Emosi Jerinx tidak tertahan ketika divonis 3 tahun penjara atas kasus “kacung WHO”. Dengan nada tinggi, drummer band SID itu menantang orang yang memenjarakannya untuk datang ke pengadilan - jangan menjadi pengecut. Menurutnya IDI Bali dan Pusat, institusi yang dianggap sebagai korban, tidak ada yang berniat memenjarakannya selama proses pengadilan.
Dalam proses pidana Jerinx, penegak hukum menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Namun ada kerancuan dalam penerapan UU ITE yang melibatan jutaan orang pengguna internet di Indonesia. Apakah penerapan UU ITE hanya diberlakukan kepada influencer, artis, politikus, dan ulama?! Karena faktanya, banyak yang melakukan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik tapi tidak diproses secara hukum. Batasan dalam UU ITE juga tidak begitu jelas. Tentang pengaruh/ dampak yang ditumbulkan, konteks dan maksud ekspresi, hingga jangkauan yang menimbulkan potensi kegaduhan sosial. Sehingga UU ITE bisa dijadikan alat penguasa untuk menghukum siapapun yang tidak dikehendakinya.
Penerapan UU ITE menjadi ancaman tersendiri bagi negara yang menganut sistem demokrasi. Sejak penerapan UU ITE, banyak pengguna media sosial ketakutan untuk berekspresi dan mengeluarkan opini di depan publik. Di lain sisi, gadget dan media sosial memfasilitasi untuk setiap orang memberanikan diri bersuara ketika melihat ada penyimpangan atau ketidakteraturan sosial. Keresahan tentang UU ITE juga dirasakan oleh para komedian dalam mengekspresikan candaan. Bahkan beberapa di antaranya tersandung masalah serupa karena dianggap menyinggung individu atau organisasi.
Setiap orang punya hak untuk menyatakan pendapat. Penilaian unsur subjektif kebencian tidak bisa dijadikan dalih menghukum seseorang. Mestinya negara menjadi wadah berekspresi sebebas-bebasanya, bukan malah menakut-nakuti dengan ancaman-ancaman dalam UU ITE yang terkesan menjadi alat kediktatoran pemerintahan.
Baca Juga : Ilusi Negara Agraris
Di Balik UU ITE
Pembandingan kasus yang melibatkan Jerinx merambah ke berbagai kasus hukum lainnya. Sebut saja dua pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang hanya dihukum 2 dan 1,5 tahun penjara. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan selama 4 tahun ke belakang rata-rata vonis penjara untuk koruptor hanya menyentuh angka 2 tahun 7 bulan penjara. Ketidakadilan di mata hukum membuat sebagian orang gerah melihat kondisi pemerintahan sekarang.
Kalau melihat track record Jerinx, ia sangat konsisten mengkampanyekan BTR (Bali Tolak Reklamasi) sejak tahun 2011 yang akan dikerjakan oleh PT Tirta Wahana Bali International (TWBI). Isu Reklamasi Teluk Benoa menjadi ramai saat SK gubernur soal perizinan proyek diterbitkan secara diam-diam. Bersama Superman Is Dead, Jerinx melakukan aksi-aksi penolakan reklamasi di Bali dalam setiap konsernya. Bahkan sempat di-blacklist oleh beberapa event organizer karena menolak untuk menghentikan kampanyer BTR.
Aksi Jerinx mendapat apresiasi dari publik dengan memberikan dukungan di berbagai daerah. Sebut saja Jogja dan Bandung yang turut memberikan wadah berekspresi sebagai bagian dari Bali Tolak Reklamasi yang gencar dikampanyekan Jerinx. Fans SID pun ikut ramai menyuarakan penolakan reklamasi yang dianggap menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan. Turut pula rekan musisi yang berjamaah mendukung Jerinx “melindungi” tanah kelahirannya.
Tanggal 4 Otober 2019, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Susi Pudjiastusi mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 46/KEPMEN-KP/2019 Tentang Kawasan Konservasi Maritim Teluk Benoa. Dengan area seluas 1.243 hektar di Kabupaten Badung, Bali. Di dalam zona inti terdapat 15 titik koordinat, masing-masing dengan radius kurang lebih 50 cm. Dengan lantangnya Jerinx menyuarakan Bali Tolak Reklamasi, apakah kurungan terhadap Jerinx juga dimaksudkan untuk membungkam masifnya penolakan terhadap reklamasi di Bali?!
Baca Juga: Hukum Pengerusakan Lingkungan Hidup
Konservasi Taman Nasional Komodo
Selaras dengan Reklamasi Teluk Benoa, gagasan konservasi Taman Nasional Komodo menjadi atraksi wisata premium dengan konsep film Jurassic Park menuai protes dari masyarakat. Tagar #savekomodo menjadi viral beberapa pekan lalu. Proyek ini dicetuskan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, dengan mengambil Pulau Rinca, Labuan Bajo, sebagai lahannya.
Dengan area seluas 1,3 hektar, diharapkan bisa menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung ke Taman Nasional Komodo. Selain mengenalkan keindahan Indonesia, proyek ini juga akan meningkatkan pendapatan daerah dan nasional yang melemah selama pandemi Covid-19. Namun gagasan ini mendapatkan penolakan dari berbagai LSM pemerhati lingkungan dan aliansi masyarakat NTT. Konservasi Taman Nasional Komodo dianggap akan merusak unsur habitat alamiah komodo. Bagi masyarakat sekitar, komodo dan ekosistemnya merupakan warisan leluhur yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri.
Proyek-proyek reklamasi, rehabilitasi, atau restorasi yang dilakukan pemerintah adalah upaya kapitalisasi lingkungan alam dengan dalih menyejahterakan masyarakat sekitar. Proyek Konservasi Taman Nasional Komodo dengan anggaran sebesar 69.96 miliar akan menguntungkan banyak perusahaan yang teribat dalam proyek tersebut. Para investor dan pemerintah pusat maupun daerah juga akan “kecipratan” hasil dari pelegalan mega proyek Jurassic Park - Taman Nasional Komodo.
Pemerintah sedang kebingungan meningkatkan pendapatan nasional untuk melunasi hutang negara dan menjalankan roda perekonomian secara stabil. Pada akhirnya harus mengorbankan lingkungan yang masih alamiah untuk proyek-proyek yang bisa mendapatkan pemasukan secara instan. Kemajuan sebuah negara bukan hanya diukur dari seberapa banyak bangunan pencakar langit di tempat-tempat wisata. Indonesia perlu mensyukuri nikmat kekayaan alam yang mestinya dilestarikan, bukan dijadikan objek bisnis untuk menumpuk kekayaan.
0 comments: