CATEGORIES

Peningkatan kasus Covid-19 selalu menjadi headline berita nasional. Tercatat per 15 Februari 2021, sudah tembus 1,2 juta penduduk Indonesia ...

Mengacu Kerancuan Data

data covid 19

Peningkatan kasus Covid-19 selalu menjadi headline berita nasional. Tercatat per 15 Februari 2021, sudah tembus 1,2 juta penduduk Indonesia yang terkonfirmasi positif Covid-19, 33 ribu sekian di antaranya meninggal dunia.

Kenaikan kasus pasca libur panjang akhir tahun membuat pemerintah mengambil kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk wilayah Jawa dan Bali (11-25 Januari) untuk menekan angka penyebaran kasus Covid-19. Namun kasus peningkatan postif dan meninggal akibat Covid-19 masih terus terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan dalam masa PPKM, Indonesia sering memecahkan rekor data terkonfirmasi postif dan meninggal yang dipublikasikan tim satgas Covid-19.

Karena dianggap kurang berhasil menekan laju penyebaran Covid-19, Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai tanggal 26 Januari hingga 8 Februari 2021.

Tentu semua masyarakat berharap Covid-19 segera bisa diatasi dengan berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Meskipun harus menanggung risiko untuk dipotong gaji (karyawan), sepi transaksi penjualan (pedagang), hingga kepasrahan untuk di-PHK karena melemahnya ekonomi nasional.

Jika mengacu data yang dipublikasikan secara rutin di website https://covid19.go.id/, maka perpanjangan PPKM akan dianggap wajar demi negara. Pengendalian Covid-19 dimulai dari penekanan kasus penyebaran dengan PPKM, sambil melakukan kampanye vaksinasi ke masyarakat. Ketika kesehatan masyarakat pulih dengan adaptasi new normal, maka ekonomi bisa kembali bangkit.

Di sisi lain, peningkatan kasus Covid-19 dianggap wajar oleh beberapa pengamat karena penerapannya yang tidak seketat saat PSBB. Tingginya kasus positif dan meninggal akibat Covid-19 juga ditengarai karena kapasitas pemeriksaan yang juga meningkat. Sehingga lebih banyak orang yang bisa dideteksi daripada sebelum pemberlakuan PPKM.

Jika banyak pengorbanan yang dilakukan masyarakat untuk menekan laju penyebaran Covid-19, pemerintah juga harus kompeten mengeluarkan kebijakan yang tidak sia-sia. Harus cermat menerapakan metode pembatasan mobilitas, testing dan tracing. Sambil menunggu distribusi dan penyuntikan vaksin.

 

Baca Juga : Menganalisis Hoax yang Merajalela

Dilematis Vaksinisasi

Vaksinasi dianggap cara terakhir menanggulangi pandemi. Program vaksinasi Covid-19 di Indonesia sudah dimulai tanggal 13 Januari 2021, dengan Presiden Jokowi yang divaksiansi pertama kali di Istana Negara. Setelah MUI melabeli halal penggunaan vaksin Sinovac, BPOM juga menyampaikan hasil analisis terhadap uji efikasi vaksin sebesar 65,3 persen.

Meski demikian, tidak semua menyetujui atau menyepakati vaksin Sinovac akan mampu mengatasi problematika pandemi. Kontroversi mewajibkan vaksinisasi ditentang beberapa kalangan masyarakat, perwakilan DPR, hingga anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Keresahan masyarakat bertambah seiring pemberitaan tentang gagalnya vaksinisasi yang malah menimbulkan kematian dan masih mempunyai risiko yang sama untuk tertular Covid-19.

Apapun alasannya, setiap orang punya hak untuk menerima dan menolak vaksin. Tapi harus konsekuen atas dampak yang terjadi jika memutuskan untuk menolak vaksin. Paling utama adalah risiko tertular Covid-19 beserta akibat yang diderita dan mungkin menyebabkan kematian. Pemerintah juga tidak bisa mewajibkan masyarakat untuk divaksin, mengingat data dari vaksinisasi Sinovac tidak manjur 100% membuat kebal imunitas tubuh agar terhindar dari Corona.

Apalagi pemberian vaksin juga harus memenuhi kriteria tertentu seperti tidak memiliki riwayat penyakit, tidak sedang hamil dan menyusui, tidak ada anggota keluarga yang pernah terkonfirmasi positif Covid-19, suhu tubuh dibawah 37,5 derajat celcius, tekanan darah tidak boleh di atas atau sama dengan 140/90, penderita Diabetes Mellitus (DM), penderita HIV, penyakit paru, dan Penyakit lain non-skrining. Selain itu, diutamakan masyarakat yang berusia di bawah 60 tahun.

Jika mengacu pada persyaratan vaksinasi Sinovac di atas, tentu banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum mewajibkan vaksin. Orang yang sebelumnya sudah terkonfirmasi positif Corona dianggap mempunyai kekebalan antibodi yang mempu melawan masuknya virus yang baru. Demikian yang dijadikan alasan untuk tidak memprioritaskan masyarakat yang sudah pernah terkonfirmasi Covid-19.

Realita di masyarakat, masih banyak orang yang tidak terdata pernah tertular Covid-19 atau tidak. Ketakutan untuk memerisakan diri ke dokter/ rumah sakit karena takut tertular pasien lain. Jika hasil pemeriksaan dikonfirmasi positif akan dikucilkan di masyarakat dan jika meninggal akan dikuburkan secara prokes yang dianggap tidak menghargai jasad dari keluarga korban.

Masyarakat masih banyak yang “diam dan bersembunyi” meskipun sakit hingga meninggal dunia. Tidak ada data valid penyebab kematian masyarakat yang tidak memeriksakan diri ke dokter. Tidak ada data valid berapa jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia yang mungkin sudah mencapai puluhan juta orang.

Belum lagi kebijakan instansi dan perusahaan swasta yang hanya melakukan pendeteksian Covid-19 hanya berbekal alat suhu tubuh ketika masuk kerja. Jika ada himbauan dari pemerintah daerah baru melakukan tes masal karyawan, itu pun menggunakan tes rapid yang tidak dianjurkan oleh WHO karena memiliki tingkat akurasi yang rendah dalam mendeteksi keberadaan virus Corona di dalam tubuh.

Isu manipulasi data dari rumah sakit yang melaporkan pasiennya positif Covid-19 (padahal tidak) juga sering menjadi diskusi di masyarakat dan media sosial. Patut dimaklumi, karena pihak rumah sakit bisa mengklaim dana bantuan dari pemerintah untuk setiap penanganan pasien Covid-19.

Masih banyak kerancuan data mengenai Covid-19. Vaksinasi hanya menjadi salah satu solusi untuk menekan penyebaran virus, tapi bukan satu-satunya. Pemerintah harus bijak menerima keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak vaksin. Masih banyak hal yang dilematis untuk kebijaksan vaksinisasi nasional. Mulai dari jumlah vaksin, jenis vaksin, efek samping dari pemberian vaksin, hingga kerancuan data tentang Covid-19.


Pernah dimuat di Facesia

https://facesia.com/mengacu-kerancuan-data/ 

0 comments: