Berdasarkan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.07/2020 tentang Penggunaan, Pemantauan, Dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, alokasi DBH CHT untuk bidang kesehatan adalah 50%. Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai rokok sebesar Rp 173,78 triliun.
Per Feburari 2021, cukai rokok atau cukai hasil tembaku (CHT) dengan rata-rata kenaikan sebesar 12,5 persen. Kenaikan terdiri dari produksi sigaret putih mesin (SPM) golongan I sebesar 18,4 persen, sigaret putih mesin golongan II A sebesar 16,5 persen, dan sigaret putih mesin IIB sebesar 18,1 persen. Sedangkan sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik sebesar 16,9 persen, sigaret kretek mesin II A sebesar 13,8 persen, dan sigaret kretek mesin II B sebesar 15,4 persen.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, prevalansi merokok untuk anak-anak usia 10-18 tahun ditargetkan turun ke level 8,7 persen pada 2024. Tujuan pemerintah menaikan bea dan cukai rokok adalah untuk tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai upaya pembangunan kesehatan nasional.
Baca Juga : Akhir Kisah Pandemi
Pertimbangan Kesehatan
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia, khususnya anak muda (remaja dan anak-anak). Alasan utamanya tentu untuk menjamin kesehatan warga negara dengan mewujudkan bangsa yang sehat dan unggul. Perlu diketahui, industri farmasi gencar mengkampanyekan bahaya merokok yang turut diamini oleh hampir seluruh media elektronik dan cetak.
Perokok aktif maupun pasif dapat mengintai kesehatan karena mengandung 4000 lebih zat kimia yang berbahaya. Tahun 2017, WHO mencatat sekitar 80 persen perokok dunia hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Bahkan, konsumsi rokok masyarakat miskin di dunia mencapai 226 juta orang.
Negara Cina menempati angka tertinggi dengan jumlah perokok sekitar 315 juta orang atau telah mengonsumsi lebih dari sepertiga rokok dunia. Sedangkan Indonesia menempati presentase penduduk perokok terbesar di dunia dengan 76 persen pria berusia di atas 15 tahun tercatat sebagai perokok.
Dampak paling sering dipublikasikan adalah serangan jantung, kanker, diabetes, gangguan kehamilan dan janin, hingga kematian. Ketika menerapkan kebijakan tentang bahaya merokok di bungkus rokok dianggap kurang efektif mengurangi konsumsi rokok, pemerintah membuat kebijakan pragmatis dengan menaikan harga rokok yang diharapkan tidak terjangkau daya belinya oleh masyarakat kalangan bawah.
Baca Juga : Kemerdekaan Sains
Kebutuhan Merokok
Tidak hanya tekanan dari sudut pandang kesehatan, agama yang terwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram soal merokok di tempat umum sejak 2009. Selain itu juga disebutkan bahwa merokok haram bila dilakukan anak-anak dan wanita.
Dalam prakteknya, masih banyak masyarakat yang mengonsumsi rokok dengan dalih tidak mempercayai sains atau penelitian tentang bahaya merokok. Sesekali memberikan contoh banyaknya orang merokok yang masih sehat di usia senja, sedangkan banyak pemuda yang meninggal dunia dengan tanpa merokok.
Mayortitas konsumen rokok adalah masyarakat kalangan bawah yang seharusnya mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pelaku bisnis dan investor pun memahami pola industri rokok di Indonesia. Di masa pandemi, saham emiten rokok malah bergerak positif. Saham beberapa perusahaan sigaret seperti Sampoerna (HMSP), Gudang Garam (GGRM), Bentoel (RMBA), hingga Wismilak (WIIM), menunjukkan penguatan poin kala itu.
Kampanye antirokok terus berkumandang di kanal-kanal media berita. Tidak ada wadah (public space) bagi perokok untuk membela haknya menikmati rokok. Padahal dalam imunitas seseorang terdapat peran fisik, psikis, dan sosial. Perokok sering mengatakan bahwa merokok mampu menurunkan tingkat stres. Bagi seniman, merokok bisa menciptakan inspirasi dalam berkarya.
Ketika kampanye antimerokok masif dilakukan oleh pemerintah dan instansi yang diuntungkan atas kebijakan tersebut, dampaknya adalah peralihan konsumsi produk untuk menenangkan pikiran dan mengurangi tingkat stres. Mungkin dengan minuman keras atau narkoba yang malah jelas dilarang dalam aturan agama dan negara.
Baca Juga : Flu Indonesia
Manfaat Rokok
Selain menjadi tulang punggung pendapatan negara mencapai Rp 57,66 triliun atau 24,65% dari APBN (per akhir April 2020) sesuai Perpres 54/2020 dari bea dan cukai rokok, Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor strategis domestik yang memiliki daya saing tinggi dan terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2016, serapan tenaga kerja di sektor manufaktur dan distribusi mencapai 4,28 juta orang serta di sektor perkebunan sebanyak 1,7 juta orang. (sumber: kemenperin)
Sedangkan bagi kesehatan, kandungan rokok juga mempunyai manfaat seperti mengurangi radang usus besar, mengurangi risiko terkena kanker payudara, mengurangi risiko penyakit susut gusi, lebih kuat dan cepat sembuh dari serangan jantung dan stroke, mengurangi risiko parkinson, membunuh kuman penyebab tuberculosis (TBC), mencegah kanker kulit, hingga mencegah hipertensi di masa kehamilan.
Apapun itu akan menjadi perdebatan sengit di kalangan sains dan ilmuwan kesehatan. Bagi masyarakat kalangan bawah, merokok adalah kebutuhan untuk sekedar menenangkan pikiran dan teman ketika stres. Menaikan bea dan cukai rokok akan otomatis menaikan harga rokok yang akan membuat masyarakat kalangan bawah kehilangan sebagian dari “kebutuhannya”.
Pemerintah akan dianggap lebih tega mengeruk pendapatan negara dari masyarakat kalangan menengah ke bawah sebagai mayoritas konsumen rokok. Tidak ada produk pengganti selain membeli rokok dengan harga yang tinggi. Masyarakat kalangan bawah tetap akan tersenyum meskipun kebahagiaannya selalu mencoba disingkirkan. Merokok bukan perilaku kejahatan. Merokok hanya medium mengekspresikan kegundahan melihat carut marut politik kehidupan.
Pernah dimuat di Tegas.id
https://tegas.id/2021/03/02/opini-rokok-naik-masyarakat-miskin-tercekik/
0 comments: