“Indonesia sedang sakit, tapi cuma flu biasa....”
Di pojok gemerlapnya kota metropolitan, jauh dari bising suara knalpot kendaraan, dan bingar-bingar musik dugem, tentu ada masyarakat yang merindukan kedamaian dan ketenangan. Mereka yang setiap malam berbisik kepada kunang-kunang, bermain layang-layang di tengah terik surya, dan menangkap capung di kala senja menyingsir. Anak-anak yang disuruh segera mandi karena raksasa Maghrib telah berkumandang.
Manusia-manusia pasrah di tengah politik yang gerah. Mereka yang demam hanya butuh kerokan beberapa lajur untuk bisa sehat kembali keesokan harinya. Mereka yang flu beberapa hari, hanya bermodal 500 perak untuk membeli obat mainstream di toko klontong depan rumah. Mereka yang terjatuh atau kecelakaan hanya diberi lendir lidah buaya. Sebaliknya mereka yang “terlanjur” hidup gelamor, demam sejam langsung dibawa ke rumah sakit, divonis penyakit tifus, demam berdarah, TBC dan tetekbengek lainnya. Flu, istilah yang remeh-temeh namun bisa terlihat kesenjangan sosial di tubuh Indonesia.
Misalkan lebih picik diparadokskan tentang kekayaan (kota) dan kemiskinan (desa), seolah semakin kaya seseorang, maka semakin tinggi tingkat kekhawatiran akan kematian. Sedangkan di pedesaan, mereka hanya pasrah tentang sakit, sembuh, sehat, dan mati. Dalam ranah agama, orang miskin lebih bertakwa daripada orang yang kaya, apalagi bagi orang yang sok kaya.
Baca Juga: Corona, Amnesia Dunia Realitas
Cacat Demokrasi
Seorang nenek miskin dari seberang desa mencuri sendal yang terdampar di pinggir jalan. Kemudian sang pemilik melihatnya, dan dituduhlah ia sebagai pencuri. Seminggu kemudian sang nenek dijebloskan dalam penjara. Demokrasi, hukum harus ditegakkan. Indonesia negara hukum yang tidak pandang bulu dalam menciptakan keadilan, katanya.
Cerita selanjutnya, seorang yang dengan nyata mencaci pimpinan (simbol) negara di media sosial. Kemudian dia dihukum karena pelanggaran UU ITE. Seketika segerombolan “intelektual hukum” berbondong membelanya. Mengotak-atik undang-undang, tafsir beradu tafisir di pengadilan. Tapi kalah! Putusan ditetapkan. Bukan orang gedong kalau menyerah pada satu pertandingan. Masih ada banding, kasasi, ada pengadilan berikutnya, sampai yang salah buram menjadi benar. Intelektual hukum hanya menjadi pahlawan para artis tenar dan tokoh berpengaruh. Selain mempertebal dompet, juga bisa menunjang karir ketenaran sebagai seorang pakar hukum. Sedangkan mereka yang hanya mampu membeli beras dan tempe hanya berharap Tuhan sang maha welas di hadapan hakim yang hendak mengetok palu putusan penjara. Paling beruntung ada satu dua LSM yang menawari bantuan, dan merekalah para perindu demokrasi dan keadilan tanpa balas imbalan.
Seandainya sang nenek demikian, dia mungkin bisa mengajukan banding dan diringankan tuntutannya. Lhawong, cuma nemu (maling) sendal, bukan maling uang rakyat. Masak iya, demokrasi bisa dibeli sama orang kaya?! Terus kemana lagi nasib sang nenek dan kawan-kawan yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin?! Hanya meilhat perdebatan sok intelek di televisi? Atau hanya disuruh melihat dengan seksama foto baliho calon legislatif agar nanti dicoblos?
Hukum begitu adilnya bagi kaum jelata dan begitu lenturnya bagi kaum sosialita. Demokrasi sudah cacat. Lucunya yang membuat cacat demokrasi teriak-teriak, “Semua harus berlandaskan asas demokrasi. Melindungi dan mensejahterakan segenap bangsa Indonesia.”
Kaum jelata tertegun, motivator politik sedang berorasi di panggung-panggung televisi. Aktor yang seharusnya mendapatkan gelar di acara FFI daripada mereka yang tenar di luar negeri berkat karya film Indie.
Baca Juga : Drama Politik Indonesia
Flu Indonesia
Untung cuma flu, bukan penyakit ganas seperti kanker, HIV/ Aids, tumor, atau gula. Minimal organ tubuh lainnya masih bisa beraktivitas normal. Peler, istilah yang biasa digunakan karena ingus berlebihan yang keluar dari lubang hidung. Paling seminggu sudah sembuh dengan atau tanpa pergi ke rumah sakit. Lagian, biaya rumah sakit juga mahal, apalagi BPJS juga sedang diguncang isu ketidakprofesionalan. Mending istirahat yang cukup dan banyak minum air putih hangat.
Namun flu juga termasuk jenis penyakit, dan sifat penyakit itu membuat tidak optimal dalam melakukan aktivitas keseharian. Jenis flu pun juga beragam. Ada juga flu yang mematikan seperti flu burung atau flu babi. Dan lagi, flu itu adalah kategori penyakit yang gampang menular. Satu orang terjangkit flu, besoknya teman kerja seisi ruangan juga sentrap-sentrup. Kalau dalam petuah masyarakat Jawa, enteng yo enteng, neng ojo ngentengne (mudah ya mudah tapi jangan dibuat mudah). Intinya setiap penyakit harus diwaspadai dan diikhtiari agar segera sembuh.
“Indonesia itu sedang sakit”, ujar seorang paruh baya di angkringan sekitaran Solo. Kalau ditafsirkan sakit itu pasti ada sebabnya. Misalkan anak demam karena hujan-hujanan, orang tua diabetes karena hobi mengkonsumsi gula, mata minus karena ketagihan gadget, dan lain sebagainya. Nah Indonesia itu sakit karena apa? Indonesia itu sakit apa?!
Mensana Incorpore Sano - di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Barangkali bapak di angkringan tersebut kurang begitu mengerti kondisi tubuh Indonesia. Seharusnya kalau dilihat dengan penuh kemesraan, Indonesia itu adalah tubuh yang kuat. Infrastruktur terbentang dari Sabang sampai Merauke, pendidikan tersebar sampai ke polosok desa, waduk-waduk berceceran di ladang pertanian, dan teknologi menjajah kaum milenial yang butuh asupan literasi. Paling yang terlihat sakit hanya korupsi, ujaran kebencian, politisasi agama, dan berita-berita hoax di tengah masyarakat. Atau itu yang dimaksud sakit? Sakit flu?!
Kalau memang demikian berarti tidak ada keheranan jika penyakit tersebut cepat menyebar. Apalagi flu itu semacam penyakit bawaan. Kalau dulunya sudah hobi terjangkit flu, dewasanya juga pasti demikian. Seharusnya sejak bayi sudah sering diimunisasi, agar kekebalan tubuh bisa terjaga. Tapi sudah terlanjur, revolusi mental pun tetap tidak akan menyembuhkan orang yang biasa dan senang dengan kedatangan penyakit flu. Penyakit yang bukan lagi menjadi ketakutan, tapi malah bangga untuk disebarkan, “Aku flu, kamu juga harus flu. Kita kan tinggal di negara flu”.
Solusinya ya harus lebih banyak lagi memperbanyak toko klontong yang menjual obat mainstream untuk menyembuhkan penyakit flu. Daripada mentransfer dana satu miliyar sekian ke kantor kepala desa beserta perangkatnya.
“Kalau flu-nya dari dalam negeri mudah disembuhkan, tapi kalau flu-nya impor, itu yang jadi masalah”
Pernah dimuat di Geotimes
https://geotimes.co.id/opini/flu-indonesia/
0 comments: