CATEGORIES

Pencitraan politik menggunakan istilah wong cilik tampaknya masih menjadi primadona pemilihan umum. Tokoh dan partai politik kerap memakai i...

Wong Cilik dan Wong Gede

Wong Cilik dan Wong Gede

Pencitraan politik menggunakan istilah wong cilik tampaknya masih menjadi primadona pemilihan umum. Tokoh dan partai politik kerap memakai idiom wong cilik sebagai basis massa mayoritas bangsa Indonesia. Bahkan melekatkan diksi tersebut dalam kesatuan partai: partainya wong cilik.

Wong cilik merupakan istilah dalam Bahasa Jawa yang berarti “orang kecil”. Menggambarkan keadaan masyarakat miskin (kurang mampu) yang didominasi pekerja kelas bawah. Simbolisasi wong cilik biasanya ditujukan kepada masyarakat pedesaan atau pinggiran kota yang jauh dari bingar kekuasaan dan kekayaan material. Dominasi masyarakat menengah bawah yang membuat tokoh politik memanfaatkan nama wong cilik untuk menggaet massa saat pemilu.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang pertama memproklamirkan sebagai partai wong cilik dengan implementasi aksi tokoh-tokoh strategis (pemangku kebijakan) terlibat aksi blusukan. Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Risma Tri Maharini adalah segelintir tokoh PDIP yang aktif berinteraksi dengan masyarakat bawah.

Anak pimpinan partai sekaligus ketua DPR RI, Puan Maharani memantik isu eksploitasi istilah wong cilik ketika pamer kesederhanaan di “warung pecel” bersama ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Puan juga menambahkan idiom partainya wong sandal jepit untuk menambah kesan melarat dan menarik sisi empati masyarakat (rasa iba).

Namun citra PDIP sebagai simbol partai wong cilik mulai memudar ketika Jokowi menjadi presiden selama dua periode. Kemudian kehadiran sosok sentral Puan Maharani yang berkuasa di parlemen. Gairah memperjuangkan nasib masyarakat miskin menghilang dengan pengesahan berbagai kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat.

Sebelum ramai kenaikan Bahan Bahar Minyak (BBM), Jokowi kerap mendapat aksi demonstrasi terkait kebijakan yang tidak memihak rakyat seperti UU Perlindungan Pekerja/Buruh, Upah Minimum Regional (UMR), kenaikan iuran BPJS, larangan ekspor minyak, hingga genosida kebijakan nelayan. Seolah ketika berkuasa, tokoh politik lupa semua janji dan atraksi pencitraan semasa kampanye.

Tidak merasa tergelitik dengan suara sumbang kegagalan merepresentasikan partai wong cilik, tokoh-tokoh politik yang berkuasa malah sibuk merayakan euforia demonstrasi menolak kenaikan harga BBM. Esensi politik adalah siasat mengelabuhi rakat, kebetulan wong cilik dianggap kantong suara terbesar karena gampang dibodohi oleh bualan politikus partai.

 

Baca Juga : Politik Kerakyatan Desa Wadas

Partai Wong Gede

Dikotomi wong cilik adalah wong gede sebagai pengejawantahan dari kekuasaan, kekayaan, dan popularitas seseorang. Jurang pembatas keduanya disandarkan pada kondisi ekonomi seseorang. Namun masyarakat kerap dijadikan alat bagi mereka yang tidak masuk dalam kategori miskin untuk berkampanye. Padahal kekayaan tokoh-tokoh partai yang duduk di parlemen atau di pemerintah jauh dari kata wong cilik apalagi sandal jepit yang mungkin hanya difungsikan saat hendak beribadah.

Apa yang diharapkan wong cilik dari keberadaan partai yang pura-pura berpihak kepadanya, selain amarah karena merasa dibohongi saat kampanye?

Begitu lugunya rakyat menengah bawah yang jauh dari level pendidikan tinggi, dimanfaatkan partai politik untuk memberikan harapan-harapan palsu kepada wong cilik. Ketika berkuasa akan menerima hasil kekecewaan yang sama. Demikian yang menjadikan banyak masyarakat memilih golongan putih (golput) melihat fenomena politikus Indonesia. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari keberadaan partai politik yang bisa mewakili aspirasi wong cilik.

Sementara masih banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa mereka yang mengaku wong cilik sebenarnya adalah wong gede. Keinginan apa pun bisa dipenuhi, mengambil kebijakan semena-mena, dan mengabaikan nasib jutaan rakyat miskin. Wong gede yang butuh banyak pencitraan untuk mencari jalan punya kekuasaan yang lebih otoriter (presiden).

Demokrasi hanya menjadi landasan politik berfoya-foya di atas realita nestapa rakyat miskin di Indonesia. Menempatkan citra wong cilik sebagai gagasan publik menganggap tidak sejahteranya mayoritas masyarakat Indonesia. Membangun sikap pesimistis tentang kemajuan bangsa Indonesia. Mempertahankan penderitaan nasib rakyat sebagai langkah mempertahankan ideologi partai yang mendukung keberlangsungan nasib wong cilik.

Kemuakan masyarakat miskin tidak bisa ditutupi ketika melihat adegan Puan dan Muhaimin merakayan kemiskinan di sebuah tempat mewah dengan sebutan warung pecel dengan embel-embel partai wong cilik dan partai wong sandal jepit. Sementara masyarakat masih berjuang bertahan hidup dari himpitan ekonomi akibat kebijakan menaikan BBM yang berimplikasi pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Wong cilik masih dan akan terus dimanfaatkan untuk medium berkampanye. Wong cilik (orang miskin) akan semakin cilik (miskin), sedangkan wong gede (orang kaya) akan semakin gede (kaya). Itulah realitanya.***

0 comments: