Trilema adalah pemilihan sulit di antara tiga opsi yang masing-masingnya tidak dapat diterima atau tidak disukai. Terdapat dua cara ekuivalen secara logis untuk mengekspresikan trilema. (1) trilema dapat diekspresikan sebagai suatu pemilihan di antara tiga pilihan yang tidak disukai, salah satunya harus dipilih, (2) suatu pemilihan di antara tiga pilihan yang disukai, hanya dua di antaranya yang mungkin pada saat bersamaan.
Pola kombinasi Trilema pada dasarnya berubah-ubah dari waktu ke waktu. Selama ini, perdebatan panjang mengenai eksistensi trilema memberikan beragam pemaknaan. Pada dasarnya, cukup banyak konsep mengenai trilema diteliti di berbagai negara dan situasi. Hal ini memperkaya hasil diskusi mengenai masalah trilema yang telah ada.
Dalam teori trilema globalisasi menunjukkan bahwa di antara hyperglobalization, politik yang demokratis, dan kedaulatan nasional memang memiliki korelasi. Namun aplikasi hubugan tersebut hanya akan efektif dan tidak menimbulkan konflik bila dilakukan di antara dua hal di antara ketiga hal tersebut.
Dalam kondisi tertentu, relasi antara hyper-globalization dengan national interest bisa diaplikasikan dengan baik dengan dijalankannya berbagai komitmen kelembagaan pemerintah untuk mengatur sebuah negara. Dalam kasus trilema politik, Rodrik mengistilahkan dengan golden straitjacket atau ‘baju pengekang emas’. Meskipun penggunaan baju tersebut akan mengekang pemakainya, namun praktek tersebut diyakini akan menimbulkan kebaikan untuk seluruh pihak.
Dalam politik identitas seperti saat ini, rasa pengekangan akan timbul ketika muncul faktor ketiga, yakni democratic politics. Karena proses politik yang dilakukan oleh sebuah negara dalam konteks regionalisme, sangat mungkin untuk tidak dilakukan secara demokratis. Ketegangan politik timbul dari konsep demokrasi yang membebaskan warganya untuk mengekspresikan gagasan dan opini yang dialamatkan ke penguasa.
Anjuran Jokowi untuk memberikan kritik kepada pemerintah dianggap omong kosong belaka ketika realita di lapangan banyak kritikus yang berujung bui. Peran buzzer dianggap menjadi benteng sentral menghalangi aspirasi dari rakyat yang pada akhirnya mengurungkan minat mengkritisi karena diancam sanksi. Jokowi dianggap basa-basi ketika memberikan keleluasaan buzzer untuk “memukul” para kritikus.
Baca Juga : Etika Politik, Risiko Pilkada di Tengah Pandemi
Simalakama Buzzer Politik
Stabilitas nasional merupakan masalah penting dalam membangun keberlanjutan suatu bangsa. Ikhtiar membangun stabilitas nasional selaras dengan upaya membantu kesadaran nasionalisme sehingga terbentuk sebuah kesadaran kolektif dari seluruh elemen untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah harus terus melakukan evaluasi dan pembaharuan, sehingga mampu mencapai formula sistem ketahanan nasional yang ideal yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum atas hak kebebasan berpendapat. Menjadi paradoks jika kebebasan pendapat dikekang oleh undang-udang yang mengakibatkan hukuman bagi warga negaranya.
Pernyataan Jokowi yang berharap kritik membangun dari rakyat merupakan sikap kenegarawan, meskipun prakteknya adalah sikap kecemasan warga negara ketika melontarkan kritik karena dianggap antipemerintah. Tidak adalagi kesan sikap moderat selain polarisasi politik identitas.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa pemerintah pusat telah mengeluarkan anggaran belanja untuk influencer mencapai Rp 90,45 miliar. Tujuan utamanya adalah untuk mengkampanyekan program-program pemerintah yang belakangan berubah menjadi prajurit pelindung pemerintah. Bahkan beberapa di antaranya melakukan manuver kepada tokoh-tokoh yang memberikan kritik terkait kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang.
Buzzer yang diharapkan mengangkat citra Jokowi sebagai presiden unggulan, malah terkesan diktator dan otoriter karena membiarkan para buzzer bebas menyerang tokoh-tokoh di luar pemerintah. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah penghalang nyata di era digital dalam menyuarakan kebebasan pendapat, termasuk memberikan kritik kepada pemerintah.
Jokowi harus kembali mengevaluasi kinerja buzzer agar tidak menjadi bumerang dalam kabinet bersatu. Menciptakan image pemimpin yang adil dengan memberikan ruang bagi oposan untuk turut terlibat dalam proses pemajuan bangsa. Semakin memanjakan buzzer akan menjadi simalakama bagi Jokowi dan kepemimpinannya.
Pemimpin di negara demokrasi harus peka terhadap kondisi politik di lapangan. Tentang perdebatan dan saling lempar wacana perbedaan pilihan kebijakan. Konsep keadlian bukan dengan cara melindungi warga yang mendukung pemerintah dan memusnahkan yang berseberangan dengan pemerintah.
Trilema Jokowi dalam memberikan penawaran kritik kepada pemerintah dapat dipilah menjadi, (1) Jika Jokowi tidak dapat dikritik, maka Indonesia adalah negara otoriter. (2) Jika Jokowi tidak mau dikritik, maka Jokowi adalah pemimpin yang arogan. (3) Jika Jokowi dapat dan mau dikritik, kenapa harus ada buzzer?
Memaksa warga mengkritik sesuai prosedur yang tidak keluar dari batas UU ITE adalah pembungkaman kebebasan berpendapat yang akan mengembalikan periode suram rezim orde baru. Bagaimana mungkin mengkritik, jika setiap opini harus disesuaikan terlebih dahulu dengan standar UU ITE? Apakah setiap orang yang mau mengkritik harus belajar dan paham UU ITE agar tidak dipenjara? Semoga Jokowi memahami kegelisahan warga negara yang berharap bisa memberikan kritik tanpa bayang-bayang ancaman UU ITE dan serangan pasukan buzzer.
Pernah dimuat di Minangkabau News
0 comments: