTL) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Standar Nasional Indonesia (SNI) tersebut tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 63/KEP/BSN/3/2021 tentang Penetapan Standar Nasional Indonesia 8946:2021 Produk Tembakau yang dipanaskan.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, tujuan dari SNI selain memberikan perlindungan terhadap konsumen, juga menjamin perdagangan yang adil dan meningkatkan daya saing. Harapannya, konsumen bisa terlindungi dari dampak risiko akibat produk yang tidak memenuhi standar regulasi.

Namun keputusan tersebut ditentang Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) karena rokok adalah produk substandar yang tak pantas dibuatkan SNI. Instrumen kebijakan untuk melindungi konsumen dari bahaya merokok adalah dengan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok hingga menaikkan cukai rokok yang sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan dan UU Perlindungan konsumen.

Kebijakan SNI pada rokok dengan alasan melindungi konsumen adalah sikap paradoks untuk tujuan politik atau ekonomi tertentu. Secara tidak langsung pemerintah mendukung peredaran rokok dan melindungi konsumen rokok yang jelas-jelas berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan sekitar.

Salah satu misi Direktorat Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal adalah mengembangkan dan memperkuat sistem pengembangan SNI sektor Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal. Unsur halal dalam penerapan SNI rokok patut dipertanyakan dalam kaidah keagamaan.

Melalui Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI ke-III di Sumatera Barat, ditetapkan bahwa merokok hukumnya haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan kegiatan merokok di tempat-tempat umum. Alasan pengharaman karena merokok termasuk perbuatan yang mencelakakan diri sendiri. Meskipun masih banyak perdebatan mengenai hukum merokok di antara ormas besar Islam di Indonesia, namun kecenderungan ulama mengategorikan hukum rokok antara mubah, makruh, dan haram.

Lalu alasan apa yang mendasari untuk “menghalalkan” rokok jika diterbitkan Standar Nasional Indonesia oleh Direktorat Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal yang di dalamnya menaungi analisis kehalalan produk?

 

Pernah dimuat Pedoman Rakyat

https://pedomanrakyat.com/rokok-ber-sni/ 

  Satu setengah tahun sudah Indonesia dihantam pandemi. Kapitalisme gogrok melahirkan jutaan kemiskinan. Pedagang kecil terus membelot dari ...

 perang gaib

Satu setengah tahun sudah Indonesia dihantam pandemi. Kapitalisme gogrok melahirkan jutaan kemiskinan. Pedagang kecil terus membelot dari pantauan polisi agar bisa berjualan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Impian menjadi generasi emas sementara terkubur bersama para jenazah Covid-19. Pemerintah gagap kebijakan, rakyatnya riuh menggunjing.

Ketika para tokoh menggelorakan semangat perlawanan terhadap Covid-19, beberapa sudut daerah sudah mulai mengibarkan bendera putih tanda keputusasaan. Sikap optimisme pemerintah tidak diimbangi dengan aplikasi kebijakan nasional. Sampai bentuk empati menular kepada relawan kemanusiaan yang kecewa dengan penanganan pandemi dari pemerintah.

Untung budaya ekasila (gotong royong) telah terpatri dalam diri masyarakat Indonesia. Meyakinkan bahwa masyarakat bisa hidup tanpa bayang-bayang pemerintahan. Belum lagi skeptisisme pejabat yang korup, mafia kesehatan, hingga ketidakbermoralan politisi menampakkan diri di ruang publik. Keselamatan warga terbantu berkat prinsip kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Kita berulang kali diajak perang melawan pandemi. Tapi sampai sekarang tidak pernah diberikan amunisi. Seruan perang hanya dijadikan ornamen kegagahan berpidato. Sedangkan realisasinya adalah memaksa masyarakat bertiarap di rumah masing-masing sampai kematian datang. Hampir seribu orang meninggal akibat isolasi mandiri (isoman).

Belum selesai masalah kebijakan pemerintah yang penuh kritik, narasi hoaks juga menjadi bumbu kecemasan masyarakat melihat kapan pandemi akan berakhir. Sebagian masyarakat yang membelot (tidak percaya Covid-19) dianggap penghambat penyelesaian pandemi. Sedangkan mereka yang taat hanya bisa melihat data jumlah kasus positif dan kematian yang bertambah setiap harinya.

Mati karena Covid-19 atau mati karena kelarapan adalah pilihan bagi mereka yang terdampak langsung pandemi. Penguasaha bangkrut, buruh dipecat, dan keluarga miskin bertambah. Tidak ada penghasilan selain menunggu kematian. Beruntungnya, masih banyak orang baik di luaran sana yang bersedia memikirkan nasib keluarga miskin yang isoman. Memberikan sembako dan menawarkan bantuan kesehatan jika membutuhkan.

 
Baca Juga : Manusia Butuh Predator

Perang Gaib

Gaib adalah sesuatu yang tidak terlihat oleh mata. Bagi masyarakat awam, Covid-19 hanyalah makhluk gaib yang dipaksa percaya berdasarkan literasi dan data. Virus tersebut dianggap menjadi faktor utama meninggalnya jutaan orang di dunia dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun.

Sedangkan mereka yang kurang literasi mengenai Covid-19 akan kesulitan mendeteksi faktor, gejala, dan dampak dari penyintas. Ansomia dianggap flu biasa. Orang Tanpa Gejala (OTG) tetap wajar melakukan aktivitas. Semacam ada kemustahilan penyintas Covid-19 bisa dideteksi ketika biaya PCR dan antigen cukup mahal bagi masyarakat kalangan bawah.

Berhadapan dengan barang gaib hanya butuh kepercayaan seperti keimanan seseorang terhadap konsep beragama. Perang melawan Covid-19 tidak semudah perang melawan penjajah yang bisa dikalahkan dengan “bambu runcing”. Namun ada satu pelajaran mengenai perang mempertahankan kedaulatan bangsa, bahwa siapapun musuhnya harus dilawan, barang gaib pun sekalian.

Masyarakat Indonesia bukan manusia lemah yang menyerah sebelum berperang. Mengibarkan bendera putih adalah bentuk kepengecutan jiwa nasionalis warga negara. Covid-19 harus dihadapi bersama dengan semangat gotong royong. Saling membantu satu sama yang lain. Mengurangi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Menjadi warga yang patuh sampai perang benar-benar dimenangkan.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merefleksikan diri tentang ketidaktahuan terhadap banyak hal. Covid-19 merupakan ranah sains-kesehatan yang sekarang dijadikan garda terdepan melawan pandemi. Sedangkan kita yang jauh dari pengetahuan mengenai virus hanya butuh patuh aba-aba dari mereka yang punya kompetensi terhadap musuh gaib (Covid-19) tersebut.

Budaya Indonesia tidak mengenal masyarakat yang pembangkang. Mereka patuh, taat, dan sopan terhadap perintah. Namun ketika ada penyelewangan, masyarakat Indonesia juga akan berubah menjadi garang. Perang 10 November, Bandung Lautan Api, Puputan Margarana, dan lain-lain adalah bentuk rela mati masyarakat mempertahankan tanah airnya.

 
Baca Juga : Program Vaksinasi Covid-19, Belajar dari Pandemi Cacar

Menciptakan Ekuilibrium Nasional

Pandemi yang sulit diprediksi kapan berakhirnya menciptakan spekulasi hancurnya ekonomi negara. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 sudah mencapai 27,54 juta orang. Data pengangguran di Indonesia juga bertambah 1,82 juta sejak Februari 2020 hingga Februari 2021. Kompleksitas masalah bangsa Indonesia ternyata bukan hanya tentang penanganan kesehatan masyarakat.

Ada faktor ekonomi yang dijadikan sektor fundamental kemandirian negara mengelola warganya. Ketika pendapatan negara secara jor-joran dialokasikan untuk fasilitas kesehatan (faskes) dan program vaksinasi gratis, pemerintah juga harus menafkahi warga miskin dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bantuan sosial lainnya.

Ketidaktegasan menerapkan lockdown yang diganti konsep Pemberlakuan Pembatasan Kegaitan Masyarakat (PPKM) Darurat adalah inisiatif pemerintah untuk menciptakan ekuilibrium nasional. Butuh keseimbangan antara kesehatan masyarakat sebagai hak dasar konstitusi dan juga kestabilan ekonomi nasional. Setidaknya fokus penanganan keselamatan warga adalah investasi negara untuk tetap bertahan di tengah krisis global.

Namun perlu dicatat bahwa bukan hanya ekonomi dan kesehatan yang membutuhkan titik ekuilibrium. Banyak sektor lain yang butuh perhatian seperti; pendidikan, seni kebudayaan, olahraga, dan lain-lain. Semua bidang harus punya inisiatif perang masing-masing melawan Covid-19. Tidak boleh pasif menerima kenyataan dengan memvakumkan segala aktivitas kegiatan nasional.

Pemerintah harus jeli menentukan kebijakan dan mengalokasikan anggaran demi terciptanya ekuilibrium nasional. Semangat berperang akan berkobar jika pemerintah pantas dijadikan imam oleh masyarakat. Konsisten menentukan kebijakan, totalitas bekerja, dan tidak memperkeruh iklim politik nasional.

Indonesia akan segera bangkit dan keluar dari tsunami pandemi. Kunci keberhasilan berperang adalah konsep ekasila yang digagas oleh Ir. Soekarno. Mengulurkan tangan selagi mampu, agar suatu saat ada yang mengulurkan tangan ketika sedang butuh.

 

Pernah dimuat di Pikiran Rakyat

https://www.tumbral.com/tag/Pikiran%20Rakyat

 

  Kecemasan masyarakat mengenai badai Covid-19 mulai dirasakan di tengah tahun 2021. Ketika demam Piala Euro 2020 menyuguhkan pemandangan ri...

 pandemi india

Kecemasan masyarakat mengenai badai Covid-19 mulai dirasakan di tengah tahun 2021. Ketika demam Piala Euro 2020 menyuguhkan pemandangan ribuan suporter berkumpul tanpa masker, Indonesia sedang mempersiapkan diri menjadi pasar Covid-19. Melanjutkan migrasi pandemi dari India yang sempat menghebohkan dunia.

Sejak 15 Juni 2021, kasus Covid-19 di Indonesia terus mengalami kenaikan. Per tanggal 21 Juni, angka positif Covid-19 sudah tembus 2 juta (2.004.445) orang. Dampaknya lonjakan kasus Covid-19 membuat kapasitas rumah sakit di sejumlah daerah semakin menipis. Berdasarkan data Persi, BOR di Jakarta telah mencapai 84%, disusul Jawa Barat dengan 81%, Banten 79%, dan Jawa Tengah 79%.

Beberapa epidemiolog sudah memprediksi Indonesia bisa seperti India. Menurut data resmi, korban meninggal karena Covid-19 di India lebih dari 330.000. Namun banyak ahli menduga korban sebenarnya lebih dari satu juta orang. Ledakan kasus Covid-19 membuat India menjadi negara yang sangat memprihatinkan dari segi kesehatan, politik dan keamanan, hingga krisis ekonomi.

Sebagai negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia (setelah China, India, dan Amerika Serikat), Indonesia berpotensi mengalami tragedi pandemi seperti India. Apalagi kemunculan virus dengan varian baru hasil mutasi antara lain; Lambda, Gamma, Alpha, Beta, hingga Delta. Untuk kasus varian Delta sudah ditemukan di 6 provinsi Indonesia. Berdasarkan data dari Inggris, varian Delta dianggap lebih menular 60% daripada varian Alpha.

Faktor lainnya adalah inkonsistensinya kebijakan pemerintah dan rendahnya kesadaran masyarakat menjaga protokol kesehatan yang akhirnya menjadi bom waktu pandemi yang lebih radikal. Kegagapan menangani lonjakan kasus Covid-19, membuat pemerintah memutuskan pengurangan cuti hari raya untuk menekan angka penyebaran Covid-19.

Di sisi lain, kemendikbud masih kukuh menerapkan sistem pembelajaran tatap muka di pendidikan formal. Kemenparekraf masih ancang-ancang untuk membuka pintu wisatawan menyerbu Indonesia. Sedangkan kemenpora sibuk mempersiapkan PON XX di Papua. Kebijakan terus menerus digodok sambil menunggu mayoritas masyarakat divaksin dan di antaranya mati akibat pandemi.

Ketika banyak menerima saran lockdown, banyak pejabat bimbang akan risiko investasi, ekonomi, dan sosial politik dalam negeri. Selain itu, 3 provinsi (Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jakarta) juga blak-blakan mengenai kondisi anggaran APBD yang tidak mampu membiayai periode penerapan lockdown regional. Kepasrahan pemerintah pusat dan daerah yang akhirnya mengantar Indonesia menuju kondisi tsunami Covid-19 di India.

 

Baca Juga : Bagaimana Jika Vaksinasi Corona Gagal?

Endorse Covid-19

Dalam balutan komedi satire, komika Bintang Emon kembali menjadi perbincangan publik setelah menggunakan istilah “endorse” untuk meyakinkan masyarakat bahwa ancaman Covid-19 itu nyata adanya. Ada ratusan hingga jutaan orang di Indonesia yang berjuang melawan Covid-19 namun minim ekspose media.

Penyataan Bintang melalui akun Instagram @bintangemon menyentil konsep apatis terhadap pandemi yang lebih mempercayai teori konspirasi. Pesan yang disampaikan bahwa melawan pandemi bukan urusan individu, melainkan kesadaran komunal untuk menciptakan herd immunity (kekebalan kelompok). Tidak boleh egois mempertentangkan teori konspirasi yang berakibat pada lamanya proses pemulihan imunitas nasional.

Butuh kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk sama-sama terhindar dari tsunami Covid-19 seperti di India. Setiap orang punya hak untuk meyakini teori konspirasi, namun mengajak masyarakat untuk mengikuti keyakinannya adalah perilaku yang tidak etis ketika fenomena pandemi sudah mulai menjalar ke berbagai sektor kehidupan.

Di sisi lain, pemerintah juga harus konsisten dan fokus menerapkan kebijakan untuk mengurangi laju pandemi. Mengurangi drama politik 2024 dan pencitraan kebijakan selain penanganan kasus Covid-19. Kunci sehatnya ekonomi nasional adalah kesehatan masyarakat. Mengembalikan kehidupan normal yang akhirnya bermanfaat bagi sektor pendidikan, agama, pariwisata, ekonomi, politik, hingga sosial budaya.

Mencekoki proses antivaksinasi dengan narasi konspirasi hanya akan menunggu waktu untuk kolapsnya negara karena pandemi. Tidak semua orang mempunyai imunitas atau kekebalan tubuh seperti orang yang meyakini adanya konspirasi. Banyak orang yang meninggal akibat ulah beberapa oknum yang mengkampanyekan ketidakpercayaan terhadap Covid-19. Negara panik, ekonomi hancur, korban (masyarakat sipil) mati satu per satu.

Perlu diperbanyak endorse Covid-19 di berbagai platform untuk menyadarkan masyarakat pentingnya sikap empati kepada lingkungan sekitar. Para artis atau tokoh nasional harus gencar menginformasikan tentang ancaman pandemi. Jangan sampai majunya bangsa tersendat karena ulah oknum yang menyebarkan ideologi konspirasi. Jika para influencer sudah tidak lagi berkenan “mengendorse covid-19”, besiaplah Indonesia menjadi bagian dari krisis pagebluk Covid-19 seperti di India.

CEO Bio Farma ,  Honesti Basyir ,   menyatakan bahwa dalam kuartal kedua, Indonesia diperkirakan masih akan menerima 20,2 juta dosis vaksin ...

vaksinasi corona

CEO Bio Farma, Honesti Basyir, menyatakan bahwa dalam kuartal kedua, Indonesia diperkirakan masih akan menerima 20,2 juta dosis vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Moderna Inc dan perusahaan farmasi China, Sinopharm. Pemerintah Indonesia menargetkan dapat memvaksinasi 181,5 juta orang dalam setahun sebagai upaya untuk menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity) dalam program vaksinasi yang dimulai pada Januari.

Sejauh ini sudah lebih dari 300 juta dosis vaksin Covid-19 yang telah disuntikkan di lebih dari 100 negara di dunia. Program vaksinasi ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Priotitas vaksinasi dilakukan terhadap masyarakat lanjut usia (lansia), tenaga kesehatan, dan orang-orang yang rentan secara klinis.

Di Indonesia, tahap pertama program vaksinasi diberikan kepada kelompok tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan penanganan Covid-19. Sedangkan untuk tahap kedua program vaksinasi nasional yang ditujukan kepada masyarakat lansia.

Namun program vaksinasi mengalami berbagai kendala seperti yang diungkapkan Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Profesor Sri Rezeki Hadinegoro. Pertama, keakuratan data yang membutuhkan sinergitas dan koordinasi antara Kominfo, Telkom, dan BPJS. Kedua, terkait dengan penyakit bawaan atau komorbid.

Selain itu, program vaksinasi nasional juga harus siap menghadapi tantangan mulai dari ketersediaan jumlah vaksin untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity), soal pendistribusian vaksin terhadap negara dengan geografis yang mempunyai cakupan luas seperti Indonesia, terakhir adalah proses pelaksanaan vaksinisasi di lapangan.

Belum lagi narasi konspirasi di media untuk menolak vaksin, disinformasi atau persebaran hoax tentang bahaya vaksin, dan faktor iklim politik di Indonesia. Meskipun dihadapkan banyak tantangan, dunia pernah mengatasi permasalahan pandemi, seperti Cacar. Seperti yang diungkapkan Herodotus,  Historia Vitae Magistra (sejarah adalah guru kehidupan), sebagai pernyataan tentang pentingnya belajar sejarah, termasuk program vaksinasi nasional.


Baca Juga : Bagaimana Jika Vaksinasi Corona Gagal?

Belajar dari Pandemi Cacar

Cacar pertama kali muncul sekitar 10.000 SM di wilayah pemukiman pertanian awal timur laut Benua Afrika. Kemudian disebarkan oleh saudargar Mesir dan Persia dalam milenium pertama sebelum masehi. Dalam penelitiannya, cacat cacar ditemukan pada wajah mumi-mumi dinasti Mesir abad ke-18 dan ke-20 (1570-1085 SM), termasuk di antaranya mumi Ramses V. Cacar dianggap sebagai scourge (siksaan) umat manusia paling dahsyat sepanjang masa.

Seperti halnya Covid-19, cacar dapat menular ke setiap orang tanpa melihat gender, umur, status sosial-ekonomi. Pada abad ke-18 di Eropa, ada 400.000 orang meninggal setiap tahunnya karena cacar dan sepertiga dari yang sembuh mengalami kebutaan. Pandemi Cacar berakhir dieradikasi pada 8 Mei 1980 yang dideklarasikan oleh World Health Assembly yang sekarang dikenal menjadi World Health Organization (WHO).

Untuk menjelaskan keadaan dunia secara komprehensif ketika itu, situasi dunia didominasi perang berkepanjangan antara Inggris dan Perancis, sedangkan Belanda beraliansi dengan Perancis. Seiring perkembangan perang, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah koloni, termasuk di Indonesia (Hindia-Belanda).

Pandemi cacar di tengah peperangan menyulitkan akses dunia kesehatan antar daerah koloni untuk mendistribusikan bahan, alat, dan tenaga kesehatan. Seperti di Indonesia, pengiriman bantuan kesehatan dari Belanda membutuhkan waktu sekitar 4-6 bulan mengelilingi Cape of Good Hope dengan kapal-kapal layar kayu.

Pada tahun 1804, sidang Raad van Indie membahas surat dari Kloprogge tentang pemanfaatan vaksin yang paling efektif, aman, dan bisa dipertanggungjawabkan. Hingga tanggal 21 September 1804, Kloprogge dan Gauffre menyimpulkan bahwa vaksin dari Isle de France adalah vaksin yang benar dan aktif.

Namun pemerintah ketika itu kurang puas dengan program vaksinasi cacar yang dianggap lamban. Masalah selanjutnya adalah keterbatasan jumlah vaksin aktif karena Indonesia merupakan negara beriklim tropis sehingga mempengaruhi efektivitas vaksin menurun karena terkontaminasi suhu udara.

Setelah itu pemerintah menetapkan tujuan program vaksinasi cacar, yakni memvaksinasi semua anak dan menjamin ketersediaan vaksin secara berkesinambungan. Keberhasilan vaksin ditentukan oleh, (1) kesediaan masyarakat untuk memvaksinasikan anak-anaknya, (2) kemampuan dan kinerja para vaksinator, (3) tersedianya vaksin cacar aktif.

Kemudian jika terjadi epidemi cacar di suatu daerah harus segera mengambil tindakan dengan memberitahukan rakyat setempat dan wilayah sekitarnya, anak yang berasal dari rumah dengan penderita cacar dilarang masuk sekolah, semua anak yang berada di lembaga-lembaga pemerintah harus dievakuasi, penderita cacar dilarang meninggalkan rumahnya, dan kapal dengan penderita cacar tidak diizinkan debarkasi.

Program vaksinasi cacar di Jawa dan Bali dilaksanakan dengan menggunakan sistem lingkaran. Jawa dan Madura dibagi dalam 166 distrik kemudian ditambah 17 distrik lagi. Sedangkan di Bali dibagi menjadi 6 distrik. Setiap distrik dibagi oleh 3 lingkaran konsentris dalam 3 wilayah dan di setiap lingkaran didirikan pos-pos vaksinasi. Tuntunya, jumlah pos di lingkaran tengah dan luar memperhitungkan jumlah penduduk dan keadaan geografis wilayah.

Keberhasilan program vaksinasi cacar juga disebabkan karena kesediaan orang tua mengantar anaknya untuk divaksinasi, peran pejabat pemerintah dan tokoh ulama sebagai ikhtiar untuk bertahan hidup, dan informasi mengenai alasan rasional manfaat vaksinasi secara individu dan sosial masyarakat. Pada 24 April 1975, Indonesia dinyatakan bebas dari cacar oleh WHO. Pada 8 Mei 1980, WHO di Jenewa mendeklarasikan bahwa penyakit cacar telah dieradikasi dari muka bumi.


Pernah dimuat di Koran Duta Masyarakat

https://file.lelangdjkn.kemenkeu.go.id/view-file/2021/04/20/607e11a4aa3dd-54720EZO-pengumuman-718bar.pdf 

Setahun lebih dunia diguncang pandemi Covid-19. Dimulai dari Wuhan, menjalar seantero bumi. Masker menjadi simbol dibungkamnya suara-suara k...

konspirasi corona

Setahun lebih dunia diguncang pandemi Covid-19. Dimulai dari Wuhan, menjalar seantero bumi. Masker menjadi simbol dibungkamnya suara-suara konspirasi dan keimanan manusia. Menundukan kepala dan menyembah tentang isu ganasnya virus Corona. Masyarakat disuguhi drama perang elit global tengang kecanggihan sains.

Dunia dibuat takjub dengan data dan angka seputar Covid-19. Menyandarkan nasib kehidupan di tangah ilmuwan kesehatan. Membayar berapapun untuk bertahan hidup. Memasrahkan nyawa kepada tenaga kesehatan. Mematuhi segala peraturan demi normalnya peradaban manusia.

Sikap pesimistis tentang akhir cerita pandemi bukan hanya dirasakan masyarakat, Co-Chairs Gugus Tugas Covid-19 Singapura memprediksi dunia butuh empat hingga lima tahun sebelum pandemi virus corona baru berakhir. Demikain halnya pakar kesehatan dari London School of Economics Dr Clare Wenham yang memperkirakan sekira tiga sampai empat tahun agar kehidupan bisa kembali normal sedia kala.

Ketika para ilmuwan mulai “putus asa”, pemerintah terus berkampanye menyuarakan sikap optimis agar segera terhindar dari pandemi. Rakyat diberikan hiburan dan semangat mental untuk tetap bahagia dan sehat di tengah wabah Covid-19. Padahal Tuhan saat ini sudah berganti dengan sabda-sabda para ilmuwan kesehatan, bukan retorika para politikus dan influencer.

 

Baca Juga : Jerinx Hingga Pulau Komodo

Membungkam Konspirasi

Teori konspirasi virus corona diinisiasi oleh Mikovits dalam sebuah video bernuansa film dokumenter yang berjudul 'Plandemic'. Seorang ilmuwan yang memperoleh gelar PhD dalam bidang biokimia dan biologi molekuler dari George Washington University pada tahun 1991.

Covid-19 dianggap sebagai siasat korporasi besar dunia yang dibuat oleh Bill Gates dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Mikovits menyebut COVID-19 hanyalah satu dari serangkaian krisis kesehatan palsu yang diciptakan oleh industri medis yang bekerja sama dengan Gates Foundation untuk menumpuk kekayaan.

Berdasarkan survei yang dilakukan Pemkot Bogor bekerja sama dengan tim riset dari Lapor COVID-19 dan Social Resilience Lab Nanyang Technological University Singapore, 19% warga Bogor percaya bahwa Covid-19 adalah sebuah teori konspirasi. 29% lainnya tidak percaya pada konspirasi, selebihnya masih ragu antara percaya dan tidak.

Virus Corona telah memunculkan banyak teori konspirasi, disinformasi dan propaganda. Realita teori konspirasi dan narasi bidang kesehatan mengenai Covid-19 membuat rusaknya kepercayaan publik. Kondisi tersebut yang membuat orang berusaha mencari kejelasan yang lebih ekstrem tentang kebenaran dari teori-teori konspirasi.

Suara Ribka Tjiptaning di lembaga legislatif seakan menjadi genderang perang teori konspirasi. Ketika pemerintah membutuhkan dukungan dari semua lembaga dan tokoh politik, salah satu anggota DPR malah menghantam dengan trust issue dari kader partai yang berkuasa (PDI Perjuangan) saat ini. Program vaksinasi dianggap sebagai ajang bisnis farmasi yang melibatkan masyarakat sebagai konsumennya.

Lebih meresahkan lagi ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sempat menghebohkan masyarakat karena ada anggotanya yang menolak untuk divaksin. Meskipun kemudian dibantah oleh IDI itu sendiri yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai barisan pertama yang siap divaksin. Bahkan jika ada anggota IDI yang menolak vaksin akan mendapatkan sanksi. Vaksin telah dianggap Dewa kesembuhan bagi dunia ketika doa-doa para agamawan tidak berhasil menyelesaiakan pandemi Covid-19.

 

Baca Juga : Mengacu Kerancuan Data

Beriman pada Sains

“Tidak ada Tuhan, selain sains”, ujar saintis yang mempermalukan agamawan di zaman modern.

Seperti keimanan, Covid-19 adalah benda gaib yang wajib diyakini keberadaannya. Bagi yang mengelak akan dikenai sanksi hukum negara dan sosial. Melebihi pelanggaran terhadap keimanan dalam beragama. Seolah hidup dan mati bisa ditentukan jika terpapar virus Corona.

Beberapa kali kebijakan pemerintah melarang dan membatasi akses beribadah umat beragama. Alasannya agar tidak terjadi kerumunan yang berpotensi menularkan persebaran Covid-19. Agamawan pun tunduk dan patuh dengan beribadah di rumah dan membatalkan agenda-agenda besar perayaan hari besar keagamaan.

Kosongnya rumah ibadah berkorelasi dengan kosongnya keimanan seseorang. Kekuasaan Tuhan digantikan dengan data-data kematian karena Covid-19. Sabda nabi tentang ketakwaan digantikan dengan pernyataan-pernyataan tim gugus Covid-19. Sejak dini seseorang sudah dipaksa meyakini sesuatu yang gaib. Mengimani kisah-kisah yang bersandar pada kitab dan cerita nenek moyang.

Virus adalah sesuatu yang tampak bagi saintis, namun sesuatu yang gaib bagi masyarakat awam. Banyak orang yang sudah menggadaikan keimanan kepada ilmuwan kesehatan. Sedangkan ilmuwan teknologi memanfaatkan peluang terpasungnya kehidupan manusia. Majelis diganti dengan kajian-kajian digital. Tidak ada pemberontakan, selain mengamini keadaan.

Ada yang lebih menakutkan dari kuasa Tuhan. Manusia dipaksa mengkafirkan diri agar tidak mendapat denda dan hukuman. Meneguhkan keimanan hanya akan dipandang sinis oleh masyarakat. Dilema, mengimani Tuhan dianggap percaya konspirasi, mengimani Covid-19 dianggap tidak beragama. Manusia terjebak pada pilihan yang memaksanya untuk diam: bermasker.

Pandemi adalah kondisi dimana semua orang disuruh diam. Membunuh pemikiran tentang adanya konspirasi global dan menghilangkan keimanan dalam beragama setiap umat. Pandemi adalah ajang pesta pora peneliti, saintis, ilmuwan kesehatan, dan perusahaan farmasi memanfaatkan kegagapan dan kecemasan manusia di dunia.


Pernah dimuat di Banera

http://www.banera.id/pandemi-larangan-konspirasi-dan-beragama/

Peningkatan kasus Covid-19 selalu menjadi headline berita nasional. Tercatat per 15 Februari 2021, sudah tembus 1,2 juta penduduk Indonesia ...

data covid 19

Peningkatan kasus Covid-19 selalu menjadi headline berita nasional. Tercatat per 15 Februari 2021, sudah tembus 1,2 juta penduduk Indonesia yang terkonfirmasi positif Covid-19, 33 ribu sekian di antaranya meninggal dunia.

Kenaikan kasus pasca libur panjang akhir tahun membuat pemerintah mengambil kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk wilayah Jawa dan Bali (11-25 Januari) untuk menekan angka penyebaran kasus Covid-19. Namun kasus peningkatan postif dan meninggal akibat Covid-19 masih terus terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan dalam masa PPKM, Indonesia sering memecahkan rekor data terkonfirmasi postif dan meninggal yang dipublikasikan tim satgas Covid-19.

Karena dianggap kurang berhasil menekan laju penyebaran Covid-19, Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai tanggal 26 Januari hingga 8 Februari 2021.

Tentu semua masyarakat berharap Covid-19 segera bisa diatasi dengan berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Meskipun harus menanggung risiko untuk dipotong gaji (karyawan), sepi transaksi penjualan (pedagang), hingga kepasrahan untuk di-PHK karena melemahnya ekonomi nasional.

Jika mengacu data yang dipublikasikan secara rutin di website https://covid19.go.id/, maka perpanjangan PPKM akan dianggap wajar demi negara. Pengendalian Covid-19 dimulai dari penekanan kasus penyebaran dengan PPKM, sambil melakukan kampanye vaksinasi ke masyarakat. Ketika kesehatan masyarakat pulih dengan adaptasi new normal, maka ekonomi bisa kembali bangkit.

Di sisi lain, peningkatan kasus Covid-19 dianggap wajar oleh beberapa pengamat karena penerapannya yang tidak seketat saat PSBB. Tingginya kasus positif dan meninggal akibat Covid-19 juga ditengarai karena kapasitas pemeriksaan yang juga meningkat. Sehingga lebih banyak orang yang bisa dideteksi daripada sebelum pemberlakuan PPKM.

Jika banyak pengorbanan yang dilakukan masyarakat untuk menekan laju penyebaran Covid-19, pemerintah juga harus kompeten mengeluarkan kebijakan yang tidak sia-sia. Harus cermat menerapakan metode pembatasan mobilitas, testing dan tracing. Sambil menunggu distribusi dan penyuntikan vaksin.

 

Baca Juga : Menganalisis Hoax yang Merajalela

Dilematis Vaksinisasi

Vaksinasi dianggap cara terakhir menanggulangi pandemi. Program vaksinasi Covid-19 di Indonesia sudah dimulai tanggal 13 Januari 2021, dengan Presiden Jokowi yang divaksiansi pertama kali di Istana Negara. Setelah MUI melabeli halal penggunaan vaksin Sinovac, BPOM juga menyampaikan hasil analisis terhadap uji efikasi vaksin sebesar 65,3 persen.

Meski demikian, tidak semua menyetujui atau menyepakati vaksin Sinovac akan mampu mengatasi problematika pandemi. Kontroversi mewajibkan vaksinisasi ditentang beberapa kalangan masyarakat, perwakilan DPR, hingga anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Keresahan masyarakat bertambah seiring pemberitaan tentang gagalnya vaksinisasi yang malah menimbulkan kematian dan masih mempunyai risiko yang sama untuk tertular Covid-19.

Apapun alasannya, setiap orang punya hak untuk menerima dan menolak vaksin. Tapi harus konsekuen atas dampak yang terjadi jika memutuskan untuk menolak vaksin. Paling utama adalah risiko tertular Covid-19 beserta akibat yang diderita dan mungkin menyebabkan kematian. Pemerintah juga tidak bisa mewajibkan masyarakat untuk divaksin, mengingat data dari vaksinisasi Sinovac tidak manjur 100% membuat kebal imunitas tubuh agar terhindar dari Corona.

Apalagi pemberian vaksin juga harus memenuhi kriteria tertentu seperti tidak memiliki riwayat penyakit, tidak sedang hamil dan menyusui, tidak ada anggota keluarga yang pernah terkonfirmasi positif Covid-19, suhu tubuh dibawah 37,5 derajat celcius, tekanan darah tidak boleh di atas atau sama dengan 140/90, penderita Diabetes Mellitus (DM), penderita HIV, penyakit paru, dan Penyakit lain non-skrining. Selain itu, diutamakan masyarakat yang berusia di bawah 60 tahun.

Jika mengacu pada persyaratan vaksinasi Sinovac di atas, tentu banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum mewajibkan vaksin. Orang yang sebelumnya sudah terkonfirmasi positif Corona dianggap mempunyai kekebalan antibodi yang mempu melawan masuknya virus yang baru. Demikian yang dijadikan alasan untuk tidak memprioritaskan masyarakat yang sudah pernah terkonfirmasi Covid-19.

Realita di masyarakat, masih banyak orang yang tidak terdata pernah tertular Covid-19 atau tidak. Ketakutan untuk memerisakan diri ke dokter/ rumah sakit karena takut tertular pasien lain. Jika hasil pemeriksaan dikonfirmasi positif akan dikucilkan di masyarakat dan jika meninggal akan dikuburkan secara prokes yang dianggap tidak menghargai jasad dari keluarga korban.

Masyarakat masih banyak yang “diam dan bersembunyi” meskipun sakit hingga meninggal dunia. Tidak ada data valid penyebab kematian masyarakat yang tidak memeriksakan diri ke dokter. Tidak ada data valid berapa jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia yang mungkin sudah mencapai puluhan juta orang.

Belum lagi kebijakan instansi dan perusahaan swasta yang hanya melakukan pendeteksian Covid-19 hanya berbekal alat suhu tubuh ketika masuk kerja. Jika ada himbauan dari pemerintah daerah baru melakukan tes masal karyawan, itu pun menggunakan tes rapid yang tidak dianjurkan oleh WHO karena memiliki tingkat akurasi yang rendah dalam mendeteksi keberadaan virus Corona di dalam tubuh.

Isu manipulasi data dari rumah sakit yang melaporkan pasiennya positif Covid-19 (padahal tidak) juga sering menjadi diskusi di masyarakat dan media sosial. Patut dimaklumi, karena pihak rumah sakit bisa mengklaim dana bantuan dari pemerintah untuk setiap penanganan pasien Covid-19.

Masih banyak kerancuan data mengenai Covid-19. Vaksinasi hanya menjadi salah satu solusi untuk menekan penyebaran virus, tapi bukan satu-satunya. Pemerintah harus bijak menerima keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak vaksin. Masih banyak hal yang dilematis untuk kebijaksan vaksinisasi nasional. Mulai dari jumlah vaksin, jenis vaksin, efek samping dari pemberian vaksin, hingga kerancuan data tentang Covid-19.


Pernah dimuat di Facesia

https://facesia.com/mengacu-kerancuan-data/ 

Berdasarkan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.07/2020 tentang Penggunaan, Pemantauan, Dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasi...

merokok membunuhmu


Berdasarkan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.07/2020 tentang Penggunaan, Pemantauan, Dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, alokasi DBH CHT untuk bidang kesehatan adalah 50%. Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai rokok sebesar Rp 173,78 triliun.

Per Feburari 2021, cukai rokok atau cukai hasil tembaku (CHT) dengan rata-rata kenaikan sebesar 12,5 persen. Kenaikan terdiri dari produksi sigaret putih mesin (SPM) golongan I sebesar 18,4 persen, sigaret putih mesin golongan II A sebesar 16,5 persen, dan sigaret putih mesin IIB sebesar 18,1 persen. Sedangkan sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik sebesar 16,9 persen, sigaret kretek mesin II A sebesar 13,8 persen, dan sigaret kretek mesin II B sebesar 15,4 persen.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, prevalansi merokok untuk anak-anak usia 10-18 tahun ditargetkan turun ke level 8,7 persen pada 2024. Tujuan pemerintah menaikan bea dan cukai rokok adalah untuk tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai upaya pembangunan kesehatan nasional.

 

Baca Juga : Akhir Kisah Pandemi

Pertimbangan Kesehatan

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia, khususnya anak muda (remaja dan anak-anak). Alasan utamanya tentu untuk menjamin kesehatan warga negara dengan mewujudkan bangsa yang sehat dan unggul. Perlu diketahui, industri farmasi gencar mengkampanyekan bahaya merokok yang turut diamini oleh hampir seluruh media elektronik dan cetak.

Perokok aktif maupun pasif dapat mengintai kesehatan karena mengandung 4000 lebih zat kimia yang berbahaya. Tahun 2017, WHO mencatat sekitar 80 persen perokok dunia hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Bahkan, konsumsi rokok masyarakat miskin di dunia mencapai 226 juta orang.

Negara Cina menempati angka tertinggi dengan jumlah perokok sekitar 315 juta orang atau telah mengonsumsi lebih dari sepertiga rokok dunia. Sedangkan Indonesia menempati presentase penduduk perokok terbesar di dunia dengan 76 persen pria berusia di atas 15 tahun tercatat sebagai perokok.

Dampak paling sering dipublikasikan adalah serangan jantung, kanker, diabetes, gangguan kehamilan dan janin, hingga kematian. Ketika menerapkan kebijakan tentang bahaya merokok di bungkus rokok dianggap kurang efektif mengurangi konsumsi rokok, pemerintah membuat kebijakan pragmatis dengan menaikan harga rokok yang diharapkan tidak terjangkau daya belinya oleh masyarakat kalangan bawah.

 

Baca Juga : Kemerdekaan Sains

Kebutuhan Merokok

Tidak hanya tekanan dari sudut pandang kesehatan, agama yang terwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram soal merokok di tempat umum sejak 2009. Selain itu juga disebutkan bahwa merokok haram bila dilakukan anak-anak dan wanita.

Dalam prakteknya, masih banyak masyarakat yang mengonsumsi rokok dengan dalih tidak mempercayai sains atau penelitian tentang bahaya merokok. Sesekali memberikan contoh banyaknya orang merokok yang masih sehat di usia senja, sedangkan banyak pemuda yang meninggal dunia dengan tanpa merokok.

Mayortitas konsumen rokok adalah masyarakat kalangan bawah yang seharusnya mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pelaku bisnis dan investor pun memahami pola industri rokok di Indonesia. Di masa pandemi, saham emiten rokok malah bergerak positif. Saham beberapa perusahaan sigaret seperti Sampoerna (HMSP), Gudang Garam (GGRM), Bentoel (RMBA), hingga Wismilak (WIIM), menunjukkan penguatan poin kala itu.

Kampanye antirokok terus berkumandang di kanal-kanal media berita. Tidak ada wadah (public space) bagi perokok untuk membela haknya menikmati rokok. Padahal dalam imunitas seseorang terdapat peran fisik, psikis, dan sosial. Perokok sering mengatakan bahwa merokok mampu menurunkan tingkat stres. Bagi seniman, merokok bisa menciptakan inspirasi dalam berkarya.

Ketika kampanye antimerokok masif dilakukan oleh pemerintah dan instansi yang diuntungkan atas kebijakan tersebut, dampaknya adalah peralihan konsumsi produk untuk menenangkan pikiran dan mengurangi tingkat stres. Mungkin dengan minuman keras atau narkoba yang malah jelas dilarang dalam aturan agama dan negara.

 

Baca Juga : Flu Indonesia

Manfaat Rokok

Selain menjadi tulang punggung pendapatan negara mencapai Rp 57,66 triliun atau 24,65% dari APBN (per akhir April 2020) sesuai Perpres 54/2020 dari bea dan cukai rokok, Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor strategis domestik yang memiliki daya saing tinggi dan terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2016, serapan tenaga kerja di sektor manufaktur dan distribusi mencapai 4,28 juta orang serta di sektor perkebunan sebanyak 1,7 juta orang. (sumber: kemenperin)

Sedangkan bagi kesehatan, kandungan rokok juga mempunyai manfaat seperti mengurangi radang usus besar, mengurangi risiko terkena kanker payudara, mengurangi risiko penyakit susut gusi, lebih kuat dan cepat sembuh dari serangan jantung dan stroke, mengurangi risiko parkinson, membunuh kuman penyebab tuberculosis (TBC), mencegah kanker kulit, hingga mencegah hipertensi di masa kehamilan.

Apapun itu akan menjadi perdebatan sengit di kalangan sains dan ilmuwan kesehatan. Bagi masyarakat kalangan bawah, merokok adalah kebutuhan untuk sekedar menenangkan pikiran dan teman ketika stres. Menaikan bea dan cukai rokok akan otomatis menaikan harga rokok yang akan membuat masyarakat kalangan bawah kehilangan sebagian dari “kebutuhannya”.

Pemerintah akan dianggap lebih tega mengeruk pendapatan negara dari masyarakat kalangan menengah ke bawah sebagai mayoritas konsumen rokok. Tidak ada produk pengganti selain membeli rokok dengan harga yang tinggi. Masyarakat kalangan bawah tetap akan tersenyum meskipun kebahagiaannya selalu mencoba disingkirkan. Merokok bukan perilaku kejahatan. Merokok hanya medium mengekspresikan kegundahan melihat carut marut politik kehidupan.


Pernah dimuat di Tegas.id

https://tegas.id/2021/03/02/opini-rokok-naik-masyarakat-miskin-tercekik/ 

Vaksinasi Covid-19 sudah mulai dilakukan di Indonesia. Jokowi sebagai “bahan uji coba” pertama untuk meyakinkan ke masyarakat bahwa vaksin m...

akhir pandemi


Vaksinasi Covid-19 sudah mulai dilakukan di Indonesia. Jokowi sebagai “bahan uji coba” pertama untuk meyakinkan ke masyarakat bahwa vaksin memang aman untuk dikonsumsi. Tentu, setelah uji klinis dari BPOM dan juga fatwa halal dari MUI. Pertanyaan selanjutnya, apakah vaksin adalah penyelesaian masalah dari pandemi Covid-19 yang sudah singgah hampir setahun di Indonesia?

Tentu tidak. Selain jumlah vaksin yang terbatas untuk memenuhi kapasistas minimal 60-70% penduduk suatu daerah (batas teotorial mengatasi pandemi), jenis varian Covid-19 ternyata sering mengalami perkembangan dan perubahan. Covid-19 berbeda dengan virus cacar, polio, atau TBC yang dianggap efektif dicegah menggunakan vaksin.

Saat ini, Indonesia mengimpor 329,5 juta vaksin corona untuk meminimalisir persebaran Covid-19. Kebijakan tersebut didasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK. 01.07/ Menkes/ 9860/ 2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disesase 2019 (Covid-19).

Mengingat pandemi adalah faktor utama permasalahan berbagai bidang perkembangan dan kemajuan bangsa, pemerintah berani mengambil kebijakan dengan merealokasi APBN mencapai Rp 54,44 triliun untuk kegiatan vaksinisasi masal masyarakat secara gratis.

 

Baca Juga : Bagaimana Jika Vaksinasi Corona Gagal?

Penuntasan Sejarah Pandemi

Abad 14, pandemi Black Death telah mengguncang dunia dengan membunuh lebih dari 50 juta orang (60% populasi penduduk eropa). Masuk ke Indonesia dengan istilah pes yang telah memakan banyak korban jiwa di Jawa khususnya. Pes merupakan bakteri yersinia pestis yang terdapat pada kutu tikus. Belum diketahui secara pasti penyelesaian pandemi black death, satu yang pasti adalah kebijakan mengisolasi masyarakat atau karantina yang dilakukan pemerintah menjadi langkah strategis mengurangi dan menuntaskan pademi.

Penyakit cacar pernah menjadi endemi di kawasan Eropa dan Asia dalam kurun waktu yang cukup lama. Menewaskan tiga dari sepuluh orang yang terinfeksi cacar. Setelah diteliti, cacar berasal dari kawasan Amerika Utara pada 1600-an. Pada tahun 1770, dokter asal Inggris, Edward Jenner mengembangkan vaksin dari cacar sapi dan berhasil mengakhiri pandemi.

Pada awal hingga pertengahan abad ke-19, kolera mewabah di Inggris dan membunuh puluhan ribu orang. Seorang dokter bernama John Snow membuat grafik geografis kematian yang disebabkan oleh kolera selama sepuluh hari terakhir. Dia menemukan fakta bahwa 500 infeksi fatal yang menyebabkan kolera terjadi di sekitar pompa air di Broad Street. Setelah itu pemerintah membuat kebijakan mengenai sanitasi air minum yang menjadi langkah strategis mengentaskan pandemi kolera di berbagai belahan dunia.

 

Baca Juga : Corona, Amnesia Dunia Realitas

Menanti Semar

Seperti sebuah miniatur kehidupan, cerita pewayang seolah menjadi gambaran tentang sejarah, peristiwa, dan keadaan masa mendatang. Menjadi karya sastra fenomenal, Ramayana dan Mahabarata adalah sebuah epos yang menarik untuk dijadikan bekal pengetahuan menghadapi fenomena kehidupan, termasuk pandemi Covid-19.

Ada banyak kisah mengenai pagebluk dalam cerita pewayangan. Mulai dari kisah Sudamala, Karmawibhangga, Cariyos Dalang Karungrungan, ruwatan (Murwa Kala), Calon Arang, hingga Mayangkara. Banyak cara dilakukan untuk mengatasi pagebluk, seperti pemasangan tumbal oleh putra kedua raja Hastina yang bernama Raden Pandu Dewayana dan juga penggunaan senjata jimat kalimasada. Selain itu, kedatangan Semar juga dianggap sebagai harapan untuk penuntasan pandemi.

Tokoh Semar dalam karya sastra klasik hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumasa, khususnya Pandawa. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, dalang juga biasa menampilkan tokoh Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Demikian yang menjadikan seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan ksatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Kisah keduanya adalah simbol tokoh pewayangan tentang perpaduan rakyat kecil dan juga dewa kahyangan. Jadi, jika pemerintah bersedia mendengarkan suara rakyat kecil yang ibaratkan sebagai suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya akan aman dan damai sentosa.

Sebagai penasehat kerajaan, sosok Semar digambarkan dalam cerita mampu meredam pageblug atau pandemi berupa wabah penyakit yang melanda kerajaan manapun. Di manapun Semar mengabdi, di situ kerajaan akan menjadi aman tentram jauh dari bencana. Semoga vaksinasi yang dilakukan di Indonesia adalah bagian dari nasehat “Semar” untuk kemaslahatan bangsa.


Pernah dimuat di Koran Seruya

https://koranseruya.com/opini-akhir-kisah-pandemi.html