Kasus pelaporan netizen, Siti Musabikha, kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menuai berbagai tanggapan di dunia maya. Ada yang mendukung sebagai tindakan preventif tayangan tidak mendidik. Seperti Syaifullah Tamliha (Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PPP) yang menyarankan umat Islam untuk mematikan televisi ketika melihat tayangan pertandingan voli wanita dengan pakaian bikini dalam Olimpiade Tokyo 2020.
Namun banyak juga yang menilai aduan tersebut berlebihan. Bahwa esensi perlombaan dalam dunia olahraga tidak berfokus pada aspek moral dengan menuntut atlet berbusana pantas (menutup aurat). Apalagi khasanah perbedaan pandangan mengenai batasan aurat seorang muslim/ muslimah masih menjadi perdebatan di kalangan cendikiawan muslim dunia.
Tugas utama KPI adalah melakukan pengawasan program penyiaran dan memberikan teguran apabila melakukan pelanggaran. Sebelum memutuskan teguran terhadap lembaga penyiaran, KPI akan melakukan verifikasi tayang dan monitoring program stasiun televisi dan radio berjejaring selama 24 jam setelah mendapat masukan dari Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Jika memang konten penyiaran melanggar aturan, KPI berhak memberikan sanksi secara lisan maupun administratif.
Pemerintah berharap keberadaan KPI mampu mengontrol media massa di Indonesia dengan menyajikan konten-konten kreatif dan edukatif yang layak untuk dikonsumsi masyarakat. Dengan menggandeng Remotivi, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) meluncurkan aplikasi Android bertajuk Rapotivi untuk memudahkan masyarakat juga turut aktif mengadukan tayangan televisi yang mengandung pelanggaran.
Namun sebelum mengaplikasikan pengaduan konten negatif, perlu sosialisasi mengenai standarisasi konten pelanggaran. Muatan batasan tayangan tidak mendidik tentu mempunyai perspektif beragam di masyarakat plural seperti Indonesia. Batasan tersebut bisa dalam konteks percintaan (seks), kata-kata kotor, perkelahian, pembunuhan, hingga batasan aurat yang layak untuk disensor.
Dalam pasal 36 ayat 1 Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Jika melihat konten televisi sekarang, bagaimana ukuran tayangan mendidik bagi anak bangsa di tengah laju industri komersial yang membutuhkan rating?
Setiap hari masyarakat disuguhi drama percintaan, berita-berita kriminal, hingga komedi slapstick. Sedangkan tayangan Olimpiade Tokyo 2020 yang mengedepankan edukasi olahraga pentas dunia mencoba dilarang untuk ditayangkan. Sehingga perlu penataan ulang konsep dan fungsi KPI sebagai lembaga yang kredibel agar tidak ada krisis kepercayaan publik terhadap sajian konten bagi masyarakat.
Baca Juga : Pernikahan Atta dan Aurel : Pelestarian Budaya Pamer
Negara Majemuk
Indonesia merupakan negara multikultural yang terdiri dari berbagai latar belakang sosial, budaya, dan agama. Negara harus adil mengambil kebijakan yang moderat agar tidak terjadi konflik di masyarakat. Kasus aduan pertandingan voli wanita pantai di Olimpiade Tokyo perlu dianalisis lebih luas dampak opini publik. Agar ke depan bisa lebih jelas batasan tayangan mendidik dan tidak mendidik di media televisi, radio, dan lainnya.
Hanya dari sinetron, berdasarkan data dari bagian pengaduan KPI Pusat terhitung sejak tahun 2019 hingga pertengahan 2021, total jumlah pengaduan masyarakat yang sudah terverifikasi mencapai 1.598 aduan. Dari total aduan tersebut, KPI menggolongkan pelanggaran penyiaran televisi terhadap sensitivitas perlindungan anak mencapai 48 persen, pelanggaran penggolongan program siaran 26 persen, dan pelanggaran penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan sebesar 12 persen.
Alasan senonoh (keterbukaan aurat) yang menjadi aturan wajib voli pantai adalah batasan konsep moral (norma kesusilaan dan kesopanan) bagi umat Islam. Sedangkan Indonesia terdiri dari berbagai agama dan lapisan masyarakat yang berbeda latar belakang budaya. Mengaitkan unsur tayangan mendidik berdasarkan standarisasi moral Islam akan menciptakan konflik ideologi di masyarakat.
Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, tak lantas setiap standarisasi moral dilandaskan atas satu agama tertentu. Etika setiap budaya dan daerah di negara majemuk seperti Indonesia tentu mempunyai batasan masing-masing. Sehingga penilaian terhadap boleh-tidaknya tayangan televisi harus diimbangi dengan alasan logis berdasarkan konteks dan esensi program tersebut.
Jangan sampai citra KPI di mata masyarakat adalah sebagai lembaga yang membatasi kreativitas dan inovasi program televisi modern. Membungkam ide kekayaan intelektual dan lebih memilih tayangan yang monoton dan terkesan membodohi masyarakat. KPI mempunyai fungsi pengawasan, tidak punya hak eksklusif menghentikan tayangan publik. Demokrasi menghendaki adanya kebebasan, bukan pembatasan terhadap eksepresi kesenian visual.
Mengutip pernyataan Sudjiwo Tedjo, “Lebih baik anak kecil lihat adegan ciuman sehingga dia optimistis bahwa manusia bisa saling menyayangi daripada anak kecil nggak boleh lihat orang ciuman tetapi lihat di berita kekerasan orang digampar di televisi.” Setidaknya bisa dijadikan refleksi tentang konsep penyiaran yang lebih bijaksana untuk diaplikasikan daripada menerima semua aduan yang tidak berlandaskan pemahaman mengenai konsep moral dan edukasi.
Media penyiaran, khususnya televisi, mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk kepribadian bangsa. Generasi penerus disuguhi konsumsi program televisi setiap saat. Ketika konsep tayangan mendidik dan tidak mendidik masih belum distandarisasi, maka tujuan KPI sebagai media pengontrol penyiaran nasional tidak efektif. Setidaknya hingga saat ini, apakah tayangan yang sudah mendapat lisensi berhak tayang oleh KPI berhasil mendidik masyarakat? Atau malah sebaliknya?
Pernah dimuat Geotimes
https://geotimes.id/opini/dekonstruksi-fungsi-kpi/
0 comments: