Konflik agama bersumber pada perbedaan keyakinan dan kepatuhan doktrin. Setiap manusia mempunyai prinsip yang dipegang sebagai ideologi menentukan keyakinannya. Banyak pengaruh yang meladasi keyakinan seseorang seperti pendidikan keluarga, lingkungan sekolah dan kelompok, hingga aktivitas media sosial.
Pemilihan memantapkan keyakinan memberikan kesan kepemilikan yang jika ada yang mengusik akan dianggap musuh atau penghianat. Semakin berbahaya ketika orang yang memilih keyakinan tidak diimbangi dengan pemahaman terhadap keyakinan yang lain. Keengganan belajar dan memahami keyakinan orang lain hanya diekspresikan dengan aktivitas penghinaan, perundungan, dan persekusi di ruang publik.
Dalam ruang diskusi antar agama akan dilabeli paham liberalisme, sementara diskusi intra agama akan menghasilkan konflik gagasan. Dalam beberapa kasus, penjelasan kebenaran ilmiah akan ditolak untuk mempertahankan keyakinan agama yang sudah diimani sejak kecil. Mengalihkan keyakinan akan menghasilkan perasaan malu dan kalah.
Harapan menyadarkan atas kekeliruan keyakinan berdasarkan argumentasi ilmiah sulit dilakukan jika dibenturkan dengan aspek teologi agama. Sikap fanatisme mempertahankan keyakinan yang kerap dimanfaatkan secara ekonomis dan politis. Secara ekonomi akan menjadi pasar dagang menjual agama, sementara secara politik akan dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan. Muncullah politik identitas untuk membenturkan kepentingan dan memecah belah bangsa.
Kebodohan memilih keyakinan tidak disandarkan pada tujuan makna dan moral. Makna tentang penciptaan dan kekuatan supranatural, sementara moral berkaitan dengan aturan perilaku manusia untuk mencapai kedamaian. Menjadi kontrdiktif ketika agama yang dianut dan dipahami malah sering menciptakan konflik dan anarkisme.
Agama tidak lagi dipandang sebagai nilai religiusitas selain tujuan formalitas. Pamer tampilan semata tanpa penghayatan tentang konsep cinta kasih. Membela mati-matian kelompok atau organisasi atau afiliasi politik tanpa melibatkan logika berpikir. Hasilnya adalah praktek agama dengan ujaran kebencian, pembubaran pengajian, hingga terorisme.
Feuerbach pernah melontarkan kritik keras terhadap penagnut agama yang disebutnya sebagai penyembah khayalannya sendiri. Dalam banyak hal, keyakinan agama mematikan nalar untuk melihat realita kehidupan yang lebih memprihatinkan seperti kemiskinan, ketidakadilan, hingga peperangan.
Baca Juga : Dunia Islam Kontemporer
Krisis Beragama
Dalam postingan NU Online di YouTube (10/3), Habib Ali Baqir al-Saqqaf menjelaskan tentang pentinganya memahamkan kebenaran agama. Hal ini berkaitan dengan aksi pembubaran pengajian, perundungan aliran minoritas, hingga penjabaran terhadap perbedaan mazhab agama.
Obrolan beliau menjadi bahan koreksi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di dunia agar tidak mudah melakukan persekusi terhadap ustaz atau ulama yang berbeda mazhab. Seharusnya yang dilakukan NU adalah menginisiasi ruang dialog intraagama untuk menemukan kebenaran atas keyakinan yang dianut seseorang.
Menghalangi dakwah (pengajian) mazhab yang dianggap berbeda merupakan perilaku pengecut karena ketidakmampuannya bersaing dan mempertahankan argumentasi keyakinannya. Melempar narasi terhadap ancaman agama yang berpotensi makar hanya akan dilihat sebagai bentuk krisis beragama.
Agama dijadikan pembenaran sikap egois yang bertentangan dengan nilai-nilainya sendiri. Penganut agama mulai takut terhadap perbedaan, sementara banyak kampanye perbedaan adalah rahmat tidak diindahkan dengan aksi merendahkan mazhab lain.
Peran lembaga pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap pilihan keyakinan seseorang. Akses informasi dari internet memudahkan setiap orang menentukan keyakinannya berdasarkan karakter dan lingkungan sosialnya. Sementara keyakinan merupakan ruang privasi yang tidak bisa diintervensi pemerintah atau orang lain.
Seperti yang disampaikan Habib Ali Baqir al-Saqqaf, bahwa mengatasi krisis beragama adalah dengan intensitas diskusi yang bakal diadakan. Ketidaktahuan memahami agama yang sering menjadi faktor konflik intra agama. Semakin luas ilmu seseorang akan menjadikannya lebih toleran melihat perbedaan. Sayangnya, penganut agama di Indonesia masih banyak yang tidak mau mempelajari keyakinan atau mazhab yang lain.
Ketakutan terbesar adalah terjadinya perang antar saudara seperti yang terjadi di negara-negara timur tengah. Bahkan dalam sejarah Islam, banyak perang besar yang terjadi karena perbedaan sesama muslim seperti Perang Jamal, Perang Shifin, hingga Perang Karbala. Kemunculan doktrin jihad, aksi bom bunuh diri, kampanye negara thaghut dan kebolehan membunuh sesama muslim menjadi tantangan generasi muslim milenial untuk menyadarkan bahaya krisis dan kedunguan beragama.
Butuh kedewasaan dan kebijaksanaan melihat perbedaan keyakinan dan mazhab. Meski NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia sering terlibat dalam sosialisasi kebhinekaan, sebaran informasi terhadap ideologi transnasional mulai banyak dianut generasi milenial yang tidak dipedomani landasan kitab dan ulama dalam memahami agama.
Sikap intoleransi dan mengecam perbedaan keyakinan adalah risiko dari kurangnya ruang diskusi dan tawaran ideologi yang relevan dengan perkembangan zaman. Kajian melalui media sosial mulai banyak diminati dengan embel-embel hijrah. Kemudian politik praktis memfasilitasi gerakan kelompok Islam tertentu untuk menambah konflik agama yang semakin sulit diuraikan dan diselesaikan.***
0 comments: