"Itu uang rakyat, apalagi ini terkait dengan bansos, bantuan sosial dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Bansos itu sangat dibutuhkan untuk rakyat," kata Jokowi.
"Ini tidak main-main. Ini saya minta betul nanti kalau ada yang tertangkap, saya minta diancam hukuman mati. Bahkan dieksekusi hukuman mati," kata Firli Bahuri (Ketua KPK).
Kasus korupsi Menteri Sosial, Juliari P. Batubara, cukup menghebohkan Indonesia yang sedang ditimpa pagebluk Covid-19. Politikus PDI Perjuangan itu kembali mempertontonkan tentang ketidakberperikemanusiaannya pejabat pemerintah, setelah sebelumnya KPK melakukan OTT terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Korupsi dana bantuan sosial sungguh menghilangkan empati penjabat terhadap warga miskin yang rela di-PHK, dipotong gaji, dan usaha yang gulung tikar karena pandemi.
Kegagalan menjalankan amanah sebagai menteri sosial, mengingatkan kembali tentang kebijakan kontroversial Gus Dur membubarkan kementerian tersebut dengan dalih sudah menjadi lahan korupsi. "...Karena departemen itu yang mestinya mengayomi rakyat ternyata korupsinya gede-gedean, sampai hari ini!"
Seolah menjadi ramalan masa mendatang, ketajaman batin Gus Dur terbukti dengan terjadinya kasus korupsi 17 M oleh kementerian sosial. Jabatan yang menggiurkan bagi setiap orang yang disuguhi dana-dana anggaran yang harusnya untuk rakyat Indonesia. Jika tidak dipegang tokoh dengan integritas dan akuntabilitas yang mumpuni, kementerian sosial akan selalu menjadi sarang koruptor untuk menumpuk kekayaan pribadinya.
Menjadi menteri sosial tidak cukup dengan menjadi populer dan pandai memanajemen organisasi -apalagi titipan partai-, menteri sosial harus mempunyai sikap empati dan bertanggungjawab menyejahterakan rakyat. Berani mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan orang banyak. Begitulah sifat sosiawan sejati.
Penangkapan Juliari menjadi cambuk bagi partai yang dikenal dengan pro-wong cilik. Partai yang beruntun memenangkan pemilu karena fanatisme masyarakat sipil yang ternyata haknya malah direbut oleh pejabat partai pilihannya sendiri.
Baca Juga: Flu Indonesia
Sosiopat Menteri Sosial
Sosiopat bukan perilaku atau sikap antisosial (ansos) yang sering digunakan untuk menyebut orang yang jarang bergaul dan suka menyendiri. Sikap sosiopat berarti tidak mematuhi aturan sosial yang berlaku di lingkungan sekitarnya atau di mana pun. Salah satu ciri yang menunjukkan sosiopat adalah selalu mengabaikan mana yang benar dan salah, tidak atau jarang menunjukkan empati, mencuri, impulsif, dan manipulatif.
Ciri lainnya adalah berperilaku tanpa memikirkan konsekuensi, tidak menghormati norma atau hukum sosial, sehingga secara konsisten melanggar hukum atau melampaui batas sosial, tidak merasa bersalah atau menyesal telah menyakiti orang lain, tidak mempertimbangkan keselamatan diri sendiri atau keselamatan orang lain, tidak memiliki rasa tanggung jawab pribadi atau profesional, dan berperilaku tanpa memikirkan konsekuensi.
Jika menteri sosial tidak mempunyai integritas sebagai sosiawan, mereka akan mudah terjabak menjadi sosiopat. Pemerintah malu, rakyat menjadi korban. Sosiawan akan tergerak hatinya melihat jutaan orang miskin yang kesusahan mencukupi kebutuhan hidupnya, sosiawan akan otomatis mengulurkan tangan memberikan bantuan kepada siapapun yang membutuhkan, dan sosiawan tidak akan tega hati mengambil sepeserpun uang dari fakir miskin.
Baca Juga : Drama Politik Indonesia
Mencari Sosiawan
Isu tawaran menjadi menteri sosial kepada Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), mendapat banyak respon dari publik. Sempat ditampik oleh internal PDIP, Risma hanya sami’na waatho’na saja sama Megawati Soekarnoputri. Tahun terakhir menjabat sebagai Walikota Surabaya membuat tidak ada alasan lagi Risma menolak tawaran masuk jajaran Kabinet Indonesia Maju.
Risma dianggap layak menjadi menteri sosial karena track record-nya selama menjadi walikota Surabaya banya mendapat apresiasi. Wanita yang lahir 20 November 1961 silam itu dianggap bisa menjadi pelayan yang baik bagi warganya. Utamanya, berhasil menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Sedangkan dari sisi politik, menjadi menteri sosial akan meningkatkan kualitas kepemimpinan Risma di tingkat nasional. Jika berhasil, maka jalan menjadi presiden 2024 juga akan semakin terbuka lebar. Meski tahun 2019 lalu sempat menolak ditawari menjadi menteri, kali ini adalah momen sebagai batu loncatan menunjang karir beliau dalam perpolitikan nasional.
Namun mencari sosiawan tidak hanya berdasar jumlah prestasi dan piagam yang didapat ketika menjabat menjadi walikota. Menurut Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf, syarat menjadi menteri sosial, (1) tidak dibayang-bayangi oleh parpol dalam kerjanya. (2) mengerti bagaimana cara mengentaskan kemiskinan bukan memelihara kemiskinan dan mencintai orang miskin, (3) bekerja dengan sepenuh hati bukan dengan setengah hati, (4) memiliki solusi bagi problem sosial kita. Menurutnya, Risma tidak kapabel dalam bidang tersebut.
Mencari sosiawan untuk memegang amanah menjadi menteri sosial bukan seperti mengambil kucing dalam karung. Jika salah ambil, maka keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia akan dikorbankan. Kalaupun sudah tidak ada lagi sosiawan di negeri ini, perlukah kembali mengambil kebijakan nonpopulis Gus Dur: Membubarkan Kementerian Sosial?
0 comments: