CATEGORIES

Showing posts with label kolom. Show all posts

  Dua bulan terakhir, saya aktif mempelajari seluk beluk teknologi Artificial Intelligence (kecerdasan buatan). Mulai dari ChatGPT (Open AI)...

 

Artificial Intelligence

Dua bulan terakhir, saya aktif mempelajari seluk beluk teknologi Artificial Intelligence (kecerdasan buatan). Mulai dari ChatGPT (Open AI), Bakground Remover, desain logo, hingga video creator. Dalam hitungan menit, teknologi ini mampu mengaktualisasikan ide yang dikemas secara elegan dan profesional.

Kegelisahan saya sebagai penulis adalah sikap kemalasan membuat konten untuk artikel blog yang saya bangun tiga tahun lalu. Dengan teknologi AI, membuat konten berkualitas hanya cukup mengetikan ide atau premis tulisan, baik tulisan fiksi maupun nonfiksi. Kemudian menampilkan hasil yang mungkin lebih baik (setidaknya dari ketentuan tata bahasa) daripada hasil tulisan sendiri.

Jalan pintas menulis ini yang kemungkinan menggusur keahlian penulis profesional dengan segudang pengalaman. Kemudian merambat dalam bidang desain, infografis, editor video, dan lain sebagainya. Keterlambatan beradaptasi dengan teknologi AI tentu akan mengurangi populasi keahlian yang dimiliki orang-orang yang berkompeten di bidangnya.

Parameter kualitas keahlian tidak lagi diukur dari pengalaman dan latar belakang pendidikan, melainkan dari seberapa cepat dan tepat seseorang memanfaatkan kecanggihan teknologi. Bahkan untuk menilai keaslian karya sulit dibedakan antara proses manual dengan digital. Dampaknya adalah perasaan ketidakadilan atas etos kerja tenaga profesional di bidang yang dikuasai.

Teknologi dihadirkan memang untuk membantu memudahkan pekerjaan, di sisi lain akan memalaskan manusia untuk belajar menggeluti bidang yang disukai atau dikuasai. Meskipun sifatnya “buatan”, namun kecerdasan yang dihadirkan menjadi ancaman serius dari sisi profesinoalisme, karir, ekonomi, dan budaya.

Fakta menjamurnya teknologi kecerdasan buatan harus dipelajari untuk mencari sisi kreaktif dan inovatif masing-masing orang. AI bukan batu sandungan berkarya, melainkan alat yang harus bisa dimanfaatkan untuk menambah kualitas karya. Manusia modern harus bisa lebih cerdas dari teknologi kecerdasan buatan agar tetap bertahan dalam industri globalisasi.

Acuh tak acuh pada perkembangan teknologi hanya akan mematikan kreaktivitas dan nasib di masa depan. Meskipun pengaplikasiannya akan membuat manusia menjadi malas dan perasaan ketidakadilan karena semua keahlian disediakan oleh teknologi. Kesuksesan tidak lagi ditentukan dari seberapa lama seseorang belajar di bidang yang digeluti, melainkan seberapa cepat seseorang memanfaatkan teknologi AI untuk menguasai segala aspek bidang keahlian.

 

Perubahan Budaya

Dalam hal penulisan, teknologi AI menyajikan beragam jenis karya ilmiah, artikel populer, digital marketing, cerpen, skrip konten video, hingga penulisan lagu. Menariknya, teknologi tesebut mampu mengolah kalimat yang lolos plagiasi. Meskipun beberapa kali saya coba, ada kecenderungan kesamaan pola tulisan yang mungkin bisa menjadi celah untuk seseorang bisa sedikit lebih unggul daripada kecerdasan buatan.

Setidaknya, bagi generasi malas akan mendapatkan tulisan secara cepat dan berkualitas untuk blog atau kepentingan lain di dunia literasi. Tanpa membaca pun, artikel yang disajikan sudah mendekati kesesuaian ide yang diminta. Teknologi AI jelas menjadi ancaman bagi mesin pencari seperti Google, Bing, atau Yahoo. Dalam mesin pencarian saat ini tidak jeli memfilter kualitas konten yang relevan dengan kebutuhan manusia seperti yang ditawarkan teknologi AI.

Budaya ketergantungan terhadap mesin pencari untuk mencari sumber informasi akan beralih. Selain lebih akurat, teknologi ini juga punya keunggulan interaktif layaknya berdiskusi dengan orang dengan sumber informasi yang lengkap. Meski masih belum komprehensif menyerap kecerdasaran mayoritas manusia di dunia, teknologi ini jelas meningkatkan jumlah generasi malas untuk belajar dan mendalami bidang tertentu.

Setidaknya, pemanfaatan teknologi AI akan mengurangi jumlah orang yang ikut pelatihan, pengembangan bakat, dan perekrutan karyawan sebuah perusahaan. Bagaimana AI mampu mengejawantahkan perintah mulai dari pengembangan usaha, teknik promosi, produktivitas konten, hingga berbagai permasalahan operasional perusahaan.

Sementara bagi penyedia pekerjaan seperti tulisan (redaktur/editor) belum disediakan fasilitas pendeteksi keaslian karya murni dan buatan. Sehingga menjadi celah siapa pun untuk menjadi penulis dadakan namun punya hasil yang elagan. Dalam dunia teknologi seperti ini, pengalaman dan latar belakang penulis tentu tidak lagi relevan untuk menghasilkan karya yang berkualitas.

Kesuksesan dan kegagalan seseorang bakal ditentukan dari seberapa siap dan gagap beradaptasi dengan teknologi AI. Ada perubahan budaya kerja dari banyak industri untuk efektivitas dan efisiensi perusahaan. Prediksi beberapa tahun ke depan dengan transformasi AI yang jauh lebih canggih akan menggusur keahlian manusia saat ini.

Perasaan ketidakadilan dengan adanya teknologi AI tidak bisa dijadikan alasan seseorang untuk malas. Setiap penciptaan teknologi tentu punya potensi terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan/ancaman. Yang perlu dilakukan hanyalah beradaptasi dan konsisten menghadirkan ide yang tidak terekam oleh teknologi kecerdasan buatan.***

Politikus itu beramai-ramai mengumbar aurat di ruang publik. Menelanjangi diri untuk menarik atensi banyak orang dengan kemolekan janji dan ...

Aurat Politikus

Politikus itu beramai-ramai mengumbar aurat di ruang publik. Menelanjangi diri untuk menarik atensi banyak orang dengan kemolekan janji dan pencitraan. Tidak ada yang ditutupi, selain kejujuran dan kebenaran moral. Semakin sering berorasi, semakin telanjang para politisi.

Substansi aurat adalah aturan pemilik kehidupan (Tuhan) tentang sebagian prinsip yang harus dijaga; ditutupi. Menjaga aurat terletak pada tindakan menutupinya, bukan objek yang ditutupinya. Aurat adalah simbol tentang apa yang seharusnya manusia jaga dan tutupi. Bukan hanya batas tubuh, namun lebih kepada kompleksitas kehidupan.

Ada aurat yang harus ditutupi meski itu merupakan sebuah kebenaran. Misalkan nanti kalau anak bertanya, “Darimana dulu aku dilahirkan?”. Tidak lantas seorang ibu membuka celana dan menunjukan tempat di mana ia dilahirkan dan menjadi bayi. Itu kebenaran, tapi harus ditutupi.

Ada juga kebenaran yang harus dibuka seperti batasan aurat tentang kejahatan seseorang seperti korupsi, pembunuhan berencana, dan tindakan kriminal lainnya. Perilaku yang harus dibuka agar menjadi pelajaran bagi semua orang bahwa negara punya hukum dan keadilan.

Media sosial sekarang menjadi ajang pamer aurat. Penggunanya harus siap ditelanjangi dan menelanjangi orang lain. Tidak jelas batasan aurat yang harus ditutupi dan yang harus dibuka. Mereka tidak menyadari batasan aurat yang benar dan yang salah. Semua serba telanjang. Mengumbar aurat di tempat umum.

 

Pelacur Politik

Politikus dadakan muncul menjajakan diri ke partai-partai. Menjual nama besar dan memberikan amplop modal menjadi pelacur politik. Politikus laki-laki gagah mengenakan peci dan sorban, sementara perempuannya anggun mengenakan jilbab. Mencitrakan diri alim di hadapan warga yang mayoritas muslim. Bukan untuk menutup aurat, tetapi menjual diri.

Agama merupakan alat efektif mengelabuhi orang untuk patuh dan tunduk. Label ulama berceceran ikut berkampanye menyuarakan kepentingan. Lupa berdakwah dan fokus mengincar kekuasaan. Budaya mengumbar aurat menciptakan virus berahi politikus.

Politikus memandu masyarakat untuk “berkaraoke” di parlemen dan istana. Kadang menjadi oposisi, kadang berkoalisi. Tergantung siapa yang berani membelinya. Pelacur politik mengumbar aurat melalui kebijakan fiktif, janji kesejahteraan, dan persekongkolan finansial. Menyediakan beberapa kamar untuk politikus lain, pengusaha, dan lembaga negara.

Terjun ke dunia politik harus rela menyingkirkan kepentingan agama untuk meraih kekuasaan. Dosa tidak lagi menjadi pertimbangan ketika melihat politikus lain aktif mengumbar aurat di televisi, media sosial, dan panggung rakyat. Desahan kesedihan diframing bentuk empati terhadap kemiskinan. Ketika berkuasa, pelacur itu menjadi raksasa kejam yang menakuti dan mengancam kebahagiaan rakyat.

Ketika pemerintah beraksi menutup lokalisasi prostitusi, masyarakat sibuk membuka praktek pelacuran di ruang-ruang publik. Libido seks bertransformasi menjadi libido kekuasaan. Berebut kursi kekuasaan dan mengabaikan nilai-nilai kesusilaan dan keagamaan.

 

Mengumbar Aurat

Tidak ada yang boleh ditutupi. Ranah privasi adalah informasi publik. Sidang dipaksa diumbar, strategi politik dibongkar, dan pronografi dipasang di berbagai sudut ruang. Perilaku seksual anak lumrah terjadi ketika negara lupa menjaga auratnya. Pemerkosaan, perselingkuhan, promosi video seks, hingga jasa pelacur mudah diakses semua orang.

Moralitas bangsa dihancurkan aksi umbar aurat semua elemen masyarakat, termasuk politikus. Tuhan memberikan rambu-rambu batasan aurat diterjang demi kepentingan kelompok. Politikus menyusun kata-kata rayuan untuk menggoda rakyat agar memilihnya. Saking berahinya, rakyat mudah menggadaikan dirinya di bilik-bilik pemilu.

Kehidupan yang penuh aurat dikehendaki semua orang dan difasilitasi pemerintah. Zina mata, ucapan, perilaku, dan pengambilan keputusan yang tidak lagi berorientasi pada aturan agama. Apapun dilakukan demi terpenuhinya kepentingan. Tidak lagi mengetahui aurat mana yang mesti dibuka dan ditutup.

Ayat-ayat suci dinodai oleh pelacur politik untuk dijadikan alat berkampanye. Aurat yang semestinya dibuka seperti halnya pelanggaran HAM malah ditutup rapat. Aurat yang semestinya ditutupi malah dijadikan bahan membuka aurat lainnya seperti ujaran kebencian, penyebaran berita hoaks, dan caci-maki.

Anak-anak yang butuh asupan agama dan budaya malah diajari sikap amoral para pelacur di internet. Traumatis kebudayaan mengikis nilai dan norma. Sebaran aurat memaklumkan perilaku dosa, apalagi jika sudah beririsan dengan dunia politik. Tidak ada lagi kontrol orang tua, agamawan, dan guru ketika semuanya juga ikut menikmati dan melakukan praktek mengumbar aurat.***

Runtuhnya bangunan kebudayaan semakin terlihat dari kebiasaan dan pola perilaku masyarakat Jawa, khususnya generasi milenial. Sebagai bagian...

Budaya dan Bahasa Jawa


Runtuhnya bangunan kebudayaan semakin terlihat dari kebiasaan dan pola perilaku masyarakat Jawa, khususnya generasi milenial. Sebagai bagian dari generasi itu, kajian falsafah Jawa tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Mitos Jawa mulai dilupakan sebagai perlawanan terhadap landasan berpikir logis. Petuah (ajaran) luhur dianggap pagar kebebasan.

Dalam khazanah kebudayaan Jawa, masyarakat mengekspresikan budi kehalusan. Ada etos kedewasaan kepribadian yang mulai mengalami distorsi dimensi feodalistik. Sisa alkuturasi hanya menonjolkan aspek agama dan menyingkirkan ajaran budaya. Selain kuno, budaya Jawa juga dianggap batu sandungan beradaptasi dengan ruang budaya global.

Realita di masyarakat, banyak orang Jawa yang sudah tidak lagi njawani. Njawani merupakan istilah yang merujuk pada perkataan dan perilaku yang mengutamakan kebudayaan. Budaya menjadi identitas yang diciptakan dan disepakati masyarakat. Transformasi peradaban membawa manusia melupakan budaya sendiri dan bergairah meniru budaya asing.

Sebagai suku terbesar di Indonesia, Jawa menjadi entitas kebudayaan yang menasional. Pembangunan sumber daya, instrumen sosial, dan tatanan hukum banyak dipengaruhi budaya Jawa. Diakui bahwa Jawa punya pondasi kebangsaan dan kenegaraan yang dominan di Indonesia. Meskipun tidak mengesampingkan kebudayaan lain sebagai entitas kenusantaraan.

Mungkin saya bagian salah satu dari sedikit masyarakat Jawa yang gelisah tentang lunturnya kebudayaan Jawa. Melihat orang-orang yang kehilangan sopan santun, sikap empati, perilaku gotong royong, dan lain sebagainya. Sudah banyak generasi milenial mendemonstrasikan cara berbudaya yang tidak “berbudaya”.

Media punya peran membentuk kebudayaan baru yang menembus dimensi ruang. Pengembangan kebudayaan tidak akseptabel dengan pelestarian kebudayaan. Orientasi sosial digantikan dengan egosentris dan individualistik. Interaksi dan komunikasi tidak lagi diajarkan ketika teknologi menfasilitasi setiap manusia bebas mengekspresikan diri.

Mencari referensi kebudayaan yang dipandang unik dan sekufu dengan jiwanya. Sementara orang tua yang punya tanggung jawab mengajarkan kebudayaan tidak lagi bernilai dalam pasar teknologi informasi. Generasi yang tidak adaptif terhadap teknologi hanya resah dan heran melihat anak-cucunya berperilaku kontras dengan nilai dan norma yang dianutnya.

 

Apatis Bahasa Jawa

Ketika dulu saya diajarkan penggunaan aneka ragam Bahasa Jawa berdasarkan konteks, akhir ini tidak lagi terdengar kasta bahasa. Komunikasi anak terhadap orang tua menggunakan bahasa keseharian yang biasa dipraktekan sesama teman. Beberapa mulai membiasakan anak menggunakan Bahasa Indonesia meski orang tuanya tinggal dan berasal dari Suku Jawa tulen.

Beberapa di antaranya saya tanya tentang pengetahuan bahasa dan mayoritas tidak mengetahui penggunaan bahasa Jawa Ngko, Madya, dan Inggil yang dulu menjadi kebanggaan budaya. Apalagi ketika berdiskusi tentang falsafah, nilai, dan sejarah Jawa.

Sementara dalam kegiatan formal kebudayaan seperti pernikahan, kematian, dan rapat, reruntutan Bahasa Jawa Kawi tidak lagi menjadi agenda penting penyampai informasi. Meski esensi bahasa sebagai sebuah sistem linguistik yang spesifik -asalkan komunikan dan komunikator sama-sama memahami-, namun kekayaan bahasa patut dirawat sebagai khazanah kebudayaan.

Sistem pendidikan juga kurang perhatian terhadap hilangnya bahasa daerah. Bagaimana Aksara Jawa bukan lagi materi yang wajib diajarkan dan dipahamkan kepada anak-didik. Kritik juga perlu disematkan pada kaum orientalis karena kecenderungan produksi pengetahuan yang membagi kesusastraan Jawa menjadi fase kuna, tengah, baru, dan modern. Masyarakat Jawa menjadi berpikiran dikotomis.

Kesantunan bahasa setidaknya mengejawantahkan falsafah Jawa “Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti,” yang memiliki arti segala sifat keras hati, picik, angkara murka akan dikalahkan dengan sifat bijak, lembut hati dan sabar. Dari bahasa kita melihat keindahan tembang, kidung, serat yang masih relevan dalam lintas peradaban.

Lunturnya budaya dan bahasa Jawa tidak dinilai memiliki urgensi pembangunan. Negara disibukan dengan retorika politik dan euforia ekonomi. Budaya yang seharusnya menjadi representasi kemajuan bangsa seolah menjadi fragmen sulitnya mencapai persatuan. Sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika dianggap sebagai faktor polarisasi yang berkembang saat ini.

Membenturkan budaya dan agama, nasionalisme dan islamisme, serta sosialime dan kapitalisme. Bentukan budaya yang menghilangkan praktek berbahasa Jawa mengancam ideologi bangsa. Perubahan sosial-budaya dimaklumkan sebagai risiko terlibat dalam gencaran teknologi global.

Tidak ada lagi minat belajar berbahasa Jawa. Kebudayaan Jawa direduksi mainan kecerdasan buatan. Beberapa tahun lagi, kebudayaan dan kebahasaan Jawa akan hilang seturut dengan ramalan familiar Serat Jangka Jayabaya, “Hati-hati jika sampai orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung, maka aku akan datang lagi. Ingat itu lima ratus tahun lagi jika syarat-syarat ini engkau abaikan, aku akan muncul membuat goro-goro,”***

Melesatnya kemajuan teknologi menghadapkan manusia pada masa depan yang belum pernah ada sebelumnya. Konsepsi tentang dunia yang ideal tanpa...

Seni Politik Imperalisme


Melesatnya kemajuan teknologi menghadapkan manusia pada masa depan yang belum pernah ada sebelumnya. Konsepsi tentang dunia yang ideal tanpa batasan negara dan kekuasaan. Gagasan penciptaan kehidupan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi secara digital.

Kecanduan pada teknologi dimanfaatkan pemilik kapital menguasai nasib manusia. Ekonomi digital menjadi metode penjajahan modern. Peran politik menyelinap dalam industri media mempengaruhi pola pikir di masyarakat agar sangsi terhadap pemerintah. Mengacaukan negara untuk tunduk pada kekuatan kapitalis imperalisme.

Ketika sistem negara diabaikan, harapan kehidupan ideal dapat diatur oleh segelintir elit global. Menebalkan isu konspirasi untuk menciptakan turbulensi sosial-politik domestik. Kecerdasan politik imperalisme menghindarkan penguasaan wilayah melalui peperangan atau paksaan. Manusia dibuaikan pada iming-iming kehidupan yang ideal, sementara realitanya menjadi budak imperalis.

Digitalisasi kehidupan membawa manusia agar tergantung pada gawai (gadget). Terlihat perilaku mengatur gawai, namun dalam ketidaksadarannya diatur program dari gawai. Manusia dijadikan barang dagang dalam industri digital. Sebagai aktivitas sosial, politik digital mencoba menciptakan tata sosial secara komprehensif.

Politik modern cenderung memiliki konsep otoritas secara implisit maupun eksplisit. Pengelola aturan tidak lagi dalam kendali negara, melainkan dikuasai oleh korporasi digital. Menciptakan ketergantungan-keterhubungan, mempengaruhi pola pikir dan perilaku, dan menjadikan konflik sosial. Politik imperalis akan membentuk negara artifisial terbentuk dari tindakan politik yang disengaja (voluntary action): pembentukan sebuah persekutuan (union).

Dunia digital menawarkan keadilan dan kesejahteraan dalam bidang sosial dan ekonomi. Setiap orang punya potensi mengekspresikan minat dan bakatnya untuk memperoleh keuntungan dan kesuksesan tanpa bergantung pada kebijakan politik negara. Selain itu juga menjanjikan rasa aman dari tindak kriminal. Ketika negara tidak dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dasar manusia, kekuatan kapitalis akan menguasai kehidupan manusia di masa mendatang.

Asumsi penguasa global mengarah kepada kelompok kapitalis Amerika Serikat dan Uni Eropa yang memainkan peran politik sejak lama. Ada juga Cina dan Rusia yang mencoba menantang dominasi politik imperalisme modern. Sementara negara miskin dan berkembang hanya dijadikan pasar mengeruk sumber daya untuk berperang di arena dunia digital.


Seni Imperalisme

Gagasan dunia ideal merupakan imajinasi seniman politik berdasarkan daya cipta dan kreasi yang ingin diwujudkan (karya). Seni dimaknai sebagai pembebasan jiwa dari keterbelengguan aturan yang kaku dan memaksa. Seni mengharapkan terjadinya politik emansipasi dan otonomi yang bersifat sosial dan menentang kebudayaan masyarakat.

Otonomi seni membentuk dialektika dengan komdifikasi namun tidak digunakan untuk mengubah moral dan perilaku masyarakat. Setiap orang punya aturan dan cara bertahan hidup masing-masing. Proyek digital hanya menfasilitasi kreaktivitas manusia untuk melawan penguasa di dunia nyata.

Seni imperalisme membawa manusia dalam angan-angan kehidupan yang lebih baik dari saat ini. Menjanjikan kesejahteraan, keamanan, dan keterhubungan. Manusia diajak menikmati pertunjukan digital yang menyajikan “tontonan” menarik “film fiksi” dengan akhir cerita yang bahagia. Karya kapitalis memberikan khasanah sebuah museum publik yang terbuka untuk siapa, kapan, dan di mana saja.

Meski terkesan kontradiktif antara seni dan politik, kelompok kapitalis punya cara sendiri mengawinkan seni politik untuk memikat manusia dalam pengaruh global. Mengajak masyarakat melupakan kebudayaan bangsa, menciptakan konflik sesama saudara, dan merampok kekayaan sumber daya negara.

Teknologi digital merupakan karya seni kaum kapitalis global untuk menjajah kaum proletariat. Walter Benjamin dalam esainya berjudul “The Work of Art” menjelaskan tentang usaha emansipasi atau pembebasan manusia dari keterkungkungan fasisme dan teknokratis politis dalam bentuk budaya massa, fetisisme, dan konsumerisme sebagai titik kulminasi sistem kapitalisme.

Seni politik yang diaktualisasikan dalam program digital tidak hanya dimaknai sebagai reproduksi seni, melainkan juga bentuk transmisi karya seni. Revolusi teknologi mengaburkan karya seni yang biasa dinikmati secara audio dan visual menjadi kerangka imajinatif yang mengatur pola perilaku masyarakat.

Teknologi menjadi medium seni untuk kepentingan politik. Industri konvensional dipaksa tunduk dan hancur dalam dinamika perubahan sosial ekonomi di masyarakat. Kekuasaan domestik tidak lagi memiliki otorisasi mengatur masyarakat selain merelakannya dalam keterikatan politik global yang dipimpin oleh kelompok imperalis global.***

Permasalahan hidup membawa manusia pada penderitaan. Berbagai tekanan dan cobaan secara internal dan eksternal menciptakan emosi yang berbed...

seni mengolah emosi

Permasalahan hidup membawa manusia pada penderitaan. Berbagai tekanan dan cobaan secara internal dan eksternal menciptakan emosi yang berbeda. Belum jelas obat depresi yang dialami manusia selain meluapkan dalam sikap kedengkian, kebencian, caci maki, hingga perilaku kriminal. Meski terkesan abstrak, seni mengolah emosi perlu diajarkan agar tidak terjebak pada konflik sosial.

Dalam kajian Filsafat Barat, manusia bergelut dalam konsep nalar dan kehendak. Sementara di Filsafat Jawa menambahkan variabel perasaan atau intuisi. Rasa merupakan aspek fundamental dalam berkesenian untuk menilai keindahan suatu karya. Ekspresi rasa diejawantahkan dalam bentuk emosi agar dinilai sama oleh penikmat seni.

Seni mengolah emosi merupakan kemampuan menata pikiran dan perasaan ketika menghadapi setiap kejadian. Dalam Filsafat Stoik, setidaknya ada empat nilai utama mengolah emosi yakni kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), keadilan/kejujuran (justice), kontrol diri/keseimbangan (temperance). Manusia harus menyadari tentang dikotomi yang berada di dalam dan luar kendali mereka.

Persepsi negatif berperan menciptakan emosi negatif yang diolah oleh pikiran. Kesan manusia pada sosok atau kejadian didominasi oleh emosi yang kemudian dicarikan alasan oleh akal untuk memutuskan kesukaan atau kebencian. Meski terkadang menyadari kesalahan menyimpulkan sesuatu, balutan emosi yang dipengaruhi oleh informasi dan lingkungan yang mendukung kesan pertama, akan memantapkan pilihan manusia memandang realitas hidup.

Itulah kenapa peran kesenian diperlukan untuk mengolah emosi manusia agar tidak mudah tersinggung, kecewa, dan marah. Menurunkan sikap fanatisme yang berorientasi pada konflik. Seni punya peran menghaluskan emosi dengan memfilter informasi yang benar (bermanfaat) dan salah (berbahaya).

Kesenian mengajarkan sikap empati dengan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tidak mementingkan diri sendiri (egois) untuk kepentingannya sendiri. Lunturnya sikap empati kerap menjadi akar masalah konflik sosial. Mementingkan emosi personal tanpa analisis mendalam tentang sebuah persoalan. Manusia tidak mampu merasakan emosi yang tidak dapat dikontrolnya. Dampaknya adalah buruknya cara bersosialisasi di tengah masyarakat.

 

Baca Juga : Benturan Sosial Dunia Digital

Melihat Indonesia

Demokrasi seyogyanya mampu menciptakan iklim kondusif dengan tercapainya keadilan dan kemakmuran. Goncangan emosi banyak dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik karena tidak tercapainya keadilan. Ada jurang antara pemerintah dan rakyat bahwa negara hanya milik mereka (pemerintah dan orang kaya). Hal ini dapat dilihat dari kesenjangan ekonomi dan penentuan kebijakan yang tidak secara direk menyasar masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

Cita-cita demokrasi pancasila yang menuntut keadilan di segala aspek kehidupan belum atau tidak tercapai memaksa sebagian kelompok masyarakat menyusun gagasan ideologi baru yang mungkin bertentangan dengan pancasila. Berangan tentang sistem kenegaraan baru yang lebih ideal daripada saat ini.

Problem klasik ketidakadilan semakin kentara dengan tersebaranya informasi digital yang menambah gejolak emosi masyarakat. Mereka yang tidak dibekali seni mengolah emosi mudah tersulut dan berimplikasi pada sikap anarki. Tata kelola pemerintahan yang baik bisa mengubah persepsi masyarakat yang kadung frustasi menghadapi realitas ketidaktegasan menegakan hukum. Pemerintah juga harus menghilangkan citra motif kepentingan politik praktis dan transaksi jabatan.

Melesatnya informasi di dunia daring membuat manusia tidak sempat mengolah emosi. Lebih suka menyalurkan emosi dengan menyalahkan orang lain yang mempunyai perbedaan pandangan melihat sebuah fenomena. Menebalkan politik identitas yang berafiliasi pada politik kebencian. Banyak elemen masyarakat yang mesti bertanggung jawab menyosialisasikan seni mengolah emosi agar tidak semakin parah mencederai demokrasi.

Aneka ragam kesenian dan kebudayaan di Indonesia seharusnya menambah khasanah pengolahan emosi yang dituangkan dalam rasa. Sebelum penjajahan teknologi, Indonesia dikenal memiliki masyarakat yang mengutamakan sikap toleransi dan empati. Citra negara yang sopan dan santun bergeser menjadi citra negara paling tidak sopan se-Asia Tenggara sejak masifnya penggunaan gadget.

Faktor ketidaksopanan muncul karena ketidakmampuan mengolah emosi. Mudah dipengaruhi dan ikut-ikutan pada narasi yang belum jelas kebenarannya. Emosi lebih dulu diekspresikan sebelum menyadari informasi yang diterimanya ternyata hoaks. Manifestasi emosi diaplikasikan dalam sikap kebencian yang kadang diiringi dengan perilaku anarki hingga terorisme.

Sebagai negara multikultural, Indonesia menjadi negara yang rawan konflik. Mudah tersulut emosi akibat fanatisme kelompok (sukuisme) atau tokoh tertentu. Dari kesemuanya mencita-citakan negara yang ideal dengan tata kelola pemerintahan yang baik, tercapainya keadilan, dan terpenuhinya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Ketika kesenian daerah sendiri mulai dilupakan, perkara pengelolaan emosi akan selalu menjadi ancaman untuk negara. Dalam ketidaksadarannya emosi komunal bisa berdampak lebih parah seperti terjadinya perang antar saudara seperti yang terjadi di Timur Tengah.***

Konflik agama bersumber pada perbedaan keyakinan dan kepatuhan doktrin. Setiap manusia mempunyai prinsip yang dipegang sebagai ideologi mene...

bahaya dari Agama

Konflik agama bersumber pada perbedaan keyakinan dan kepatuhan doktrin. Setiap manusia mempunyai prinsip yang dipegang sebagai ideologi menentukan keyakinannya. Banyak pengaruh yang meladasi keyakinan seseorang seperti pendidikan keluarga, lingkungan sekolah dan kelompok, hingga aktivitas media sosial.

Pemilihan memantapkan keyakinan memberikan kesan kepemilikan yang jika ada yang mengusik akan dianggap musuh atau penghianat. Semakin berbahaya ketika orang yang memilih keyakinan tidak diimbangi dengan pemahaman terhadap keyakinan yang lain. Keengganan belajar dan memahami keyakinan orang lain hanya diekspresikan dengan aktivitas penghinaan, perundungan, dan persekusi di ruang publik.

Dalam ruang diskusi antar agama akan dilabeli paham liberalisme, sementara diskusi intra agama akan menghasilkan konflik gagasan. Dalam beberapa kasus, penjelasan kebenaran ilmiah akan ditolak untuk mempertahankan keyakinan agama yang sudah diimani sejak kecil. Mengalihkan keyakinan akan menghasilkan perasaan malu dan kalah.

Harapan menyadarkan atas kekeliruan keyakinan berdasarkan argumentasi ilmiah sulit dilakukan jika dibenturkan dengan aspek teologi agama. Sikap fanatisme mempertahankan keyakinan yang kerap dimanfaatkan secara ekonomis dan politis. Secara ekonomi akan menjadi pasar dagang menjual agama, sementara secara politik akan dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan. Muncullah politik identitas untuk membenturkan kepentingan dan memecah belah bangsa.

Kebodohan memilih keyakinan tidak disandarkan pada tujuan makna dan moral. Makna tentang penciptaan dan kekuatan supranatural, sementara moral berkaitan dengan aturan perilaku manusia untuk mencapai kedamaian. Menjadi kontrdiktif ketika agama yang dianut dan dipahami malah sering menciptakan konflik dan anarkisme.

Agama tidak lagi dipandang sebagai nilai religiusitas selain tujuan formalitas. Pamer tampilan semata tanpa penghayatan tentang konsep cinta kasih. Membela mati-matian kelompok atau organisasi atau afiliasi politik tanpa melibatkan logika berpikir. Hasilnya adalah praktek agama dengan ujaran kebencian, pembubaran pengajian, hingga terorisme.

Feuerbach pernah melontarkan kritik keras terhadap penagnut agama yang disebutnya sebagai penyembah khayalannya sendiri. Dalam banyak hal, keyakinan agama mematikan nalar untuk melihat realita kehidupan yang lebih memprihatinkan seperti kemiskinan, ketidakadilan, hingga peperangan.

 

Baca Juga : Dunia Islam Kontemporer

Krisis Beragama

Dalam postingan NU Online di YouTube (10/3), Habib Ali Baqir al-Saqqaf menjelaskan tentang pentinganya memahamkan kebenaran agama. Hal ini berkaitan dengan aksi pembubaran pengajian, perundungan aliran minoritas, hingga penjabaran terhadap perbedaan mazhab agama.

Obrolan beliau menjadi bahan koreksi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di dunia agar tidak mudah melakukan persekusi terhadap ustaz atau ulama yang berbeda mazhab. Seharusnya yang dilakukan NU adalah menginisiasi ruang dialog intraagama untuk menemukan kebenaran atas keyakinan yang dianut seseorang.

Menghalangi dakwah (pengajian) mazhab yang dianggap berbeda merupakan perilaku pengecut karena ketidakmampuannya bersaing dan mempertahankan argumentasi keyakinannya. Melempar narasi terhadap ancaman agama yang berpotensi makar hanya akan dilihat sebagai bentuk krisis beragama.

Agama dijadikan pembenaran sikap egois yang bertentangan dengan nilai-nilainya sendiri. Penganut agama mulai takut terhadap perbedaan, sementara banyak kampanye perbedaan adalah rahmat tidak diindahkan dengan aksi merendahkan mazhab lain.

Peran lembaga pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap pilihan keyakinan seseorang. Akses informasi dari internet memudahkan setiap orang menentukan keyakinannya berdasarkan karakter dan lingkungan sosialnya. Sementara keyakinan merupakan ruang privasi yang tidak bisa diintervensi pemerintah atau orang lain.

Seperti yang disampaikan Habib Ali Baqir al-Saqqaf, bahwa mengatasi krisis beragama adalah dengan intensitas diskusi yang bakal diadakan. Ketidaktahuan memahami agama yang sering menjadi faktor konflik intra agama. Semakin luas ilmu seseorang akan menjadikannya lebih toleran melihat perbedaan. Sayangnya, penganut agama di Indonesia masih banyak yang tidak mau mempelajari keyakinan atau mazhab yang lain.

Ketakutan terbesar adalah terjadinya perang antar saudara seperti yang terjadi di negara-negara timur tengah. Bahkan dalam sejarah Islam, banyak perang besar yang terjadi karena perbedaan sesama muslim seperti Perang Jamal, Perang Shifin, hingga Perang Karbala. Kemunculan doktrin jihad, aksi bom bunuh diri, kampanye negara thaghut dan kebolehan membunuh sesama muslim menjadi tantangan generasi muslim milenial untuk menyadarkan bahaya krisis dan kedunguan beragama.

Butuh kedewasaan dan kebijaksanaan melihat perbedaan keyakinan dan mazhab. Meski NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia sering terlibat dalam sosialisasi kebhinekaan, sebaran informasi terhadap ideologi transnasional mulai banyak dianut generasi milenial yang tidak dipedomani landasan kitab dan ulama dalam memahami agama.

Sikap intoleransi dan mengecam perbedaan keyakinan adalah risiko dari kurangnya ruang diskusi dan tawaran ideologi yang relevan dengan perkembangan zaman. Kajian melalui media sosial mulai banyak diminati dengan embel-embel hijrah. Kemudian politik praktis memfasilitasi gerakan kelompok Islam tertentu untuk menambah konflik agama yang semakin sulit diuraikan dan diselesaikan.***

  Mayoritas orang menyebutnya primitif, sebagian meyakini ikhtiar ngalap berkah sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang. Bukan hanya men...

 

Tempat Keramat

Mayoritas orang menyebutnya primitif, sebagian meyakini ikhtiar ngalap berkah sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang. Bukan hanya menjelang pemilu, orang-orang berkepentingan kerap mendatangi “orang pintar” dan tempat keramat untuk memuluskan hajatnya. Mereka meminta doa dan memohon agar diberikan jabatan, kekayaan, dan kesuksesan hidup.

Orang pintar diasosiasikan dengan dukun atau kiai yang punya kemampuan linuwih. Mereka didatangi untuk kepentingan pengobatan, gangguan kegaiban, hingga kemudahan jodoh. Memberikan rapalan doa dan amalan (tirakat) dengan mahar tertentu. Orang pintar masih menjadi solusi sebelum berkunjung kepada dokter umum, psikiater, atau tokoh masyarakat.

Biasanya disebut sebagai solusi alternatif, namun dalam prakteknya malah terkesan sebagai solusi utama mengatasi segala masalah yang menimpa masyarakat. Tentu didasari dengan pengalaman tentang mujarabnya doa dan hanya bermodal biaya seikhlasnya. Orang pintar punya pengaruh besar dalam sandaran keyakinan masyarakat, khususnya di daerah perkampungan.

Sementara tempat keramat biasanya merujuk pada lokasi ziarah makam ulama atau tokoh Jawa yang punya ilmu keagamaan atau kegaiban. Motif ziarah sering disalahgunakan untuk kepentingan dunia hingga melupakan esensi mendoakan wali atau mengingat mati. Bahkan, rela tidur di makam beberapa hari untuk menunggu wangsit bagi pecandu togel atau judi.

Misalnya di Gunung Kemukus, Sragen yang disebut Sex Mountain oleh media internasional karena ritual perzinaan untuk terkabulnya hajat yang biasanya berkaitan dengan kekayaan. Masih banyak daerah lain yang punya syarat tertentu ketika mengunjungi tempat keramat yang diyakini punya sugesti tertentu membawa masyarakat menggapai keinginannya.

Perilaku seperti ini jelas bertentangan dengan landasan berpikir logis. Pengobatan alternatif kepada orang pintar tidak merujuk pada penelitian ilmiah dan keberhasilan seseorang mencapai sesuatu mengabaikan faktor kehendak dan usaha. Namun bukti aktivitas berkunjung ke orang pintar dan tempat keramat masih marak terjadi adalah faktor lain di luar nalar manusia; perihal keyakinan.

 

Baca Juga : Habituasi Dogma Kebudayaan

Politik Gaib

Politikus muda dan senior lebih sering memasrahkan hasil pada orang pintar dan tempat keramat daripada konsistensi berkampanye. Mereka menyadari ada kekuatan supernatural yang tidak cukup diikhtiari dengan janji manis, membeli suara, dan transaksi jabatan. Apalagi bagi politikus yang kalah secara finansial dan popularitas.

Di desa, pejabat sering menggunakan bantuan dukun atau kiai agar terlindung dari ancaman gaib (santet). Kematian beberapa kepala desa setelah menang pilkades disimpulkan sebagai serangan santet dengan asumsi pejabat menderita penyakit misterius. Memutuskan untuk maju sebagai pemimpin juga harus siap risiko kehilangan nyawa.

Meski secara medis bisa dijelaskan, namun budaya santet, pelet, dan kepet menjadi khasanah kebudayaan yang masih diyakini keberadaannya. Tak heran banyak calon pejabat yang menyiapkan diri dengan meminta bantuan kepada orang pintar dan tirakat di tempat keramat. Bahkan dalam level pimpinan nasional, banyak yang meyakini mereka melakukan tradisi serupa di tempat-tempat yang diyakini bisa melindunginya dari ancaman yang nyata dan gaib.

Kebiasaan pemimpin yang suka blusukan di tengah masyarakat dan kebencian radikal di media sosial seharusnya memudahkan pembenci untuk melukai atau bahkan membunuh dengan senapan ilegal atau senjata tajam. Namun kekecewaannya malah sering diaktualisasikan dengan perilaku teror dan bom bunuh diri yang jauh dari tujuan melukai pemimpin yang dibenci.

Seolah ada kekuatan di luar kendali manusia yang menghalau segala macam bahaya darinya. Keberadaan intelijen dan paspampres tentu tidak bisa menganalisis motif setiap orang. Apapun itu, kekuatan supernatural yang dicari atau diberikan kepada pemimpin adalah hal yang wajar dalam kebudayaan nusantara. Hal gaib masih menjadi kiblat menyandarkan permasalahan hidup.

Jelang tahun politik, kita akan melihat banyak calon politikus aktif mengunjungi orang pintar dan tempat keramat. Menggadaikan keimanan demi kekayaan dan popularitas. Jasa orang pintar juga akan semakin meningkat meski dalam perjalanannya tidak mampu memberikan kepastian keberhasilan atau kegagalan calon pejabat.

Sementara di tempat keramat, calon pejabat akan kembali aktif menjadi peziarah dadakan dan ahli tirakat. Bukan sebagai sarana bermuhasabah, namun lebih kepada keinginan terkabulnya hajat menjadi pejabat. Itulah Indonesia dengan segala keyakinan dan kebudayaannya. Orang pintar dan tempat keramat adalah alat ketika menyadari kemampuan diri tidak bakal tersampainya doa kepada Tuhan.

Dengan mengunjungi orang pintar dan tempat keramat akan melegakan perasaan calon pejabat yang sudah melakukan semua usaha jelang pemilu. Politik bukan hanya seputar strategi berkoalisi, namun juga siasat menemukan orang pintar dan tempat keramat yang tepat.***

  Ada yang lebih memprihatinkan dari ancaman krisis ekonomi (resesi), yaitu krisis ekologi global. Ditandai dengan ketidakteraturan musim (i...

 

krisis ekologi

Ada yang lebih memprihatinkan dari ancaman krisis ekonomi (resesi), yaitu krisis ekologi global. Ditandai dengan ketidakteraturan musim (iklim), beragam bencana alam, dan ancaman bahaya kelangsungan hidup manusia. Seluruh komponen masyarakat sepakat bahwa eksploitasi penggunaan sumber daya alam merupakan variabel utama pemanasan global yang diiringi dengan perilaku manusia yang mengakibatkan banyak polusi.

Kehadiran teknologi sebagai turunan dari kemajuan ilmu pengetahuan merekayasa alam untuk kepentingan pemenuhan hidup manusia. Perkembangan teknologi memicu lahirnya globalisasi dan kelebihan keterhubungan (hyperconnectedness). Bukan menata struktur sosial-budaya, namun malah menciptakan kesenjangan ekonomi dan krisis ekologi.

Ancaman krisis ekologi bukan hanya dalam lingkup domestik, di Eropa misalnya, mengalami gelombang panas berminggu-minggu yang mengakibatkan menurunnya curah hujan dan kekeringan di banyak tempat. Begitu juga dengan negara China, India, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat yang terimbas bencana alam akibat perubahan iklim.

Laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), bumi dapat mencapai atau melampaui pemanasan 1,5 derajat Celsius dalam dua dekade dan pada tahun 2100 suhu bumi bisa mencapai 4,4 derajat Celsius. Ancaman bencana alam akibat krisis ekologi rupanya belum menyadarkan pola perilaku manusia modern. Lalu apa yang menyebabkan krisis ekologi sulit diatasi?

 

Faktor Individu

Ketidakpedulian terhadap generasi mendatang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Kurangnya sikap empati untuk mengambil alih sudut pandang orang lain dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan. Globalisasi membawa manusia berpaham egosentrisme. Tidak lagi mementingkan nasib orang lain yang berorientasi pada perilaku mengeksploitasi alam.

Agama yang dihadirkan sebagai aturan untuk menjaga alam tidak lagi dijadikan parameter selain kebutuhan bertahan hidup dan memperkaya diri. Seolah alam dan manusia tidak punya korelasi. Bencana alam dianggap hanya bagian dari skenario Tuhan tanpa introspeksi perilaku diri yang berpotensi merusak alam.

Data pemanasan global, kepunahan spesies makhluk hidup, dan bencana alam hanya menjadi informasi yang tidak mempengaruhi perilaku manusia yang aktif menyebarkan polusi. Krisis ekologi harus dijadikan tanggung jawab bersama tanpa harus melempar kesalahan pada kelompok atau institusi tertentu.

 

Baca Juga : Krisis Iklim, Krisis Moralitas

Perilaku Sosial

Lingkungan dan budaya juga punya andil terhadap perubahan iklim. Kesadaran beberapa individu tidak dapat mengubah perilaku sosial yang aktif melakukan pencemaran. Kebiasaan yang kemudian dijadikan budaya mengabaikan keselamatan ekologi yang berimplikasi terhadap bencana alam dan perubahan iklim.

Prinsip peduli lingkungan dianggap sia-sia ketika banyak di antaranya terbiasa membuang sampah sembarangan, melakukan pembuangan emisi gas, hingga penebangan pohon. Lingkungan alam menjadi korban sebagai bentuk keserakahan manusia pada pilihan hidup saat ini.

Kemajuan teknologi informasi mengubah persepsi manusia praindustri yang begitu peduli terhadap kondisi lingkungan alam untuk keberlangsungan hidup manusia di masa depan. Kurangnya publikasi dan sosialisasi terhadap kondisi ekologi belum menyadarkan perilaku masyarakat yang masih konsisten mengabaikan ancaman pemanasan global.

Meski disadari bahwa perubahan suhu bumi yang semakin meningkat, namun kebiasaan mencemari lingkungan masih sering dilakukan seiring tidak adanya revolusi perilaku manusia modern yang lebih mementingkan aspek ekonmi daripada aspek ekologi. Dalam artian, manusia tega menyiksa keturunannya (generasi berikutnya) yang diwarisi kondisi bumi yang semakin sulit diselamatkan.

 

Kepentingan Ekonomi

Faktor ekonomi jelas berpengaruh terhadap perubahan iklim yang dimulai dari terpenuhinya kebutuhan dan keinginan manusia. Masih banyak perusahaan industri yang melakukan deforestasi dan menjalankan proses produksi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan hidup.

Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak membuat jera pelaku industri yang berfokus pada keuntungan ekonomi. Akibatnya, pelaku industri berhasil memenuhi tuntutan kebutuhannya, sementara warga miskin mendapat imbasnya (bencana alam).

Bahaya krisis ekologi perlu kembali dikampanyekan di berbagai media dan ruang publik. Komitmen dunia dalam pertemuan negara-negara G-20 mengenai isu perubahan iklim harus diaktualisasikan secara nyata dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Kebijakan menangani krisis ekologi harus beriringan dengan kesadaran masyarakat tentang arti penting kondisi lingkungan alam di masa mendatang.

Setiap orang harus menurunkan ego terkait kepentingan politik dan ekonomi. Menyadari bahwa kehadiran manusia di muka bumi untuk menjadi pemimpin dan penjaga kelestarian alam, bukan malah merusaknya. Ketergantungan masyarakat terhadap teknologi juga harus bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap empati pada ancaman krisis ekologi.***

Moralitas berkaitan dengan moral dan etika. Moral berarti kemampuan mendeteksi nilai, sementara etika adalah aktualisasi dari nilai yang dip...

Kebijaksanaan Moralitas

Moralitas berkaitan dengan moral dan etika. Moral berarti kemampuan mendeteksi nilai, sementara etika adalah aktualisasi dari nilai yang dipegang. Terbentuknya moral akibat daya serap mengamati dan memahami nilai di lingkungan sosial. Pendidikan keluarga, agama, dan budaya sekitar menjadi faktor utama moralitas seseorang.

Konsistensi menjalankan etika akan membentuk integritas. Rusaknya moralitas ketika seseorang tidak memegang nilai yang dianutnya. Pembiasaan kejahatan dan mengabaikan risiko atas tindakan yang diambil menujukan ketidakbermoralan seseorang. Hal tersebut yang berpengaruh pada rusaknya moralitas generasi saat ini.

Anak remaja yang memperkosa anak usia dini, pembuangan bayi yang baru lahir, hingga budaya korupsi menjadi simbol ketidakpatuhan seseorang terhadap nilai dan norma. Padahal secara rasional seseorang mampu memilah benar-salah dan baik-buruk bahkan tanpa embel-embel pengetahuan agama. Namun perilaku amoral tetap tumbuh dan berkembang ketika sistem sosial tidak dibentuk untuk patuh pada nilai yang disepakati.

Dari sisi pendidikan, moralitas berkaitan dengan kemampuan seseorang menerima dan memahami ilmu yang didapat. Ilmu adalah kemampuan membedakan objek, sementara kebijaksanaan yang dibungkus moralitas adalah kemampuan menyamakan objek. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin memperuncing jarak perbedaan. Butuh kebijaksanaan untuk mengontrol capaian ilmu agar tidak disalahgunakan.

Seharusnya semakin tinggi ilmu relevan dengan tingkat kebijaksanaan seseorang. Seseorang mengetahui risiko dari tindakan yang diambil untuk menentukan perilaku baik dan buruk. Kebodohan akan menciptakan sikap gegabah yang berpotensi menyimpang dari nilai yang dianut masyarakat. Konsekuensinya adalah hukum dan pengucilan di lingkungan sosial.

Kebijaksanaan bukan ilmu teraapan yang bisa diajarkan di pendidikan formal. Perlu kemampuan memahami ilmu dan pengalaman hidup. Selain itu, lingkungan dan agama juga punya andil besar membentuk manusia yang bijaksana. Bijaksana bisa diartikan perilaku berkorban demi kemanfaatan. Merduksi ego dan nafsu untuk kekayaan, popularitas, dan kekuasaan.

Namun sikap kebijaksanaan segelintir orang juga akan luntur ketika melihat yang lain melakukan praktek amoral sebagai kebiasaan. Sehingga sistem moralitas harus direvolusi dengan ancaman hukum yang sekiranya membuat jera pelaku kriminal. Lemahnya hukum berpotensi menyebarkan perilaku kejahatan di masyarakat. Dampaknya, ilmu digunakan sebagai alat mengakali hukum, bukan untuk bersikap menjadi lebih bijaksana.

 

Baca Juga : Ilmu (untuk) Pengetahuan

Nalar kebijaksanaan

Nalar kebijaksanaan (Vernunft-Weisheit) lebih dari sekedar nalar keilmuan. Kecerdasan seharusnya mengabdi pada kebaikan komunal. Manusia butuh proses komunikasi untuk melatih berpikir dan berpendapat secara jelas dan sistematis. Dengan nalar kebijaksanaan, orang belajar untuk memilah beragam informasi dan memilih pengetahuan yang ada.

Untuk mencapai level kebijaksanaan, seseorang harus banyak menerima bentuk informasi kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan kata dan kalimat. Informasi tersebut diolah menjadi pengetahuan yang bisa digunakan untuk motif kebaikan atau kejahatan. Setelah itu mencapai kebijaksanaan yang memadukan informasi dan pengetahuan untuk kebermanfaatan. Akar pengambilan keputusan tidak hanya didasarkan pada informasi dan pengetahuan, tetapi juga pada kesadaran.

Puncak dari kebijaksanaan adalah kesadaran cinta yang selaras dengan moralitas. Menguasai kecerdasaan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual untuk berkata dan berperilaku sesuai nilai yang dipegang. Sehingga ada tugas berat meningkatkan kualitas sumber daya manusia menggunakan nalar kebijaksanaan. Ketidaksadaran bertindak mengacaukan tatanan personal dan sosial. Berdampak pada konflik hingga kekerasan.

Kebijaksanaan tidak efektif diajarkan selain refleksi untuk memperbaiki diri. Memperbanyak informasi dan memperluas pengetahuan. Kebijaksaan relatif dilakukan setiap individu, namun inti kebijaksanaan adalah keputusan yang mengutamakan kebaikan bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga orang lain.

Kebijaksanaan tidak akan tercapai jika masih banyak kebodohan, kemalasan, dan pengalaman nilai yang buruk. Apalagi pemimpin atau pejabat yang membudidayakan perilaku kriminal (melanggar hukum) dan menjadi pelajaran bahwa perilaku tidak bijaksana sudah biasa. Darurat kebijaksanaan akan menular dan diteruskan oleh generasi berikutnya yang berdampak pada penghancuran bangsa.

Pengaruh lingkungan, lemahnya iman, dan keterbatasan pengetahuan menjauhkan manusia dari sikap bijaksana. Keadilan mustahil dicapai jika orientasi kebijaksanaan ditutup kepentingan. Menjadi manusia egois dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Kejahatan merajalela, kebaikan disembunyikan. Di tengah membanjirnya informasi, manusia semakin sulit memilah pengetahuan dan kehilangan kebijaksanaan.

Banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan mulai dari penataan sistem pendidikan, revolusi budaya, hingga penguatan nilai keagamaan. Kebijaksanaan moralitas merupakan pondasi kemajuan bangsa menghadapi ancaman industri teknologi.***

Dalam buku Pemerintah Bukanlah Negara  karya Pipit Rochijat Kartawijaya menyatakan bahwa tidak jelas pemilihan antara negara dan pemerintah....

Kritis di Negara Krisis

Dalam buku Pemerintah Bukanlah Negara karya Pipit Rochijat Kartawijaya menyatakan bahwa tidak jelas pemilihan antara negara dan pemerintah. Rakyat dininabobokan dengan hegemoni pembangunan pemerintah dan mengaburkan nilai-nilai kenegaraan. Perangkat kenegaraan dipaksa tunduk pada pemerintah.

Instrumen kenegaraan juga mendukung terpusatnya pemerintah sebagai penentu hak tunggal kebijakan. Politik diatur sedemikian rupa untuk mencapai ambisi pemerintah dalam bingkai koalisi. Wakil rakyat bersekongkol mengelabuhi rakyat dengan iming-iming santunan sosial dan rekayasa kesejahteraan.

Kebijakan pemerintah yang dalam narasinya menyejahterakan rakyat hanyalah politik pencitraan di balik kerakusan menguasai negara. Tidak ada lagi kedaulatan rakyat, selain kedaulatan pemerintah. Hak pekerja yang didominasi rakyat miskin dieksploitasi dengan UU Ciptaker. Kebebasan berpendapat dibungkam dengan UU ITE. Demokrasi runtuh perlahan dalam euforia pembangunan yang disediakan untuk para penguasa dan pemilik modal.

Sistem pendidikan yang bobrok dipertahankan sebagai upaya membodohkan rakyat. Siswa diajari untuk tunduk, patuh, dan seragam. Buruh dipaksa menerima keadaan digaji pas-pasan. Petani lahannya digilas kebijakan gila para korporat. Kemiskinan dibiarkan dan menunggu rakyat mati perlahan sebagai kondisi alamiah hidup di negara krisis.

Politikus dan aktivis kemanusian berdrama di panggung untuk sedikit menciptakan konflik yang kemudian menghilang. Media disuap untuk menjadi humas pemerintahan. Rakyat dihipnotis untuk ikut permainan politik gelap yang diarahkan agar saling bertikai. Mencitrakan beberapa tokoh yang bakal menjadi tumbal rezim pemerintahan berikutnya.

Sikap kritis rakyat terhadap pemerintah sebagai kondisi ideal negara demokrasi sengaja disembunyikan. Kritik keras dihantui hukuman yang ditentukan pemerintah. Kritik hanya dibatasi pada kulit kebijakan yang tidak dapat menyelamatkan sistem dan nasib rakyat di masa depan. Rakyat diajari dan dipaksa tunduk, tidak boleh bicara!

Menciptakan prajurit media sosial untuk mengintimidasi kritikus. Rakyat yang seharusnya menjadi alat mengubah dan mengontrol pemerintah malah melamar sebagai budak pemerintah. Negara yang yang sedang krisis, tapi rakyatnya tidak boleh kritis. Sementara pemerintah dan segala apapun yang di belakangnya menikmati kekayaan sumber daya yang disediakan negara. Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju dengan segala potensi yang dimilikinya.

 

Baca Juga : Konduktor Politik 2024

Kritik-Kolektif

Rakyat perlu merawat nalar dengan melihat realitas di lapangan. Skenario politik menghendaki untuk terbenturnya agama, hilangnya kebudayaan, dikuasainya modal ekonomi, pendegradasian moral, bobroknya pendidikan, dan kecacatan hukum. Era media memudahkan pemerintah menyiasati kondisi ideal agar rakyat tidak punya kehendak untuk memberontak dan melawan keadaan.

Kritikus tidak lagi kencang suaranya ketika ditawari jabatan. Kehidupuan segelintir orang yang hidup bermewahan hanya menjadi hiburan rakyat miskin yang berdasarkan data BPS terbaru meningkat 9,57 persen. Kesenjangan ekonomi diwajarkan dalam negara yang menganut asas keadilan. Konstitusi sengaja mutlak dikendalikan pemerintah dan kritikus tidak punya lagi kesadaran sense of crisis.

Kritik harus kembali disuarakan sebagai bagian dari iklim demokrasi. Orientasi pada keadilan dan kesajahteraan kolektif tanpa mengutamakan kepentingan diri (egosentris). Ada banyak elemen masyarakat yang perlu diselamatkan dan ada kepentingan negara yang mesti kembali dihidupkan.

Ditariknya kubu oposan politik, kaum ulama, dan kritikus senior menyisakan rakyat-rakyat yang kebingungan meratapi nasib di negara yang tidak lagi berideologi; berkonstitusi. Media juga perlu menyediakan wadah kritik agar tidak semakin anarkis pemerintah menjajah negaranya sendiri.

Belum selesai urusan domestik, pemerintah enteng saja menawarkan negaranya diakuisisi pihak asing dengan membukakan investasi. Berhutang yang kelak punya potensi dijualnya kedaulatan negara. Menyandarkan keputusan politik global, menjadikan negara pasar ekonomi asing, dan menanam modal investasi di banyak lahan rakyat miskin.

Kemiskinan jarang dipublikasikan, sedangkan objek kemiskinan tidak punya suara dan instrumen menyalurkan keresahannya selain menunggu kado pemerintah sebagai strategi mengatakan pada seluruh masyarakat bahwa Indonesia baik-baik saja. Pemimpin tidak punya lagi kekuatan dalam jeratan partai. Wakil rakyat diatur agar tidak menghalangi kerakusan pemerintah menguasai negara.

Kritik-kolektif adalah senjata menyadarkan pemerintah dari perilaku hedonisme. Membuka mata tentang kondisi memprihatinkan rakyat yang tidak punya suara. Kesenjangan ekonomi yang semakin tidak masuk akal. Generasi emas hanyalah ilusi di negara yang kritis tapi rakyatnya tidak lagi krisis.

Politik modern mematikan nalar objektif dengan sistem polarisasi. Rakyat dibentuk untuk sibuk bermusuhan. Sementara pemerintah menjadi sutradara drama politik. Disadarkan pada politik Orde Baru yang menyingkirkan lawan politiknya untuk berkuasa, sementara sekarang dan yang akan datang dengan mengajak lawan politik sama-sama menikmati kekuasaan.***

Integritas pemimpin akan berimplikasi pada penciptaan sistem budaya kerja. Dalam tataran lingkungan kerja, manajer punya andil peningkatan k...

Integritas Pemimpin

Integritas pemimpin akan berimplikasi pada penciptaan sistem budaya kerja. Dalam tataran lingkungan kerja, manajer punya andil peningkatan kualitas budaya kerja bawahannya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa budaya dipengaruhi oleh hubungan sosial. Tradisi merupakan warisan, sementara budaya diajarkan.

Untuk membangun integritas seseorang perlu pemahaman mengenai nilai yang dipegang dari pengetahuan dan pengalaman yang pernah didapat. Aktualisasi dari nilai merupakan bentuk moralitas yang jika konsisten akan meningkatkan integritas seseorang. Mempertahankan integritas akan memberikan teladan dan membentuk budaya kerja.

Tanggung jawab pemimpin yang berintegritas diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan atau organisasi. Secara komunal, sikap berintegritas akan dibudidayakan yang dimulai dari cerminan pemimpin. Kekompakan budaya kerja yang diidentifikasikan dari reaksi rangsangan lingkungan akan memberikan pemahaman tentang proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal.

Integritas umumnya dihubungkan dengan suatu keutamaan/ kebajikan (virtue) atau karakter yang baik (Audi & Murphy, 2006). Pemimpin harus memiliki ikatan afeksi pribadi, perasaan belas kasih, dan emosi moral dalam setiap pengambilan kebijakan. Nilai yang dipegang harus komitmen dilakukan agar budaya bisa dipertahankan.

Setiap orang individu secara sadar harus menentukan dan mengintegrasikan berbagai keinginan menjadi kehendak yang terpadu agar terbangun budaya yang kompak. Namun tidak ada persyaratan normatif dalam pemberian atribut tokoh yang memiliki integritas. Intergritas hanya dinilai dari kemampuan seseorang dalam membangun, memelihara, dan mentransformasikan proyeksi hidup menjadi identitas diri yang berbudaya.

Itulah kenapa integritas selalu berkorelasi dengan moralitas. Semakin rendah moralitas pemimpin, semakin rendah pula kualitas budaya kerja. Akibatnya, standar moralitas dalam lingkungan kerja akan menurun. Aspek sosial seperti konflik antarpersonal, manipulasi kinerja, dan orientasi individu dalam lingkungan kerja akan sering terjadi. Budaya kerja yang berintegritas tidak akan pernah terbentuk.

Indikator menilai integritas pemimpin dapat dilihat dari sistem budaya yang dibangun. Dimulai dari komitmennya memegang nilai dan konsistensinya menjaga moral dalam bekerja. Sebagai pemimpin, prioritas kelompok akan lebih diutamakan dari kepentingan pribadi.

 

Baca Juga : Mencari Pemimpin yang Se(n)iman

Pilihan Presiden

Integritas calon presiden Republik Indonesia menjadi faktor utama yang menentukan calon pemilih di pemilu 2024. Elektabilitas tentu dipengaruhi dari integritas seseorang ketika menjadi pemimpin. Konsistensi tokoh mengimplementasikan nilai hidup akan meningkatkan integritas dan elektabilitasnya. Demikian yang menyebabkan pencitraan politis perlu dilakukan untuk menunjukkan integritas tokoh.

Perilaku dan pengambilan keputusan secara amoral akan mereduksi tingkat kredibilitas seseorang. Meskipun iklim politik penuh dengan intrik kebijakan untuk mempengaruhi keputusan pemilih, namun rekam jejak kepemimpinan bisa dijadikan parameter integritas seseorang. Keterbukaan informasi mencatat komitmen calon pemimpin dari diaplikasikannya janji kampanye, usaha mengubah budaya kerja yang tidak sehat, dan terpenuhinya keinginan mayoritas masyarakat.

Pilihan presiden 2024 menjadi ajang tokoh potensial meningkatkan integritas kepemimpinannya saat ini. Mengubah paradigma negatif masyarakat menjadi apresiasi penciptaan budaya organisasi yang berkeadilan dan bertanggung jawab. Revolusi budaya dibutuhkan masyarakat ketika banyak yang sinis terhadap kinerja kepemerintahan.

Namun komitmen mengubah budaya kerja pemerintah perlu dimulai dari pembangunan integritas diri. Menjauhi tindakan yang bertentangan dengan moral yang dipegang secara komunal di masyarakat. Mengurangi kebijakan yang bertentangan dengan nilai dan norma bangsa. Vitalitas atau daya hidup partikularitas perlu diutamakan untuk kebaikan bersama dalam komunitas yang ideal.

Dari kepemimpinan yang berintegritas akan menciptakan budaya kerja sama dan bertanggung jawab mewujudkan tujuan organisasi. Representasi integritas pemimpin secara nyata dapat dilihat dari sikap kesederhanaan, kedisiplinan, visioner, keberanian, kesabaran, kerja keras, dan bertanggung jawab. Meskipun faktor selain integritas punya pengaruh tersendiri keterpilihan calon presiden, seperti bentukan koalisi partai dan relasi keagamaan.

Membentuk integritas tidak bisa secara instan dari pencitraan di media. Ada komitmen panjang menciptakan budaya kerja yang bermoral dan memegang teguh nilai-nilai hidup untuk mencapai tujuan bersama. Elektablitas punya pengaruh besar keterpilihan calon presiden akibat dari promosi integritas yang dilakukan selama menjadi pemimpin daerah atau organisasi.

Namun integritas tokoh tidak bisa disepakati seluruh masyarakat karena perbedaan nilai dan moralitas yang dianutnya. Sementara banyak variabel integritas sesorang yang berbeda antara satu individu dengan yang lainnya. Ada yang lebih mengutamakan faktor kejujuran, keberanian, kesederhanaan, kecerdasan, hingga atribusi keagamaan.***

Langgar, surau, meunasah, atau musala identik dengan bangunan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil dan sederhana. Lan...

Langgar dan Sanggar

Langgar, surau, meunasah, atau musala identik dengan bangunan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil dan sederhana. Langgar umumnya dibuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu. Hingga banyak orang Jawa hingga Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan kata dari musala.

Sementara sanggar merupakan wadah mengembangkan kesenian tradisi. Langgar dan sanggar merupakan interpretasi konsep budaya lokal untuk memfasilitasi dakwah keagamaan dan kesenian. Gambaran mengenai berkawinnya agama dan seni dalam membentuk karakter dan moralitas masyarakat. Belajar agama ke langgar, belajar seni ke sanggar.

Hal ini selaras dengan dakwah walisongo yang menggunakan instrumen kesenian wayang, gamelan, hingga tembang untuk menyiarkan agama Islam. Akulturasi agama dan budaya mencentuskan konsep Islam Nusantara. Masyarakat Jawa yang kental dengan tradisi disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan dengan menciptakan kesenian berbasis religiusitas.

Keberadaan langgar dimakani tidak seformal kegiatan di Masjid. Langgar bisa difungsikan sebagai wadah diskusi, silaturahmi, bahkan kegiatan yang berorientasi kesenian. Demikian halnya dengan sanggar yang bisa difungsikan sebagai media dakwah mengajarkan agama tanpa pidato formal syariat yang mengikat.

Saat ini sebutan langgar perlahan punah, sementara eksistensi sanggar masih banyak digunakan bahkan untuk komunitas kesenian kontemporer. Seni tari, teater, hingga ketoprak masih bangga menggunakan istilah sanggar untuk menunjuk sekretariat tempat menggodog ide, latihan, hingga pementasan. Belum ada padanan kata yang menggusur eksistensi sanggar dalam bidang kesenian.

 

Baca Juga : Ajaran Falsafah Serat Wedatama

Dikotomi

Keagamaan dan kesenian masih dianggap sebagai entitas ajaran yang berseberangan. Aktivitas seni yang ekspresif dan bebas bertentangan dengan nilai agama yang kaku dan mengikat bagi pemeluknya. Faktor perilaku, batasan aurat, hingga variabel drama dan musik yang mulai ada pelarangan dari sebagian mazhab agama. Kesenian perlahan tersisih dari kesatuan keagamaan yang dulu berelaborasi membentuk kebudayaan bangsa.

Pelaku seni dipersepsikan sebagai bagian dari kaum urakan dan tidak senonoh. Akrab dengan kemaksiatan dan barang-barang haram seperti minuman keras dan narkoba. Seniman butuh media berimajinasi dan berkreasi untuk menciptakan sebuah karya yang kadang dipenuhi dengan mengonsumsi sesuatu yang membuatnya rileks. Meski terlalu konyol menyimpulkan semua pelaku seni dekat dengan kemaksiatan.

Sementara agama erat berkaitan dengan kesopansantunan, kesunahan, dan ketaatan. Batasan antara seni dan agama yang menjadi dikotomi kehidupan. Berkesenian diibaratkan tidak beragama dan sebaliknya. Padahal kemampuan suatu perilaku untuk mengungkapkan emosi keagamaan selaras dengan daya pesona (enchantment) yang dimiliki oleh perilaku seni.

Agama dan seni yang memiliki hubungan bersifat saling melengkapi, kontradiksi dan bentuk akulturasi karena adanya hubungan saling mempengaruhi antara satu nilai dengan nilai berbeda (Lysen, 1972). Keterikatan seni dan agama di Indonesia mengubah warna baru Islam yang moderat dan “lentur”. Tidak dipahami kaku dan memaksa.


Baca Juga : Hidup untuk Berteater

Seni Beragama

Peradaban modern manusia mulai terpenjara dalam paradigma rasionalitas. Saat ini manusia belum mampu menerima kekayaan dimensi yang terperangkap pada kebenaran moral dan rasionalitas saja. Seni seharusnya menjadi jalan untuk mengatasi degradasi moral manusia itu sendiri.

Dalam kacamata seni, kebenaran tidak selalu berbentuk kebaikian dan sebaliknya. Seniman akan mengolah segala hal yang dialaminya menjadi wujud keindahan dengan landasan nilai estetika. Perasaan dan intuisi merupakan alat bagi pelaku seni menemukan kebenaran yang paling mendasar, universal, dan abadi.

Menurut Jakob Sumardjo, seni punya korelasi mendalam dengan agama dalam menemukan kebenaran. Kehadiran sesuatu yang transendental dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam kesenian. Sebab seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman yang nyata.

Agama bersifat statis, sedangkan seni bersifat dinamis. Kontradiksi ini menjadi parameter sulitnya menggabungkan unsur keagamaan dan kesenian dalam menjalani kehidupan. Padahal seharusnya Agama memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan, khususnya dalam berkesenian.

Beragama harus punya sifat dan sikap keindahan yang digambarkan Tuhan dalam kewelasasihannya. Seni bisa menjadi instrumen melunakan ego dan nafsu beragama seseorang. Seni dihayati sebagai pengejawantahan konsep ketauhidan yang nyawiji dalam benda dan perilaku alam. Seni hanya mengolah ide yang meniru kejadian dan keindahan alam untuk diimplementasikan dalam karya.

Seni pondasi mendidik kebatinan (rasa, karsa, dan karya) manusia agar tidak terlalu konservatif dalam beragama. Konsep mengawinkan sanggar dan langgar adalah gagasan progresif melihat realita kesenian dan keagamaan saat ini. Lebih ekstrem lagi, seni (sanggar) dan agama (langgar) merupakan entitas kehidupan yang mustahil dipisahkan.***