“Dunia merindukan predator manusia.” Begitulah yang diinginkan oleh alam agar kembali seimbang dengan dialektika yang normal antara manusia dan semesta. Covid-19 dihadirkan sebagai jalan pintas “memangsa manusia” karena keserakahannya mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Berkah pandemi, polusi berkurang sedemikian dahsyat. Tumbuhan dan hewan liar kembali merekonstruksi ekosistem yang baru. Deforestasi, reklamasi, hingga perburuan ilegal tidak lagi menjadi fokus utama bagi manusia, selain usahanya untuk bertahan hidup dari ancaman Covid-19.
Hampir 2,5 juta penduduk di dunia meninggal terpapar Corona. Korporasi global perlahan gulung tikar. Sekitar setahun bumi mengistirahatkan diri dari ancaman predator alam yang bernama, manusia. New Normal adalah konsep untuk menyeimbangkan kembali alam yang sudah lama dijarah oleh kebiadaban manusia.
Baca Juga : Jerinx Hingga Pulau Komodo
Predator Alam
Ekosistem hutan memberikan gelar predator kepada singa dengan julukan raja hutan. Dalam teorinya, Charles Darwin berargumen bahwa adanya kompetisi merupakan penggerak utama dari evolusi. Organisme akan berjuang untuk supremasi, yang kuat yang bertahan.
Selain singa sebagai penguasa hutan, di lautan ada Orca (Orcinus orca) yang menjadi predator utama. Orca merupakan jenis mamalia laut yang masih berkerabat dengan lumba-lumba dalam keluarga Delphinidae yang mempunyai berat mencapai 11 ton. Orca diketahui memangsa mamalia laut seperti singa laut (Otariinae), anjing laut (Pinnipedia), walrus (Odobenus rosmarus), hingga paus besar.
Di sungai, kita mengenal buaya sebagai monster yang disegani dalam ekosistemnya. Namun ada predator lain di sungai, yakni Ikan Araipama yang sempat menghebohkan jagad maya karena dianggap menjadi predator ganas di Sungai Brantas, Jawa Timur. Ukuran ikan tersebut mencapai lebih dari 1,5 meter dengan berat sekitar 30 kilogram.
Sedangkan di udara, elang adalah prodator ulung yang bisa memangsa habitat di daratan. Kehadiran predator di setiap habitat adalah untuk menjaga keseimbangan alam. Dalam ekosistem makhluk hidup dibutuhkan rantai makanan sebagai dialektika antar alam dan makhluk hidup. Rantai makanan merupakan bagian dari jaring-jaring makanan yang bergerak secara linear dari produsen menuju konsumen teratas.
Dalam rantai makanan terdapat tiga macam rantai pokok yang menghubungkan antar tingkatan trofik, yaitu rantai pemangsa, rantai saprofit, dan rantai parasit. Rantai makanan berperan penting dalam analisis kesehatan ekologi. Akumulasi polutan dan dampak pada hewan dapat ditelusuri dari rantai makanan di dalam ekologi.
Baca Juga : Hukum Pengerusakan Lingkungan
Manusia Predator
Di dunia, singa mati kebanyakan disebabkan karena adanya perburuan liar dan hilangnya habitat. Laporan dari National Geography menunjukkan satu abad lalu ada sebanyak 200.000 ekor singa yang hidup di daratan Afrika. Saat ini populasi singa kurang dari 30.000 ekor di Afrika. Kelompok pecinta lingkungan International Union for Conservation of Nature menyebutkan perburuan singa ilegal mencapai 105.000 ekor hewan per tahun di Afrika.
Selain Singa, manusia juga aktif berburu gajah, badak, zebra, dan hewan liar lainnya yang sudah terancam punah. Transaksi jual-beli hewan liar masih marak di pasar dunia. Data dari WWF yang diambil oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakankan bahwa ada 6.517 satwa liar yang diperdagangkan melalui media sosial selama kurun waktu November 2015 hingga April 2016.
Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas. Ada 1.771 spesies yang hidup di Indonesia, 513 spesies di antaranya merupakan burung endemik yang hanya ditemui di Indonesia. Namun kekayaan keanekaragaman hewani tersebut tidak diikuti dengan sikap predator manusianya.
Laju kepunahan burung di Indonesia menempati posisi tertinggi di dunia dan perburuan ilegal menjadi salah satu ancaman terbesar hilangnya beragam spesies yang ada. Berdasarkan data penelusuran Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kerugian negara akibat perdagangan satwa liar mencapai 13 triliun setiap tahunnya.
Aboriginal Subsistence Whaling adalah perilaku predator manusia lainnya. Istilah yang merujuk pada perburuan paus dengan cara tradisional untuk kebutuhan sendiri. Di Jepang, perbururan paus malah dijadikan tujuan komersil dengan adanya moratorium perburuan paus. Masyarakat Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur sudah melakukan tradisi perburuan paus selama ratusan tahun.
Masih banyak kasus perburuan ilegal yang dilakukan manusia untuk kepentingan pribadi. Manusia tidak memiliki batas ruang habitat untuk menjadi predator bagi spesies apapun. Manusia mempunyai segala hal untuk menaklukan berbagai habitat di dunia. Manusia selalu menunjukan eksistensi diri sebagai penguasa alam raya.
Manusia butuh predator selain dirinya sendiri. Covid-19 sedikit memberi jawaban atas kejemawaan manusia sebagai predator tunggal di bumi. Alam butuh seimbang dengan teraturnya rantai makanan pada ekosistem alam. Menyediakan kembali hak akan lingkungan hidup yang bersih dan sehat tanpa alasan-alasan politik dan ekonomi.
Pandemi semoga menjadi sentilan bagi manusia agar menghargai alam dengan segala keanekaragamannya. Tidak berlebihan menjadi predator semesta yang berakibat musnahnya hewan-hewan langka di dunia. Manusia harus menyadari bahwa dirinya butuh predator untuk memusnahkan dirinya sendiri setelah lama menjadi predator di muka bumi.
Pernah dimuat di Bone Pos
https://www.bonepos.com/2021/03/09/opini-manusia-butuh-predator
0 comments: