Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin mendorong MUI untuk menerbitkan fatwa ganja medis. Mahkamah Konstitusi (MK) akan melakukan uji materi yang diajukannya atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya Thailand menjadi negara ASEAN pertama yang melegalkan ganja untuk konsumsi minuman dan makanan.
Meski demikian, legalisasi ganja medis punya batasan penggunaan agar tidak disalahgunakan. Ganja merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai manfaat untuk mengobati penyakit seperti alzheimer, sklerosis lateral amiotrofik (ALS), HIV-AIDS, penyakit crohn, epilepsi dan kejang, glaukoma, multiple sclerosis dan kejang otot, sakit parah dan kronis, mual atau muntah parah yang disebabkan oleh pengobatan kanker (sumber: Mayoclinic).
Dua tahun yang lalu, pemerintah memutuskan untuk mencabut Kepmentan RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang di dalamnya menyebutkan ganja sebagai tanaman obat binaan Dirjen Hortikultura. Pencabutan tersebut dilakukan sebab bertentangan dengan Undang-Undang Narkotika yang menyatakan ganja bukanlah tanaman obat.
Pada dasarnya tumbuh-tumbuhan atau produk nabati yang ada di bumi itu halal dan boleh dikonsumsi. “Dan Dia (Allah) telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. 45: 13)
Ganja merupakan obat yang bersifat simtomatik, bukan bersifat menyembuhkan. Lebih kepada keingingan untuk menikmati halusinasi yang disebut psikoaktif untuk mempengaruhi kejiwaan seseorang. Ganja mengandung unsur psikotropika tetrahidrokanabinol (THC) yang dapat menyebabkan perubahan pada aktivitas dan mental seseorang.
Dari sisi medis, ganja dapat mengakibatkan kerusakan otak, penyakit paru-paru, gangguan pada sistem peredaran darah, ganguan mental, dan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Gaanja bisa memicu efek samping berupa perasaan paranoid, mual, hingga gangguan persepsi.
Meskipun begitu, ganja memiliki manfaat secara medis. Ganja dapat digunakan untuk mengatasi dan mencegah mata dari glaukoma. Selain itu juga bisa mencegah kejang karena epilepsi, mematikan beberapa sel kanker, mengurangi nyeri kronis, mengatasi masalah kejiwaan, hingga memperlambat perkembangan alzheimer. Demikian yang menjadikan beberapa negara kemudian mencabut larangan peredaran ganja.
Dari segi agama, secara nash tidak ada ketetapan atau larangan penggunaan daun ganja. Konsumsi ganja nyatanya masih banyak digunakan untuk bumbu masak tradisional. Misalkan Aceh yang dikenal sebagai penghasil ganja terbesar di Indonesia. Label haram penggunaan ganja terletak pada kuantitas ganja yang dikonsumsi. Boleh jika takarannya sesuai (sedikit), haram jika berlebihan.
Di Indonesia, ganja memiliki potensi besar secara ekonomi. Optimalisasi ganja tidak hanya digunakan untuk kepentingan medis, namun juga menjadi alternatif sumber pendapatan negara. Pada tahun 2019, Riset Precedence Research mencatat pasar ganja legal senilai US$ 17,5 miliar dan diperkirakan mencapai US$ 65,1 miliar atau hampir 1.000 triliun pada tahun 2027.
Baca Juga : Kemerdekaan Sains
Risiko
Legalisasi ganja terhalang oleh persepsi masyarakat yang masih tabu mengonsumsi ganja. Apalagi jika tanpa pendampingan, ganja dapat menyebabkan banyak penyakit. Indonesia yang mayoritas beragama Islam mengharapkan ada fatwa tegas dari MUI mengenai legalisasi ganja, minimal untuk keperluan medis.
Melegalkan rokok dan melarang ganja adalah ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah menjalankan amanah konstitusi untuk menjamin kesehatan dan keselamatan warga negara. Keduanya sama-sama menyebabkan kecanduan atau ketagihan. Secara medis juga sama-sama membahayakan bagi diri sendiri. Tapi ada diskriminasi peredaran di antara keduanya. Fatwa agama hanya menilai secara preventif konsumsi barang yang dianggap membahayakan tubuh.
Padahal ganja malah punya manfaat dari segi hukum, kesehatan dan ekonomi. Secara hukum legalisasi ganja jika diterapkan di Indonesia akan melonggarkan beban penjara menampung pengguna dan pengedar ganja. Benturan kepentingan politik, kesehatan, dan agama tidak akan pernah menemukan titik terang jika masih kolot terhadap kepentingan masing-masing daripada utnuk kemaslahatan umat dan negara.
Misalpun ganja dilarang dengan alasan kekhawatiran konsumsi tanpa arahan medis, produksi ganja seharusnya dipertimbangkan sebagai potensi pendapatan negara dengan mengekspor ke negara-negara yang membutuhkan. Sedangkan penegak hukum malah sering terlibat pemusnahan tanaman ganja di berbagai daerah.
BNN terus meningkatkan strategi hard power approach atau pemberantasan jaringan sindikat narkoba di berbagai wilayah. Tahun kemarin, Tim penyelidikan Direktorat Narkotika Deputi Pemberantasan BNN berhasil memusnahkan 2 hektar ladang ganja, dengan jumlah tanaman sebanyak ± 20.000 pohon, berat tanaman basah ± 15 ton. pada ketinggian 424 mdpl dengan luas 1 hektar, dan pada ketinggian 835 mdpl dengan luas yang sama, yakini 1 hektar.
Indonesia diberkahi lahan yang subur untuk berbagai komoditas pertanian, termasuk tembakau dan ganja. Secara internasional, ganja masih dilarang peredarannya. Namun kemajuan ilmu sains di bidang kesehatan membuktikan bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan mempunyai manfaat. Pemerintah harus jeli melihat peluang dan potensi pasar ganja global. Selain dapat membantu kesejahteraan petani ganja, negara juga bisa mendapatkan banyak keuntungan dari ekspor ganja.
Meskipun demikian, butuh pengawas yang punya kompetensi untuk mengatur peredaran dan ekspor ganja jika nanti dilegalkan. Jangan sampai perdaran ganja malah dijadikan gaya hidup yang berpotensi merusak masa depan generasi muda. Tentu segala sesuatu punya risiko. Sebab yang berlebihan akan selalu menyebabkan kekecewaan.
0 comments: