Budaya dipaksa sesegera mungkin beradaptasi dengan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia diharapkan mampu menciptakan ekosistem negara yang bisa bersaing secara global. Namun di balik ikhtiar pemerintah mengejar kemandirian sains dan teknologi terselip ketakutan mengenai perubahan budaya secara mendasar.
Dampak jangka panjang kecanduan teknologi adalah kerusakan alam, berkembangnya apatisme, dan depresi hidup manusia di tingkat global. Teknologi memaksa masyarakat global menganut sistem budaya egaliter tentang kesetaraan antar manusia. Budaya egaliter memungkinkan terjadinya aliran diskusi secara bebas dan terbuka, tanpa dihalangi tembok-tembok feodalisme yang melembagakan kasta atau kelas sosial tertentu.
Kemajuan pesat teknologi yang belum siap dihadapi masyarakat Indonesia menciptakan kegagalan berpikir logis, kritis, rasional, dan sitematis. Ongkos produksi meningkat disertai pemecatan tenaga kerja yang dianggap tidak efektif dan efisien. Masyarakat dipaksa mandiri beradaptasi dengan teknologi. Tidak menggantungkan nasib kepada orang lain (perusahaan).
Masyarakat yang memanfaatkan teknologi di awal akan punya potensi mendapatkan keuntungan. Mereka yang “coba-coba” memanfaatkan kecanggihan teknologi seperti Andovi da Lopez dan Jovial da Lopez, Raditya Dika, Candra Liow, hingga Bayu Skak yang disebut bapak YouTuber Indonesia. Selain itu ada Ghozali Everyday di NFT, Adriano Qalbi di Podcast, hingga Bowo di Tik Tok.
Celah popularitas sebagai “penemu” aplikasi yang berpotensi viral di masa depan menjadi agenda yang tidak bisa diprediksi dalam dunia teknologi. Ada faktor keberuntungan dan sensasi untuk mengangkat populartitas agar dikenal lebih banyak orang. Hasil akhirnya adalah capaian ekonomi tanpa “bekerja”. Teknologi informasi mengubah stigma masyarakat bekerja harus berangkat pagi dan pulang sore hari.
Orientasi eksistensi mengubah dasar budaya bangsa menjadi lebih berani namun gegabah mengambil risiko. Kemudahan yang ditawarkan kadang menjadi bumerang seperti kasus pinjaman online. Bahkan pada tahun 2020, Micosoft melalui survei Digital Civility Index (DCI) menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara keempat paling tidak sopan di dunia.
Hal ini tentu menjadi sesuatu yang kontradiktif mengingat citra masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai negara ramah dan sopan. Teknologi seolah mampu mengubah persepsi budaya dan karakter bangsa melalui kemudahan berinteraksi dan berkomunikasi melalui media daring.
Menyusahkan
Kebijakan baru dari pemerintah melalui PT Pertamina Patra Niaga yang mewajibkan masyarakat mendaftar terlebih dahulu di aplikasi digital MyPertamina dan website MyPertamina sebelum membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar mulai 1 Juli 2022 menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Tujuannya tentu agar pembagian subsidi bisa sesuai sasaran.
Sebelumnya, pemerintah juga membuat aturan baru untuk perubahan sistem penjualan dan pembelian minyak goreng curah rakyat (MGCR) menggunakan aplikasi Pedulilindungi. Bahkan setelah pelonggaran akibat pandemi, beberapa kegiatan mewajibkan masyarakat memiliki akun Pedulilindungi sebagai syarat utama.
Bagi masyarakat yang cepat beradaptasi dengan teknologi akan dengan mudah menuruti anjuran pemerintah, namun berbeda bagi mereka yang gagap teknologi (gaptek) yang mayoritas adalah masyarakat penerima subsidi (miskin). Sebagai negara multikultural, pemerintah harus rasional mengambil kebijakan dengan melihat realitas di masyarakat. Memahami bahwa tidak semua masyarakat bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Selain itu, kemudahan akses terhadap informasi yang disediakan teknologi dapat mematahkan kerja keras dan ketekunan, beredarnya informasi berkualitas rendah, dan kurangnya kemampuan menyajikan produksi pengetahuan yang bermutu. Masyarakat didesain menjadi pecandu konten hoaks dan berita sensitif yang menciptakan konflik di dunia maya.
Kegagapan masyarakat yang mendistorsi kebudayaan bangsa semakin disusahkan dengan berbagai kebijakan yang menjadikan teknologi sebagai senjata utama menjalankan roda perekonomian. Pemerintah semakin giat melancarkan kebijakan yang bersinggungan dengan teknologi tanpa memahami kualitas masyarakat dalam menerima kecangihan informasi teknologi.
Kesusahan menghadapi realita akibat meningkatnya berbagai harga kebutuhan pokok yang tidak sebanding dengan peningkatan upah karyawan harus ditambah dengan pemaksaan terhadap kebijakan yang mengharuskan masyarakat melek teknologi. Teknologi informasi dan komunikasi seharusnya menempatkan manusia sebagai objek agar terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Sementara keadaan saat ini, manusia terkesan menjadi objek ekspolitasi teknologi.
Dampak
Teknologi berperan menjadi katalisator terhadap konsekuensi dari kebebasan individu. Menurut Feenberg (2002), teknologi akan menjadi salah satu elemen utama pembentuk jati diri dan karakter manusia. Teknologi tidak pernah netral dan objektif, selalu terkait dengan dampak dan kepentingan politis tertentu. Teknologi juga bisa menjadi simbol diskriminasi bagi mereka yang bodoh dan miskin.
Dalam sistem demokrasi, teknologi seharusnya mampu memberdayakan manusia dari kesetaraan. Sementara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan terkesan membebaskan manusia mengeksplorasi teknologi dengan sedikit intervensi melalui undang-undang. Upaya pemerintah hanya sebatas menyediakan akses internet tanpa andil menciptakan etika budaya berteknologi.
Ketertinggalan informasi terhadap teknologi yang menciptakan kesenjangan keadilan ditambah sikap acuh tak acuh pemerintah yang bertubi-tubi menerapkan kebijakan melalui teknologi berdampak pada kehancuran karakter dan budaya bangsa. Mereka yang cukup informasi bisa bijak berinternet, sementara selainnya terkesan brutal dan bodoh dalam berinternet.
Feenberg mencatat berkembangnya gerakan postmodernisme hendak menantang semua klaim universal, dan menawarkan pembebasan partikular lokal dari penjajahan universalitas yang berperan sebagai selubung penindasan. Krisis sosial yang lahir dari berkembangnya teknologi mengambil bentuk lemahnya perdebatan di dalam ruang publik tentang masalah-masalah masyarakat.
Manusia dijadikan objek dari subjek yang disebut teknologi. Bahkan sikap egaliter pemerintah untuk memperbudak rakyatnya juga menggunakan sarana teknologi yang dipaksakan dalam pengambilan kebijakan publik. Teknologi menjadi sistem otonom yang menggantikan sistem budaya dan sistem agama. Selain itu juga digunakan sebagai alat pembantu pengembangan politik dan budaya masyarakat. Dampak tidak langsungnya adalah mentalitas praktis dangkal, otoriter, dan miskin refleksivitas.
0 comments: