Kita sering merangkai ilmu pengetahuan sebagai kesatuan diksi. Ilmu diperoleh manusia untuk menyusun model pengetahuan melalui sensor pancaindera yang diolah oleh otak. Tanpa model pengetahuan, manusia akan sulit untuk mengantisapasi dan memprediksi sebuah kejadian. Sementara pengetahuan merupakan model yang diperoleh berdasarkan pengalaman atau eksperimen setiap manusia agar punya illusion of control terhadap dunia.
Pengalaman manusia merupakan bagian ilmu yang berkembang dengan adanya interaksi dan komunikasi, meski dalam prakteknya ada limitasi pengetahuan. Komunikasi mempunyai level yang berbeda dengan pengalaman meskipun mampu membangun model pengetahuan manusia. Konsep pengetahuan yang belum dialami manusia bisa diantisipasi dengan ilmu yang didapat dari cerita orang, gambar atau video, dan referensi bacaan.
Ilmu berfungsi untuk mengakusisi informasi sebanyak mungkin untuk membuat mental model terhadap dunia agar punya respon yang tepat dan terarah. Sebab manusia menyadari bahwa ia tidak mungkin dapat mengalami semuanya. Masalahnya adalah ketika ilmu malah dijadikan representasi dari dunia itu sendiri. Sedangkan pada dunia kita hanya bisa mengalami dan berinteraksi, sementara ilmu digunakan untuk menjadi model dalam diri agar bisa seakurat mungkin menghadapi situasi.
Setiap pengalaman manusia bisa mengakuisisi ilmu sebanyak mungkin, termasuk dari obrolan, tontonan, atau kejadian yang dialaminya. Ilmu bisa menjadi akumulasi dari apa yang dialami untuk menentukan model yang tepat dalam diri mansuia. Sehingga segala bentuk ilmu (pelajaran) tidak akan menjadi pengetahuan jika tidak tersistem dalam model kehidupan manusia.
Model pengetahuan yang dibangun dari ilmu akan terus berkembang seiring pengalaman manusia yang selalu berubah. Jika ilmu adalah informasi membangun model, maka ilmu yang paling penting adalah ilmu untuk melihat model itu sendiri yang kemudian disebut ilmu metakognitif. Manusia tidak hanya punya kesadaran, namun menyadari kesadarannya sendiri.
Ketika manusia sudah memahami konsep metakognitif, keyakinan akan kebenaran ilmu yang dialaminya akan punya potensi untuk salah (tidak akurat). Melihat model pengetahuan dari kacamata model pengetahuan lainnya. Menarik ke luar spektrum yang lebih luas tentang kompleksitas ilmu dan kebenaran. Manusia yang tidak memahami model pengetahuannya akan sulit menyunsun metodologi untuk mengembangkan dirinya.
Manusia harus bisa mengambil jarak yang berbeda untuk melihat dirinya. Mereka harus mampu menjadi sutradara untuk dirinya sendiri agar paham limitasi pengetahuan yang dimiliki. Sehingga dalam aktualisasinya tidak gampang menyalahkan keyakinan atas kebenaran orang lain. Bisa jadi anggapan salah terhadap orang lain sebab kesalahan atau kekurangcakapan model yang dialaminya. Kebenaran kita saat ini mungkin bisa menjadi kesalahan yang belum kita pahami.
Kesadaran akan limitasi pengetahuan membuat manusia lebih gampang menolak atau merevisi kebenarannya sendiri. Perdebatan terjadi karena lawan mengetahui apa yang kita tidak tahu atau kita mengetahui apa yang tidak diketahui lawan. Ilmu tidak akan pernah bisa berdiri sendiri. Sehingga bagi mereka yang tidak menyadari model pengetahuan meskipun banyak belajar hanya akan menjadi gudang pengetahuan, bukan model pengetahuan.
Kemampuan menganalisis model dari kumpulan informasi yang ditimbun manusia akan bermanfaat untuk merespon kejadian dan memperlakukannya dengan lebih bijaksana. Sementara orang yang mudah menyalahkan orang lain biasanya tidak mampu melihat model pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu yang masuk ditata secara random tanpa metodologi yang jelas. Tidak paham tentang konsep kedisiplinan metakognitif. Sehingga kebenaran mutlak hanya miliknya, sementara yang lain dianggap salah.
Baca Juga : Dekonstruksi Fungsi KPI
Dunia Pendidikan
Metode pendidikan formal di Indonesia tidak mengajari secara fundamental mengenai ilmu metakognitif. Banyak yang “pandai” dalam salah satu mata pelajaran akademik namun dalam aplikasinya pengetahuan yang didapat tidak berguna bagi kehidupan. Ilmu yang dipupuk sejak sekolah dasar hanya menjadi memori atau file sampah karena ketidakmampuan menyusun model yang tepat untuk merespon kejadian di dunia.
Manusia dicekoki dengan teori-teori sebagai parameter keluasan ilmu. Sementara teori sendiri merupakan simbol untuk menjelaskan suatu keadaan atau kejadian. Teori menjadi bentuk abstraksi pikiran manusia atas keadaan atau benda di dunia. Bahkan teori hanya penyempitan (reduksi) dari kenyataan dan mengaburkan pengetahuan manusia atas kenyataan.
Dunia akademik merupakan dunia imajinasi yang berisi kata, simbol, dan teori. Realita kehidupan selalu ditutupi dengan rumusan, formula, ataupun teori yang disepakati sebagai pengetahuan. Pendidikan sebagai penyedia ilmu pengetahuan mengajarkan kepada manusia untuk bertindak sebagai subjek, selainnya adalah objek. Mengajari manusia cara berpikir untuk memisahkan dan membeda-bedakan segala hal secara teoritis.
Sulit menjelaskan level objektivitas mansuia sebab pengetahuan adalah hasil konstruksi individu maupun lingkungan sosial yang terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Bagi penganut paham objektivisme menyatakan bahwa realitas berada secara bebas dari kesadaran manusia. Manusia bisa mencapai pengetahuan yang objektif dan universal tentang realitas dengan menggunakan pendekatan ilmiah.
Dunia pendidikan harus mampu menyediakan model yang tepat sebagai bahan ajar menghasilkan pengetahuan. Ketika ilmu melihat segala hal secara berbeda, pengetahuan harus hadir dengan kacamata kesadaran akan persamaan. Setiap orang yang berbekal ilmu bisa menyebut detail berbagai jenis pohon dan membandingkannya, namun pengetahuan secara bijaksana akan mengatakan bahwa itu semua adalah pohon.
Keluasan dan keluwesan cara berpikir, kerelaan mengkritik keyakinannya sendiri, dan kedasaran akan keterbatasan diri dan tidak terbatasnya ilmu akan melahirkan nilai dalam diri manusia untuk menciptakan harmoni kehidupan. Meminimalisir perdebatan berdsarkan limitasi pengetahuan yang belum menjadi pengalaman. Ilmu metakognitif hasilnya adalah sikap toleransi apabila setiap orang menerapkan modelnya dengan tepat.
Ilmu yang menjadi pengalaman akan selalu berguna bagi manusia. Namun jika ilmu hanya sebagai syarat formalitas pendidikan akan mudah dilupakan (tidak berguna). Betapa banyak ilmu dan pelajaran yang didapat dari pendidikan wajib belajar 12 tahun, namun berapa persen ilmu yang diingat dan dipakai dalam kehidupan?
Ilmu seharusnya membantu manusia merespon dan mengantisipasi kejadian di dunia. Parameter orang berpendidikan bukan diukur dari seberapa lama seseorang menempuh pendidikan formal, melainkan seberapa berguna ilmu yang didapat untuk dirinya, orang lain, dan alam semesta. Banyak orang berilmu namun tidak mengetahui manfaat dari ilmu yang didapat.
Kurikulum dan sistem pendidikan formal belum mampu mengaplikasikan teori sebagai pengalaman. Lembaga pendidikan malah dijadikan ajang persaingan untuk mendapatkan prestasi yang berdampak kepada karakter suka meyalahkan orang lain. Iklim kompetisi dibangun dari dunia pendidikan hingga lingkungan kerja. Manusia dibimbing untuk saling bermusuhan satu dengan yang lain, bukan untuk bekerjasama.
Dunia pendidikan harus melakukan revolusi konsep dan sistem untuk membangun manusia yang punya kesadaran terhadap ilmu dan pengetahuannya. Elemen pendidikan termasuk guru, pemerintah, dan kurikulum ajar. Dunia pendidikan selain bisa mencerdaskan kehidupan berbangsa juga harus melahirkan generasi yang bermoral dan berbudaya.***
0 comments: