Setalah setahun libur kompetisi, pagelaran olahraga paling digemari penduduk bumi (sepak bola) kembali dihelat melalui ajang Piala Menpora. Dimulai tanggal 21 Maret 2021 dan akan berakhir 25 April 2021, Piala Menpora menjanjikan hadiah 4,65 miliar untuk tim, pemain, dan tentunya sang pengadil lapangan. Dimainkan di 4 kota beda provinsi (Solo, Bandung, Sleman, dan Malang) dan dibagi menjadi 4 grup yang terdiri dari 4-5 tim.
Piala Menpora seolah menjadi oase hiburan lain di tengah berita-berita seputar Covid-19 dan sinteron Ikatan Cinta. Patut dimaklumi, setahun lebih penggemar sepak bola tidak nangkring di stadion menyanyikan mars klub kota kebanggaan. Merindukan masa-masa saling lempar batu, berita meninggalnya suporter yang nekat masuk ke kandang lawan, drama-drama mafia sepak bola, merusak kursi dan pagar stadion ketika timnya kalah, dan misuhi wasit yang hobi disogok.
Setidaknya Piala Menpora memberikan secerca harapan bagi pelaku sepak bola agar tidak mati kelaparan karena tidak punya penghasilan. Patut dimaklumi, karena sepak bola luar negeri masih tetap berjalan meski dengan keterbatasan seperti, minimnya transfer pemain, kosongnya kursi penonton, dan beberapa agenda internasional yang terpaksa diundur.
Meskipun masih tidak boleh ditonton langsung di stadion, layaran televisi cukup membuat pecinta sepak bola kembali bergairah untuk mendukung tim favorit memengkan pertandingan dan mendoakan tim rival kalah dengan tim-tim underdog. Namun di tengah antusiasme sepak bola nasional, masih ada hal-hal yang mebuat muak para pengamat sepak bola nasional.
Baca Juga : Ciri Rumah Orang Kaya di Kampung Prareformasi
Budaya Mengulur Waktu
Tidak seperti pertandingan di Premier League Inggris, La Liga Spanyol, Liga Serie A Italia, ataupun Bundesliga Jerman, sepak bola Indonesia yang hampir setiap tahun gonta-ganti sponsor utama itu kurang bisa dinikmati sebagai media hiburan. Seni sepak bola berubah menjadi prinsip “menang harga mati”. Alhasil, banyak pemain sepak bola nasional yang ujug-ujug pintar bermain teater di lapangan hijau.
Budaya mengulur waktu sepertinya sudah menjadi ciri khas sepak bola Indonesia ketika timnya menang. Tidak peduli tim unggulan atau sebaliknya, asalkan sudah menang, mengulur waktu wajib dilakukan. Tidak mau mengambil risiko bila nanti harus kebobolan di sepersekian detik peluit panjang.
Biasanya, dimulai dari pelatih yang melakukan pergantian pemain di sisa pertandingan. Pemain yang diganti akan “berjalan di tempat” sambil menunggu pemain lawan mendorong-dorong agar segera keluar lapangan. Tutorial berikutnya adalah dengan tiba-tiba mati di tengah lapangan. Tanpa benturan atau kontak fisik, pemain biasanya beralasan kram karena merasa sudah sehari berlarian di atas lapangan. Harapannya ada peluit fair play yang tujuannya menghabiskan waktu pertandingan.
Aktor terakhir adalah kiper (penjaga gawang). Dengan jatuh sakitnya kiper, maka hukumnya sudah fardhu ‘ain untuk menghentikan permainan. Menariknya, sakitnya kiper tidak diiringi dengan persiapan kiper cadangan untuk bersiap menggantikan. Jadi ya habis satu batang rokok menunggu kiper bangkit dari jatuh akibat senggolan rambut dengan pemain lawan.
Hal lain adalah menimang bola (ragu-ragu menangkap) sambil menunggu pemain lawan untuk diprank. Ketika sudah dekat, kiper menangkap bola sambil menjatuhkan badan seolah habis melakukan penyelamatan gemilang. Kiper adalah salah satu aktor antagonis dari sepak bola yang ketika nonton bikin gregetan matiin TV.
Baca Juga : Pernikahan Atta-Aurel, Pelestarian Budaya Pamer
Wasit yang Ewuh Pekewuh
Ewuh pekewuh itu nggak enakan. Misalkan ada tim yang kalah, kemudian ada pemainnya yang melanggar di kotak penalti tidak diberikan penalti, melakukan pelanggaran keras sungkan mengeluarkan kartu merah, dan memberikan offside aneh kepada tim yang menang agar tidak menang terlalu jauh.
Banyak momen wasit memberikan keputusan berdasarkan budaya ewuh pekewuh, seperti tidak memberikan penalti beruntun kepada salah satu tim, tidak memberikan kartu merah kepada lebih dari satu pemain, dan tidak memberi kartu meski didorong, ditendang, dikata-katai pemain karena menganggap gagal membuat keputusan yang tepat.
Sikap seperti ini banyak dipunyai wasit nasional yang lega tim kandang menang dan pertandingan berakhir seri jika dimainkan di tempat netral. Penciptaan wasit yang ewuh pekewuh memang tidak masuk dalam standarisasi lisensi wasit profesional Indonesia.
Baca Juga : Stand Up Comedy ala Kiai Kampung
Wasit Mental Tempe
Melanjutkan dari sikap ewuh pekewuh, wasit di Indonesia juga dikenal dengan mental tempe. Statistik membuktikan tidak ada tim yang benar-benar digdaya di Indonesia. Setiap musim hampir selalu berganti juara karena memang tidak ada istilah big four di Liga Indonesia. Setiap pertandingan yang disiarkan di televisi selalu dikasih tagline BIG MATCH, meskipun yang bermain adalah Persikabo dan Persipur.
Hal tersebut terjadi karena tim kandang biasanya lumrah meraih 3 poin dan tim lawan hanya mematok target membawa hasil seri. Apalagi bagi tim yang mempunyai basis suporter fanatik yang sepanajang pertandingan memberikan teror dan intimidasi terhadap wasit dan pemain lawan. Akhirnya wasit memilih memenangkan tim kandang daripada pulang hanya menyisakan nama.
Kalau menyaksikan pertandingan yang kebetulan di markas tim dengan suporter fanatik, biasanya hasilnya 3 poin untuk tuan rumah. Hasil seri terjadi jika hanya tim lawan memang jauh lebih superior secara permainan daripada tim tuan rumah. Wasit lebih ingin main aman dengan kerap memberikan keputusan kontroversial menguntungkan tim kandang agar tidak terjadi hal-hal di luar nalar suporter normal.
Demikian beberapa kemuakan pecinta sepak bola menonton sepak bola nasional. Hiburan nonton sepak bola nasional buka terletak pada permainan yang manis seperti tiki-taka atau total football, melainkan ocehan bung jebret dengan diksi-diksi puitis yang lucu dan tidak pas pada tempatnya.
0 comments: