Semakin tinggi pohon, maka akan semakin kencang angin menerpanya. Kutipan peribahasa untuk menggambarkan konsekuensi ketokohan di era digital. Di dunia serba ketersinggungan, setiap bahasan punya potensi sensitivitas terhadap orang lain. Sedangkan hukum di negara demokrasi seperti Indonesia melindungi hak menyampaikan pendapat, namun ada juga hak untuk “menghukum” siapapun di ruang publik (digital).
Kasus terbaru menimpa Ustaz Khalid Basalamah (UKB) yang diaporkan ke polisi terkait dugaan ujaran kebencian. Sebelumnya, UKB dalam ceramahnya tahun lalu di salah satu masjid kawasan Jakarta Selatan menyebutkan bahwa wayang hukumnya haram. UKB memberikan klarifikasi, "Pertama adalah, lingkupnya adalah pengajian kami dan jawaban seorang dai muslim kepada penanya muslim. Itu dulu batasannya."
Sekarang kita bahas ruang lingkup yang dijadikan dalih pembelaan UKB. Bahwa hidup zaman sekarang tidak bisa seseorang membatasi pendapat jika tanpa peraturan atau pemberitahuan sebelumnya untuk tidak meliput (merekam) kegiatan. Kemajuan teknologi informasi dengan cepat menyampaikan pesan kepada publik yang tentu berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat, apalagi ada pernyataan yang menyinggung sebuah kelompok masyarakat.
Ruang lingkup sesama muslim wajar membahas keyakinan atau kepercayaan tentang hukum sesuatu. Namun menyebarkan bahasan yang sebelumnya privat ke ruang publik dengan motif penyebaran ideologi dan dakwah perlu mendapat respon hukum. Indonesia merupakan negara plural dengan berbagai aliran dan kepercayaan. Mengklaim kepercayaan lain salah (haram) dengan sikap yang tendensius ajaran kelompok akan menyebabkan konflik horizontal di masyarakat.
Ulama perlu mengedepankan ceramah yang fokus pada kebaikan dengan cara memanusiakan manusia. Mengajarkan cinta kasih, toleransi, gotong royong, dan sedekah sosial. Ulama perlu kerendahan hati bahwa setiap pendapat atau pernyataan tidak boleh dijadikan kebenaran absolut. Sehingga setiap jawaban atas pernyataan yang berpotensi menyinggung kelompok masyarakat harus disertakan narasi “menurut saya....”, bukan dengan “menurut Islam....”
Baca Juga : Personalitas, Identitas, dan Komunitas
Lingkar Ketokohan Publik
Ada pertanyaan menarik, mengapa pembahasan yang esensinya sama namun diucapkan oleh orang yang berbeda dapat memberikan konsekuensi yang berbeda juga?
Kita perlu membagi ketokohan manusia dalam beberapa tahapan. Bisa diistilahkan sebagai lingkar ketokohan. Bahwa setiap manusia punya peran dan fungsi masing-masing. Semakin besar, semakin berisiko seseorang mendapatkan masalah atas pembahasan yang disampaikan.
Lingkar pertama kita sebut perhatian. Seseorang dalam lingkaran ini hanya bisa memperhatikan tanpa punya kuasa untuk mengubah apapun. Jumlahnya banyak, namun rendah risiko. Misalnya dalam problematika politik nasional, seseorang di lingkar perhatian hanya bisa mengkritisi dan mungkin mencaci maki kebijakan politik di media sosial. Tidak punya kekuatan untuk mengubah peta politik dan pengambilan keputusan publik.
Dalam aktualisasinya, lingkar perhatian mengedepankan sikap simpati dalam menyikapi sesuatu. Memperhatikan adalah aktivitas primer yang bisa dilakukan semua orang. Mereka hanya tunduk dan patuh pada sistem dan perkembangan sosial. Taklid pada nasehat tokoh ulama atau artis idola.
Selanjutnya lingkar peduli. Setingkat lebih tinggi daripada lingkar perhatian. Kepedulian berarti ikut membersamai pengambil keputusan. Mereka punya kuasa memberikan masukan atau kritikan meski tidak secara langsung bisa mengubah arah keputusan. Dalam arena politik kita bisa melihat peran politikus dan pejabat publik di tingkat pemerintahan. Meskipun semua keputusan tetap di tangan pimpinan daerah/ negara.
Lingkar peduli lebih cenderung bersikap empati, tidak lagi simpati. Keterikatan dan keterlibatan dengan subjek utama membuatnya lebih memahami motif setiap keputusan yang diambil. Bentuk kepedulian biasanya bisa dipahami sebagai saran atau nasehat untuk berlaku lebih baik.
Terakhir adalah lingkar pengaruh. Semakin terkenal ketokohan seseorang, semakin berpotensi bisa mempengaruhi massa. Tahapan di lingkar pengaruh bisa tercipta secara naluri dan sebab usaha. Artis bisa punya pengaruh ketika sudah terkenal dan banyak yang mengidolai, begitu pun politikus atau ulama.
Mereka yang di lingkar pengaruh punya hak bebas menentukan pilihan dan menyampaikan apapun sesuai keyakinannya. Setiap perkataan dan perilakunya bisa membawa pengaruh masal di masyarakat meskipun tidak disadarinya. Hak berada di lingkar pengaruh harus bijak disikapi dengan selalu mengedepankan kedamaian sosial.
Kasus UKB yang dianggap membunuh pekerjaan dalang dan semua orang yang terlibat dalam pewayangan harus menjadi refleksi bahwa peran seseorang bisa mempengaruhi banyak orang. Apalagi sudah dipublikasikan di ruang publik (digital). Tidak ada penyempitan ruang lingkup seseorang yang berada di lingkar pengaruh. Ketika sudah berada di dalamnya harus siap dengan konsekuensi “dihukum” publik meskipun pembahsan serupa juga dibahas di majelis-majelis lainnya.
Pernah dimuat Dunia Santri
https://www.duniasantri.co/konsekuensi-ketokohan-di-ruang-publik/
0 comments: