CATEGORIES

Showing posts with label politik. Show all posts

Politikus itu beramai-ramai mengumbar aurat di ruang publik. Menelanjangi diri untuk menarik atensi banyak orang dengan kemolekan janji dan ...

Aurat Politikus

Politikus itu beramai-ramai mengumbar aurat di ruang publik. Menelanjangi diri untuk menarik atensi banyak orang dengan kemolekan janji dan pencitraan. Tidak ada yang ditutupi, selain kejujuran dan kebenaran moral. Semakin sering berorasi, semakin telanjang para politisi.

Substansi aurat adalah aturan pemilik kehidupan (Tuhan) tentang sebagian prinsip yang harus dijaga; ditutupi. Menjaga aurat terletak pada tindakan menutupinya, bukan objek yang ditutupinya. Aurat adalah simbol tentang apa yang seharusnya manusia jaga dan tutupi. Bukan hanya batas tubuh, namun lebih kepada kompleksitas kehidupan.

Ada aurat yang harus ditutupi meski itu merupakan sebuah kebenaran. Misalkan nanti kalau anak bertanya, “Darimana dulu aku dilahirkan?”. Tidak lantas seorang ibu membuka celana dan menunjukan tempat di mana ia dilahirkan dan menjadi bayi. Itu kebenaran, tapi harus ditutupi.

Ada juga kebenaran yang harus dibuka seperti batasan aurat tentang kejahatan seseorang seperti korupsi, pembunuhan berencana, dan tindakan kriminal lainnya. Perilaku yang harus dibuka agar menjadi pelajaran bagi semua orang bahwa negara punya hukum dan keadilan.

Media sosial sekarang menjadi ajang pamer aurat. Penggunanya harus siap ditelanjangi dan menelanjangi orang lain. Tidak jelas batasan aurat yang harus ditutupi dan yang harus dibuka. Mereka tidak menyadari batasan aurat yang benar dan yang salah. Semua serba telanjang. Mengumbar aurat di tempat umum.

 

Pelacur Politik

Politikus dadakan muncul menjajakan diri ke partai-partai. Menjual nama besar dan memberikan amplop modal menjadi pelacur politik. Politikus laki-laki gagah mengenakan peci dan sorban, sementara perempuannya anggun mengenakan jilbab. Mencitrakan diri alim di hadapan warga yang mayoritas muslim. Bukan untuk menutup aurat, tetapi menjual diri.

Agama merupakan alat efektif mengelabuhi orang untuk patuh dan tunduk. Label ulama berceceran ikut berkampanye menyuarakan kepentingan. Lupa berdakwah dan fokus mengincar kekuasaan. Budaya mengumbar aurat menciptakan virus berahi politikus.

Politikus memandu masyarakat untuk “berkaraoke” di parlemen dan istana. Kadang menjadi oposisi, kadang berkoalisi. Tergantung siapa yang berani membelinya. Pelacur politik mengumbar aurat melalui kebijakan fiktif, janji kesejahteraan, dan persekongkolan finansial. Menyediakan beberapa kamar untuk politikus lain, pengusaha, dan lembaga negara.

Terjun ke dunia politik harus rela menyingkirkan kepentingan agama untuk meraih kekuasaan. Dosa tidak lagi menjadi pertimbangan ketika melihat politikus lain aktif mengumbar aurat di televisi, media sosial, dan panggung rakyat. Desahan kesedihan diframing bentuk empati terhadap kemiskinan. Ketika berkuasa, pelacur itu menjadi raksasa kejam yang menakuti dan mengancam kebahagiaan rakyat.

Ketika pemerintah beraksi menutup lokalisasi prostitusi, masyarakat sibuk membuka praktek pelacuran di ruang-ruang publik. Libido seks bertransformasi menjadi libido kekuasaan. Berebut kursi kekuasaan dan mengabaikan nilai-nilai kesusilaan dan keagamaan.

 

Mengumbar Aurat

Tidak ada yang boleh ditutupi. Ranah privasi adalah informasi publik. Sidang dipaksa diumbar, strategi politik dibongkar, dan pronografi dipasang di berbagai sudut ruang. Perilaku seksual anak lumrah terjadi ketika negara lupa menjaga auratnya. Pemerkosaan, perselingkuhan, promosi video seks, hingga jasa pelacur mudah diakses semua orang.

Moralitas bangsa dihancurkan aksi umbar aurat semua elemen masyarakat, termasuk politikus. Tuhan memberikan rambu-rambu batasan aurat diterjang demi kepentingan kelompok. Politikus menyusun kata-kata rayuan untuk menggoda rakyat agar memilihnya. Saking berahinya, rakyat mudah menggadaikan dirinya di bilik-bilik pemilu.

Kehidupan yang penuh aurat dikehendaki semua orang dan difasilitasi pemerintah. Zina mata, ucapan, perilaku, dan pengambilan keputusan yang tidak lagi berorientasi pada aturan agama. Apapun dilakukan demi terpenuhinya kepentingan. Tidak lagi mengetahui aurat mana yang mesti dibuka dan ditutup.

Ayat-ayat suci dinodai oleh pelacur politik untuk dijadikan alat berkampanye. Aurat yang semestinya dibuka seperti halnya pelanggaran HAM malah ditutup rapat. Aurat yang semestinya ditutupi malah dijadikan bahan membuka aurat lainnya seperti ujaran kebencian, penyebaran berita hoaks, dan caci-maki.

Anak-anak yang butuh asupan agama dan budaya malah diajari sikap amoral para pelacur di internet. Traumatis kebudayaan mengikis nilai dan norma. Sebaran aurat memaklumkan perilaku dosa, apalagi jika sudah beririsan dengan dunia politik. Tidak ada lagi kontrol orang tua, agamawan, dan guru ketika semuanya juga ikut menikmati dan melakukan praktek mengumbar aurat.***

Melesatnya kemajuan teknologi menghadapkan manusia pada masa depan yang belum pernah ada sebelumnya. Konsepsi tentang dunia yang ideal tanpa...

Seni Politik Imperalisme


Melesatnya kemajuan teknologi menghadapkan manusia pada masa depan yang belum pernah ada sebelumnya. Konsepsi tentang dunia yang ideal tanpa batasan negara dan kekuasaan. Gagasan penciptaan kehidupan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi secara digital.

Kecanduan pada teknologi dimanfaatkan pemilik kapital menguasai nasib manusia. Ekonomi digital menjadi metode penjajahan modern. Peran politik menyelinap dalam industri media mempengaruhi pola pikir di masyarakat agar sangsi terhadap pemerintah. Mengacaukan negara untuk tunduk pada kekuatan kapitalis imperalisme.

Ketika sistem negara diabaikan, harapan kehidupan ideal dapat diatur oleh segelintir elit global. Menebalkan isu konspirasi untuk menciptakan turbulensi sosial-politik domestik. Kecerdasan politik imperalisme menghindarkan penguasaan wilayah melalui peperangan atau paksaan. Manusia dibuaikan pada iming-iming kehidupan yang ideal, sementara realitanya menjadi budak imperalis.

Digitalisasi kehidupan membawa manusia agar tergantung pada gawai (gadget). Terlihat perilaku mengatur gawai, namun dalam ketidaksadarannya diatur program dari gawai. Manusia dijadikan barang dagang dalam industri digital. Sebagai aktivitas sosial, politik digital mencoba menciptakan tata sosial secara komprehensif.

Politik modern cenderung memiliki konsep otoritas secara implisit maupun eksplisit. Pengelola aturan tidak lagi dalam kendali negara, melainkan dikuasai oleh korporasi digital. Menciptakan ketergantungan-keterhubungan, mempengaruhi pola pikir dan perilaku, dan menjadikan konflik sosial. Politik imperalis akan membentuk negara artifisial terbentuk dari tindakan politik yang disengaja (voluntary action): pembentukan sebuah persekutuan (union).

Dunia digital menawarkan keadilan dan kesejahteraan dalam bidang sosial dan ekonomi. Setiap orang punya potensi mengekspresikan minat dan bakatnya untuk memperoleh keuntungan dan kesuksesan tanpa bergantung pada kebijakan politik negara. Selain itu juga menjanjikan rasa aman dari tindak kriminal. Ketika negara tidak dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dasar manusia, kekuatan kapitalis akan menguasai kehidupan manusia di masa mendatang.

Asumsi penguasa global mengarah kepada kelompok kapitalis Amerika Serikat dan Uni Eropa yang memainkan peran politik sejak lama. Ada juga Cina dan Rusia yang mencoba menantang dominasi politik imperalisme modern. Sementara negara miskin dan berkembang hanya dijadikan pasar mengeruk sumber daya untuk berperang di arena dunia digital.


Seni Imperalisme

Gagasan dunia ideal merupakan imajinasi seniman politik berdasarkan daya cipta dan kreasi yang ingin diwujudkan (karya). Seni dimaknai sebagai pembebasan jiwa dari keterbelengguan aturan yang kaku dan memaksa. Seni mengharapkan terjadinya politik emansipasi dan otonomi yang bersifat sosial dan menentang kebudayaan masyarakat.

Otonomi seni membentuk dialektika dengan komdifikasi namun tidak digunakan untuk mengubah moral dan perilaku masyarakat. Setiap orang punya aturan dan cara bertahan hidup masing-masing. Proyek digital hanya menfasilitasi kreaktivitas manusia untuk melawan penguasa di dunia nyata.

Seni imperalisme membawa manusia dalam angan-angan kehidupan yang lebih baik dari saat ini. Menjanjikan kesejahteraan, keamanan, dan keterhubungan. Manusia diajak menikmati pertunjukan digital yang menyajikan “tontonan” menarik “film fiksi” dengan akhir cerita yang bahagia. Karya kapitalis memberikan khasanah sebuah museum publik yang terbuka untuk siapa, kapan, dan di mana saja.

Meski terkesan kontradiktif antara seni dan politik, kelompok kapitalis punya cara sendiri mengawinkan seni politik untuk memikat manusia dalam pengaruh global. Mengajak masyarakat melupakan kebudayaan bangsa, menciptakan konflik sesama saudara, dan merampok kekayaan sumber daya negara.

Teknologi digital merupakan karya seni kaum kapitalis global untuk menjajah kaum proletariat. Walter Benjamin dalam esainya berjudul “The Work of Art” menjelaskan tentang usaha emansipasi atau pembebasan manusia dari keterkungkungan fasisme dan teknokratis politis dalam bentuk budaya massa, fetisisme, dan konsumerisme sebagai titik kulminasi sistem kapitalisme.

Seni politik yang diaktualisasikan dalam program digital tidak hanya dimaknai sebagai reproduksi seni, melainkan juga bentuk transmisi karya seni. Revolusi teknologi mengaburkan karya seni yang biasa dinikmati secara audio dan visual menjadi kerangka imajinatif yang mengatur pola perilaku masyarakat.

Teknologi menjadi medium seni untuk kepentingan politik. Industri konvensional dipaksa tunduk dan hancur dalam dinamika perubahan sosial ekonomi di masyarakat. Kekuasaan domestik tidak lagi memiliki otorisasi mengatur masyarakat selain merelakannya dalam keterikatan politik global yang dipimpin oleh kelompok imperalis global.***

Dalam buku Pemerintah Bukanlah Negara  karya Pipit Rochijat Kartawijaya menyatakan bahwa tidak jelas pemilihan antara negara dan pemerintah....

Kritis di Negara Krisis

Dalam buku Pemerintah Bukanlah Negara karya Pipit Rochijat Kartawijaya menyatakan bahwa tidak jelas pemilihan antara negara dan pemerintah. Rakyat dininabobokan dengan hegemoni pembangunan pemerintah dan mengaburkan nilai-nilai kenegaraan. Perangkat kenegaraan dipaksa tunduk pada pemerintah.

Instrumen kenegaraan juga mendukung terpusatnya pemerintah sebagai penentu hak tunggal kebijakan. Politik diatur sedemikian rupa untuk mencapai ambisi pemerintah dalam bingkai koalisi. Wakil rakyat bersekongkol mengelabuhi rakyat dengan iming-iming santunan sosial dan rekayasa kesejahteraan.

Kebijakan pemerintah yang dalam narasinya menyejahterakan rakyat hanyalah politik pencitraan di balik kerakusan menguasai negara. Tidak ada lagi kedaulatan rakyat, selain kedaulatan pemerintah. Hak pekerja yang didominasi rakyat miskin dieksploitasi dengan UU Ciptaker. Kebebasan berpendapat dibungkam dengan UU ITE. Demokrasi runtuh perlahan dalam euforia pembangunan yang disediakan untuk para penguasa dan pemilik modal.

Sistem pendidikan yang bobrok dipertahankan sebagai upaya membodohkan rakyat. Siswa diajari untuk tunduk, patuh, dan seragam. Buruh dipaksa menerima keadaan digaji pas-pasan. Petani lahannya digilas kebijakan gila para korporat. Kemiskinan dibiarkan dan menunggu rakyat mati perlahan sebagai kondisi alamiah hidup di negara krisis.

Politikus dan aktivis kemanusian berdrama di panggung untuk sedikit menciptakan konflik yang kemudian menghilang. Media disuap untuk menjadi humas pemerintahan. Rakyat dihipnotis untuk ikut permainan politik gelap yang diarahkan agar saling bertikai. Mencitrakan beberapa tokoh yang bakal menjadi tumbal rezim pemerintahan berikutnya.

Sikap kritis rakyat terhadap pemerintah sebagai kondisi ideal negara demokrasi sengaja disembunyikan. Kritik keras dihantui hukuman yang ditentukan pemerintah. Kritik hanya dibatasi pada kulit kebijakan yang tidak dapat menyelamatkan sistem dan nasib rakyat di masa depan. Rakyat diajari dan dipaksa tunduk, tidak boleh bicara!

Menciptakan prajurit media sosial untuk mengintimidasi kritikus. Rakyat yang seharusnya menjadi alat mengubah dan mengontrol pemerintah malah melamar sebagai budak pemerintah. Negara yang yang sedang krisis, tapi rakyatnya tidak boleh kritis. Sementara pemerintah dan segala apapun yang di belakangnya menikmati kekayaan sumber daya yang disediakan negara. Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju dengan segala potensi yang dimilikinya.

 

Baca Juga : Konduktor Politik 2024

Kritik-Kolektif

Rakyat perlu merawat nalar dengan melihat realitas di lapangan. Skenario politik menghendaki untuk terbenturnya agama, hilangnya kebudayaan, dikuasainya modal ekonomi, pendegradasian moral, bobroknya pendidikan, dan kecacatan hukum. Era media memudahkan pemerintah menyiasati kondisi ideal agar rakyat tidak punya kehendak untuk memberontak dan melawan keadaan.

Kritikus tidak lagi kencang suaranya ketika ditawari jabatan. Kehidupuan segelintir orang yang hidup bermewahan hanya menjadi hiburan rakyat miskin yang berdasarkan data BPS terbaru meningkat 9,57 persen. Kesenjangan ekonomi diwajarkan dalam negara yang menganut asas keadilan. Konstitusi sengaja mutlak dikendalikan pemerintah dan kritikus tidak punya lagi kesadaran sense of crisis.

Kritik harus kembali disuarakan sebagai bagian dari iklim demokrasi. Orientasi pada keadilan dan kesajahteraan kolektif tanpa mengutamakan kepentingan diri (egosentris). Ada banyak elemen masyarakat yang perlu diselamatkan dan ada kepentingan negara yang mesti kembali dihidupkan.

Ditariknya kubu oposan politik, kaum ulama, dan kritikus senior menyisakan rakyat-rakyat yang kebingungan meratapi nasib di negara yang tidak lagi berideologi; berkonstitusi. Media juga perlu menyediakan wadah kritik agar tidak semakin anarkis pemerintah menjajah negaranya sendiri.

Belum selesai urusan domestik, pemerintah enteng saja menawarkan negaranya diakuisisi pihak asing dengan membukakan investasi. Berhutang yang kelak punya potensi dijualnya kedaulatan negara. Menyandarkan keputusan politik global, menjadikan negara pasar ekonomi asing, dan menanam modal investasi di banyak lahan rakyat miskin.

Kemiskinan jarang dipublikasikan, sedangkan objek kemiskinan tidak punya suara dan instrumen menyalurkan keresahannya selain menunggu kado pemerintah sebagai strategi mengatakan pada seluruh masyarakat bahwa Indonesia baik-baik saja. Pemimpin tidak punya lagi kekuatan dalam jeratan partai. Wakil rakyat diatur agar tidak menghalangi kerakusan pemerintah menguasai negara.

Kritik-kolektif adalah senjata menyadarkan pemerintah dari perilaku hedonisme. Membuka mata tentang kondisi memprihatinkan rakyat yang tidak punya suara. Kesenjangan ekonomi yang semakin tidak masuk akal. Generasi emas hanyalah ilusi di negara yang kritis tapi rakyatnya tidak lagi krisis.

Politik modern mematikan nalar objektif dengan sistem polarisasi. Rakyat dibentuk untuk sibuk bermusuhan. Sementara pemerintah menjadi sutradara drama politik. Disadarkan pada politik Orde Baru yang menyingkirkan lawan politiknya untuk berkuasa, sementara sekarang dan yang akan datang dengan mengajak lawan politik sama-sama menikmati kekuasaan.***

Integritas pemimpin akan berimplikasi pada penciptaan sistem budaya kerja. Dalam tataran lingkungan kerja, manajer punya andil peningkatan k...

Integritas Pemimpin

Integritas pemimpin akan berimplikasi pada penciptaan sistem budaya kerja. Dalam tataran lingkungan kerja, manajer punya andil peningkatan kualitas budaya kerja bawahannya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa budaya dipengaruhi oleh hubungan sosial. Tradisi merupakan warisan, sementara budaya diajarkan.

Untuk membangun integritas seseorang perlu pemahaman mengenai nilai yang dipegang dari pengetahuan dan pengalaman yang pernah didapat. Aktualisasi dari nilai merupakan bentuk moralitas yang jika konsisten akan meningkatkan integritas seseorang. Mempertahankan integritas akan memberikan teladan dan membentuk budaya kerja.

Tanggung jawab pemimpin yang berintegritas diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan atau organisasi. Secara komunal, sikap berintegritas akan dibudidayakan yang dimulai dari cerminan pemimpin. Kekompakan budaya kerja yang diidentifikasikan dari reaksi rangsangan lingkungan akan memberikan pemahaman tentang proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal.

Integritas umumnya dihubungkan dengan suatu keutamaan/ kebajikan (virtue) atau karakter yang baik (Audi & Murphy, 2006). Pemimpin harus memiliki ikatan afeksi pribadi, perasaan belas kasih, dan emosi moral dalam setiap pengambilan kebijakan. Nilai yang dipegang harus komitmen dilakukan agar budaya bisa dipertahankan.

Setiap orang individu secara sadar harus menentukan dan mengintegrasikan berbagai keinginan menjadi kehendak yang terpadu agar terbangun budaya yang kompak. Namun tidak ada persyaratan normatif dalam pemberian atribut tokoh yang memiliki integritas. Intergritas hanya dinilai dari kemampuan seseorang dalam membangun, memelihara, dan mentransformasikan proyeksi hidup menjadi identitas diri yang berbudaya.

Itulah kenapa integritas selalu berkorelasi dengan moralitas. Semakin rendah moralitas pemimpin, semakin rendah pula kualitas budaya kerja. Akibatnya, standar moralitas dalam lingkungan kerja akan menurun. Aspek sosial seperti konflik antarpersonal, manipulasi kinerja, dan orientasi individu dalam lingkungan kerja akan sering terjadi. Budaya kerja yang berintegritas tidak akan pernah terbentuk.

Indikator menilai integritas pemimpin dapat dilihat dari sistem budaya yang dibangun. Dimulai dari komitmennya memegang nilai dan konsistensinya menjaga moral dalam bekerja. Sebagai pemimpin, prioritas kelompok akan lebih diutamakan dari kepentingan pribadi.

 

Baca Juga : Mencari Pemimpin yang Se(n)iman

Pilihan Presiden

Integritas calon presiden Republik Indonesia menjadi faktor utama yang menentukan calon pemilih di pemilu 2024. Elektabilitas tentu dipengaruhi dari integritas seseorang ketika menjadi pemimpin. Konsistensi tokoh mengimplementasikan nilai hidup akan meningkatkan integritas dan elektabilitasnya. Demikian yang menyebabkan pencitraan politis perlu dilakukan untuk menunjukkan integritas tokoh.

Perilaku dan pengambilan keputusan secara amoral akan mereduksi tingkat kredibilitas seseorang. Meskipun iklim politik penuh dengan intrik kebijakan untuk mempengaruhi keputusan pemilih, namun rekam jejak kepemimpinan bisa dijadikan parameter integritas seseorang. Keterbukaan informasi mencatat komitmen calon pemimpin dari diaplikasikannya janji kampanye, usaha mengubah budaya kerja yang tidak sehat, dan terpenuhinya keinginan mayoritas masyarakat.

Pilihan presiden 2024 menjadi ajang tokoh potensial meningkatkan integritas kepemimpinannya saat ini. Mengubah paradigma negatif masyarakat menjadi apresiasi penciptaan budaya organisasi yang berkeadilan dan bertanggung jawab. Revolusi budaya dibutuhkan masyarakat ketika banyak yang sinis terhadap kinerja kepemerintahan.

Namun komitmen mengubah budaya kerja pemerintah perlu dimulai dari pembangunan integritas diri. Menjauhi tindakan yang bertentangan dengan moral yang dipegang secara komunal di masyarakat. Mengurangi kebijakan yang bertentangan dengan nilai dan norma bangsa. Vitalitas atau daya hidup partikularitas perlu diutamakan untuk kebaikan bersama dalam komunitas yang ideal.

Dari kepemimpinan yang berintegritas akan menciptakan budaya kerja sama dan bertanggung jawab mewujudkan tujuan organisasi. Representasi integritas pemimpin secara nyata dapat dilihat dari sikap kesederhanaan, kedisiplinan, visioner, keberanian, kesabaran, kerja keras, dan bertanggung jawab. Meskipun faktor selain integritas punya pengaruh tersendiri keterpilihan calon presiden, seperti bentukan koalisi partai dan relasi keagamaan.

Membentuk integritas tidak bisa secara instan dari pencitraan di media. Ada komitmen panjang menciptakan budaya kerja yang bermoral dan memegang teguh nilai-nilai hidup untuk mencapai tujuan bersama. Elektablitas punya pengaruh besar keterpilihan calon presiden akibat dari promosi integritas yang dilakukan selama menjadi pemimpin daerah atau organisasi.

Namun integritas tokoh tidak bisa disepakati seluruh masyarakat karena perbedaan nilai dan moralitas yang dianutnya. Sementara banyak variabel integritas sesorang yang berbeda antara satu individu dengan yang lainnya. Ada yang lebih mengutamakan faktor kejujuran, keberanian, kesederhanaan, kecerdasan, hingga atribusi keagamaan.***

  Genderang perang pilihan presiden (pilpres) 2024 sudah ditabuh sejak dini. Partai politik sibuk melakukan komunikasi politik untuk membent...

pemimpin seniman

 

Genderang perang pilihan presiden (pilpres) 2024 sudah ditabuh sejak dini. Partai politik sibuk melakukan komunikasi politik untuk membentuk koalisi. Beberapa di antaranya sudah terang-terangan mendeklarasikan bakal calon presiden di media. Meski masih setahunan lebih, namun tidak ada yang terlambat dalam dunia politik.

Anies Baswedan yang diusung partai Nasional Demokrat (NasDem) misalnya, mulai melakukan mobilisasi dukungan kepada calon potensial koalisi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selain itu, aktif melakukan lobi politik ke basis Islam terbesar - Nahdlatul Ulama - dengan berbagai kunjungan ke pondok pesantren di Jawa Timur.

Di sisi lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih berhati-hati menentukan calon presiden. Kader potensial Ganjar Pranowo dinilai pesaing ideal untuk bertarung dengan Anies di arena pilpres. Sementara Puan Maharani yang digadang menjadi penerus (akar rumput) Megawati masih jauh dari elektablitas yang memuaskan publik.

Masih ada juga calon presiden yang memiliki elektablitas dan popularitas tinggi seperti Prabowo Subianto, Erick Tohir, Agus Harimurti Yudhyono, hingga Muhaimin Iskandar. Apa pun itu, tembok presidential threshold membatasi masyarakat memilih pemimpin yang ideal tanpa harus melakukan lobi-lobi politik.

 
Baca Juga : Konduktor Politik 2024

Pemimpin Seiman

Sejak lama, pemikiran bahwa presiden Indonesia harus muslim masih menjadi pedoman bangsa yang punya basis masyarakat beragama Islam. Seolah tidak ada peluang bagi tokoh nonmuslim sekedar bersaing dalam pemilihan calon presiden. Kesadaran kaum minoritas mendorong pencalonan pemimpin muslim yang toleran terhadap kondisi pluralisme di Indonesia.

Puncak benturan politik agama terjadi ketika mulai terbentuknya politik identitas. Bukan perseteruan antar agama, melainkan simbolisasi konsep islamisme dan nasionalisme. Narasi pilihan pemimpin yang seiman dijadikan narasi memenangkan Anies Baswedan ketika mempecundangi Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dalam pilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017.

Mengetahui bahwa gubernur DKI Jakarta merupakan batu loncatan menjadi presiden Indonesia, isu agama dimainkan secara nasional yang kemudian merambat ke politik daerah. Agama menjadi alat berpolitik praktis. Memainkan isu sekulerisasi, komunisme, radikalisme, hingga terorisme. Akibat politik identitas, agama menjadi bahasan yang tabu (sensitif) dibicarakan di ruang publik.

Masyarakat minoritas yang mempunyai hak sama memilih dan dipilih menjadi pemimpin harus mengurungkan niat sampai doktrinasi politik agama tidak lagi mengatur dominasi pemilu di Indonesia. Bagi nonmuslim, tidak ada lagi pilihan untuk memilih pemimpin yang seiman, selain pemimpin muslim yang masih peduli terhadap agamanya.

 

Pemimpin Seniman

Misalkan pilihan pemimpin seiman masih membelenggu demokrasi di Indonesia, ada variabel lain menentukan pemimpin yang ideal di masa depan. Pemimpin yang punya jiwa seniman. Kreaktif dan inovatif mengatasi problematika nasional tanpa iming-iming janji politik dan pencitraan di ruang-ruang publik.

Melalui tangan seniman, tradisi menjadi sesuatu yang harus diubah, bukan disembah. Dari pikirannya yang imajinatif, lahir ide-ide baru mengenai tata kelola masyarakat, jalan hidup untuk kebebasan, pandangan tentang keadilan, dan kepekaan terhadap realita sosial. Seniman punya batin yang melintasi batas-batas agama, ras, golongan, dan budaya.

Seni memimpin tidak akan pernah mengucapkan ketidaktahuan tentang sesuatu. Mereka akan mengajak orang lain berdiskusi tentang apa yang penting untuk dilakukan dan kemudian mengimplementasikannya tanpa keragu-raguan. Menjadi seniman harus punya prinsip dan idealisme ketika memimpin. Tidak goyah dipengerahui koalisi, kepemilikan partai pengusung, dan para kolega.

Reformasi tidak mengubah secara fundamental tradisi berpolitik dan bernegara. Masih banyak kasus korupsi, sistem politik dinasti, pembatasan hak berpendapat, dan ancaman hukum dari kebijakan pemerintah yang otoriter. Kebebasan tidak mutlak didapat meski konstitusi menghendaki adanya sistem domokrasi bermasayarakat dan bernegara. Indonesia masih gagap berpolitik dan menggunakan praktek tradisi lama.

Belum muncul jiwa seniman yang selalu gelisah memunculkan ide-ide baru mengenai pembaruan kebijakan yang relevan dengan perkembangan zaman. Tidak terikat pada doktrin masa lalu dan terkekang pada idealisme kelompok pengusung. Dengan memilih pemimpin yang seniman, meminimalisir narasi politik identitas. Seni (keindahan) yang bersifat realtif akan mengaburkan konflik politik dan agama.

Seniman tidak menyandarkan keindahan karya pada politik dan agama. Indonesia adalah negara yang akan disulap menjadi panggung pertunjukan yang estetis. Dengan latar keindahan lingkungan dan melimpahnya sumber daya alam, seniman akan membawa Indonesia menjadi negara yang disegani dan bermartabat di mata dunia.

Kira-kira siapa calon presiden yang punya jiwa seni untuk menjadi pemimpin Indonesia? Ataukah akan kembali dipimpin oleh tokoh-tokoh lama yang kolot terhadap perubahan?

Stand Up Comedy Indonesia kini menjadi genre lawak yang mulai banyak digandrungi kawula muda. Menyajikan hiburan dengan konsep lawakan tungg...

Berdemokrasi Melalui Stand Up Comedy

Stand Up Comedy Indonesia kini menjadi genre lawak yang mulai banyak digandrungi kawula muda. Menyajikan hiburan dengan konsep lawakan tunggal dengan membawakan beberapa keresahan yang kadang dibalut dengan narasi satire. Berbagai perlombaan yang diadakan industri penyiaran, perusahaan swasta, hingga institusi pemerintahan menunjukan betapa wabah Stand Up Comedy mulai menulari lintas generasi dan golongan masyarakat Indonesia.

Bahkan di acara-acara sketsa hiburan televisi, talkshow, dunia perfilman, hingga panggung konser musik atau pengajian disisipkan komika (sebutan pelaku Stand Up Comedy) untuk menjadi daya pikat penonton. Perkembangan komunitas juga semakin pesat sejak pertama kali diresmikan pada tanggal 13 Juli 2011 yang dipelopori oleh Ernest Prakasa, Ryan Adriandhy, Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, dan Isman H. Suryaman.

Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, Stand Up Comedy memiliki sejarah panjang sejak dari abad 19. Setelah itu dikenal sebagai jenis komedi cerdas yang tidak sembarangan membuat lelucon kasar, tetapi serius dipikirkan dan memiliki batas-batas kepantasan yang tegas di atas panggung. Darinya melahirkan kesadaran tentang adanya kompromi politik, kerakusan pejabat, dan pengabaian kepentingan rakyat.

Geliat komika nasional yang sukses di industri hiburan memicu banyak orang yang keluar dari pekerjaan tetap untuk banting setir menjadi komedian (Stand Up Comedy). Beberapa di antaranya nekat hijrah ke Jakarta untuk mencari penghasilan dari lawakan. Besarnya animo pelaku dan penikmat Stand Up Comedy kerap dimanfaatkan kelompok tertentu yang bermuatan politis untuk menarik massa atau pemilih suara di pemilu.


Baca Juga : Stand Up Comedy ala Kiai Kampung

Keresahan Politik

Banyak komika membawakan keresahan dengan narasi kritik sosial dan politik di atas panggung. Beberapa di antaranya harus berisiko mendapatkan somasi dan kasus hukum terkait materi yang disampaikan. Lainnya berhasil lolos dengan tetap mengedepankan prinsip berdemokrasi tentang hak kebebasan berpendapat di ruang publik.

Namun karena potensi ketersinggungan dengan jerat hukum melalui medium Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menurunkan kualitas kritik secara tersurat maupun tersirat dari para komika. Ada anggapan negara masih belum benar-benar menerapkan konsep demokrasi (kebebasan berpendapat). Meski ada beberapa komika masih konsisten melancarkan kritik-kritik pedas terhadap lembaga kepemerintahan.

Menertawakan politik menjadi hiburan bagi masyarakat yang mulai muak dengan retorika politikus dan segala bentuk pencitraan kebijakan. Komika secara tidak sadar mengajari masyarakat untuk melek politik. Cerdas memilah dan memilih tokoh politik untuk menjadi pejabat atau pemimpin negeri. Banyak informasi yang terkuak dari sudut pandang komika namun sering luput dari informasi masyarakat pada umumnya. Keresahan ini yang menjadi kekuatan demokrasi, sebaliknya bisa mengancam otoritarian pemerintah.

Stand Up Comedy Indonesia akan menjadi pertimbangan politik domestik untuk menarik suara di tahun 2024. Namun sejauh ini, banyak komika yang masih konsisten menjaga jarak dari iming-iming politik sebagai konsekuensi atas konsistensi menjadi agent of control kebijakan pemerintah. Melancaran kritik atas keresahan yang dibawakan di atas panggung dengan dasar argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.


Baca Juga : Ulah Komedi Feminisme

Politik Hiburan

Komika mengajarkan cara berdemokrasi yang elegan di Indonesia. Menyuarakan keresahan bukan melalui tulisan di media yang punya batas keterbacaan mengingat rendahnya literasi masyarakat. Tidak juga dengan demonstrasi di jalan raya yang jarang didengar oleh pejabat atau pemerintah. Apalagi mencaci maki di media sosial tanpa landasan informasi yang jelas.

Di tangan komika, politik hanyalah gerakan menyalurkan libido kekuasaan yang kerap menjadi bahas tertawaan. Banyak aksi pencitraan politikus yang bertujuan menarik empati pemilih suara, namun dibawakan komika dari perspektif komedi sehingga menjadi bahan lelucon di masyarakat. Kecerdasan mengulik fenomena politik dari komika menjadi kekuatan menyampaikan aspirasi masyarakat meski dibungkus dengan komedi.

Komika punya keahlian membangun narasi penonton yang kemudian dipatahkan (punchline). Sementara setiap komika punya sudut pandang melihat fenomena politik untuk dijadikan bahan tertawaan. Dalam dunia Stand Up Comedy Indonesia, politik hanyalah bahan roasting yang sering dibawakan dan mudah dikomedikan. Di kaca mata penikmat Stand Up Comedy, politik adalah hiburan, bukan jabatan yang harus diraih dengan menghalalkan berbagai cara.

Semakin populernya Stand Up Comedy Indonesia membawa dampak positif dan negatif bagi peta politik nasional. Dampak positifnya membuka mata masyarakat tentang pentingnya sadar politik agar tidak mudah dibohongi politikus dan juga dapat mengenalkan kebijakan-kebijakan nonpopoler di ruang publik. Dampak negatifnya adalah meningkatnya golongan putih (golput) akibat sikap apatis terhadap politik praktis.

Pudarnya kepercayaan masyarakat karena komika memberikan argumentasi tentang lucunya politik dan politikus dalam negeri saat menentukan kebijakan, bergaya hidup, dan mengeluarkan pernyataan yang berpotensi dijadikan bahan komedi. Selain media, Stand Up Comedy punya kekuatan untuk berani menyuarakan pendapat yang kritis terhadap pemerintah. Menunjukan tentang eksistensi demokrasi di Indonesia masih ada, meskipun komika banyak yang mengajari bahwa politik Indonesia hanyalah hiburan semata.***

  Jelang pemilihan presiden 2024, berbagai organisasi di bawah naungan pemerintahan dalam negeri bergagas melakukan pemilu, seperti halnya p...

 

Orientasi Pemilihan Pemimpin

Jelang pemilihan presiden 2024, berbagai organisasi di bawah naungan pemerintahan dalam negeri bergagas melakukan pemilu, seperti halnya pemilihan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Di Kabupaten Klaten, ada himbauan melakukan pemilu serentak pergantian RT/RW melalui kebijakan pemerintah desa atau kelurahan.

Penyeragaman pemilu memudahkan menentukan masa jabatan secara administratif yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 pergantian dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007. Dalam pasal 8 ayat 3 dan 4, Pengurus Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan dan dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Selama ini, realita pemilu di tingkat RT/RW tidak setertib sesuai arahan Permendagri. Ada yang punya jabatan lebih atau kurang dari peraturan yang sudah ditetapkan. Alasan ketidaksediaan menjadi pemimpin LKD menjadi faktor utama memilih kualitas pemimpin yang memadai di tingkat RT/RW. Namun berbeda situasi ketika pemilu menentukan pemimpin desa yang sudah mulai menciptakan iklim polarisasi kepemilihan.

Jabatan RT/RW masih dipandang rendah di masyarakat dari sisi pendapatan dan kepopuleran. Penghasilan pengurus LKD cenderung nihil, kecuali ada kebijakan tertentu dari pemerintah daerah menentukan anggaran gaji untuk pengurus RT/RW. Sementara angaran besar Dana Desa dikelola oleh pemerintah desa/kelurahan yang melibatkan segenap pengurus yang membidangi masing-masing program.

Tidak adanya orientasi jabatan ketua RT/RW yang hanya dilandaskan pada sikap keikhlasan mengabdi pada masyarakat menjadi contoh kepemimpinan paling fundamental. Melupakan aspek penghasilan dan popularitas selain keinginan memajukan daerah yang dipimpinnya. Pemilihan RT/RW tidak butuh kampanye dan metode pencitaan untuk mengangkat popularitas, sebab keterpilihannya sebenarnya bukan sesuatu yang diinginkan.

Menjadi panas ketika pemilu sudah terjadi di tingkat desa/kelurahan (kades/lurah), kecamatan (camat), kabupaten/kota (bupati/walikota), provinsi (gubernur), hingga negara (presiden). Mereka berbondong menghabiskan puluhan hingga ratusan juta untuk berkampanye dan melakukan berbagai pencitraan untuk mengangkat elektabilitas ketokohan. Lalu apa orientasinya?

 
Baca Juga : Popularitas Jokowi yang Kembali Dipertanyakan

Problematika Pilpres

Pilihan Presiden (Pilpres) 2024 berpotensi masih menyisakan narasi politik identitas. Anies Baswedan sebagai tokoh yang punya basis di kalangan pemilih muslim milenial sudah resmi dicalonkan partai Nasional Demokrat (NasDem) yang mungkin disusul oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Sementara citra partai nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Golongan Rakyat (Golkar) masih belum mengambil sikap.

Partai anyar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga sudah ancang-ancang mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai suksesi Joko Widodo sebagai presiden berikutnya. Elektabilitas Ganjar dinilai sepadan untuk melawan Anies, tanpa mengecualikan popularitas Prabowo Subianto sebagai kandidat presiden 2024. Menarik menantikan sikap PDIP dalam pemilihan calon presiden, mengingat gencarnya isu pengangkatan Puan Maharani sebagai putri dari ketua umum partai.

Arena politik nasional selalu menambah gairah konflik di tingkat daerah. Semarak kampanye negatif sering disuarakan di media sosial maupun di ruang-ruang publik masyarakat. Isu SARA masih menjadi permainan politik primitif untuk menjatuhkan lawan. Sisa panasnya iklim demokrasi jelang pilpres bahkan masih kentara sampai sekarang dengan serangan politik kepada presiden Jokowi terkait keaslian ijazah waktu kuliah dan sekolah, meskipun ia sudah tidak lagi menjadi lawan politik di pilpres 2024.

Perang politis bukan lagi melibatkan antar tokoh yang bertarung di kontestasi pilpres, melainkan sudah membentuk entitas polarisasi benturan kelompok nasionalisme dan islamisme. Seolah yang terlihat kubu nasionalisme menentang berkuasanya kelompok islamisme dan sebaliknya. Iklim panas politik nasional berdampak pada konflik dalam ranah sosial masyarakat hingga organisasi terkecil: keluarga.

Begitu besarnya pengaruh pilpres dan pemilu lainnya yang melibatkan keterpilihan pemimpin yang punya narasi politis, menjadi gairah banyak tokoh yang merasa punya populartitas untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin. Semakin tinggi jabatan yang diperoleh semakin besar pengaruhnya terhadap pilihan kebijakan untuk mengatur masyarakat. Dihormati secara sosial dan mendapatkan penghasilan yang sepadan (di luar “permainan” proyek kebijakan).

Sementara pemilu RT/RW hanya mendapat pendapatan sukarela tanpa perhatian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), DKPP, Badan Pengawas Pemilu. Bahkan ketika terpaksa terpilih, mereka harus menghibahkan diri untuk memenuhi panggilan kelurahan di jam kerja, menjadi sumber kritik warga, dan dituntut memajukan daerah tanpa adanya bantuan modal dari pemerintah. Tidak ada alasan untuk ingin menjadi ketua RT/RW selain keterpaksaan. Berbeda halnya dengan menjadi gubernur atau presiden.

Dikotomi pemilihan umum yang mengubah paradigma berpikir masyarakat mengenai orientasi pemimpin. Ketika calon ketua RT/RW menolak menjabat karena alasan tidak punya kompetensi dan kapabilitas menjadi pemimpin, sementara banyak tokoh politik nasional merasa jumawa dan merasa mampu menjadi yang terbaik untuk memimpin negara. Setidaknya menjadi renungan tentang faktor kepantasan seseorang menjadi pemimpin, apakah karena prihatin melihat kesenjangan sosial di masyarakat atau hanya butuh popularitas dan dihormati semua orang?!***

Pancasila sebagai ideologi terbuka dengan nilai-nilai dasar yang dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Kekay...

kematian HAM
Pancasila sebagai ideologi terbuka dengan nilai-nilai dasar yang dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Kekayaan rohani, budaya, dan masyarakat mengimplementasikan sistem kenegaraan dan kebangsaan yang bersifat demokratis. Menghargai pluralitas dan kebebasan yang berangkat dari pandangan hidup yang berakar pada kesadaran masyarakat Indonesia.

Dinamisnya kehidupan bangsa Indonesia mereduksi hakikat pancasila dengan intervensi berbagai ideologi dari sisi paradigma, keagamaan, dan kebudayaan. Pancasila yang mengilhami kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM) dijadikan momentum mengembangkan beragam ideologi yang berpotensi mengancam kedaulatan dan dasar negara.

HAM kerap dijadikan alat melegitimasi penghinaan, pelecehan, dan motif kriminalitas sebagai bagaian dari kebebasan bereskpresi. Sementara nilai moral suatu negara yang punya kemajemukan budaya dan adat punya interpretasi terhadap standarisasai nilai. Soal definisi HAM secara normatif dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang HAM.

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Demikian yan dijadikan alat humum Lembaga Swdaya Masyarakat (LSM) maupun aktivis memperjuangkan HAM sebagai bagian fundamental dari demokrasi. Di sisi lain, faktor kebebasan sering disalahgunakan yang kemudian dibentuk aturan dalam produk hukum untuk membatasi hak asasi yang masih relevan dengan ideologi dan cita-cita bangsa.

Namun kepatuhan terhadap hukum harus diimbangi dengan variabel musyawarah untuk mencapat mufakat. Sehingga penerbitan kebijakan hukum tidak dilandasi atas dasar sikap otoriter dan diktator. Membelenggu kebebasan dan mematikan hak asasi manusia di ranah privat dan publik.


Baca Juga : HAM, Kasus yang Tidak Pernah Tamat

Pengesahan RKUHP

Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang per hari ini (6/12), memicu protes dari para aktivis, akademisi, dan pengamat publik. Hal ini lantaran RKUHP dinilai masih cacat dan ditemukan banyak pasal bermasalah seperti penghinaan presiden dan lembaga negara, ancaman pidana bagi penyelenggara demonstrasi, pelarangan penyebaran paham Komunisme/ Marxisme hingga aturan tentang urusan ranjang suami-istri.

Kecacatan RKUHP yang terlanjur disahkan setelah banyak aksi demo banyak membatasi ruang berekspresi dan kebebasan berpendapat. Tak ayal, banyak aktivis menyesalkan pengesahan RKUHP tanpa mempertimbangkan amanat konstitusi tentang aspek HAM. Pembungkaman ekspresi masyarakat menunjukan dominasi kekuasaan untuk melegalkan anarkisme kebijakan.

Kembali pada hakikat pancasila sebagai ideologi terbuka, RKUHP merupakan produk hukum campuran dari hukum Belanda, konservatisme agama, hukum adat, dan hukum Indonesia modern. Banyak pasal yang membatasi kebebasan politik sipil dengan cenderung berporos pada nilai-nilai moralitas.

Namun juga butuh apresiasi bahwa pengesahan UU KUHP menjadi angin segar atas hukum pidana modern yang tidak berorientasi pada keadilan retributif. Pengambil kebijakan berargumen bahwa keputusan ini menjanjikan keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif untuk mencegah kejahatan yang berulang.

Menjadi kritikan ketika banyak pasal “setengah matang” lolos dan mematikan HAM. Hukum negara berpotensi mengintervensi perilaku masyarakat di tingkat adat hingga ranah privat (keluarga). Ancaman pidana juga mengintai masyarakat pengguna media sosial dari sisi pasal penghinaan presiden hingga penyebaran berita palsu. UU KUHP punya ruang lingkup religius dan konservatif yang menghendaki nilai moralitas dan kepatuhan pada penguasa.

Pengesahan RKUHP banyak mendapat sorotan pengamat dan media asing tentang keraguan mengimplementasikan pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup. Hukum pidana modern nyatanya tidak relevan dengan kristalisasi budaya masyarakat dalam mengembangkan ajaran moralitas berdasarkan aturan budaya di masing-masing daerah.

Penyeragaman hukum menghilangkan esensi negara multidimensi agama, budaya, dan etnis yang menjadi kekuatan bangsa. Pembungkaman kebebasan yang dilandasi ancaman hukum akan mengurangi sikap kritis masyarakat dalam penentuan kebijakan dan pelaksanaan program pemerintahan. Masyarakat dituntut tunduk dan patuh pada aturan penguasa.***

Cuitan walikota Solo, Gibran Rakabuming soal bekingan penambangan liar di Klaten menambah keresahan rakyat tentang nasib bangsa di masa depa...

Bekingan

Cuitan walikota Solo, Gibran Rakabuming soal bekingan penambangan liar di Klaten menambah keresahan rakyat tentang nasib bangsa di masa depan. Sekelas anak presiden yang notabene orang nomor satu di Indonesia pun memberikan pernyataan tentang kekuatan besar yang merongsong kedaulatan negara.

Bekingan dapat diartikan sebagai penyokong perilaku ilegal yang punya kekuasaan atau sumber daya yang besar. Gibran menanggapi keluhan warga tentang masifnya penambangan pasir liar di Klaten. Aduan tersebut mengungkapkan ada lebih dari 20 tambang ilegal, sementara dilansir dari Kementerian ESDM, baru terdapat tujuh tambang legal yang beroperasi di Klaten.

Bukan hanya Gibran, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pun ikut merespon tentang keberadaan bekingan dalam aktivitas tambang pasir ilegal di daerahnya. Sementara publik dibuat penasaran tentang kapasitas kekuasaan bekingan yang “sulit” dihentikan tersebut. Bahwa ada yang lebih tinggi daripada pemimpin daerah atau bahkan pemimpin negeri dalam mengeksploitasi alam.

Dari berbagai informasi, penambangan pasir liar di Klaten sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Beberapa sempat dihentikan, sementara lainnya masih langgeng beroperasi di wilayah lereng Gunung Merapi. Bahkan, beberapa bulan lalu Satreskrim Polres Klaten pernah melakukan penyidikan terhadap tiga perkara penambangan pasir ilegal.

Kasus ini kembali membangkitkan pemberitaan kasus Sambo yang dinarasikan memiliki jaringan kejahatan tingkat nasional seperti perjudian, perizinan proyek pembangunan, hingga penyuapan. Ada juga isu lama tentang kekuatan Sembilan Naga yang menahkodai iklim kekuasaan politik Indonesia. Siapa dan apa perannya masih menjadi bola liar di masyarakat tentang dominasi bekingan di belakang presiden dan pejabat daerah lainnya.

Kongkalikong proyek industri dan kekuasaan sulit dipisahkan dari kasus bekingan di banyak tempat selain penambangan liar. Peran kepala daerah dalam melegalkan perilaku ekonomi ilegal menjadi objek politik dari kekuatan ekonomi dan kekuasaan. Ketika masyarakat mengharap keadilan hukum, persepsi negatif keterlibatan penegak hukum membuat pesimis keberlangsungan negara di masa mendatang.

Secara hukum, penambangan pasir ilegal jelas merupakan pelanggaran sesuai pasal 33 ayat (3) bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Diksi bekingan jelas tidak mewakili kapasitas negara dan tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat. Dalam Perpres Nomor 70 tahun 2014 menyatakan bahwa wilayah Kabupaten Klaten berada pada Zona Budi Daya lebih dominan daripada zona wilayah pertambangan. Karena itu sejak tahun 2019 izin pertambangan di Kabupaten Klaten sudah tidak dikeluarkan.

Kerusakan ekositem dan lingkungan akibat penambangan ilegal kawasan sensitif ekologi yang ditempati masyarakat sekitar berdampak pada erosi, longsor, polusi udara, dan berkurangnya debit air permukaan. Padahal Indonesia baru saja sukses menggelar hajatan G20 yang salah satu fokusnya meningkatkan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian perubahan iklim global.

Isu prioritas yang diangkat adalah mendukung pemulihan lingkungan alam yang berkelanjutan, peningkatan aksi berbasis daratan dan lautan untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup dan tujuan pengendalian perubahan iklim, dan peningkatan mobilisasi sumber daya untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup dan tujuan pengendalian perubahan iklim.

Kasus bekingan penambangan pasir liar di Klaten menunjukan inkonsistensinya Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim global dan dampak kerusakan lingkungan alam. Keseriusan komitmen pemerintah menegakan hukum dalam membongkar identitas bekingan penambangan pasir ilegal dinantikan masyarakat untuk kemaslahatan dunia.


Baca Juga : 

Risiko

Bekingan tentu punya jaringan kekuasaan yang bisa melibatkan banyak pihak. Risiko membongkar identitas bekingan akan menciptakan ketidakkondusifan sosial dan politik di masyarakat. Seperti halnya kasus Sambo yang dibatasi seputar tindakan pembunuhan terhadap Josua tanpa ada ruang membongkar kasus dan isu lain yang melibatkan jaringan di lembaga kepolisian.

Negara punya kewajiban membangun kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, hakim, dan advokat. Jika bekingan melibatkan banyak tokoh kepolisian dan kehakiman, maka hancurlah sistem demokrasi negara. Membongkar identitas bekingan tidak hanya menindak salah satu nama dengan hukuman denda dan penjara, melainkan pencatutan nama lain yang terlibat dalam operasi hitam di dalam negara.

Di sisi lain, sikap menyembunyikan identitas bekingan juga semakin menggulirkan narasi publik tentang siapa tokoh di balik kekuatan besar yang mampu mengontrol kebijakan pemerintah. Bahwa kedaulatan rakyat bisa mudah diperjualbelikan demi kepentingan kekuasaan dan kekayaan segelintir orang. Belum lagi dampak terhadap masa depan masyarakat dan lingkungan ketika eksploitasi alam bebas dilakukan di Indonesia.

Dampak positif dan negatif perlu dipertimbangakan sebelum mengungkap bekingan di balik perilaku ilegal perusakan lingkungan dimulai dari tingkat kabupaten: Klaten. Sementara Klaten hanyalah satu dari sekian banyak daerah yang diekploitasi oleh bekingan lain yang memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di Indonesia. Bekingan adalah simbol kapitalisasi di negara demokrasi yang jauh dari prinsip keadilan dan kesejahteraan.***

  PINGGIR BOLA - Beberapa hari yang lalu, saya ditawari menjadi tim sukses oleh salah satu Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Nasional Demo...

 

kampanye digital

PINGGIR BOLA - Beberapa hari yang lalu, saya ditawari menjadi tim sukses oleh salah satu Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Nasional Demokrat. Bukan tanpa alasan, mengingat saya begitu aktif menjadi penggiat media sosial dan menulis di koran atau media online. Namun karena satu dan lain hal, saya menolak dan tetap idealis menjaga jarak dari pengaruh politik praktis.

Beberapa kali saya menulis tentang tidak efektif dan efisiennya metode kampanye konvensional yang mengandalkan stiker, pamflet, dan baliho di ruang-ruang publik. Selain kegelisahan tentang pencemaran lingkungan akibat sampah iklan politik, pemasangan baliho untuk kampanye juga boros anggaran yang hasilnya tidak begitu signifikan.

Keterbukaan informasi dan peningkatan kecerdasan intelektual masyarakat modern mulai sadar akan narasi politik pencitraan. Cenderung memilah pejabat atau pemimpin yang punya gagasan program dengan realisasi yang logis. Tidak berlebihan yang kemudian punya track record pengkhianatan atau ingkar janji. Prinsip pada politik identitas dan fanatisme partai atau tokoh juga punya andil besar dalam pemilihan suara daripada kampanye menggunakan baliho atau pamflet yang dipasang di pohon-pohon pinggir jalan raya.

Namun realitanya, masih banyak tokoh politik yang mengiklankan dirinya dengan metode konvensional. Selain strategi politik uang yang dianggap masih ampuh mengeruk suara di daerah pedesaan atau pinggiran kota. Suap suara dijadikan jalan terakhir menjelang pilihan umum. Calon pejabat mencari modal untuk melakukan politik uang, sementara pemilih mengaminkan dengan menggadaikan suaranya.

Selain masih relevan dengan kondisi perekonomian masyarakat saat ini, politik uang juga menjadi bentuk simbiosis mutualisme dalam transaksi demokrasi di Indonesia. Masyarakat yang minim pengetahuan terhadap politik akan lebih memilih uang yang mungkin hanya bisa untuk bertahan hidup sehari daripada berspekulasi memilih pemimpin yang sama-sama tidak mengetahui kepribadian dan program kerja saat menjabat.

Kampanye usang lainnya adalah mengerahkan massa memenuhi jalan dan mengadakan konser di tanah lapang. Euforia baju partai atau gambar tokoh kurang efektif menarik basis suara generasi milenial yang cenderung melihat pengalaman, gagasan kepemimpinan, dan kemampuan dalam berkomunikasi politik.


Baca Juga : Kesusahan Berteknologi

Digitalisasi Politik

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis data hingga batas pendaftaran partai politik, terdapat 40 partai politik yang telah mendaftar sebagai calon peserta pemilu dari anggota DPR dan DPRD tahun 2024. Ada 24 parpol yang dinyatakan lengkap berkas pendaftarannya dan akan dilanjutkan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.

Kemeriahan kontestasi politik berikutnya menjadi tantangan tentang strategi bertempur memperebutkan suara, khususnya generasi milenial yang menjadi kantong terbesar pemilihan. Ada delapan partai baru yang menarik untuk ditunggu cara berkampanye dengan memanfaatkan dominasi penggunaan teknologi, khususnya gadget.

Namun kemudahan melakukan akses internet dan eksplorasi teknologi digital kerap disalahgunakan sebagai medium provokasi atau melakukan black campaign (kampanye hitam). Esensi kampanye yang dijalaskan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum tentang visi, misi, program, dan/atau citra diri mulai diabaikan.

Lemahnya pendidikan politik dan banyaknya masyarakat yang tidak melek politik menjadi penyebab kegagapan berkampanye. Nafsu berkuasa menciptakan iklim politik yang anarkis untuk menghalalkan cara agar bisa memenangkan kontestasi. Menjelekan hingga memfitnah (menyebarkan hoaks) lawan politik. Sementara masyarakat tidak disajikan visi, misi, dan program politik saat kampanye.

Media digital dipenuhi dengan politik pencitraan dan narasi menjatuhkan hingga mempermalukan lawan. Belum lagi jika ada afiliasi organisasi agama atau sisa politik identitas yang membuat masyarakat mengabaikan esensi berkampanye selain membagikan politik kebencian.

Banyak harapan terhadap kecanggihan teknologi dan kebutuhan internet dapat dimanfaatkan tokoh dan partai politik menyaring suara yang relevan dengan visi dan misi membangun Indonesia. Mengutamakan kepentingan bersama daripada motivasi menjadi pemimpin yang diktator. Media digital harus kembali digunakan sebagai sarana menyampaikan informasi dan alat berkomunikasi yang bijak.

Politikus punya tantangan dalam menghadapi realitas dunia digital. Menawarkan konten dan publikasi politik yang menarik secara informasi visual. Tetap mengedepankan politik gagasan tanpa embel-embel mencederai lawan politik. Sedangkan dalam sisi anggaran, kampanye digital akan lebih efektif dan efisien menyasar mayoritas kantong suara di pemilu.

Banyak informasi tentang kelebihan dan kekurangan tokoh dan partai politik di internet tanpa harus memamerkan citra di baliho atau pamflet. Sementara politik uang akan mulai ditinggalkan ketika masyarakat mulai melek politik dengan memilih pemimpin yang jelas kredibilitasnya. Modal politik uang hanya akan menciptakan persepsi pengembalian modal ketika sudah berhasil menjabat dengan cara korupsi.

Ke depan, tokoh dan partai politik yang cerdas berkampanye di media sosial akan cenderung punya elektabilitas yang tinggi dibandingkan pasang baliho di berbagai titik jalan raya. Demikian yang mulai digagas beberapa tokoh politik dengan aktif berinteraksi di media sosial. Menambah atensi dari generasi milenial yang kecanduan gadget dan media sosial. Mengadakan berbagai jenis lomba untuk menyasar kelompok-kelompok kreaktif mengenal tokoh dan partai pengusungnya.***

Pencitraan politik menggunakan istilah wong cilik tampaknya masih menjadi primadona pemilihan umum. Tokoh dan partai politik kerap memakai i...

Wong Cilik dan Wong Gede

Pencitraan politik menggunakan istilah wong cilik tampaknya masih menjadi primadona pemilihan umum. Tokoh dan partai politik kerap memakai idiom wong cilik sebagai basis massa mayoritas bangsa Indonesia. Bahkan melekatkan diksi tersebut dalam kesatuan partai: partainya wong cilik.

Wong cilik merupakan istilah dalam Bahasa Jawa yang berarti “orang kecil”. Menggambarkan keadaan masyarakat miskin (kurang mampu) yang didominasi pekerja kelas bawah. Simbolisasi wong cilik biasanya ditujukan kepada masyarakat pedesaan atau pinggiran kota yang jauh dari bingar kekuasaan dan kekayaan material. Dominasi masyarakat menengah bawah yang membuat tokoh politik memanfaatkan nama wong cilik untuk menggaet massa saat pemilu.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang pertama memproklamirkan sebagai partai wong cilik dengan implementasi aksi tokoh-tokoh strategis (pemangku kebijakan) terlibat aksi blusukan. Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Risma Tri Maharini adalah segelintir tokoh PDIP yang aktif berinteraksi dengan masyarakat bawah.

Anak pimpinan partai sekaligus ketua DPR RI, Puan Maharani memantik isu eksploitasi istilah wong cilik ketika pamer kesederhanaan di “warung pecel” bersama ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Puan juga menambahkan idiom partainya wong sandal jepit untuk menambah kesan melarat dan menarik sisi empati masyarakat (rasa iba).

Namun citra PDIP sebagai simbol partai wong cilik mulai memudar ketika Jokowi menjadi presiden selama dua periode. Kemudian kehadiran sosok sentral Puan Maharani yang berkuasa di parlemen. Gairah memperjuangkan nasib masyarakat miskin menghilang dengan pengesahan berbagai kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat.

Sebelum ramai kenaikan Bahan Bahar Minyak (BBM), Jokowi kerap mendapat aksi demonstrasi terkait kebijakan yang tidak memihak rakyat seperti UU Perlindungan Pekerja/Buruh, Upah Minimum Regional (UMR), kenaikan iuran BPJS, larangan ekspor minyak, hingga genosida kebijakan nelayan. Seolah ketika berkuasa, tokoh politik lupa semua janji dan atraksi pencitraan semasa kampanye.

Tidak merasa tergelitik dengan suara sumbang kegagalan merepresentasikan partai wong cilik, tokoh-tokoh politik yang berkuasa malah sibuk merayakan euforia demonstrasi menolak kenaikan harga BBM. Esensi politik adalah siasat mengelabuhi rakat, kebetulan wong cilik dianggap kantong suara terbesar karena gampang dibodohi oleh bualan politikus partai.

 

Baca Juga : Politik Kerakyatan Desa Wadas

Partai Wong Gede

Dikotomi wong cilik adalah wong gede sebagai pengejawantahan dari kekuasaan, kekayaan, dan popularitas seseorang. Jurang pembatas keduanya disandarkan pada kondisi ekonomi seseorang. Namun masyarakat kerap dijadikan alat bagi mereka yang tidak masuk dalam kategori miskin untuk berkampanye. Padahal kekayaan tokoh-tokoh partai yang duduk di parlemen atau di pemerintah jauh dari kata wong cilik apalagi sandal jepit yang mungkin hanya difungsikan saat hendak beribadah.

Apa yang diharapkan wong cilik dari keberadaan partai yang pura-pura berpihak kepadanya, selain amarah karena merasa dibohongi saat kampanye?

Begitu lugunya rakyat menengah bawah yang jauh dari level pendidikan tinggi, dimanfaatkan partai politik untuk memberikan harapan-harapan palsu kepada wong cilik. Ketika berkuasa akan menerima hasil kekecewaan yang sama. Demikian yang menjadikan banyak masyarakat memilih golongan putih (golput) melihat fenomena politikus Indonesia. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari keberadaan partai politik yang bisa mewakili aspirasi wong cilik.

Sementara masih banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa mereka yang mengaku wong cilik sebenarnya adalah wong gede. Keinginan apa pun bisa dipenuhi, mengambil kebijakan semena-mena, dan mengabaikan nasib jutaan rakyat miskin. Wong gede yang butuh banyak pencitraan untuk mencari jalan punya kekuasaan yang lebih otoriter (presiden).

Demokrasi hanya menjadi landasan politik berfoya-foya di atas realita nestapa rakyat miskin di Indonesia. Menempatkan citra wong cilik sebagai gagasan publik menganggap tidak sejahteranya mayoritas masyarakat Indonesia. Membangun sikap pesimistis tentang kemajuan bangsa Indonesia. Mempertahankan penderitaan nasib rakyat sebagai langkah mempertahankan ideologi partai yang mendukung keberlangsungan nasib wong cilik.

Kemuakan masyarakat miskin tidak bisa ditutupi ketika melihat adegan Puan dan Muhaimin merakayan kemiskinan di sebuah tempat mewah dengan sebutan warung pecel dengan embel-embel partai wong cilik dan partai wong sandal jepit. Sementara masyarakat masih berjuang bertahan hidup dari himpitan ekonomi akibat kebijakan menaikan BBM yang berimplikasi pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Wong cilik masih dan akan terus dimanfaatkan untuk medium berkampanye. Wong cilik (orang miskin) akan semakin cilik (miskin), sedangkan wong gede (orang kaya) akan semakin gede (kaya). Itulah realitanya.***

September menjadi momen membenturkan ideologi komunisme dengan islamisme. Selama pemerintahan Jokowi dua periode, pelekatan ajaran komunisme...

komunisme dalam pancasila

September menjadi momen membenturkan ideologi komunisme dengan islamisme. Selama pemerintahan Jokowi dua periode, pelekatan ajaran komunisme menjadi isu tahunan memojokan pemerintah yang dianggap kontra dengan ajaran Islam. Narasi kriminalisasi ulama, pelarangan pengajian, hingga perlawanan terorisme selalu dijadikan dalih persetujuan ideologi komunis dalam pemerintah.

Bahkan Jokowi kerap dituduh sebagai keturunan komunis ketika kampanye pilihan presiden. Namun ternyata masih banyak yang tidak memahami definisi dan konsep ideologi komunisme. Kedungunan informasi yang berakibat pada kesimpulan cacat: orang China itu komunis. Sementara skeptis komunisme dari sudut pandang sejarah dan agama menciptakan stereotipe miring terhadap ideologi yang masih dianut negara besar seperti China, Korea Utara, hingga Vietnam.

Benturan ideologi komunisme dan islamisme terjadi sebab konsepsi ajaran berasaskan materialisme yang mengandung kepercayaan bahwa Tuhan atau bidang adikodrati (super natural realm) tidak ada. Sementara Indonesia menganut dasar negara pancasila yang dalam sila pertamanya mengandung nilai spiritual keagamaan yang didominasi muslim. Di sisi lain, Indonesia juga menganut asas demokrasi yang memberikan hak kebebasan kepada warganya untuk memilih keyakinannya.

Dalam sejarahnya, paham dan ideologi komunis terus berkembang di Indonesia yang kemudian membentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 23 Mei 1920. Namun setelah itu, mobilitas PKI menjadi ancaman bangsa dengan melakukan berbagai pemberontakan di daerah-daerah. Melakukan kudeta dan pembunuhan masal yang puncaknya terjadi pada tahun 1948 di Madiun.

Sementara sejarah yang masih terekam jelas di masyarakat hingga saat ini adalah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI. Partai tersebut mengontrol pergerakan serikat buruh dan pergerakan petani anggota Barisan Tani Indonesia yang mendominasi pekerja Indonesia ketika itu. Peristiwa ini mengakibatkan gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer Indonesia. Jenazahnya dimasukkan ke dalam lubang sumur lama di area Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Di balik sadisnya manuver PKI di Indonesia, partai tersebut juga menjadi penyulut pergerakan massa melawan penjajahan. Terlibat pada prosesi kemerdekaan dan turut andil dalam mempertahankan kedaulatan negara pasca kemerdekaan. Ketika muncul isu pro dan kontra kembali ke UUD 1945, PKI memilih mendukung kembali ke UUD 1945. Pada bulan September 1960 PKI menyatakan menerima dasar negara di dalamnya memuat dasar-dasar negara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat, Perikemanusiaan, dan Keadilan Sosial.


Baca Juga : Personalitas, Identitas, dan Komunitas

Unsur Komunisme

Pancasila sendiri punya konsep komunisme di dalamnya yang termuat dalam pasal ke-5; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sementara dalam konsepsi gotong royong pancasila menjadi wadah dinaunginya berbagai ideologi yang relevan dengan masyarakat Indonesia. Sila pertama tentang ideologi keagamaan (spiritualitas), slia kedua tentang ideologi liberalisme-kapitalisme, sila ketiga tentang ideologi nasionalisme, dan sila keempat tentang ideologi sosialisme.

Namun Ideologi komunisme di Indonesia dicitrakan sebagai paham yang antiagama. Apalagi beberapa tokoh PKI seperti Ibrahim Datuk Sutan Malaka, Munawar Musso, Abdullah Aidit, Semaoen, Amir Syarifuddin, dan beberapa tokoh religus lainnya yang secara ahistoris dituduh ateis. Sementara paham komunisme didirikan untuk membendung ideologi kapitalisme dan liberalisme yang melupakan aspek keadilan sosial, khususnya kaum petani dan buruh.

Sifat pancasila yang dinamis memberikan unsur komunisme masih relevan diimplementasikan sampai sekarang. Memberikan perlawanan terhadap kediktatoran penguasa dan mengkritisi jurang kesenjangan sosial antara kaum konglomerat dan rakyat miskin. Meski secara leterlek ditolak, namun secara substansi, komunisme menjadi ruh mewujudkan cita-cita konstitusi tentang keadilan.

Bangsa Indonesia harus punya pemikiran terbuka menerima pengetahuan ideologi di era informasi teknologi. Bahkan pancasila menjadi ruang mengimplementasikan berbagai bentuk ideologi, temasuk komunisme. Namun kampanye anti komunisme masih menjadi sajian rutin dalam kampanye agama dan politik. Sedangkan bahaya dominasi kapitalisme malah dibiarkan berkembang di Indonesia.

Pada umumnya, ideologi komunisme mengacu pada penggunaan aset dan modal yang harus dimiliki bersama dan mempunyai keutamaan untuk kepentingan bersama. Pemerintah akan mengatur sistem perekonomian, termasuk semua sumber daya dan aktivitas ekonomi untuk kepentingan rakyat seperti yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945.

Tujuan utama ideologi komunisme adalah kesejahteraan rakyat yang berasaskan keadilan. Melihat satu sisi ateisme (tidak beragama) yang bukan menjadi konsep fundamental komunisme, namun melupakan perlawanan kaum proletariat (buruh dan pekerja) terhadap kaum borjuis (kapitalis). Bagaimana kekuatan modal mampu menjadi ancaman nyata terhadap kesejahteraan dan keadilan suatu negara.

Komunisme di Indonesia masih menjadi ideologi traumatik bangsa. Meskipun secara historis masih banyak perdebatan tentang latar belakang dan motivasi konflik yang terjadi ketika itu. Namun embrio komunisme masih tetap ada dalam tubuh pancasila yang juga merupakan konsensus pendiri bangsa dan turut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Komunisme di Indonesia merupakan simbol ketertindasan kaum buruh dan petani yang dieksploitasi kaum kapitalis untuk berkuasa. Isu komunisme dibangun bukan hanya untuk membenturkan ideologi ekstremis kiri dan ekstremis kanan, namun menjadi jalan golongan proletariat menguasai peran-peran penting di instansi pemerintahan dan lembaga perekonomian.***