Menginjak usia saya yang ke-29 tahun, banyak pertanyaan seputar pernikahan. Mulai dari kapan, siapa, di mana, sampai bagaimana melangsungkan pernikahan. Di desa, pria normalnya menikah di usia 25-27 tahun, sedangkan wanita kisaran 21-24 tahun. Selebihnya akan dilabeli perjaka tua atau perawan tua.
Beberapa keluarga yang sangat konservatif akan mencarikan jodoh bagi anaknya. Tidak lagi memperhatikan faktor cinta, ekonomi, dan status sosial. Asalkan “weton” cocok, dinikahkanlah mereka. Lingkungan yang menyepakati konsesus usia pernikahan, membuat pemuda-pemudi desa buru-buru memilih pasangan saat muda agar tidak terjebak pada perjodohan orang tua.
Meskipun demikian, pernikahan tetap dianggap sebagai momen sakral menyatukan 2 keluarga yang berbeda latar belakang. Ikhtiar membangun mahligai rumah tangga yang sakinah, mawadah, wa rahmah. Tanpa embel-embel keterpaksaan, keterburu-buruan, dan kekhawatiran menyoal masa depan.
Baca Juga : Pernikahan Atta-Aurel, Pelestarian Budaya Pamer
Cinta
Cinta merupakan pondasi fundamental dalam pernikahan. Meskipun dalam aplikasinya, cinta terhadap pasangan merupakan fragmen kecil dari sifat universalnya cinta. Pada dasarnya setiap manusia memiliki sikap mencintai terhadap apapun yang disukainya.
Misalkan masa kanak-kanak, mereka selalu egois untuk menyatakan kecintaannya pada dirinya sendiri. Segala hal selalu berkaitan dengan “-ku”. Kepunyaanku, milikku, kebahagiaanku, dan lain sebagainya. Landasan mencintai terjadi karena kecintaannya terhadap diri sendiri.
Masa remaja, seseorang mulai menghibahkan perasaan cinta kepada orang lain. “Aku cinta padamu”. Menariknya, ekspresi kecintaan kepada orang lain, hakikatnya masih terikat kecintaan pada diri sendiri. Imajinasi seseorang menyatakan bahwa cintanya mulai berkembang, padahal masih stagnan. Buktinya adalah ketika ekspresi cinta (nembak) terhadap lawan jenis ditolak, maka proses mencintai segera berubah menjadi kebencian.
Ketika beranjak dewasa, proses mencintai semakin bertumbuh dan mengabaikan kecintaan pada diri sendiri. Misalkan pada pasangan yang sudah mempunyai anak. Seburuk apapun perilaku anak akan tetap dimaafkan oleh kedua orang tuanya. Karena cinta tersebut sudah tidak bersyarat. Meskipun dalam perjalannnya, orang tua selalu berharap sesuatu yang terbaik bagi anaknya.
Tidak heran jika banyak kasus perceraian karena ketidaksiapan memahami hakekat cinta yang mempunyai sifat berkurang, berganti, dan hilang seiiring waktu. Ada perasaan bosan yang mengakibatkan perselingkuhan, ada sikap emosianal karena ketidaksepakatan pembagian hak dan kewajiban berumahtangga, dan perubahan lain yang tidak ditemui semasa belum menikah (pacaran).
Baca Juga : Berdialog dengan Alam
Takdir
Bagi pengiman agama; rezeki, jodoh, dan mati sudah menjadi takdir. Istilah ghosting, ambyar, php, dan lain sebagainya adalah proses pembelajaran mengenai jalan takdir setiap manusia. Pura-pura mengikhlaskan. Semutlaknya takdir, jodoh tidak akan dengan sekejap mata muncul di hadapan seseorang tanpa disertai ikhtiar.
Bahkan metode ta’aruf pun menghendaki usaha untuk mencari jodoh. Jodoh itu dicari, bukan dinanti. Perkara ikhtiar pencarian jodoh belum berhasil, kepasrahan atas usaha mencari jodoh akan menemukan takdir dari berbagai jalan. Ketika takdir berkehendak, mereka harus bisa membangun cinta yang muaranya adalah pernikahan.
Manusia diberkahi sifat cinta yang bertujuan untuk disebarkan kepada sesama. Ketika takdir menjodohkan seseorang dalam jenjang pernikahan, jangan menggantungkan kebahagiaan kepada pasangan kita, melainkan bagikan cinta dan kebahagiaan kepada pasangan kita. Maka sebelum menikah, persiapkan diri dulu menjadi manusia yang penuh cinta, agar ketika menikah tidak ada perasaan menyesal dan kecewa karena merasa kebahagiaannya terenggut pasangan yang salah.
Jika menganggap pernikahan adalah momen sakral dalam hidup, perhatikan dengan teliti pasangan kita. Minimal memahami bibit, bebet, dan bobot. Perbedaan adalah keniscayaan, tapi acuh tak acuh dalam membina hubungan adalah kecelakaan. Menikah bukan hanya ajang gengsi pamer pasangan, melainkan prosesi meneruskan ideologi kepada keturunan berikutnya.
Baca Juga : Belajar Hidup dari Pohon Jati
Menikah
Gelombang kampanye emansipasi mengubah persepsi pernikahan zaman dulu, khususnya di pihak istri. Zaman modern, istri dianggap mempunyai hak yang sama dalam usahanya menafkahi keluarga. Banyak wanita yang sudah berkeluarga memutuskan untuk tetap bekerja, karena anggapan bahwa wanita bukan hanya konco wingking.
Istilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yang artinya adalah wani ditata (berani ditata). Pengertian ini menjelaskan bahwa perempuan Jawa dituntut untuk pasif dalam rumah tangga. Kemudian ada istilah swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka turut) yang menunjukan seberapa kuat posisi suami dibandingkan istri.
Namun modernisasi dan emansipasi wanita telah menggeser pola relasi gender yang mengarah kepada persamaan derajat dan kedudukan. Sehingga pernikahan tetap bisa dinikmati oleh pasangan, baik sisi pria maupun wanita. Jadi pernikahan bukan lagi “penjara” bagi perempuan, melainkan menjadi wahana kebahagiaan membina rumah tangga yang kekal.
Menikah adalah perjalanan hidup fase berikutnya bagi dua orang lawan jenis. Agar kebahagiaan bisa paripurna harus dilandaskan cinta yang tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya. Mengamini pernikahan sebagai proses pendewasaan diri dalam pengembangan cinta yang lebih makro.
“Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.” - Sudjiwo Tedjo
Pernah dimuat di Tegas.id
0 comments: