CATEGORIES

Kamis (10/12) diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Mengingatkan kembali isu pelanggaran HAM masa lalu yang selalu menja...

HAM, Kasus yang Tidak Pernah Tamat

hak asasi manusia


Kamis (10/12) diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Mengingatkan kembali isu pelanggaran HAM masa lalu yang selalu menjadi misteri di setiap pergantian pemerintahan. Padahal semasa kampanye, penyelesaian kasus HAM selalu dijadikan tajuk menarik pendukung. Faktanya, belum selesai kasus HAM berat masa lalu, kini sudah dibebani berbagai kasus HAM baru.

Sering dijadikan narasi pemilu 2014 dan 2019, kasus peristiwa bulan Mei tahun 1998 patut disimak kelanjutannya. Peristiwa kerusuhan yang terjadi di berbagai kota di Indonesia yang bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), bahkan terdapat kejahatan seksual terhadap perempuan. Hingga saat ini (22 tahun berlalu) kasus tersebut belum juga terselesaikan.

7 September 2004, Munir tewas dibunuh setelah hasil otopsi menyebutkan bahwa ada racun arsenik di dalam tubuhnya. Setelah melalui proses penyelidikan yang panjang, melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta ditetapkan bahwa Pollycarpus Budihari Priyanto (pilot Garuda Indonesia) didakwa aktor di balik meninggalnya Munir dengan hukuman vonis penjara selama 20 tahun. Namun pada tahun 2014, Pollycaprus sudah dibebaskan. Sampai sekarang kasus Munis masih bergulir di masyarakat sebagai upaya pemerintah untuk menutupi kesalahannya di masa lampau.

Belum lagi untuk masalah pelanggaran HAM peristiwa Kasus Semanggi 1999, Talangsari Lampung 1989, Pembunuhan Masal 1965, Kasus Wasior dan Wamena (2001 dan 2003), dan Peristiwa Paniai (2014). Terbaru adalah kasus pemutusan jaringan internet di Papua, Reklamasi di Sulawasi Utara, kekerasan terhadap jurnalis, dan lain sebagainya.

 

Baca Juga: Etika Politik - Risiko Pilkada di Tengah Pandemi

Kegagalan Jokowi

Tahun 2020 adalah puncak dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah atau negara. Sempat diprediksi mampu menyelesaikan permasalahan HAM, justru sejak menjabat Presiden tahun 2014, Jokowi kerap melakukan kebijakan yang melenggangkan pelanggaran HAM. KontraS, PBHI, LBH Pers, hingga Walhi mencatat banyak hak masyarakat yang hilang akibat kebijakan pemerintah. Puncaknya adalah demo Omnibuslaw yang menangkap dan menahan ribuan orang pelaku aksi. “Hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang.” (Pasal 28, UUD 1945)

Belum lagi kekuatan steakholder yang melegalkan proyek penambangan liar yang berakibat kerusakan alam dan lingkungan hidup. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dalam pasal 9 ayat (3) menegaskan, “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Kemudian dipertegas dengan Pasal 28 H Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Ketidakbecusan pemerintah menangani berbagai masalah HAM diprediksi karena keterlibatan pelaku pelanggaran HAM di sekitar pemerintah. Bahkan ada beberapa oknum penegak hukum yang turut mempersulit penyelidikan kasus HAM. Pesan Jokowi yang mengharapkan peran serta masyarakat hanyalah kebasa-basian presiden untuk citra konsistensi penyetaraan hak asasi manusia di Indonesia.

Amnesty mencatat, terdapat 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE sepanjang tahun 2020. Setidaknya ada 60 kasus serangan dan intimidasi digital yang dialami organisasi, aktivis, jurnalis, dan akademisi. Aliansi Jurnalis Independen mencatat setidaknya ada 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang mendokumentasikan protes penolakan terhadap UU Cipta Kerja antara tanggal 7 dan 21 Oktober 2020. Selain itu, ada 83 kasus penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan yang dilakukan oleh polisi sepanjang 2020.

Paling menarik adalah kasus Veronica Koman, seorang perempuan pembela HAM, dikriminalisasi, paspornya dicabut, didaftar-hitamkan, diminta untuk mengembalikan uang beasiswa untuk studi gelar masternya oleh Endowment Fund for Education (LPDP). Pelanggaran demi pelanggaran HAM yang terjadi selama kepemimpinan Jokowi telah mencoreng popularitas presiden yang dikenal pro-wong cilik (sipil).

 

Baca Juga : Faedah Omnibuslaw

Buta HAM

Saat ini banyak masyarakat yang kurang memahami aspek perlindungan HAM. Sehingga kebebasan berekspresi menjadi berkurang. Ketakutan berhadapan dengan hukum diakibatkan karena sikap diktator penguasa untuk melegalkan semua kebijakannya. Rakyat diminta untuk tunduk dan mendapatk hukuman jika berupaya untuk melawan.

Ketidakadilan terhadap hak asasi manusia sering diterima oleh masyarakat miskin dan kurang pendidikan. Merelakan haknya diambil daripada harus dipidana atau membayar denda. Belum lagi intimidasi dari sikap perlawanan yang diambil. HAM seolah hanya menjadi aksesoris pelengkap tanpa begitu bermanfaat bagi hidup mereka.

Ketidaktahuan mengenai hak asasi, bantuan perlindungan hukum, hingga prioritas kemanusiaan, membuat masyarakat bersikap acuh tak acuh pada isu lingkungan dan HAM. Pemberlakuan UU ITE juga menjadi sebuah cambuk bagi masyarakat untuk membatasi hak asasinya. Pemerintah terus menekan hak warganya, sedangkan sanksi bagi pelanggaran hukum pemerintah sendiri sering diabaikan.

Selamat hari Hak Asasi Manusia, semoga setiap orang selalu mempunyai hak yang sama di mata hukum yang berkeadilan.


Pernah dimuat Times Indonesia
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/315887/ham-kasus-yang-tidak-pernah-tamat

0 comments: