CATEGORIES

Pernikahan dipahami sebagai tradisi sebagai jalan martir dari cinta yang harus dikorbankan. Namun hanya sedikit yang mampu mempertahankan pe...

HAM dan Nikah Beda Agama

nikah-beda-agama

Pernikahan dipahami sebagai tradisi sebagai jalan martir dari cinta yang harus dikorbankan. Namun hanya sedikit yang mampu mempertahankan perasaan cinta kepada pasangannya, sisanya adalah perkara kebutuhan; biologis, ekonomis, dan populis. Demikian yang mendasari besarnya jumlah angka perceraian, maraknya poligami, dan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Ada dua diskursus yang menarik tentang pernikahan yakni, apakah harus menikah dahulu lalu mencintai ataukah mencintai dahulu lalu menikah?! Namun realita di masyarakat dominan mendahulukan cinta sebelum menikah dengan dalih mencari kecocokan demi menjalin hubungan yang langgeng. Pencarian pasangan (jodoh) ini yang menjadi permasalahan klasik dunia pernikahan, termasuk bertemunya pasangan beda agama.

Sebelum menikah, pasangan harus memiliki orintasi terhadap tiga hal, melestarikan keturunan, persaudaraan, dan hubungan seksual. Sedangkan pengetahuan pascanikah merupakan tahapan yang pasti dihadapi oleh suami istri, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kebahagiaan dalam relasi pernikahan. Urusan pernikahan, manusia memiliki hak untuk menentukan kebahagiaan dan bebas memilih pasangan hidup.

Namun dalam perjalanannya, adanya keluarga kecil diawali dengan peristiwa hukum yang disebut perkawinan. Maka perkawinan dinilai sebagai lembaga yang menentukan kedudukan seseorang di mata hukum, karena peristiwa hukum akan menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban. Di Indonesia, bahkan ada Undang-Undang (UU) khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam UU Perkawinan tidak mengatur secara utuh dan jelas kasus pernikahan beda agama. Pasal 2 ayat (1) misalnya menyatakan sahnya perkawinan, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Perkara pernikahan (memilih pasangan hidup) dan agama adalah hak setiap warga negara yang mesti dilindungi. Negara tidak punyak hak mengintervensi kebebasan setiap warganya.

Dilemanya adalah ketika pernikahan dalam kacamata HAM merupakan hak setiap orang menentukan pilihan, di sisi lain, agama “menghalangi” pernikahan beda agama sesaui ajaran yang diyakini. Penerapan HAM di Indonesia tidak dilakukan dengan konsep sekularisme yang menyebabkan disintegrasi pancasila. Dipaksa memilih antara kebebasan hak asasi atau aturan syariah agama.

 
Baca Juga : Cinta, Takdir, dan Menikah

Penolakan Pernikahan Beda Agama

Gugatan pernikahan beda agama kepada MK kembali ramai dibahas ketika melihat ada kecacatan aturan hukum sebab menghalang-halangi hak kebebasan warga dalam menentukan pasangan hidup. Namun MK menolak gugatan sebab menurutnya pernikahan beda agama merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia.

E. Ramos Patege melayangkan uji materi (judicial review) terhadap UU No. 16 tahun 2019 tentang perkawinan. Menurut MK, perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan UU menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.

Aktualisasi pernikahan di banyak negara asing menjelaskan bahwa hukum agama diserahkan pada masing-masing pasangan. Negara tidak boleh mengintervensi, kecuali hubungannya dengan keperdataan. Pelarangan pernikahan beda agama membuat seseorang nekat untuk menjadikan agama barang komuditas, yakni pindah agama hanya untuk syarat menikah.

Perubahan zaman yang begitu cepat menjadi tantangan negara untuk membuat aturan yang lebih kontekstual. Melubernya informasi dan keterbukaan media berpotensi terjadinya banyak pernikahan beda agama. Apalagi mulai banyak orang yang memilih pindah agama sebagai hak dasar warga negara. Di sisi lain, HAM juga perlu dibatasi pengaruhnya agar tidak terjebak pada konsep negara liberal.

Sensitivitas bahasan agama dapat menyebabkan konfrontasi di masyarakat. Apalagi perang narasi politik identitas masih membekas dan semakin banyaknya semangat religiusitas masyarakat Indonesia. Pemerintah tidak boleh gegabah mengambil keputusan yang berisiko terhadap perpecahan. Sebab apapun keputusannya akan berpotensi pada kritik terhadap peraturan. Namun jika mendiamkan aturan berlaku akan dianggap usang dan tidak mengikuti perkembangan zaman.

Pemerintah harus punya idealisme menentukan konsep bernegara. Agama tidak boleh dijadikan alasan pengambilan kebijakan yang subjektif pada satu keyakinan. Pemerintah harus hadir mengayomi semua agama sebagai konsekuensi negara plural. Misalpun alasan penolakan UU perkawinan sebab ajaran agama, pengambil kebijakan harus melihat secara luas ketentuan ajaran di berbagai agama di Indonesia.

Aturan ini setidaknya bisa dijadikan analisis bahwa aturan hukum lebih memihak HAM atau agama. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, aturan negara masih dianggap kaku sebab menghalangi pernikahan sebab perbedaan keyakinan. Sedangkan pancasila sediri hanyalah representasi sistem agama, bukan secara implisit menerapkan sistem agama tertentu.

 

Pernah dimuat Tribunnews Makassar


0 comments: