Dunia darurat kenyataan. Sesuatu yang maya bisa dijelaskan dengan detail bermodalkan informasi-informasi potongan di media maya. Teknologi dijadikan rujukan utama iman seseorang. Menggantungkan nasib dan takdirnya setiap saat di depan layar-layar smartphone.
Ya, smartphone sudah terlihat lebih “smart” dari penggunanya. Mulai dari trik memanipulasi diri, memberi jawaban atas masalah, hingga menyandarkan masa depan terhadapnya. Mulanya ilmu kesehatan menamainya nomophobia, seiring berlalu manusia akan dijadikan robot-robot. Ilmuwan mengembangkan teknologi dengan membuat robot setara “manusia” yang tujuannya menggantikan tugas manusia yang sudah tidak peduli pada kenyataan.
Perkembangan dunia digital yang begitu cepat tidak disadari manusia yang sebelumnya begitu aktif berinteraksi dan berkomunikasi langsung. Media sosial yang sebelumnya bertujuan menjadi sarana menyambung silaturahmi berubah menjadi kebutuhan pokok yang kalau tidak dikonsumsi bisa membuat seseorang “mati”.
Bagi masyarakat yang masih jauh dari penjajahan media akan terkejut ketika melihat orang-orang modern memesan sesuatu tanpa keluar rumah, menonton acara-acara TV yang sudah berlalu, hingga menjadi kaya tanpa “bekerja”. Pemikiran kuno tentang realitas kehidupan normal perlahan menghilang ketika semua orang sudah bisa melakukan segala hal menggunakan kemajuan teknologi.
Kecerdasan artifisal disiapkan untuk generasi yang melek teknologi. Menjadi produsen media digital, bukan sebaliknya. Ketika tidak memliki kecakapan menerima informasi yang melimpah di ruang media sosial, manusia hanya akan menjadi budak yang gampang dipermainkan narasi-narasi hoaks.
Media sosial tidak bisa menyaring informasi yang utuh. Bersifat semu karena sulit membedakan mana kebenaran dan mana kebohongan. Semua informasi melebur menjadi perdebatan-perdebatan tanpa rujukan yang jelas. Buku atau kitab yang seharusnya menjadi pedoman meluruskan informasi sudah tidak diminati. Kemasalan membaca seolah sudah difasilitasi secara visual melalui tontonan-tontonan video di media sosial.
Dunia pendidikan juga kehilangan marwah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Pelajar atau masyarakat seolah lebih mempercayakan pengetahuan di ruang digital yang dianggap komplit dan mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan. Media sosial atau dunia internet lebih flesksibel tanpa terikat aturan sekolah, ruang dan waktu, dan keterbatasan pengetahuan yang tidak didapatakan dalam pelajaran dan pengetahuan guru/ dosen di pendidikan formal.
Fenomena kecanduan bermedia sosial terlihat di berbagai tempat. Bahkan seseorang bisa duduk berjam-jam sendiri memandangi smartphone. Ada yang nge-games, chattingan, nonton video, hingga sekedar mencari informasi-informasi untuk menambah pengetahuan dan keyakinan akan suatu perbedaan. Ketika dalam sebuah diskusi atau obrolan, smartphone lebih didahulukan daripada merespon ide atau gagasan orang dalam kelompok. Semua pun memaklumi, karena budaya bermedia sosial lebih utama daripada budaya bersosialisasi secara nyata.
Terlalu naif jika membandingkan nostalgia zaman dulu (sebelum kemunculan smartphone) dan zaman sekarang. Nyatanya, semua orang sudah rela menjadi budak-budak teknologi. Ikhlas segala pekerjaannya digantikan oleh sistem teknologi. Jika tidak bisa beradaptasi menjadi “budak teknologi”, maka akan dituduh gaptek.
Semakin maju perubahan zaman akan mengubah teori-teori lama. Seperti melekatkan pendidikan pertama dan utama kepada keluarga. Realitanya, banyak anak-anak yang sudah dimanjakan dengan berbagai aplikasi di smartphone. Apalagi fase pandemi dijadikan dalih ketika sekolah libur dan siswa dituntut aktif memanfaatkan media.
Berdasarkan laporan konten HootSuite dan agensi pemasaran We Are Social pada awal tahun 2021, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 202,6 juta jiwa. Mencapai 73,7 persen dari total penduduk Indonesia. Mereka rata-rata menghabiskan waktu selama 8 jam 52 menit untuk mengonsumsi internet. Kemudian ada sekitar 170 juta jiwa orang Indonesia menjadi pengguna aktif media sosial.
Belum begitu jelas data statistik yang menunjukan berapa persen masyarakat yang menjadikan media sosial sebagai sarana memproduksi sesuatu. Sedangkan mayoritas masih terlihat menjadi konsumen setia media sosial dengan berbagai perkembangannya.
Tidak begitu penting manfaat atau mudaratnya. Sebagian besar sudah menjadi budak media sosial. Ibarat narkoba: tanpa media sosial, seseorang bisa sakau. Butuh peran semua elemen masyarakat untuk mengendalikan pengaruh masif media digital. Kecuali jika tidak ada kepedulian terhadap perkembangan sosial generasi mendatang.
Dampak paling memprihatinkan adalah kecenderungan meyakini informasi berdasarkan rujukan media sosial. Tidak punya prinsip dan ideologi hidup karena gampangnya terpengaruh oleh opini-opini tanpa referensi. Menjadi manusia-manusia yang taklid buta pada kebenaran subjektif. Bahayanya adalah sikap intoleransi terhadap perbedaan pendapat yang kemudian menciptakan konflik, anarkisme, dan peperangan.
Jika kata budak dianggap istilah yang menarik, silakan lanjutkan menggantungkan kebahagiaan hidup terhadap media sosial. Namun jika kata budak dianggap sebuah kritikan, segeralah mempersiapkan diri untuk memanfaatkan media sosial dan tidak sudi dimanfaatkan media sosial. Yakinkahlah bahwa kebahagiaan hidup tidak dipengaruhi ada dan tidaknya media sosial.
0 comments: