Alasan fundamental masyarakat pedesaan hijrah ke Jakarta untuk mencari peruntungan. Sebab di sana imajinasi terbaik meraih kesuksesan, popularitas, dan kesejahteraan. Iming-iming upah buruh yang lebih besar dari rata-rata upah di kabupaten/ kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat berbondong migrasi ke Jakarta dengan bekal tekad dan nekat.
Berdasarkan hasil Sensus 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, jumlah penduduk Jakarta mencapai 10,56 juta jiwa. Meningkat sebesar 954 ribu jiwa dari sensus terakhir 10 tahun yang lalu, atau 88 ribu jiwa per tahun. Dengan luas 662,33 kilometer persegi, kepadatan penduduk ibu kota pada 2020 mencapai 14.555 jiwa per kilometer persegi, sedangkan pada 2010 sebesar 14.506 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan penduduk di DKI Jakarta setara dengan 103 kali lipat kepadatan penduduk Indonesia.
Patut dimaklumi, mengingat Jakarta merupakan pusat ekonomi dan bisnis nasional. Perusahaan besar dan instansi pemerintahan berkantor di Jakarta yang memaksa penambahan jumlah karyawan bermukim di sana. Belum lagi even nasional dan internasional yang menjadikan Jakarta sebagai venue acara. Sampai saat ini, Jakarta masih menjadi barometer kota metropolitan Indonesia.
Fakta tersebut yang menjadikan isu politik Jakarta selalu memanas. Cikal bakal menguatnya politik identitas juga dimulai dari pilihan kepala daerah DKI Jakarta. Memimpin Jakarta sudah pasti mengangkat popularitas, elektabilitas, dan integritas tokoh. Setiap kebijakan yang diambil akan lebih mendapat atensi masyarakat, bahkan yang bukan berpenduduk DKI Jakarta.
Sebagai pusat ibu kota negara, Jakarta menjadi iminig-iming investasi asing. Citra maju dan tidaknya negara dinilai dari kemajuan ibu kota. Tekanan politik dan kekuatan kapitalisme sering menjadi pertimbangan pemimpin DKI Jakarta mengambil kebijakan yang populer. Menariknya, semas pandemi Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat tingkat kemiskinan di Ibukota sebesar 498,29 ribu orang (4.67%) pada periode September 2021. Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 3,63 ribu orang (0,05%) dari periode Maret 2021.
Indikator data penurunan kemiskinan di Jakarta padahal sedang krisis pandemi sedikit-banyak mengangkat citra Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta) menjadi pesaing kuat calon presiden 2024. Jakarta tetap memiliki daya pikat politik dan ekonomi, setidaknya selama masih dijadikan ibu kota negara.
Baca Juga : Partai Keadilan Indonesia
Polemik Ibu Kota Nusantara
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi partai di DPR yang menolak Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) untuk dibawa dalam pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna. Alasannya rencana pemindahan ibu kota negara tidak terdapat dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005-2025. Nusantara diambil sebagai nama sah ibu kota baru negara Indonesia.
PKS khawatir pemindahan ibu kota negara menyebabkan terputusnya ikatan kolektif bangsa dari rantai sejarah perjuangan bangsa. Selain itu, materi muatan yang terdapat di RUU IKN dianggap masih mengandung permasalahan konstitusionalitas. PKS juga menyoroti pemindahan IKN perlu mempertimbangkan pendanaan yang memperhatikan kemampuan fiskal di masa pemulihan ekonomi pascapanedmi.
Sedangkan alasan pemindahan IKN adalah (1) mengurangi beban Jakarta dan Jabotabek, (2) mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian timur, (3) mengubah mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris, (4) memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila, (5) meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif, (6) memiliki Ibu kota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing (competitiveness) secara regional maupun internasional.
Pemindahan IKN juga mendapat sorotan dari masyarakat umum. Survei KedaiKopi Desember 2021 mengungkapkan 61,9% responden tidak setuju dengan pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur sebab menyebabkan pemborosan anggaran. Belum lagi adanya suara sumbang mengenai keterlibatan politikus penguasa lahan proyek IKN. Ada tendensi nepotisme politukus elit untuk melegitimasi kekuasaan dan kekayaan dengan dalih pemerataan ekonomi dan keadilan nasional.
Proses pengebutan RUU IKN sekilas mirip dengan metode pengesahan RUU Cipta Kerja yang penuh polemik. Aspirasi masyarakat yang sering dijadikan alasan pengesahan RUU tidak sesuai dengan survei yang lebih banyak penolakan daripada menyetujui pemindahan ibu kota. Sedangkan ambisi presiden lebih mulus dijadikan tajuk sidang paripurna DPR.
Polemik RUU IKN menurunkan integritas DPR sebagai perwakilan rakyat, namun lebih terlihat sebagai lembaga perwakilan presiden yang kebetulan duduk di parlemen. Urgensi pemulihan ekonomi nasional dan daerah pascapandemi dianggap lebih penting daripada nafsu pemindahan ibu kota. Apalagi data membengkaknya utang pemerintah yang tercatat meningkat sebesar Rp 6.713,24 triliun hingga per akhir November 2021 atau sekitar 39,38 persen dari PDB.
Pertanyaannya, apakah pemindahan ibu kota bisa meningkatkan pemerataan ekonomi nasional? Seberapa besar daya pikat ibu kota Nusantara yang jauh dari Pulau Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia? Atau pemindahan ibu kota hanya proyek politikus elit tanpa mempertimbangkan risiko kemiskinan masyarakat pascapandemi?
0 comments: