Dadi wong wadon kui kudu prigel, gemati. Siap molimo karo bojone. (1) Mlumah. Bojo kudu isa turu mlumah, artine narimo lan pasrah sepiro tukon blonjo sing dijatah, umpamane sing lanang protes bab badokan iku wes ora salah. (2) Miring. Bojo kudu isa turu miring adep-adepan. Mbuktekne wujud katresnan karo sing lanang. Kudu isa rembugan, glenah-glenoh turon miring karo jagongan. (3) Mengkurep. Bojo kudu isa turu mengkurep. Kudu isa ngekei karo sing ngarep, ora mung nompo luwihe jatah benges sing diarep-arep. (4) Mengkeret. Bojo kudu isa mengkeret, artine bojo paham yen lagi cupet, kudu iso udal-udal kotang mbok menowo ono susuk blonjo sing ijeh ndlesep. (5) Modot. Iki sing pungkasan, bojo kudu biso modot. Modot pikirane, jembar panarimane. Supoyo opo-opo ora dipikir bundet marai sarap cepet pedot!
Demikian salah satu dari ribuan bit yang diolah kiai kampung sebagai ajang dakwah. Sebelum booming dunia per-standupcomedy-an, para kiai kampung sudah mahir membuat premis kemudian dipatahkan menggunakan punchline. Kalau open mic biasa dijatah 10-15 menit, stand up comedy ala kiai kampung bisa pecah selama berjam-jam.
Sayangnya materi stand up comedy kiai kampung jarang terekspose di media. Jadi penikmat humornya hanya di kalangan warga kampung yang mengundangnya pengajian. Dari ribuan kiai pondok pesantren, paling hanya puluhan yang rapi didokumentasikan. Selebihnya bagaikan angin lalu bagi para jamaah. Penikmat tasawuf memang mempunyai cara sendiri untuk menikmati kehidupan di dunia, termasuk menjauhkan diri dari popularitas. Menjadi diri sendiri dengan sarung, peci hitam dan baju batik saat mengisi pengajian.
Tentu “paguyuban” kiai kampung ini punya metode tersendiri dalam berdakwah. Tidak melulu ceramah di depan mimbar dengan setiap paragrafnya disisipi dalil. Kalau diperhatikan, kiai kampung ketika berdakwah di tengah masyarakat sering menjabarkan kisah-kisah ulama atau pengalaman pribadi yang dijadikan jokes. Karena sifat manusia itu tidak begitu suka dituturi (dinasehati), mereka lebih senang diajak terlibat dalam nuansa kebahagian tanpa mengurangi esensi dakwah yang rahmatan lil’alamin.
Menurut Gross dan Muñoz (1995) menyatakan bahwa humor dapat dipandang sebagai mekanisme pengaturan emosi yang penting, yang dapat berkontribusi pada kesehatan mental. Emosi positif dari kegembiraan yang dihasilkan humor mampu menggantikan perasaan cemas, depresi, atau marah yang akan terjadi, memungkinkan orang untuk berpikir lebih luas dan fleksibel dalam pemecahan masalah secara kreatif. Fungsi psikologis humor dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: (1) manfaat kognitif dan sosial dari emosi positif kegembiraan, (2) penggunaan humor untuk komunikasi sosial dan pengaruhnya, dan (3) menghilangkan ketegangan dan mengatasinya.
Stand up comedy sendiri adalah komedian yang membawakan lawakannya di atas panggung seorang diri, dengan cara bermonolog mengenai sesuatu topik. Jenisnya ada slapstik, Dark or Black Jokes, Self Desprecating Jokes, Blue Jokes, Observation, story telling, dan komedi karakter. Kemunculan Ernest Prakasa dan Ryan Adriandhy, Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, dan Isman H. Suryaman akhirnya mencetuskan Stand Up Comedy Indonesia yang menjadi magnet komedi setalah era warkop dan trio-trio comedy jebolan TPI (sekarang jadi MNC TV).
Sedangkan dakwah sendiri adalah upaya untuk mengajak, menyeru, dan memanggil seseorang untuk kembali menjalankan perintah Allah yang dilakukan oleh seorang ulama atau mubaligh atau dai. Dalam konteks mengemban tugas berdakwah, mereka memerlukan berbagai pendekatan dan metode pengembangan dalam melakukan aktivitas dakwah, termasuk dengan banyolan dan cerita jenaka.
Agak beda memang metode dakwah kiai kampung dan kiai kota. Kalau kiai kampung lebih selow, sedangkan kiai kota cenderung kaku. Apalagi kiai kampung kurang begitu mengenal gadget yang memungkinkan untuk melakukan kreasi dakwah dengan materi-materi lucunya. Kalau sudah masuk dalam lembah media sosial yang isinya dalil dan dalil, mungkin kiai kampung mulai berpikir untuk melontarkan jokes-jokes ndeso-nya.
Tau sendiri kan sekarang beragama penuh dengan pantangan dan larangan. Jangankan melucu, baca Alquran (di makam) saja dilarang. Mau melakukan apapun ditanya dalilnya, sekalinya dikasih dalil, dianya nggak bisa baca. Ah, semoga kiai kampungku tetap melucu meskipun lambat laun serangan mazhab-mazhab negeri seberang akan merambah juga ke kampung-kampung.
Tak pikir-pikir umat di surga nanti pada ketawa-ketiwi menikmati kebahagiaan kok, tidak spaneng penuh kebencian dan kedengkian. Kalau pesan Cak Nun, “Intine Alquran iku piye carane awakmu isa bermanfaat nggo wong liyo.” Percuma hafal Alquran dan ribuan hadis, tapi hatinya sumpek penuh dengan prasangka buruk. Wes ta lah, yang penting jadi orang baik dan bahagia. Agomo ki digawe seneng, ojo digawe spaneng!
0 comments: