CATEGORIES

Santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat merupakan proses Islamisasi di Jawa yang memiliki variabel pesantren dan kiai. Akulturasi a...

Islam, Jawa, dan Digital

Islam Jawa - Santri

Santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat merupakan proses Islamisasi di Jawa yang memiliki variabel pesantren dan kiai. Akulturasi antara Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa mengubah tatanan sosial di lingkungan keagamaan yang kerap memasukan unsur kebudayaan dalam sarana dan metode peribadatannya. Islamisasi di Jawa telah melahirkan tradisi kraton Islam-Jawa sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.

Dari perspektif historis dapat ditunjukkan bahwa tradisi santri telah menjadi basis kekuatan sosial politik pada masa awal pendirian kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten. Sementara masa kerajaan Mataram Islam, peran santri berpengaruh fundamental di daerah pedalaman Jawa. Bahkan setelah keruntuhan kerajaan-kerajaan Islam akibat dominasi kolonialisme, santri menjadi basis perlawanan hingga melahirkan jiwa nasionalisme dan patriotisme.

Hingga masa pergerakan kemerdekaan santri berperan dalam berdirinya organisasi nasional seperti Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Partai Sarekat Islam Indonesia, dan Masyumi. Dampak potensi santri di Jawa mewarnai kelahiran dikotomi orientasi sosiokultural masyarakat dengan kemunculan istilah Islam Mutihan dan Abangan, aliran Ortodoks dan Herodoks, ahli sunnah wal jamaah dan kaum Islam Modern, Santri dan Abangan, dan kaum Nasionalis Keagamaan dan Nasionalis Sekular.

Peran santri secara histori, sosial, dan politik yang sering dijadikan alat kampanye mendekati pemilu. Mendekati ulama atau kiai untuk mempengaruhi santrinya dalam parade politik praktis. Sementara perubuhan era digital dimanfaatkan dengan menjual agama yang kemudian berimplikasi pada konflik politik identitas. Membenturkan sikap nasionalisme dan Islamisme. Agama pun berakulturasi terhadap perubahan zaman dengan tidak lagi melihat esensi akhlak dalam berpolitik.

Tradisi kepesantrenan memuat berbagai dimensi keagamaan, pandangan dunia, pemikiran intelektual, sastra, bahasa, seni, maupun kelembagaan sosial budaya dan politik. Pada masa awal perkembangannya telah menawarkan salah satu bentuk komunitas alternatif kepada masyarakat Jawa dalam menghadapi proses perubahan sosial-budaya dari masyarakat Hindu-Budha ke masyarakat Islam di Jawa.

Historiografi Jawa telah memberikan rekaman historis tentang proses Islamisasi di Pesisir Utara Jawa dan Jawa secara keseluruhan, menurut visi budaya Jawa. Menurut pandangan historiograsfi Jawa tradisi besar santri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Jawa dan Indonesia.

 
Baca Juga : Revolusi Sistem Pondok Pesantren

Santri Digital

Santri tidak lagi dilihat secara etnosentris ketika kemajuan teknologi mengubah sosio-kultural saat ini. Pesatnya perubahan teknologi yang mengedepankan unsur efisiensi mengubah budaya pesantren konservatif. Bahkan, sudah banyak pesantren yang terpaksa beradaptasi kajian secara daring. Menciptakan santri-santri digital tanpa spesifikasi ulama atau kiai yang punya kompetensi.

Santri digital bebas mengakses bentuk kajian kapanpun dan di manapun selama tersedia internet di gadget masing-masing. Setiap problematika keagamaan bisa dicarikan jawaban di “pondok pesantren” yang disebutnya GOOGLE. Bahkan materi kitab kuning tersebar luas beserta kajian tafsir dan berbagai referensi mazhab. Pondok pesantren klasik mulai dtinggalkan di tengah euforia merayakan membanjirnya informasi agama di dunia modern.

Namun ada yang mengganjal ketika informasi keagamaan mudah di dapat oleh para santri digital. (1) Kualitas informasi. Meliputi kejelasan referensi atau rujukan tulisan. Sebab setiap orang bebas memproduksi informasi yang punya potensi hoaks dan memanipulasi data untuk kepentingan kelompok tertentu. (2) Limitasi kepakaran. Masyarakat Jawa memberikan penghargaan dan penghormatan tinggi kepada raja, guru atau kyai, di samping kepada orang tua atau orang yang dipandang tua, sebagai bagian dari pandangan budaya.

Kepercayaan tentang adanya kelebihan (karomah), mukjizat, dan kemampuan memberikan barokah dari Allah kepada umatnya yang dimiliki oleh para wali, kiai, atau ulama banyak dijumpai dalam sumber-sumber lokal sejarah Jawa. Namun digitalisasi pesantren mendistorsi kepakaran ulama yang sebelumnya begitu ditakuti, dihormati, dan diikuti setiap fatwanya. Sementara sajian informasi digital menciptakan ekosistem baru bahwa semua orang punya potensi menjadi kiai atau ulama meski tanpa kecakapan ilmu agama.

(3) Sanad keilmuan. Disadari atau tidak, bahwa budaya kepesantrenan merupakan budaya pewarisan ilmu agama yang kemudian melahirkan cabang-cabang pesantren baru. Santri yang takzim pada kiainya punya semacam ikatan batin yang dapat dikaji secara metafisis. Hubungan sanad itulah yang membedakan santri konvensional dengan santri digital.

Laporan Kementerian Kementerian Agama per Januari 2022 menunjukkan bahwa ada 26.975 pondok pesantren di Indonesia. Provinsi Jawa Barat menyumbang jumlah pondok pesantren terbanyak dengan 8.343 pesantren atau sekitar 30,92% dari total pesantren nasional. Banten menempati peringkat kedua, yakni sebanyak 4.579 pesantren. Jawa Timur dan Jawa Tengah menyusul di posisi ketiga dan keempat.

Dominasi pesantren memang berada di Jawa sebagai tradisi khas keislaman nusantara. Namun menjadi beban berat mengembalikan citra pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berkualitas yang bukan hanya menciptakan santri berprestasi secara akademik, namun juga berakhlak. Apalagi beberapa kasus pencabulan di lingkup pesantren yang menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran terhadap lembaga keagamaan.

Sementara “pesantren digital” menyajikan wahana informasi gratis tanpa terikat ruang dan waktu. Belajar agama secara fleksibel meski punya risiko kecacatan informasi keagamaan. Menghilangkan nilai pendidikan karakter kedisiplinan dan kehilangan guru spiritual yang disebutnya kiai.

0 comments: