CATEGORIES

Stand Up Comedy Indonesia kini menjadi genre lawak yang mulai banyak digandrungi kawula muda. Menyajikan hiburan dengan konsep lawakan tungg...

Berdemokrasi Melalui Stand Up Comedy

Berdemokrasi Melalui Stand Up Comedy

Stand Up Comedy Indonesia kini menjadi genre lawak yang mulai banyak digandrungi kawula muda. Menyajikan hiburan dengan konsep lawakan tunggal dengan membawakan beberapa keresahan yang kadang dibalut dengan narasi satire. Berbagai perlombaan yang diadakan industri penyiaran, perusahaan swasta, hingga institusi pemerintahan menunjukan betapa wabah Stand Up Comedy mulai menulari lintas generasi dan golongan masyarakat Indonesia.

Bahkan di acara-acara sketsa hiburan televisi, talkshow, dunia perfilman, hingga panggung konser musik atau pengajian disisipkan komika (sebutan pelaku Stand Up Comedy) untuk menjadi daya pikat penonton. Perkembangan komunitas juga semakin pesat sejak pertama kali diresmikan pada tanggal 13 Juli 2011 yang dipelopori oleh Ernest Prakasa, Ryan Adriandhy, Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, dan Isman H. Suryaman.

Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, Stand Up Comedy memiliki sejarah panjang sejak dari abad 19. Setelah itu dikenal sebagai jenis komedi cerdas yang tidak sembarangan membuat lelucon kasar, tetapi serius dipikirkan dan memiliki batas-batas kepantasan yang tegas di atas panggung. Darinya melahirkan kesadaran tentang adanya kompromi politik, kerakusan pejabat, dan pengabaian kepentingan rakyat.

Geliat komika nasional yang sukses di industri hiburan memicu banyak orang yang keluar dari pekerjaan tetap untuk banting setir menjadi komedian (Stand Up Comedy). Beberapa di antaranya nekat hijrah ke Jakarta untuk mencari penghasilan dari lawakan. Besarnya animo pelaku dan penikmat Stand Up Comedy kerap dimanfaatkan kelompok tertentu yang bermuatan politis untuk menarik massa atau pemilih suara di pemilu.


Baca Juga : Stand Up Comedy ala Kiai Kampung

Keresahan Politik

Banyak komika membawakan keresahan dengan narasi kritik sosial dan politik di atas panggung. Beberapa di antaranya harus berisiko mendapatkan somasi dan kasus hukum terkait materi yang disampaikan. Lainnya berhasil lolos dengan tetap mengedepankan prinsip berdemokrasi tentang hak kebebasan berpendapat di ruang publik.

Namun karena potensi ketersinggungan dengan jerat hukum melalui medium Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menurunkan kualitas kritik secara tersurat maupun tersirat dari para komika. Ada anggapan negara masih belum benar-benar menerapkan konsep demokrasi (kebebasan berpendapat). Meski ada beberapa komika masih konsisten melancarkan kritik-kritik pedas terhadap lembaga kepemerintahan.

Menertawakan politik menjadi hiburan bagi masyarakat yang mulai muak dengan retorika politikus dan segala bentuk pencitraan kebijakan. Komika secara tidak sadar mengajari masyarakat untuk melek politik. Cerdas memilah dan memilih tokoh politik untuk menjadi pejabat atau pemimpin negeri. Banyak informasi yang terkuak dari sudut pandang komika namun sering luput dari informasi masyarakat pada umumnya. Keresahan ini yang menjadi kekuatan demokrasi, sebaliknya bisa mengancam otoritarian pemerintah.

Stand Up Comedy Indonesia akan menjadi pertimbangan politik domestik untuk menarik suara di tahun 2024. Namun sejauh ini, banyak komika yang masih konsisten menjaga jarak dari iming-iming politik sebagai konsekuensi atas konsistensi menjadi agent of control kebijakan pemerintah. Melancaran kritik atas keresahan yang dibawakan di atas panggung dengan dasar argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.


Baca Juga : Ulah Komedi Feminisme

Politik Hiburan

Komika mengajarkan cara berdemokrasi yang elegan di Indonesia. Menyuarakan keresahan bukan melalui tulisan di media yang punya batas keterbacaan mengingat rendahnya literasi masyarakat. Tidak juga dengan demonstrasi di jalan raya yang jarang didengar oleh pejabat atau pemerintah. Apalagi mencaci maki di media sosial tanpa landasan informasi yang jelas.

Di tangan komika, politik hanyalah gerakan menyalurkan libido kekuasaan yang kerap menjadi bahas tertawaan. Banyak aksi pencitraan politikus yang bertujuan menarik empati pemilih suara, namun dibawakan komika dari perspektif komedi sehingga menjadi bahan lelucon di masyarakat. Kecerdasan mengulik fenomena politik dari komika menjadi kekuatan menyampaikan aspirasi masyarakat meski dibungkus dengan komedi.

Komika punya keahlian membangun narasi penonton yang kemudian dipatahkan (punchline). Sementara setiap komika punya sudut pandang melihat fenomena politik untuk dijadikan bahan tertawaan. Dalam dunia Stand Up Comedy Indonesia, politik hanyalah bahan roasting yang sering dibawakan dan mudah dikomedikan. Di kaca mata penikmat Stand Up Comedy, politik adalah hiburan, bukan jabatan yang harus diraih dengan menghalalkan berbagai cara.

Semakin populernya Stand Up Comedy Indonesia membawa dampak positif dan negatif bagi peta politik nasional. Dampak positifnya membuka mata masyarakat tentang pentingnya sadar politik agar tidak mudah dibohongi politikus dan juga dapat mengenalkan kebijakan-kebijakan nonpopoler di ruang publik. Dampak negatifnya adalah meningkatnya golongan putih (golput) akibat sikap apatis terhadap politik praktis.

Pudarnya kepercayaan masyarakat karena komika memberikan argumentasi tentang lucunya politik dan politikus dalam negeri saat menentukan kebijakan, bergaya hidup, dan mengeluarkan pernyataan yang berpotensi dijadikan bahan komedi. Selain media, Stand Up Comedy punya kekuatan untuk berani menyuarakan pendapat yang kritis terhadap pemerintah. Menunjukan tentang eksistensi demokrasi di Indonesia masih ada, meskipun komika banyak yang mengajari bahwa politik Indonesia hanyalah hiburan semata.***

0 comments: