Nahdlatul Ulama sebagai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, bahkan dunia, selalu menarik untuk diperbincangkan sepak terjangnya. Selain turut serta berjuang memerdekakan Indonesia dari serangkaian penjajahan kolonial, NU juga istikamah menjaga bingkai kebhinekaan dengan narasi sikap moderatnya.
Demikian yang menjadikan banyak politisi selalu berupaya merangkul NU dalam setiap kontenstasi politik dan pengambilan kebijakan. Patut diakui bahwa organisasi yang didirikan Hadratusyekh KH. Hasyim Asy’ari ini mempunyai peranan besar dalam pembangunan SDM di Indonesia. Kekuatan NU bukan hanya dari segi kuantitas, namun banyak pula dari kalangan cendikiawan muslim yang tersebar di berbagai bidang keilmuan.
Awal tahun lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA mencatat bahwa 49,5 % penduduk Indonesia adalah nahdliyin. Disusul Muhammadiyah sebesar 4,3%, Ormas Lain sebesar 1,3%, PA 212 sebesar 0,7%, dan FPI 0,4%. Sedangkan yang memilih untuk tidak terikat pada organisasi Islam sebesar 43,8%. Mungkin prosentase NU bisa jauh lebih tinggi lagi kalau aspek kultural dijadikan acuan menentukan pilihan organisasi.
Dalam menjalankan konsep organisasinya, NU selalu memegang 4 prinsip utama, yakni; tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (adil), dan tasamuh (toleran). Namun di antaranya kurang memahami dalam pengaplikasikan prinsip tersebut. Apalagi ketika agama sudah dipolitisasikan dalam ruang-ruang publik. Banyak nahdliyin terjebak pada perdebatan dan “peperangan non-verbal” di media sosial.
Baca Juga: Agama Mengajarkan Budaya Luhur
Toleransi yang Tidak Toleran
Ada pengertian mendasar tentang toleran; sifat atau sikap, batas, dan penyimpangan yang masih bisa diterima. Menjadi ambigu ketika penerimaan terhadap penyimpangan dinilai secara subjektif, sehingga batas toleransi satu dengan yang lain berbeda-beda. Toleransi bukan hanya tentang sikap menghargai keyakinan orang lain, tapi lebih kompleks, yakni bisa menghargai pendapat orang lain.
Mempertahankan dakwah Walisongo dengan metode sinkretisme agama dan budaya, membuat NU banyak diminati kaum abangan. Kemudian muncul Islam puritan dengan membawa sikap eksklusif dalam berdakwah, membuat NU menjadi sasaran cibiran dan hujatan kaum tekstualis. Mulai dari menyalahkan metode ibadah, membenturkan sesama tokoh, hingga disangkutpautkan politik praktis.
Sikap toleransi NU kembali diuji saat menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang memaksanya untuk meninggalkan prinsip-prinsip toleran. Bagaimana tetap bisa konsisten menjadi “wasit” yang adil: tidak memihak satu dengan yang lain. Ketika wejangan Gus Dur sebagai tokoh populer NU yang mengajarkan untuk melindungi kaum minoritas dari tekanan dan ancaman mayoritas. Di sisi lain, NU sendiri menjadi ormas mayoritas dari jumlah muslim di Indonesia.
Sikap tebang pilih dalam melindungi kaum minoritas harusnya menjadi PR Nahdlatul Ulama. Bukan hanya yang berbeda keyakinan, namun kepada mereka yang berbeda mazhab dan pilihan politik. Jika NU dianalogikan sebagai rumah, seharusnya ia bisa mengayomi semuanya, tanpa harus mengusir salah satu dari anggota keluarganya yang berbeda cara pandang.
Toleransi NU harusnya melonggarkan batas dan menerima segala penyimpangan (selama tidak menimbulkan sikap destruktif sosial). Nahdliyin harus siap dimusuhi, dihina, dicaci, difitnah, sebagai risiko organisasi yang kekeuh menjaga NKRI. Jangan malah menodai prinsip toleransi dengan perilaku intoleransi: menghina, mencaci, mengumpat mereka yang tidak sejalan dengan prinsip NU. Toleransi bukan berarti memaksa individu atau kelompok untuk sependapat dalam menentukan pilihan. Toleransi adalah sikap untuk menerima dan menghargai perbedaan, meskipun itu menyakitkan.
Baca Juga : Agama Menjadi Sumber Konflik Zaman Modern?
Perang Gagasan
Media sosial menjadi cerminan dari segelintir nahdliyin yang terjebak pada narasi politik praktis. Menembus batas-batas toleransi yang sebelumnya disepakati. Perang identitas atau label agama tidak pernah menunjukan cita-cita agama yang sering digembar-gemborkan: rahmatan lil’alamin. Palabelan intoleran sebagai sarana untuk menyerang atau memojokan yang lain juga merupakan sikap yang intoleran.
Jika Nahdlatul Ulama dianggap dan menganggap diri sebagai entitas kelompok yang besar, seharusnya yang menjadi “lawannya” dikategorikan sebagai minoritas. Jika mengusung citra Gus Dur sebagai tonggak pluralisme modern, mereka (kaum minoritas) harusnya dilindungi, bukan dimusuhi.
Ketika pemuka NU menyerukan untuk perang secara digital, kapasitas keilmuan para santri lulusan pesantren dan pendidikan formal mulai unjuk gigi. Argumentasi ilmiah dilandasi rujukan kitab begitu mengemuka, seakan membuka cakrawala khazanah keilmuan yang jarang ditampilkan di beranda media sosial. Kiai, Gus, Santri turun gunung berdebat seputar akidah dan ikhtilafiyah. Citra NU sebagai wasit berubah menjadi para pemain yang saling jegal di lapangan.
Kadang disisipi sikap kejumawaan pengetahuan dan pengalaman pesantren yang menjadi kekuatan nyata daripada mereka yang hanya belajar agama melalui media daring. Perang gagasan seputar kepemimpinan, politik, hingga tata negara menjadi arena olok-olokan untuk menarik simpatisan dari muslim konvensional. Perpecahan seakan menjadi keniscayaan meskipun sering dibungkus dengan slogan ukhuwah islamiyah.
Media-media daring berlomba mencari jamaah baru dengan narasi-narasi saling menjatuhkan lawan. Alih-alih ikut mendamaikan, NU malah terjebak pada pertempuran saling caci maki dan menghakimi sesama muslim lainnya. Bahkan sikap tabayun yang selalu menjadi ciri khas NU juga sudah tidak begitu lagi diindahkan, seperti kasus Sugi Nur. Sikap fanatik buta yang pada akhirnya menghilangkan nilai-nilai persatuan dalam kemajemukan.
Baca Juga : Degradasi Iman Melalui Simbol Agama
Serba Salah
Saya sebagai nahdliyin abangan, menilai sikap intoleran memang perlu untuk diingatkan agar tidak terjadi konflik horizontal sesama muslim. Meskipun batasan toleransi berbeda satu sama lain, tapi prinsip adil harus ditegakkan demi terwujudnya perdamaian dalam beragama dan bernegara. Adil berarti bisa menjadi pengayom, bukan provokator.
Keterikatan terhadap politik membuat sebagian nahdliyin merasa serba salah dalam menentukan arah idealisme berorganisasi. Apalagi ketika PBNU melakukan kritik tajam terhadap kebijakan yang dianggap tidak memihak rakyat. Meskipun di sisi lain wakil presiden (Dr. KH. Ma’ruf Amin) merupakan mantan Rais Aam PBNU. Nahdliyin tampak terpecah menjadi dua kubu; mereka yang fanatik pada kebijakan pemerintah dan mereka yang menilai pemerintah blunder dalam pengambilan kebijakan.
Dalam perdebatan konsep agama, nahdliyin juga terlibat konfrontasi sesama nahdliyin. Kasus FPI adalah salah satunya. Mereka yang antipati pada FPI karena kesan yang diterima adalah organisasi brutal dan anarkis. Di sisi lain, nahdliyin membela dengan mencoba merangkul FPI yang dianggap masih dalam satu gerbang mazhab dan dihuni banyak habaib yang tentunya ditakzimi nahdliyin struktural maupun kultural.
Kebesaran nama dan anggota NU seharusnya bisa menjadi pelecut untuk konsisten memegang prinsip inklusivisme dalam beragama. Meskipun sebagian ada yang berteriak Islam inklunsif tapi aktualisasinya adalah sikap eksklusif. Merawat kebhinekaan adalah dengan menghargai setiap perbedaan pendapat tanpa melihat latar belakang politik, suku, dan sanad seseorang. Kasus Ustaz Abdul Shomad, Muhammad Ainun Najib (Cak Nun), Buya Yahya, KH. Idrus Ramli, Habib Abubakar Asegaf adalah sebagian dari sikap dilematis nahdliyin merenungi kembali prinsip dakwahnya. Lebih membela mazhab politik atau mazhab akidah?!
Kebhinekaan adalah citra NU, NKRI Harga Mati. Di dalam kebhinekaan tentu banyak perbedaan tafsir mengenai arah kemajuan dan kemakmuran. Jika masih setia menjaga marwah kebhinekaan, seharusnya NU bisa menerima mereka yang memegang prinsip agama tekstualis, radikal, intoleran, hingga pejuang khilafah. Selama masih dalam koridor toleransi yang disepakati, mereka adalah juga bagian dari NKRI. Semoga tidak ada lagi aksi penolakan dan pelarangan kajian atau seminar yang mungkin tidak seasas dengan NU. Karena setahu saya, NU adalah Islam yang inklusif, bukan Islam yang eksklusif.
0 comments: