Wadas kembali membara. Itulah tajuk pemberitaan minggu ini. Pro dan kontra mewarnai diskusi dan perdebatan di media sosial. Politisi, agamawan, hingga berbagai organisasi menyampaikan suara (pendapat) mereka menanggapi kasus pertambangan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Meskipun konflik pembangunan sudah ada sejak 2013, penangkapan 40 warga baru-baru ini oleh aparat kepolisian secara represif menimbulkan kegaduhan di media massa.
Demo virtual kencang disuarakan tokoh dan masyarakat pemerhati HAM, lingkungan, dan kerakyatan. Pemerintah telah gagal menegoisasikan proyek pembangunan yang ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Sebab sejatinya pembangunan Bendungan Bener digunakan sebagai penyuplai air untuk lahan sawah sebesar 13.589 Ha daerah irigasi eksisting dan 1.110 Ha daerah irigasi baru. Bendungan Bener juga difungsikan menjadi sumber air baku untuk masyarakat sekitar 1.500 liter/detik dan bermanfaat untuk pembangkit listrik sekitar 6 Mega Watt.
Di sisi lain, penambangan akan menghilangkan mata pencaharian sebagian besar warga Desa Wadas. Selain itu juga akan merusak lingkungan yang dinilai jauh dari kajian analisis dampak lingkungan (AMDAL). Suasana semakin panas ketika berbagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) turun ke lapangan bersama para aktivis.
Bendungan Bener ditargetkan mulai beroperasi 2023 sebagai pemenuhan nawacita Jokowi sebelum lengser dari kursi kepresidenan. Jokowi ingin membangun 57 bendungan sebelum mengakhiri masa jabatan presiden, salah satunya adalah Bendungan Bener. Namun dari kesemuanya, proyek di Desa Wadas sepertinya menjadi paling sulit untuk segera direalisasikan.
Pemilihan lokasi di Wadas yang menimbulkan penolakan tidak lepas dari potensi daerah tanaman budidaya petai, kayu sengon, cabai, kemukus, vanili, dan durian. Selain itu juga ada keragaman fauna seperti burung kleci, kutilang, madu kelapa, tekukur, pipt, bondol haji, trocokan, blekok sawah, prenjak jawa, prenjak sisi merah, walet sapi, cekak gunung, dan elang. Harta karun lainnya tentu adalah kekayaan batuan andesit.
Simpang siur data dan narasi pro kontra pembangunan Bendungan Bener membuat konfrontasi di masyarakat umum. Perseteruan yang terlihat adalah pemerintah dan aparat melawan rakyat. Perang politik kekuasaan dan politik kerakyatan yang meluas ke berbagai bidang. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah semakin kentara seiring tidak hormatnya rakyat terhadap perilaku represif aparat.
Baca Juga : Dialog, Solusi Persatuan Indonesia
Keadilan Rakyat
Politik tidak melulu tentang kekuasaan. Ada pondasi besar menyokong tegaknya politik demokrasi, yakni rakyat. Politik kerakyatan perlu kembali disuarakan yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat di tingkat basis seperti masalah kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas pendidikan, konsep pemerataan keadilan hukum, dan kesenjangan sosial.
Rakyat harus punya sikap tegas melawan segala bentuk kediktoran penguasa. Negara tidak boleh dimiliki sekumpulan elit politik atau korporasi tertentu yang bisa menggeser cita-cita demokrasi menjadi sistem kapitalisme. Konflik Desa Wadas menunjukan bahwa nurani rakyat terketuk untuk melawan sikap tidak semena-mena pemerintah mengimplementasikan program yang dianggap merugikan rakyat.
Banyak aspek yang harus dipertimbangkan sebelum menyusun program meskipun niat awalnya juga untuk rakyat. Menjelang akhir jabatan, kepemimpinan Jokowi malah menunjukan sikap radikal terhadap rakyat. Berbanding terbalik sebagai sosok yang dicitrakan merakyat dan persuasif menyelesaikan sebuah masalah. Dalam video dan narasi media soal penangkapan warga menunjukan betapa tidak beretikanya aparat memperlakukan rakyat yang berusaha melindungi tempat tinggalnya.
Pemerintah mulai mengabaikan amanat konstitusi mengenai konsep keadilan. Keadilan merupakan suatu tuntutan dari setiap orang agar tidak memperlakukan orang lain secara sewenang-wenang, tidak memihak. Setiap tindakan harus berdasarkan norma-norma yang objektif. Memperlakukan sesama sesuai hak dan kewajiban sebagai pondasi tata hidup bersama dalam relasi sosial. Keadilan harus mencapai harmonisasi, kesetaraan, proporsional, yang berkaitan dengan orang banyak.
Kasus Desa Wadas menujukan bahwa aspek keadilan mulai dikesampingkan dengan dominasi kekuasaan. Memaksakan kehendak untuk kepentingan kelompok tertentu. Mengorbankan kepentingan rakyat yang dianggap lemah. Rakyat hanya dijadikan objek eksploitasi kekuasaan. Suara rakyat di media sosial hanyalah “bising knalpot” yang tidak dijadikan pertimbangan pemerintah membatalkan program Bendungan Bener.
Politik kerakyatan tidak pernah mendapat tempat di parlemen dan istana dalam pengambilan kebijakan. Rakyat hanya dibebani pajak dan penindasan politik kekuasaan. Desa Wadas adalah fragmen kecil dari sikap anarkisme kebijakan pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan dan mengabaikan etika politik, khusunya politik kerakyatan.
Mustahil mencapai keadilan jika aparat penegak hukum berlindung di balik penguasa. Ditujukan sebagai pengayom masyarakat, aparat malah melakukan “tindak kriminal” dengan dalih manyingkirkan provokator. Pertanyaan selanjutnya, apakah aparat digunakan hanya untuk mengayomi rakyat yang pro dengan pemerintah? Lantas di mana konsep keadilan?!
Pernah dimuat Mata Telinga
0 comments: