Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sedang mengalami gonjang-ganjing konflik internal. Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) tidak lagi “dianggap” kader partai oleh ketua DPD PDIP Jateng, Bambang Wuryanto. Perseteruan memuncak ketika Ganjar tidak diundang dalam acara internal partai (pengarahan kader PDIP) oleh Puan Maharani di Semarang.
Alasannya, karena Ganjar dianggap kelewatan dalam ambisinya menjadi presiden 2024. Intensitas “kampanye” yang dilakukan di media sosial mendapat sorotan dari DPD PDIP karena terkesan keminter. Sindiran juga keluar dari mulut Puan Maharani yang menegaskan bahwa pemimpin hendaknya kerja di lapangan, bukan hanya di media sosial.
Selama ini PDIP menjadi partai yang terkenal kokoh membina kader sampai ke tingkat ranting. Ojo Pedot Oyot (jangan putus akar) yang memiliki makna untuk setia kepada sumber atau asal dan jangan melupakan akar sejarah. Kekuatan partai terhadap pembinaan kader yang akhirnya menjadikan PDIP unggul perolehan suaranya di pemilu 2014 dan 2019.
Selain itu, kemunculan tokoh-tokoh yang dikesankan “merakyat” juga menambah daya jual partai meluluskan kader-kadernya melenggang menjadi pemimpin daerah hingga presiden. Sejak munculnya tipe kepimpinan seperti Jokowi, banyak kader PDIP bermunculan dengan metode pendekatan serupa. Hingga istilah blusukan menjadi magnet mendulang suara atau meningkatkan elektabilitas ketokohan.
Demikian halnya dengan Ganjar yang berhasil menjadi gubernur Jawa Tengah selama 2 periode. Ganjar dikenal sebagai gubernur yang merakyat dan punya banyak inisiatif untuk memajukan daerah tertinggal. Pada pilgub 2018, bersama Taj Yasin, Ganjar meraih 58,78% suara dari 17.630.687 pemilih. Namun angka tersebut tidak begitu mengherankan ketika melihat peta politik di Jawa Tengah masih dikuasai oleh partai banteng.
Ganjar juga dikenal sebagai gubernur milenial karena keaktifannya bermedsos. Sebagai upaya beradaptasi dengan perkembangan zaman yang akhirnya begitu dekat dengan generasi milenial. Bukan tanpa alasan, kemajuan teknologi digital (media sosial) disadari banyak memberikan manfaat bagi pemerintahan dalam megontrol kebijakan. Memberikan pelayanan yang cepat tanggap.
Dengan popularitas di platform digital, banyak yang memprediksi Ganjar sebagai kandidat pilihan presiden di tahun 2024. Bahkan nama Jawa Tengah terangkat ketika berhasil menyabet peringkat pertama Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) tahun 2019 dan 2020. Dalam setahun kepemimpinan Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimoen, Provinsi Jawa Tengah telah meraih sebanyak 40 penghargaan berskala nasional.
Baca Juga : Prabu Karna dalam Percaturan Politik Indonesia
Petugas Partai
Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI Perjuangan) selalu menegaskan bahwa semua kader, baik di legislatif maupun eksekutif adalah petugas partai. Tak terkecuali dengan Jokowi yang notabene Presiden RI. Pernyataan tersebut bertujuan agar semua kader tunduk dan patuh terhadap amanah partai. Individu (tokoh) tidak boleh lebih tinggi statusnya dibanding partai.
Kekakuan prinsip PDIP yang sering dijadikan dalih menyerang Jokowi dalam kontestasi pilpres. Bahwa ternyata ada yang lebih tinggi daripada otoritas presiden. Persepsi masyarakat menyimpulkan bahwa segala kebijakan presiden terkekang oleh bayang-bayang partai.
PDIP mengharapkan ada balas jasa ketika mengangkat popularitas ketokohan di hadapan publik. Sehingga kader PDIP tidak sembrono dalam melangkah yang berujung pada rusaknya citra partai. Partai mempunyai kekuasaan mutlak menyalonkan tokoh politik dalam pemilu, termasuk Ganjar Pranowo.
Dari survei yang dilakukan oleh SMRC (28 Februari-8 Maret 2021), Ganjar Pranowo unggul jauh dari politikus PDIP lainnya dengan 13,2%, kemudian disusul Tri Rismaharini dengan 7,7%, dan Puan Maharani dengan 5,7%. Survei lembaga lain seperti; Charta Politika Indonesia, Indikator Politik, Akar Rumput Strategic Consulting, Indonesia Political Opinion, Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Politik Indonesia (KedaiKOPI), dan Lembaga Survei Indonesia juga menempatkan Ganjar sebagai pemuncak elektabilitas kader PDI Perjuangan.
Data tersebut menjelaskan bahwa PDIP harus berhati-hati memperlakukan Ganjar dalam lingkaran konflik internal partai. Iklim politik di Indonesia yang akrab dengan fenomena politikus kutu loncat akan dimanfaatkan partai lain untuk menampung popularitas Ganjar Pranowo.
Sebaliknya, Ganjar juga harus berhati-hati saat memutuskan sikap politik. Apalagi saat ini basis kekuatan PDIP masih yang terkuat di Indonesia dalam usahanya mendulang suara di pilpres 2024. Upaya “kampanye” di media sosial yang dilakukan oleh Ganjar adalah keniscayaan dalam dunia politik yang tidak lepas dari motif kekuasaan.
Bagaikan buah simalakama, Ganjar harus mengubah ambisi politik kekuasaan menjadi seni politik yang berorientasi pada keluhuran moralitas dan kepantasan adab berpolitik. Jika manuver berpolitik di media sosial yang dianggap kurang mencerminkan sikap kader PDIP, Ganjar harus bersiap menerima ganjaran.
Kekuasaan di Indonesia bergantung terhadap sikap partai, setinggi apapun elektabilitas tokoh politik, selama tidak ada partai yang mendukung, sia-sia segala ambisinya. Ketika sudah memutuskan menjadi kader partai, maka harus siap menanggung risiko terkekangnya kebebasan berpolitik yang dianggap keluar dari aturan-aturan partai. Jangankan gubernur, presiden pun dituntut untuk tunduk!
0 comments: