CATEGORIES

Polemik Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 masih bergulir dalam perdebatan moral dan politik. Di satu sisi pemerintah memperhatikan ...

Etika Politik: Risiko Pilkada di Tengah Pandemi

politik pandemi

Polemik Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 masih bergulir dalam perdebatan moral dan politik. Di satu sisi pemerintah memperhatikan dampak politik, ekonomi, dan keamanan, di sisi lain masyarakat dibuat resah dengan terus bertambahnya kasus baru Covid 19. Tercatat per tanggal 29 November 2020, sudah ada 534.266 kasus positif Korona dengan 16.815 jiwa di antaranya meninggal dunia (https://covid19.go.id/). Grafik peningkatan jumlah sebaran Covid 19 juga meningkat setiap harinya.

Sikap optimisme presiden Joko Widodo beberapa bulan lalu seakan menjadi penegasan bahwa pilkada tetap akan dilaksanakan dengan memperhatikan protokol kesehatan. Disertai dengan argumen perbandingan jumlah kasus dengan negara lain yang menurutnya, Indonesia lebih baik dalam hal penanganan persebaran kasus Covid-19. Tentu sikap pemerintah mempunyai misi tersendiri dengan tetap menjalankan pilkada meskipun menurut beberapa pengamat akan menimbulkan persebaran kasus baru setelahnya.

Menurut Niccolo Machiavelli, politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali. Penguasa akan lebih mengutamakan kesuksesan dirinya atau kelompoknya, sehingga tidak ada perhatian moral atau etika di dalam ranah politik. Hanya ada satu kaidah dalam etika politik: yang baik adalah apa saja yang bisa memperkuat kekuasaan pemimpin.

Situasi seperti ini merupakan realitas dalam sistem politik di sebuah negara. Kepentingan paling utama dalam hubungan politik internasional adalah aspek ekonomi masing-masing negara. Sehingga pilihan yang lebih realitis diambil penguasa adalah mengutamakan jalannya roda perekonomian yang kemudian dianggap mengorbankan kesehatan masyarakatnya sendiri.

Selain itu, politik cenderung lebih mementingkan ambisi daripada etika. Kondisi realita politik ditandai dengan adanya sikap anarkis kekuasaan, dimana rakyat mulai skeptis terhadap kepemimpinan penguasa atau lembaga atau instansi yang berada di belakangnya. Kemudian diasumsikan dengan merosotnya moral dalam setiap kebijakan yang diambil pemerintah.

Wacana yang dipublikasikan oleh penguasa adalah kebijakan yang mengarah pada etika atau moral politik, sedangkan dalam kenyataannya adalah sebuah ambisi kekuasaan yang disembunyikan dalam ideologi politik penguasa. Gagasan seperti demikian adalah kondisi ketika penguasa lebih memilih ditakuti daripada dicintai rakyatnya. Penguasa lebih memilih ditakuti agar rakyat tunduk terhadap setiap kebijakan yang diambil untuk mengurangi risiko konflik antara penguasa dan rakyatnya.

Situasi seperti ini akan ditemukan dalam sistem kekuasaan diktator yang ingin memberikan ketakutan agar rakyat tidak berani melawan penguasa. Dalam dinamika politik di Indonesia, sikap diktator sering dimanipulasi dengan narasi keadilan untuk menimbulkan kesan pemimpin yang bermoral dan beretika: merakyat. Seolah mementingkan kebahagiaan rakyatnya daripada pemimpinnya sendiri. Sejatinya, setiap individu manusia selalu berpikir tentang ambisi kekuasaan. Dalam politik, penguasa selalu berusaha melindungi dirinya yang kemudian melawan musuh politiknya untuk menunjukan eksistensi kekuatan atas pengaruh politiknya di suatu negara.

 

Baca Juga : Drama Politik Indonesia

Etika Politik Pelaksanaan Pilkada

Pemilihan kepala daerah di Indonesia akan digelar secara serentak di tahun 2020 untuk daerah-daerah dengan masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Pemilihan umum kepada daerah rencananya akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pilkada tahun 2020 sebanyak 270 daerah; dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Melihat bagaimana persebaran kasus Covid 19 yang tidak jelas kapan selesainya, pemerintah mengambil risiko tetap mengadakan pilkada serentak dengan mempertimbangkan variabel lain yang mungkin mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi negara. Bahkan di beberapa daerah, calon gubernur, walikoka, dan bupati sudah mulai menggerakan masa untuk menggelar kampanye dan orasi di panggung-panggung masyarakat. Keberlangsungan pemerintahan dirasa lebih penting daripada keselamatan warga.

Dalam etika politik, penguasa harus bersikap jujur dan tanggungjawab. Artinya tidak menganggap rakyat sebagai objek atas ketidakbermoralan penguasa. Publik sudah banyak melihat permainan-permainan politik penguasa dalam memainkan peran dari setiap kebijakan yang diambil. Sehingga patut disadari sikap skeptisme masyarakat yang sudah mengakar terhadap pemerintah. Penguasa harus tetap mengedepankan kepentingan rakyatnya, meskipun harus mengorbankan popularitasnya.

Kejujuran dalam berpolitik memang terkesan mitos belaka. Politik yang tidak sehat hanya akan merusak demokrasi dan tatanan sistem politik yang sudah disepakati bersama. Orientasi politiknya untuk kepentingan dan ambisi pribadi atau golongan, bukan untuk keadilan atau kesejahteraan rakyat dan kemajuan negara. Iklim berpolitik di Indonesia mengharuskan untuk pandai membual agar bisa menjadi daya tarik pemilihnya. Pemilih hanya di-cekoki informasi dari media tanpa melihat kepribadian calon pemimpinnya.

Dalam konteks kejujuran berpolitik, ada suatu istilah yang disebut desepsi yang berarti membuat publik percaya terhadap suatu hal yang tidak benar, menipu, atau membohongi. Desepsi meliputi sikap berbohong, mengingkari janji, berkhianat, tidak memberikan informasi dan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Kebijakan politik sebagai instrumen untuk meraih kebajikan melalui artikulasi kepentingan, seharusnya didasari oleh sikap kejujuran dari penguasa.

Sifat politik bukan hanya sikap pragmatis dengan cara mencapai tujuan yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas. Politik mengandung sifat eksistensial dalam aktualisasinya karena melibatkan nilai-nilai rasionalitas. Sikap penguasa yang memperhatikan moral dan etika politik akan menumbuhkan trust akan kemajuan suatu negara. Sebaliknya, jika didasari dengan sikap amoral berpolitik, hanya akan mereduksi popularitas politikus itu sendiri.

Tentu setiap kebijakan yang diambil akan menuai banyak persepsi pro dan kontra. Namun jika landasan mengambil kebijakan adalah untuk kepentingan bersama tanpa embel-embel popularitas atau ambisi kekuasaan, tentu akan dengan mudah diterima rakyatnya. Pilkada serentak akhir tahun 2020 adalah salah satu pertunjukan atas kebijakan penguasa yang akan menentukan seberapa beretika para penguasa dan politikus di Indonesia.

Pernah dimuat di Bali Post
https://www.balipost.com/news/2020/11/30/160592/Etika-Politik-dan-Risiko-Pilkada.html

0 comments: