Langgar, surau, meunasah, atau musala identik dengan bangunan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil dan sederhana. Langgar umumnya dibuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu. Hingga banyak orang Jawa hingga Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan kata dari musala.
Sementara sanggar merupakan wadah mengembangkan kesenian tradisi. Langgar dan sanggar merupakan interpretasi konsep budaya lokal untuk memfasilitasi dakwah keagamaan dan kesenian. Gambaran mengenai berkawinnya agama dan seni dalam membentuk karakter dan moralitas masyarakat. Belajar agama ke langgar, belajar seni ke sanggar.
Hal ini selaras dengan dakwah walisongo yang menggunakan instrumen kesenian wayang, gamelan, hingga tembang untuk menyiarkan agama Islam. Akulturasi agama dan budaya mencentuskan konsep Islam Nusantara. Masyarakat Jawa yang kental dengan tradisi disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan dengan menciptakan kesenian berbasis religiusitas.
Keberadaan langgar dimakani tidak seformal kegiatan di Masjid. Langgar bisa difungsikan sebagai wadah diskusi, silaturahmi, bahkan kegiatan yang berorientasi kesenian. Demikian halnya dengan sanggar yang bisa difungsikan sebagai media dakwah mengajarkan agama tanpa pidato formal syariat yang mengikat.
Saat ini sebutan langgar perlahan punah, sementara eksistensi sanggar masih banyak digunakan bahkan untuk komunitas kesenian kontemporer. Seni tari, teater, hingga ketoprak masih bangga menggunakan istilah sanggar untuk menunjuk sekretariat tempat menggodog ide, latihan, hingga pementasan. Belum ada padanan kata yang menggusur eksistensi sanggar dalam bidang kesenian.
Baca Juga : Ajaran Falsafah Serat Wedatama
Dikotomi
Keagamaan dan kesenian masih dianggap sebagai entitas ajaran yang berseberangan. Aktivitas seni yang ekspresif dan bebas bertentangan dengan nilai agama yang kaku dan mengikat bagi pemeluknya. Faktor perilaku, batasan aurat, hingga variabel drama dan musik yang mulai ada pelarangan dari sebagian mazhab agama. Kesenian perlahan tersisih dari kesatuan keagamaan yang dulu berelaborasi membentuk kebudayaan bangsa.
Pelaku seni dipersepsikan sebagai bagian dari kaum urakan dan tidak senonoh. Akrab dengan kemaksiatan dan barang-barang haram seperti minuman keras dan narkoba. Seniman butuh media berimajinasi dan berkreasi untuk menciptakan sebuah karya yang kadang dipenuhi dengan mengonsumsi sesuatu yang membuatnya rileks. Meski terlalu konyol menyimpulkan semua pelaku seni dekat dengan kemaksiatan.
Sementara agama erat berkaitan dengan kesopansantunan, kesunahan, dan ketaatan. Batasan antara seni dan agama yang menjadi dikotomi kehidupan. Berkesenian diibaratkan tidak beragama dan sebaliknya. Padahal kemampuan suatu perilaku untuk mengungkapkan emosi keagamaan selaras dengan daya pesona (enchantment) yang dimiliki oleh perilaku seni.
Agama dan seni yang memiliki hubungan bersifat saling melengkapi, kontradiksi dan bentuk akulturasi karena adanya hubungan saling mempengaruhi antara satu nilai dengan nilai berbeda (Lysen, 1972). Keterikatan seni dan agama di Indonesia mengubah warna baru Islam yang moderat dan “lentur”. Tidak dipahami kaku dan memaksa.
Baca Juga : Hidup untuk Berteater
Seni Beragama
Peradaban modern manusia mulai terpenjara dalam paradigma rasionalitas. Saat ini manusia belum mampu menerima kekayaan dimensi yang terperangkap pada kebenaran moral dan rasionalitas saja. Seni seharusnya menjadi jalan untuk mengatasi degradasi moral manusia itu sendiri.
Dalam kacamata seni, kebenaran tidak selalu berbentuk kebaikian dan sebaliknya. Seniman akan mengolah segala hal yang dialaminya menjadi wujud keindahan dengan landasan nilai estetika. Perasaan dan intuisi merupakan alat bagi pelaku seni menemukan kebenaran yang paling mendasar, universal, dan abadi.
Menurut Jakob Sumardjo, seni punya korelasi mendalam dengan agama dalam menemukan kebenaran. Kehadiran sesuatu yang transendental dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam kesenian. Sebab seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman yang nyata.
Agama bersifat statis, sedangkan seni bersifat dinamis. Kontradiksi ini menjadi parameter sulitnya menggabungkan unsur keagamaan dan kesenian dalam menjalani kehidupan. Padahal seharusnya Agama memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan, khususnya dalam berkesenian.
Beragama harus punya sifat dan sikap keindahan yang digambarkan Tuhan dalam kewelasasihannya. Seni bisa menjadi instrumen melunakan ego dan nafsu beragama seseorang. Seni dihayati sebagai pengejawantahan konsep ketauhidan yang nyawiji dalam benda dan perilaku alam. Seni hanya mengolah ide yang meniru kejadian dan keindahan alam untuk diimplementasikan dalam karya.
Seni pondasi mendidik kebatinan (rasa, karsa, dan karya) manusia agar tidak terlalu konservatif dalam beragama. Konsep mengawinkan sanggar dan langgar adalah gagasan progresif melihat realita kesenian dan keagamaan saat ini. Lebih ekstrem lagi, seni (sanggar) dan agama (langgar) merupakan entitas kehidupan yang mustahil dipisahkan.***
0 comments: