Sudah setahun Jokowi dilantik menjadi presiden keduanya (masa bakti 2019-2024), terjadi dua kali domonstrasi besar di Indonesia. Pertama sekira bulan September (menjelang pelantikan) yang disebabkan karena terburu-burunya menyusun draft RKUHP dan Revisi UU KPK yang dianggap sebagai upaya pelemahan lembaga Independen yang didirikan tahun 2002 silam. Selanjutnya adalah pengesahan Undang-Undang Omnibus Law di tengah kerasanya perjuangan bangsa Indonesia berperang melawan virus Corona.
Berbeda dengan aksi yang pertama, aksi demonstrasi kali ini cukup menghebohkan pelbagai elemen masyarakat. Bukan hanya buruh, tapi juga pemerhati sosial, lingkungan alam, aktivis HAM, dan banyak lainnya. Narasi yang tersebar saat demo RKUHP adalah ketidakpercayaan rakyat kepada lembaga legislatif DPR periode (2014-2019) yang perlahan surut ketika Jokowi mengusulkan untuk menunda pengesahan RUU tersebut, sedangkan pengesahan RUU Omnibus Law sendiri adalah usulan dari Presiden Jokowi sejak pelantikannya menjadi Presiden RI periode kedua.
Banyak pihak yang optimis terhadap peran DPR RI tahun 2019-2024 untuk mengontrol kebijakan pemerintah. Kemudian semakin gagap ketika Puan Maharani terpilih menjadi ketua DPR RI yang notabene satu kongsi dengan Jokowi di pihak pemerintahan. Hasilnya iklim demokrasi politik seakan bergerak satu arah ketika PKS menjadi partai oposisi tunggal dan Demokrat memilih jalan tengah.
Dalam situs resmi DPR RI, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni:
1. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Otoritas dari lembaga legislatif sebagai aspirasi suara rakyat seakan tidak lagi terdengar di parlemen. DPR yang seharusnya menjadi palang pintu boleh-tidaknya menentukan kebijakan hanyalah formalitas politik belaka. Partai oposan pra-pilpres banyak yang merapat ke kubu Jokowi yang seolah menguatkan basis kekuasaan. Anggota DPR yang menjadi wakil rakyat hanya tunduk dan patuh terhadap sikap partai.
Kondisi realita politik ditandai dengan adanya sikap anarki kekuasaan, dimana rakyat mulai tidak mengakui sepenuhnya kepemimpinan penguasa atau lembaga yang menyertainya. Kemudian diasumsikan dengan merosotnya moral dalam setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Menurut Niccolo Machiavelli, politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali. Lebih mengutamakan kesuksesan, sehingga tidak ada perhatian moral di dalam urusan politik. Hanya satu kaidah etika politik: yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan pemimpin.
Baca Juga : Trilema Jokowi
Pendukung yang Merundung
Demonstrasi di banyak daerah kali ini seakan menjadi penegasan bahwa dualisme identitas politik melebur menjadi satu. Polarisasi politik agama dan nasionalisme tidak begitu kentara dalam gerakan masif masyarakat. Ketika demo RKUHP Jokowi masih mendapat kepercayaan dari pendukung loyalis yang menjadi pemilihnya di kontestasi pilpres 2019, sekarang banyak di antaranya beralih pandangan dengan turut melawan Jokowi dengan berbagai media dan aksi.
Pertama, basis ormas keagamaan NU dan Muhammadiyah yang menyatakan secara tegas penolakan terhadap Omnibus Law. Menurut KH. Aqil Siradj (Ketua umum PBNU), Undang-Undang Omnibus Law hanya akan menindas rakyak kecil, buruh, dan petani. Di sisi lain akan menguntungkan konlomerat, investor, dan kaum kapitalis. Satu suara dengan PBNU, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas mengkritik tajam pengesahan Omnibus law RUU Cipta Kerja yang dinilai penggambaran tentang defisit moralnya pemerintah dan DPR. Padahal record kedua organisasi besar di Indonesia tersebut banyak yang menaruh kepecayaan kepada Jokowi sewaktu kampanye tahun lalu.
Kedua, Relawan Perempuan yang banyak mendeklarasikan dalam jajaran Projo (Pro-Jokowi). Perlu diingat bahwa pemilih perempuan pilihan presiden tahun 2019 dimenangkan oleh Jokowi-KH. Ma’ruf Amin terutama di kantong Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekarang Omnibus Law ditentang keras oleh para aktivis dan LSM perempuan. RUU Cipta Lapangan Kerja disebut dapat merugikan para pekerja perempuan. Cuti hamil dan melahirkan yang tidak dijelaskan secara gambling akan menimbulkan banyak perdebatan.
Ketiga, Aktivis HAM khususnya aktivis 98 yang secara terang-terangan turut mengkampanyekan Jokowi dibandingkan Prabowo tahun lalu. Hal tersbut patut dimaklumi, mengingat Prabowo dicitrakan turut serta dalam kasus HAM 1998. Namun saat ini banyak aktivis HAM yang menyayangkan sikap Jokowi terkait usulan hingga disahkannya Omnibus Law. Bahkan Aktivis HAM, Natalius Pigai, menyatakan bahwa Omnibus Law sama halnya dengan Undang-Undang perbudakan di Amerika Serikat.
Keempat, Buruh. Bagaikan menjilat ludah sendiri, kaum buruh merasa dikhianati oleh janji manis Jokowi kepada buruh saat kampanye. Padahal dalam UU Cipta Kerja cukup dominan menyasar buruh sebagai pihak yang paling dirugikan. Sehingga menjadi alasan kuat banyak aksi mogok kerja para buruh dan demonstrasi yang diinisiasi oleh KSPI dan Serikat Buruh di pelbagai daerah.
Setahun berjalan, Jokowi kembali ditanyakan popularitasnya di tengah masyarakat. Sikap otoriter dan diktator hanya akan menambah gerah situasi politik dan keamanan negara. Saat pemerintah susah payah menghimbau warga di rumah saja untuk memutus rantai Covid 19, pemerintah dan DPR malah memantik api kemarahan rakyat dari pelbagai kalangan. Semua seakan tidak takut lagi terhadap penularan Corona, mereka lebih takut jengkal demi jengkal Ibu Pertiwi dikuasai asing dengan dalih menarik minat investor dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Bukan hanya Jokowi, tampaknya rakyat sudah cukup skeptis dengan dunia perpolitikan Indonesia yang isinya ambisi kekuasaan tanpa berpikir etika dan moral kebangsaan. Periode kedua Jokowi adalah masa kebebasan mengambil kebijakan tanpa kekhawatiran kehilangan image politik. Tak semerakyat dulu, masih adakah sisa popularitas Jokowi di mata rakyat?
0 comments: