CATEGORIES

Ketidaklolosan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tes wawasan kebangsaan dalam rangka alih status menjadi aparatur sipil ne...

Komisi Pengetahuan Kebangsaan

ironi kpk


Ketidaklolosan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tes wawasan kebangsaan dalam rangka alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) masih menimbulkan por-kontra di masyarakat. Banyak yang mempertanyakan janji kampanye Jokowi yang ingin memperkuat KPK, tapi kesan yang dimunculkan di media malah upaya-upaya pelemahan KPK.

Ketika masyarakat berbondong menagih janji Jokowi menyoal kebijakan memperkuat KPK, staf kepresidenan membentengi dengan majas-majas politis “presiden tidak berhak mengintervensi KPK”. Seolah kuat dan tidaknya lembaga KPK tidak bergantung kepada presiden, apalagi dijadikan narasi untuk kampanye pemilihan presiden.

Namun kecanggihan media massa mampu membaca motif politik yang berusaha memperkuat dominasi kepemerintahan dengan menjinakan lembaga KPK. Dalam kurun waktu 2004-2015 total penindakan KPK tidak pernah tembus di angka 300 penindakan/ tahun, sedangkan tahun 2016-2020 selalu di atas angka 400 penindakan/ tahun. Puncaknya di tahun 2019 dengan total penindakan mencapai 736 yang terdiri dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, inkracht, dan eksekusi. (https://www.kpk.go.id/)

Keberhasilan KPK membongkar “tikus-tikus kantor” begitu didambakan masyarakat sebagai harapan masa depan bangsa. Bahkan sepanjang tahun 2020, KPK berhasil menyelamatkan uang negara mencapai Rp. 592 Triliun. Sikap independen lembaga KPK banyak mendapat apresiasi dari berbagai elemen masyarakat, termasuk ICW, LSM, hingga DPR RI.

Statistik pencapaian yang mengagumkan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, membuat gentar para koruptor pemerintahan yang mungkin belum ditindak KPK. Efek domino dari perilaku korupsi yang berhasil diungkap KPK adalah menurunnya integritas partai dan lembaga negara. Termasuk fenomena anjloknya pemilihan suara partai demokrat tahun 2014 karena banyak tokohnya yang terjerat masalah korupsi.

Tak ingin kejadan serupa terulang, banyak partai-partai besar merapatkan barisan untuk menggembosi KPK yang dimulai dari kebijakan merevisi Undang-Undang (UU) KPK dengan pengalihan status kelembagaan, kemunculan dewan pengawas KPK, pembatasan fungsi penyadapan, penerbitan SP3, kordinasi dengan penegak hukum, hingga status kepegawaian.

Meskipun mendapat kritikan dan kecaman dari berbagai tokoh masyarakat, revisi UU KPK tetap mulus disahkan parlemen yang tentunya sudah direstui oleh Jokowi. KPK seolah menjadi ancaman bagi partai-partai politik beserta tokoh-tokoh yang memegang peran penting di pemerintahan atau instansi terkait. Pengesahan UU KPK adalah upaya nyata penjinakan KPK agar tidak berani “macam-macam” dengan penguasa.

 
Baca Juga : Mencari Sosiawan yang Tidak Sosiopat

Tes Wawasan Kebangsaan

Ibarat peserta dalam sebuah perlombaan yang dituntut melewati berbagai rintangan agar bisa berhasil mencapai garis finish. Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai alih fungsi ASN adalah salah satu rintangan tersebut. Hasilnya, 75 pegawai dinyatakan gagal lolos tes dan dinonaktifkan dari status kepegawaian KPK.

Tujuan dari asesmen TWK adalah pemetaan kompetensi yang akan menjadi dasar untuk pembinaan pegawai. Meskipun kemudian banyak dipertanyakan mengenai soal-soal yang diujikan; seperti tanggapan mengenai video porno, tanggapan mengenai demo pimpinan KPK, tanggapan mengenai FPI dan HTI, hingga organisasi Islam yang diikuti.

Tidak jelas standar kelulusan tes wawasan kebangsaan. Menjadi ironi ketika masa bakti pegawai KPK sebelumnya yang banyak mendapat apresiasi dari masyarakat dinilai kurang memiliki kecakapan kebangsaan. Tolok ukur kelulusan TWK bersifat subjektif yang akhirnya menghentikan perjuangan pegawai-pegawai KPK lainnya dalam usahanya memberantas korupsi.

Analogi menilai nasionalisme seseorang melalui TWK adalah ketika ada pelajar yang rajin salat tapi karena lemah dalam hafalan surat pendek, akhirnya nilainya lebih jelek daripada pelajar yang tidak pernah salat tapi hafalannya baik. Jadi nilai agama seseorang dinilai dari seberapa banyak hafalan surat pendek, bukan seberapa istikamah seseorang beribadah

Menjadikan TWK sebagai tolok ukur seseorang lebih nasionalis atau memiliki wawasan kebangsaan yang lebih baik adalah kenaifan ketika di sisi lain melihat secara nyata perjuangannya (rela mati) demi menyelamatkan aset negara.

Pegawai KPK seharusnya dipilih berdasarkan pengalaman menangani kasus-kasus besar korupsi di Indonesia, bukan hanya mereka yang banyak meluangkan waktu untuk belajar tips dan trik lolos TWK. KPK bukan semata komisi pengetahuan kebangsaan yang tidak dilandasi kelihaian menyusun strategi dan menganalisis kasus korupsi yang melibatan tokoh-tokoh politik. Percuma berwawasan kebangsaan yang tinggi tetapi minder mengungkap kasus korupsi yang banyak merugikan negara.

Ada dua pilihan ketika memaksa Novel Baswedan, beserta pegawai KPK lainnya tidak lulus TWK. Pertama, pemerintah berhasil menguatkan KPK seperti janji kampanye karena capaian hasil penindakan kasus korupsi lebih banyak dari periode sebelumnya. Kedua, jika ternyata hasil penindakan kasus korupsi lebih sedikit, maka pemerintah sudah berhasil menjinakan KPK agar bisa bersinergi menjaga kredibilitas partai dan lembaga pemerintahan.

Namun banyak-sedikitnya penangkapan koruptor tidak bisa dijadikan standar keberhasilan atau kegagalan KPK. “Jika di suatu negara tidak ada koruptor, kesimpulannya adalah semua pejabat pemerintah sudah bersih dari tindak pidana korupsi atau memang KPK yang tidak becus menangani kasus korupsi di Indonesia.” Semoga marwah KPK yang independen dan berintegritas tetap dijaga meski selalu ada jalan untuk dilemahkan.

0 comments: