CATEGORIES

Di tengah penantian panjang pagebluk Covid-19, masyarakat diresahkan dengan isu-isu yang semakin memperkeruh suasana negeri. Mulai dari demo...

Hiburan Warga Kampung di Masa Pandemi

pengajian kampung


Di tengah penantian panjang pagebluk Covid-19, masyarakat diresahkan dengan isu-isu yang semakin memperkeruh suasana negeri. Mulai dari demo UU Ciptaker, korupsi para menteri, kepulangan Habib Rizieq, terorisme di Sigi, penembakan laskar FPI, hingga pilkada serentak. Belum lagi, di tahun 2020 kita bertubi dirundung berita-berita duka dari para tokoh ulama, seniman, dan atlet olahraga. Semacam pengingat, betapa dunia sedang tidak baik-baik saja.

Beruntungnya warga kampung yang jauh dari ontran-ontran media. Bekerja sebagai petani dan pedagang. Guyub rukun bercengkrama di gardu sawah, bermain catur di emperan warga, dan bekerja tanpa bayang-bayang PHK. Dapat bantuan syukur, tidak dapat pun tidak masalah. “Urip amung mampir ngombe le”, pesan simbah di tegalan sawah.

Mereka tahu berita tentang korona, paham bahayanya. Tapi dari raut mukanya tidak tampak kegelisahan atau stres meskipun ekonomi sedang resesi, pengangguran dan kemiskinan menumpuk, dan tingkat kriminalitas meningkat. Prinsip utamanya adalah lilo (rela), nrimo (menerima), dan legowo (ikhlas). Ajaran yang turun temurun dijadikan pedoman hidup warga kampung. Ikhlas untuk masa lalu, syukur untuk masa kini, dan sabar untuk masa yang akan datang.

Saking tidak khawatirnya, gejala yang dianggap korona bisa sembuh sendiri tanpa isolasi. Paling cuma kerokan dan minum obat tablet di toko klontong. “Korona itu penyakit untuk orang-orang kaya”, celetuk simbah kemudian.

 

Baca Juga: Bagaimana Jika Vaksinasi Corona Gagal?

Hiburan Rohani

Pagi buta orang-orang pergi ke langgar sesaat setelah mendengar azan. Anak-anak kejar-kejaran untuk segera sampai. Para pedagang mulai mengayuh sepeda untuk berbelanja di pasar. Setelahnya, ibu-ibu masak di dapur. Bapak-bapak membawa cangkul pergi ke sawah. Sekolah libur: anak-anak semakin aktif bermain menyusuri sungai.

Malamnya, warga disuguhi kajian rohani dari seorang kiai kampung. Bahasanya ringan penuh dengan guyonan. Sesekali disisipi lagu-lagu selawat untuk menghindari kebosanan. Makanan ringan dan teh panas selalu menjadi teman setia mendengar petuah-petuah agama sebagai pedoman hidup yang lebih maslahat.

“Kalian makan biar kenyang. Setelah kenyang, tubuh kalian akan sehat. Setelah sehat, kalian bisa berpikir. Setelah berpikir, kalian bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Puncaknya dari Alquran adalah bagaimana kita bisa bermanfaat kepada satu sama lain, bermanfaat bagi lingkungan dan alam semesta. Percuma gelar pendidikan agama berderet jumlahnya, kalau pikiran isinya cuma kebencian saja.”

Meskipun banyak berkisah dengan bungkus jenaka, namun seorang kiai kampung mempunyai metode sendiri menyisipkan pesan moral agama kepada jamaahnya. Lagipula prinsip warga kampung, ibadah itu ya menyenangkan. Tidak terkesan mencekam, egois, anarkis, dan penuh kebencian. Agama itu yang hiburan dengan penuh kasih sayang.

Masa bodoh soal politisasi agama, sekuler vs islamisme, islamphobia dan kebangkiatan PKI. Bagi mereka, bisa makan, srawung, dan sembahyang sudah menjadi kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri. Kalau perlu mereka bisa mencetuskan ide referendum dusun/ kampung agar tidak terkontaminasi dengan drama politik nasional.

Setiap kamis malam, biasanya mereka mengadakan ritual zikir bersama untuk keselamatan keluarga dan saudara sekitar. Membaca beberapa ayat, sedangkan yang sudah tua biasanya hanya tolah-toleh mengikuti irama dan tempo bacaan imam. Betapa khusyuknya mereka. “Lha gimana to, penyakit itu kan datangnya dari Gusti Pangeran, sembuhnya ya minta tolong ke Gusti Pangeran.”

 

Baca Juga: Corona, Amnesia Dunia Realitas

Pertempuran Nasional

Hidup memang paradoks, apalagi dalam politik. Sayangnya masih banyak saja yang fanatik buta membela para politikus-politikus yang kadang iseng menjadi “tikus”. Agama yang katanya mengajarkan cinta kasih juga ikut nyemplung ke comberan politik. Caci maki, sumpah serapah, kata-kata kotor, dan kebencian ditularakan melebihi kecepatan sperma berjumpa sel telur. Teriaknya Bhineka Tunggal Ika, praktenya Bhineka Tinggal Luka.

Untung warga kampung tidak begitu kecanduan gadget. Hiburan mainstream paling aktual ya nonton televisi. Tapi isinya itu-itu saja. Acara debat selalu menjadi pameran utama acara televisi. Melihat sesama saudara sebangsa setanah air berdebat kolot mempertahankan argumennya. Iktikadnya mencari kebenaran, output-nya adalah keyakinan pendukung untuk semakin membenci lawannya.

Bagaikan petinju di atas ring arena. Penonton bersorak sorai pemain satu menjatuhkan lawannya. Semakin kencang memukul lawan semakin bahagia pendukungnya. Kita sudah memasuki zona bahagia paripurna ketika melihat yang dianggap lawan sengsara. Kematian laskar FPI malah disambut gembira oleh sebagian orang. Jangankan belasungkawa, jenazah pun menjadi cemooh warganet disertai hujatan-hujatan tak berperikemanusiaan.

Agama kita menjadi pakaian, tapi moralitas kita telanjang. Nurani menghilang dan kebencian semakin menggelora. Kita sudah tidak mampu menguasai diri kita masing-masing. Barangkali sejenak kita butuh liburan ke kampung, agar bisa merasakan kedamaian dan ketentraman hati menghadapi hidup yang serba carut-marut.

 

Pernah dimuat Hidayatuna
https://hidayatuna.com/hiburan-warga-kampung-di-masa-pandemi/ 

0 comments: