CATEGORIES

  Jelang pemilihan presiden 2024, berbagai organisasi di bawah naungan pemerintahan dalam negeri bergagas melakukan pemilu, seperti halnya p...

Orientasi Pemilihan Pemimpin

 

Orientasi Pemilihan Pemimpin

Jelang pemilihan presiden 2024, berbagai organisasi di bawah naungan pemerintahan dalam negeri bergagas melakukan pemilu, seperti halnya pemilihan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Di Kabupaten Klaten, ada himbauan melakukan pemilu serentak pergantian RT/RW melalui kebijakan pemerintah desa atau kelurahan.

Penyeragaman pemilu memudahkan menentukan masa jabatan secara administratif yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 pergantian dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007. Dalam pasal 8 ayat 3 dan 4, Pengurus Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan dan dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Selama ini, realita pemilu di tingkat RT/RW tidak setertib sesuai arahan Permendagri. Ada yang punya jabatan lebih atau kurang dari peraturan yang sudah ditetapkan. Alasan ketidaksediaan menjadi pemimpin LKD menjadi faktor utama memilih kualitas pemimpin yang memadai di tingkat RT/RW. Namun berbeda situasi ketika pemilu menentukan pemimpin desa yang sudah mulai menciptakan iklim polarisasi kepemilihan.

Jabatan RT/RW masih dipandang rendah di masyarakat dari sisi pendapatan dan kepopuleran. Penghasilan pengurus LKD cenderung nihil, kecuali ada kebijakan tertentu dari pemerintah daerah menentukan anggaran gaji untuk pengurus RT/RW. Sementara angaran besar Dana Desa dikelola oleh pemerintah desa/kelurahan yang melibatkan segenap pengurus yang membidangi masing-masing program.

Tidak adanya orientasi jabatan ketua RT/RW yang hanya dilandaskan pada sikap keikhlasan mengabdi pada masyarakat menjadi contoh kepemimpinan paling fundamental. Melupakan aspek penghasilan dan popularitas selain keinginan memajukan daerah yang dipimpinnya. Pemilihan RT/RW tidak butuh kampanye dan metode pencitaan untuk mengangkat popularitas, sebab keterpilihannya sebenarnya bukan sesuatu yang diinginkan.

Menjadi panas ketika pemilu sudah terjadi di tingkat desa/kelurahan (kades/lurah), kecamatan (camat), kabupaten/kota (bupati/walikota), provinsi (gubernur), hingga negara (presiden). Mereka berbondong menghabiskan puluhan hingga ratusan juta untuk berkampanye dan melakukan berbagai pencitraan untuk mengangkat elektabilitas ketokohan. Lalu apa orientasinya?

 
Baca Juga : Popularitas Jokowi yang Kembali Dipertanyakan

Problematika Pilpres

Pilihan Presiden (Pilpres) 2024 berpotensi masih menyisakan narasi politik identitas. Anies Baswedan sebagai tokoh yang punya basis di kalangan pemilih muslim milenial sudah resmi dicalonkan partai Nasional Demokrat (NasDem) yang mungkin disusul oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Sementara citra partai nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Golongan Rakyat (Golkar) masih belum mengambil sikap.

Partai anyar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga sudah ancang-ancang mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai suksesi Joko Widodo sebagai presiden berikutnya. Elektabilitas Ganjar dinilai sepadan untuk melawan Anies, tanpa mengecualikan popularitas Prabowo Subianto sebagai kandidat presiden 2024. Menarik menantikan sikap PDIP dalam pemilihan calon presiden, mengingat gencarnya isu pengangkatan Puan Maharani sebagai putri dari ketua umum partai.

Arena politik nasional selalu menambah gairah konflik di tingkat daerah. Semarak kampanye negatif sering disuarakan di media sosial maupun di ruang-ruang publik masyarakat. Isu SARA masih menjadi permainan politik primitif untuk menjatuhkan lawan. Sisa panasnya iklim demokrasi jelang pilpres bahkan masih kentara sampai sekarang dengan serangan politik kepada presiden Jokowi terkait keaslian ijazah waktu kuliah dan sekolah, meskipun ia sudah tidak lagi menjadi lawan politik di pilpres 2024.

Perang politis bukan lagi melibatkan antar tokoh yang bertarung di kontestasi pilpres, melainkan sudah membentuk entitas polarisasi benturan kelompok nasionalisme dan islamisme. Seolah yang terlihat kubu nasionalisme menentang berkuasanya kelompok islamisme dan sebaliknya. Iklim panas politik nasional berdampak pada konflik dalam ranah sosial masyarakat hingga organisasi terkecil: keluarga.

Begitu besarnya pengaruh pilpres dan pemilu lainnya yang melibatkan keterpilihan pemimpin yang punya narasi politis, menjadi gairah banyak tokoh yang merasa punya populartitas untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin. Semakin tinggi jabatan yang diperoleh semakin besar pengaruhnya terhadap pilihan kebijakan untuk mengatur masyarakat. Dihormati secara sosial dan mendapatkan penghasilan yang sepadan (di luar “permainan” proyek kebijakan).

Sementara pemilu RT/RW hanya mendapat pendapatan sukarela tanpa perhatian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), DKPP, Badan Pengawas Pemilu. Bahkan ketika terpaksa terpilih, mereka harus menghibahkan diri untuk memenuhi panggilan kelurahan di jam kerja, menjadi sumber kritik warga, dan dituntut memajukan daerah tanpa adanya bantuan modal dari pemerintah. Tidak ada alasan untuk ingin menjadi ketua RT/RW selain keterpaksaan. Berbeda halnya dengan menjadi gubernur atau presiden.

Dikotomi pemilihan umum yang mengubah paradigma berpikir masyarakat mengenai orientasi pemimpin. Ketika calon ketua RT/RW menolak menjabat karena alasan tidak punya kompetensi dan kapabilitas menjadi pemimpin, sementara banyak tokoh politik nasional merasa jumawa dan merasa mampu menjadi yang terbaik untuk memimpin negara. Setidaknya menjadi renungan tentang faktor kepantasan seseorang menjadi pemimpin, apakah karena prihatin melihat kesenjangan sosial di masyarakat atau hanya butuh popularitas dan dihormati semua orang?!***

0 comments: