CATEGORIES

Setahun lebih dunia diguncang pandemi Covid-19. Dimulai dari Wuhan, menjalar seantero bumi. Masker menjadi simbol dibungkamnya suara-suara k...

Pandemi, Larangan Konspirasi dan Beragama

konspirasi corona

Setahun lebih dunia diguncang pandemi Covid-19. Dimulai dari Wuhan, menjalar seantero bumi. Masker menjadi simbol dibungkamnya suara-suara konspirasi dan keimanan manusia. Menundukan kepala dan menyembah tentang isu ganasnya virus Corona. Masyarakat disuguhi drama perang elit global tengang kecanggihan sains.

Dunia dibuat takjub dengan data dan angka seputar Covid-19. Menyandarkan nasib kehidupan di tangah ilmuwan kesehatan. Membayar berapapun untuk bertahan hidup. Memasrahkan nyawa kepada tenaga kesehatan. Mematuhi segala peraturan demi normalnya peradaban manusia.

Sikap pesimistis tentang akhir cerita pandemi bukan hanya dirasakan masyarakat, Co-Chairs Gugus Tugas Covid-19 Singapura memprediksi dunia butuh empat hingga lima tahun sebelum pandemi virus corona baru berakhir. Demikain halnya pakar kesehatan dari London School of Economics Dr Clare Wenham yang memperkirakan sekira tiga sampai empat tahun agar kehidupan bisa kembali normal sedia kala.

Ketika para ilmuwan mulai “putus asa”, pemerintah terus berkampanye menyuarakan sikap optimis agar segera terhindar dari pandemi. Rakyat diberikan hiburan dan semangat mental untuk tetap bahagia dan sehat di tengah wabah Covid-19. Padahal Tuhan saat ini sudah berganti dengan sabda-sabda para ilmuwan kesehatan, bukan retorika para politikus dan influencer.

 

Baca Juga : Jerinx Hingga Pulau Komodo

Membungkam Konspirasi

Teori konspirasi virus corona diinisiasi oleh Mikovits dalam sebuah video bernuansa film dokumenter yang berjudul 'Plandemic'. Seorang ilmuwan yang memperoleh gelar PhD dalam bidang biokimia dan biologi molekuler dari George Washington University pada tahun 1991.

Covid-19 dianggap sebagai siasat korporasi besar dunia yang dibuat oleh Bill Gates dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Mikovits menyebut COVID-19 hanyalah satu dari serangkaian krisis kesehatan palsu yang diciptakan oleh industri medis yang bekerja sama dengan Gates Foundation untuk menumpuk kekayaan.

Berdasarkan survei yang dilakukan Pemkot Bogor bekerja sama dengan tim riset dari Lapor COVID-19 dan Social Resilience Lab Nanyang Technological University Singapore, 19% warga Bogor percaya bahwa Covid-19 adalah sebuah teori konspirasi. 29% lainnya tidak percaya pada konspirasi, selebihnya masih ragu antara percaya dan tidak.

Virus Corona telah memunculkan banyak teori konspirasi, disinformasi dan propaganda. Realita teori konspirasi dan narasi bidang kesehatan mengenai Covid-19 membuat rusaknya kepercayaan publik. Kondisi tersebut yang membuat orang berusaha mencari kejelasan yang lebih ekstrem tentang kebenaran dari teori-teori konspirasi.

Suara Ribka Tjiptaning di lembaga legislatif seakan menjadi genderang perang teori konspirasi. Ketika pemerintah membutuhkan dukungan dari semua lembaga dan tokoh politik, salah satu anggota DPR malah menghantam dengan trust issue dari kader partai yang berkuasa (PDI Perjuangan) saat ini. Program vaksinasi dianggap sebagai ajang bisnis farmasi yang melibatkan masyarakat sebagai konsumennya.

Lebih meresahkan lagi ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sempat menghebohkan masyarakat karena ada anggotanya yang menolak untuk divaksin. Meskipun kemudian dibantah oleh IDI itu sendiri yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai barisan pertama yang siap divaksin. Bahkan jika ada anggota IDI yang menolak vaksin akan mendapatkan sanksi. Vaksin telah dianggap Dewa kesembuhan bagi dunia ketika doa-doa para agamawan tidak berhasil menyelesaiakan pandemi Covid-19.

 

Baca Juga : Mengacu Kerancuan Data

Beriman pada Sains

“Tidak ada Tuhan, selain sains”, ujar saintis yang mempermalukan agamawan di zaman modern.

Seperti keimanan, Covid-19 adalah benda gaib yang wajib diyakini keberadaannya. Bagi yang mengelak akan dikenai sanksi hukum negara dan sosial. Melebihi pelanggaran terhadap keimanan dalam beragama. Seolah hidup dan mati bisa ditentukan jika terpapar virus Corona.

Beberapa kali kebijakan pemerintah melarang dan membatasi akses beribadah umat beragama. Alasannya agar tidak terjadi kerumunan yang berpotensi menularkan persebaran Covid-19. Agamawan pun tunduk dan patuh dengan beribadah di rumah dan membatalkan agenda-agenda besar perayaan hari besar keagamaan.

Kosongnya rumah ibadah berkorelasi dengan kosongnya keimanan seseorang. Kekuasaan Tuhan digantikan dengan data-data kematian karena Covid-19. Sabda nabi tentang ketakwaan digantikan dengan pernyataan-pernyataan tim gugus Covid-19. Sejak dini seseorang sudah dipaksa meyakini sesuatu yang gaib. Mengimani kisah-kisah yang bersandar pada kitab dan cerita nenek moyang.

Virus adalah sesuatu yang tampak bagi saintis, namun sesuatu yang gaib bagi masyarakat awam. Banyak orang yang sudah menggadaikan keimanan kepada ilmuwan kesehatan. Sedangkan ilmuwan teknologi memanfaatkan peluang terpasungnya kehidupan manusia. Majelis diganti dengan kajian-kajian digital. Tidak ada pemberontakan, selain mengamini keadaan.

Ada yang lebih menakutkan dari kuasa Tuhan. Manusia dipaksa mengkafirkan diri agar tidak mendapat denda dan hukuman. Meneguhkan keimanan hanya akan dipandang sinis oleh masyarakat. Dilema, mengimani Tuhan dianggap percaya konspirasi, mengimani Covid-19 dianggap tidak beragama. Manusia terjebak pada pilihan yang memaksanya untuk diam: bermasker.

Pandemi adalah kondisi dimana semua orang disuruh diam. Membunuh pemikiran tentang adanya konspirasi global dan menghilangkan keimanan dalam beragama setiap umat. Pandemi adalah ajang pesta pora peneliti, saintis, ilmuwan kesehatan, dan perusahaan farmasi memanfaatkan kegagapan dan kecemasan manusia di dunia.


Pernah dimuat di Banera

http://www.banera.id/pandemi-larangan-konspirasi-dan-beragama/

0 comments: