Melesatnya kemajuan teknologi menghadapkan manusia pada masa depan yang belum pernah ada sebelumnya. Konsepsi tentang dunia yang ideal tanpa batasan negara dan kekuasaan. Gagasan penciptaan kehidupan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi secara digital.
Kecanduan pada teknologi dimanfaatkan pemilik kapital menguasai nasib manusia. Ekonomi digital menjadi metode penjajahan modern. Peran politik menyelinap dalam industri media mempengaruhi pola pikir di masyarakat agar sangsi terhadap pemerintah. Mengacaukan negara untuk tunduk pada kekuatan kapitalis imperalisme.
Ketika sistem negara diabaikan, harapan kehidupan ideal dapat diatur oleh segelintir elit global. Menebalkan isu konspirasi untuk menciptakan turbulensi sosial-politik domestik. Kecerdasan politik imperalisme menghindarkan penguasaan wilayah melalui peperangan atau paksaan. Manusia dibuaikan pada iming-iming kehidupan yang ideal, sementara realitanya menjadi budak imperalis.
Digitalisasi kehidupan membawa manusia agar tergantung pada gawai (gadget). Terlihat perilaku mengatur gawai, namun dalam ketidaksadarannya diatur program dari gawai. Manusia dijadikan barang dagang dalam industri digital. Sebagai aktivitas sosial, politik digital mencoba menciptakan tata sosial secara komprehensif.
Politik modern cenderung memiliki konsep otoritas secara implisit maupun eksplisit. Pengelola aturan tidak lagi dalam kendali negara, melainkan dikuasai oleh korporasi digital. Menciptakan ketergantungan-keterhubungan, mempengaruhi pola pikir dan perilaku, dan menjadikan konflik sosial. Politik imperalis akan membentuk negara artifisial terbentuk dari tindakan politik yang disengaja (voluntary action): pembentukan sebuah persekutuan (union).
Dunia digital menawarkan keadilan dan kesejahteraan dalam bidang sosial dan ekonomi. Setiap orang punya potensi mengekspresikan minat dan bakatnya untuk memperoleh keuntungan dan kesuksesan tanpa bergantung pada kebijakan politik negara. Selain itu juga menjanjikan rasa aman dari tindak kriminal. Ketika negara tidak dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dasar manusia, kekuatan kapitalis akan menguasai kehidupan manusia di masa mendatang.
Asumsi penguasa global mengarah kepada kelompok kapitalis Amerika Serikat dan Uni Eropa yang memainkan peran politik sejak lama. Ada juga Cina dan Rusia yang mencoba menantang dominasi politik imperalisme modern. Sementara negara miskin dan berkembang hanya dijadikan pasar mengeruk sumber daya untuk berperang di arena dunia digital.
Seni Imperalisme
Gagasan dunia ideal merupakan imajinasi seniman politik berdasarkan daya cipta dan kreasi yang ingin diwujudkan (karya). Seni dimaknai sebagai pembebasan jiwa dari keterbelengguan aturan yang kaku dan memaksa. Seni mengharapkan terjadinya politik emansipasi dan otonomi yang bersifat sosial dan menentang kebudayaan masyarakat.
Otonomi seni membentuk dialektika dengan komdifikasi namun tidak digunakan untuk mengubah moral dan perilaku masyarakat. Setiap orang punya aturan dan cara bertahan hidup masing-masing. Proyek digital hanya menfasilitasi kreaktivitas manusia untuk melawan penguasa di dunia nyata.
Seni imperalisme membawa manusia dalam angan-angan kehidupan yang lebih baik dari saat ini. Menjanjikan kesejahteraan, keamanan, dan keterhubungan. Manusia diajak menikmati pertunjukan digital yang menyajikan “tontonan” menarik “film fiksi” dengan akhir cerita yang bahagia. Karya kapitalis memberikan khasanah sebuah museum publik yang terbuka untuk siapa, kapan, dan di mana saja.
Meski terkesan kontradiktif antara seni dan politik, kelompok kapitalis punya cara sendiri mengawinkan seni politik untuk memikat manusia dalam pengaruh global. Mengajak masyarakat melupakan kebudayaan bangsa, menciptakan konflik sesama saudara, dan merampok kekayaan sumber daya negara.
Teknologi digital merupakan karya seni kaum kapitalis global untuk menjajah kaum proletariat. Walter Benjamin dalam esainya berjudul “The Work of Art” menjelaskan tentang usaha emansipasi atau pembebasan manusia dari keterkungkungan fasisme dan teknokratis politis dalam bentuk budaya massa, fetisisme, dan konsumerisme sebagai titik kulminasi sistem kapitalisme.
Seni politik yang diaktualisasikan dalam program digital tidak hanya dimaknai sebagai reproduksi seni, melainkan juga bentuk transmisi karya seni. Revolusi teknologi mengaburkan karya seni yang biasa dinikmati secara audio dan visual menjadi kerangka imajinatif yang mengatur pola perilaku masyarakat.
Teknologi menjadi medium seni untuk kepentingan politik. Industri konvensional dipaksa tunduk dan hancur dalam dinamika perubahan sosial ekonomi di masyarakat. Kekuasaan domestik tidak lagi memiliki otorisasi mengatur masyarakat selain merelakannya dalam keterikatan politik global yang dipimpin oleh kelompok imperalis global.***
0 comments: