Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, gempa di berbagai daerah (Majene, Mamuju, Maluku Tenggara, hingga Pangandaran), banjir di Kalimantan Selatan, hingga letupan gunung berapi (Semeru, Sinabung, hingga Merapi) adalah alarm bagi Indonesia di awal tahun 2021. Banyak hal dikaitan tentang “marahnya” alam, mulai dari wafatnya banyak ulama di awal tahun, kepemerintahan yang zalim, hingga ekspolitasi alam yang berlebihan.
Ratusan ribu jiwa terdampak bencana alam di berbagai daerah di Indonesia. Jokowi mengatakan bencana banjir disebabkan karena curah hujan tinggi. Sedangkan menurut Kisworo Dwi Cahyono (Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan), penyebab banjir di Kalimantan Selatan karena banyaknya lahan yang telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. Sebesar 33 Persen lahan atau 1.219.461,21 hektar sudah dikuasai izin tambang, sementara 17 persennya sudah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Kini, lahan yang tersisa hanya berkisar di angka 29 persen.
Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin, menjelaskan periode tahun 2010 hingga 2020 telah terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah sebesar 146.000 hektare, dan semak belukar sebesar 47.000 hektare. Banjir kali ini merupakan banjir terparah yang pernah terjadi di Kalimantan Selatan.
Banyak pihak yang harus bertanggungjawab atas bencana alam, khususnya banjir di Kalsel. Mulai dari pemerintah, sektor industri, hingga masyarakat itu sendiri. Menyalahkan kondisi alam (curah hujan) tidak akan menyelesaikan masalah yang sudah lama menjadi penyakit di Indonesia: pengerusakan alam. Perlu analisis tentang perlindungan alam dan revitalisasi lingkungan hidup agar kembali seimbang.
Isu perpindahan ibu kota dan potensi sumber daya alam juga turut menyumbangkan dampak bagi investasi alih fungsi lahan. Kalimantan yang sebelumnya menjadi salah satu paru-paru dunia melalui hutannya akan berganti menjadi gedung-gedung industri dengan seperangkat infrastruktur penunjangnya. Alam sedang darurat kepekaan dari manusia yang egois dan serakah merusak alam untuk kepentingan pribadi.
Baca Juga : Akhir Kisah Pandemi
Bencana Perilaku
Pernyataan yang mengaitkan bencana alam dengan perilaku manusia patut untuk direnungkan. Bahwa ada perilaku manusia yang membuat Tuhan dan alam murka. Bencana alam adalah peringatan dari ketidakkuasaan manusia menghadapi kehendak alam. Tugas manusia mengeksplorasi berubah menjadi tukang eksploitasi.
Syekh Al-Wani menyatakan bahwa bencana paling berbahaya yang saat ini menimpa manusia adalah tentang perbedaan pendapat dan perselisihan paham. Perbedaan yang ditandai dengan kekerasan, kepentingan sendiri-sendiri, dan motivasi yang egoistik, berkembang dan tumbuh semakin besar dan semakin besar; merasuk jauh ke dalam dunia mental seseorang lalu merantai pikiran, perilaku, dan perasaannya.
Manusia kurang introspeksi diri dengan bangganya pamer permusuhan antar saudara. Persatuan hanya ilusi dan perpecahan adalah nyata terjadi. Manusia kehilangan kejernihan pandangan terhadap segala sesuatu. Kehilangan tujuan dan visi-misi utama dalam beragama. Mereka begitu mudah berbicara tanpa pengetahuan, memutuskan tanpa pemahaman, dan menjalankan sesuatu tanpa dasar.
Permusuhan adalah keniscayaan untuk saat ini. Labelitas politik, sosial, dan agama menjadi topik membela dan memusuhi mereka yang berbeda pandangan. Politik identitas mewarnai dilema persatuan saudara setanah air. Tanpa kesadarannya, manusia menikmati segala retorika konflik antarsesama. Kehilangan logika berpikir dan hati nurani yang menyebabkan disorientasi sosial.
Tidak ada pilihan untuk bersikap netral. Setiap manusia akan dimasukan dan memasukan diri dalam kolong identitas politik dan agama. Perbedaan menjadi kehendak untuk menentukan sikap: kawan atau lawan. Perilaku adu domba, fitnah, dan caci maki seperti menjadi kebutuhan manusia di platform media untuk menyalahkan dan mengalahkan mereka yang dianggap musuhnya.
Bukan hanya tentang prinsip atau ideologi keyakinan, kebijakan pun sering digunakan sebagai bahan saling menjatuhkan satu sama lain. Kasus banjir, pemerintah menyalahkan curah hujan, pemerhati lingkungan menyalahkan pemerintah, masyarakat menyakahkan industri, industri menyalahkan perilaku manusia yang membuang sampah dan menebang pohon sembarangan.
Budaya saling menyalahkan sudah menjadi hobi untuk menunjukan eksistensi diri benar. Tidak mau berpikir dan merenung untuk menyalahkan diri sendiri. Bencana alam di awal tahun 2021 hanya sedikit cuplikan dari banyaknya bencana alam lanjutan jika manusia tidak menghentikan perilaku antiperbedaan. Manusia harus membiasakan diri untuk menyalahkan diri sendiri dan menghargai orang lain.
Masih ada yang lebih berbahaya dari banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, hingga tsunami sekalipun, yakni bencana perilaku manusia yang egois menyalahkan sesamanya. Perilaku yang tidak suka kedamaian dan tidak suka sikap cinta kasih sesama manusia, khususnya alam.
Pernah dimuat di Alif.id
https://alif.id/read/jy/bencana-sesungguhnya-budaya-saling-menyalahkan-b236449p/
0 comments: